• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Terhadap Kata Żillah Surah al-Baqarah ayat 61

Ayat ينثيبخلل تاثيبلخا dan ينبّيطلل تابّيطلا dalam ayat ini bermakna wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji,

C. Analisa Terhadap Kata Żillah Surah al-Baqarah ayat 61

 Yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya". Musa berkata: "Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik ? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta". lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi yang memang tidak dibenarkan. demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.”

Ayat ini merupakan kelanjutan dari peringatan-peringatan Allah terhadap nikmat dan kedurhakaan Bani Isra‟il. Tetapi, kali ini penekanannya pada kecaman atas mereka yang meremehkan

nikmat-59 nikmat Alah Swt, sehingga mengakibatkan keadaan mereka berubah dari nikmat menjadi bencana dan siksa.20

Ketika para leluhur kaum Yahudi dulu berkata: “Wahai Musa, tidak mungkin kami terus menerus memakan satu macam makanan saja, yaitu hanya mann dan salwa” –dialog tersebut ditujukan kepada kaum Yahudi yang sezaman dengan Nabi saw-, “maka mintakan kepada Tuhanmu agar Dia memberi kami makanan yang ditumbuhkan di bumi, sayur-mayur yang lezat yang biasa dimakan oleh manusia, seperti: tanaman mint, seledri, bawang bakung, dan sejenisnya.” – mereka memintanya berdo‟a karena mereka tahu bahwa do‟a para Nabi lebih cepat terkabul.

Nabi Musa menjawab dengan rasa heran sambil mencela dan menegur mereka: “Mengapa kalian meminta jenis-jenis yang rendah sebagai pengganti makanan yang lebih baik dan nikmat, yaitu mann dan salwa. Keduanya merupakan makanan yang sempurna, lezat, dan nikmat, mann mengandung rasa manis dan salwa ialah daging burung paling enak. Kalau memang kalian meminta makanan yang lebih rendah manfaat dan kualitasnya, turunlah kepadang Tih21 dan menetaplah dinegri agraris manapun, akan kalian dapatkan apa yang kalian minta.”

Meninggalkan makanan yang paling baik (mann dan salwa) dan meminta makanan yang lebih rendah kualitasnya (bawang merah, bawang putih, bawang adas) menjadi bukti bahwa nafsu manusia terkadang ingin menukar barang yang berkualitas tinggi dengan barang yang berkualitas rendah. Hasan al-Bashri berkata: “Kaum Yahudi adalah sebusuk-busuknya para penggemar bawang. Disini

20M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , v.1 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 253.

21 Padang Tih adalah kawasan yang berada di antara Baitul Maqdis sampai Qinnisrin, luasnya kurang lebih 12x8 farsakh.

sangat terlihat jelas sifat asli mereka (kaum Yahudi) dalam perkataan

“kami tidak bisa tahan” menunjukkan bahwa mereka membenci makanan itu, mereka tidak mensyukuri nikmat.22

Kata  artinya diwajibkan, ditetapkan, atau ditimpakan.

Adapun kata  yang berarti nista dan hina. Yaitu orang-orang yang Allah melarang orang-orang mukmin agar tidak memberikan jaminan keamanan kepada mereka kecuali mereka telah membayar upeti,23 sebagaimana firman-Nya:





























































Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah24 dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk. (Q.S at-Taubah: 29).

Nista adalah rasa rendah diri karena penindasan akibat jauhnya jiwa dari kebenaran, dan ketamakan meraih gemerlapnya duniawi.

Nista berkaitan dengan jiwa, sedangkan kehinaan adalah kerendahan yang berkaitan dengan bentuk dan penampilan. Orang-orang kaya ketika itu berkewajiban membayar upeti. Ada juga yang memahami kata adz-Żillah yang diterjemahkan dalam ayat ini dengan nista dalam arti kehinaan, sedangkan al-maskanah dalam arti kehinaan akibat

22 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.1 (Depok: GEMA INSANI, 2013), 135.

23 Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari, Jami‟ Al Bayan an Ta‟wil Ayi al-Qur‟an terj.Akhmad Affandi, juz.2 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 14.

24 Jizyah ialah pajak per kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang yang bukan Islam, sebagai imbalan bagi keamanan diri mereka.

61 keinginan meraih sesuatu yang menyenangkan tetapi tidak dapat diraih sehingga melahirkan kesedihan.25

Allah menghukum mereka atas pengingkaran nikmat-nikmat itu serta atas penghinaan terhadap ayat-ayat Allah yang diberikan kepada Musa, juga atas pembunuhan yang mereka lakukan terhadap para Nabi secara zalim, Nabi yang telah mereka bunuh antara lain Yesaya, Zakaria, Yahya tanpa alasan yang benar untuk membunuh para Nabi.

Hal-hal tersebut merupakan tindakan yang melampaui batas dan sikap kedurhakaan terhadap Allah, Nabi, dan juga agama. Hukuman yang diperoleh mereka ialah ditimpakannya kehinaan dan kenistaan atas mereka didunia, kemudian mereka mendapat murka Allah serta adzab Allah yang pedih diakhirat.26

1. Surah Ali „Imran ayat 112.









































































“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.”

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa kaum Yahudi adalah kaum yang mendustakan Nabi Muhammad Saw. Allah menimpakan kehinaan dimanapun mereka berada, dan mereka tidak akan merasa

25 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 55.

26 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.1 (Depok: GEMA INSANI, 2013), 134.

aman dan tentram kecuali mereka berpegang pada dua hal, yaitu janji Allah dan janji manusia.27 Adapun janji Allah adalah yang ditetapkan syari‟at untuk jaminan keamanan mereka jika mereka melakukan akad kafir dzimmi, membayar jizyah, mematuhi hukum dan aturan-aturan syari‟at Islam. Adapun janji manusia adalah berupa keamanan, yaitu larangan mengganggu mereka dan persamaan hak dan kewajiban.

Allah Swt juga menjadikan mereka selalu berada di dalam murka-Nya, mereka menjadi orang-orang hina dan menjadi bawahan umat lain, menjadi komunitas nomer dua. Mereka terpencar dan terpisah-pisah diberbagai penjuru dunia, meskipun jumlah mereka sebenarnya hanya sedikit. Mereka akan tetap berada di dalam kondisi seperti itu meskipun mereka sudah berusaha dan upaya mati-matian untuk bersatu dan mukim di tanah-tanah jajahan di Palestina, dan meskipun mereka mampu mengumpulkan harta kekayaan yang melimpah dan mampu menguasai roda perekonomian dunia.28

Sebab kenapa mereka selalu dilingkupi kehinaan, kerendahan, dan murka Allah Swt adalah kekufuran mereka terhadap ayat-ayat Allah, pembunuhan terhadap Nabi tanpa ada alasan yang benar yang diberikan syari‟at mereka untuk melakukan pembunuhan tersebut, usaha mereka mencelakai serta ingin membunuh Nabi Muhammad Saw, dan mereka melakukan kejahatan berupa pembunuhan terhadap orang-orang yang berkata “Tuhan kami adalah Allah Swt.”

dikarenakan sikap sombong, angkuh, hasud, dan benci, mereka juga memprovokasi orang-orang musyrik untuk memusuhi dan memerangi serta membinasakan kaum muslimin sampai ke akar-akarnya untuk selamanya. Keberanian mereka melakukan semua itu disebabkan

27 Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari, Jami‟ Al Bayan an Ta‟wil Ayi al-Qur‟an terj.Akhmad Affandi, juz.5 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 734.

28 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.2 (Depok: GEMA INSANI, 2013), 376-377.

63 gemarnya mereka melakukan kemaksiatan dan pembangkangan terhadap perintah-perintah Allah Swt sehingga mereka tenggelam didalamnya.

Dari dua ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kata Żillah memiliki arti hina. Hina disini merupakan akibat dari sikap ingkar manusia terhadap ayat-ayat Allah serta perbuatan mereka yang membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar. Sikap mereka yang demikian merupakan bentuk kedurhakaan hamba terhadap Tuhannya.

Secara tidak langsung kita telah mengetahui bahwa kata Żillah mengandung makna yang negatif, tetapi tidak semua kata Żillah negatif seperti kata Żulla yang merupakan salah satu bentuk kata (tashrif) dari Żillah dalam syair Imam Syafi‟i berikut:

نَمَف ه تايَح َل وهط ل هَلجا َّلهذ َعَّرََتَ ** ًةَعاَس مُّلَعَ تلا َّرهم قهذَي َلَ

Barangsiapa belum pernah merasakan pahitnya menuntut ilmu walau sesaat ** Ia kan menelan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya.”

Jika dilihat dalam syair sepintas, kata Żulla memiliki arti hina tidak ada bedanya dengan arti dari kata Żillah. Akan tetapi, jika kita pahami lebih mendalam syair tersebut, ditemukan perbedaan dalam konteks penyebutan kata Żulla. Kata Żulla disini disebutkan dalam konteks menuntut ilmu, yang berarti mengandung makna positif.

D. Analisa Terhadap Kata Sayyiah 1. Surah an-Nisȃ‟ ayat 78.

































 























 

















“Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan (kemenangan dalam peperangan atau rezeki), mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)".

Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (pelajaran dan nasihat-nasihat yang diberikan) sedikitpun?”

Pada ayat sebelumnya, menceritakan tentang sikap-sikap manusia ketika diwajibkan berperang (jihad). Allah Swt memerintahkan kaum muslimin untuk mempersiapkan kekuatan menghadapi perang dan untuk selalu waspada. Dalam ayat itulah Allah menerangkan tentang orang-orang yang asalnya ingin berperang melawan kaum musyrikin Mekkah, namun setelah diwajibkan berperang, mereka justru enggan melakukannya. Mereka itu adalah orang munafik dan orang-orang yang lemah imannya, dan Allah mencela sikap mereka yang tidak istiqomah itu. Ayat tersebut meluruskan kekeliruan mereka yang enggan berperang (jihad) karena didorong oleh keinginan menikmati kehidupan duniawi sebanyak mungkin, dengan menjelaskan nilai kehidupan dunia dan kesenangannya dibanding dengan kehidupan setelah kematian yaitu diakhirat kelak.

65 Masih berkaitan dengan ayat sebelumnya, dalam ayat ini Allah kembali meluruskan kekeliruan mereka yang lain, yaitu yang mereka kira bahwa mereka dapat terhindar dari kematian atau bisa memperlambat datangnya ajal dengan menghindari peperangan (jihad).29 Allah pertegas dalam ayat ini “Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh”. Kematian adalah sesuatu yang pasti dan tak bisa dihindari. Kita semua pasti akan mati. Tidak akan ada yang selamat dari kematian meskipun dia berada di dalam benteng yang kokoh dan tinggi. Tidak ada yang dapat menjadi penghalang malaikat maut untuk menjalankan tugasnya.30 Allah Swt berfirman,

















































“Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Q.S.

Ali Imran: 185).











“Semua yang ada di bumi itu akan binasa.”(Q.S. ar-Rahman: 26).

29 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, v.2 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 517.

30 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.3 (Depok: GEMA INSANI, 2013), 170.























“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad); Maka Jikalau kamu mati, Apakah mereka akan kekal?” (Q.S. al-Anbiya: 34).

Jika semua makhluk pasti akan mati dan waktu kematiannya tidak dapat ditangguhkan atau dipercepat meski sedetik saja, maka tidaklah patut apabila berperang (jihad) ditakuti. Manusia melakukan jihad atau tidak, ajalnya tetap telah ditentukan.

Setelah itu ayat dilanjutkan dengan ucapan orang munafik yang mengherankan “dan jika mereka memperoleh kebaikan (kemenangan dalam peperangan atau rezeki), mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)".” Ucapan mereka yang menisbatkan kebaikan kepada Allah dan keburukan kepada nabi Muhammad Saw, antara lain bertujuan “memisahkan”

antara Allah dan Rasul-Nya, dan ingin menunjukkan bahwa keburukan bersumber dari nabi Muhammad, maksudnya kami ditimpa demikian itu karena kesialanmu dan kesialan sahabat-sahabatmu.

Menurut para ahli tafsir dan takwil seperti Ibn Abbas dan lainnya mengenai arti  dan , sebagai berikut:31

1. Menyebutkan  artinya keselamatan dan rasa aman, sedangkan

 artinya penyakit dan rasa takut.

2. Pendapat lain berkata,  artinya kaya dan  artinya miskin.

31 Imam al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkaam al-Qur‟an terj.Dudi Rosyadi, dkk, juz.5 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 672.

67 3. Pendapat lain juga berkata,  artinya kenikmatan, kemenangan, dan ghanimah yang didapat pada perang badar dan  artinya bencana, kesengsaraan, dan terbunuh.

4. Pendapat lain berkata,  artinya kelapangan dan  artinya kesempitan.

Allah tidak membenarkan hal itu, maka Allah langsung menunjukkan kedudukan nabi Muhammad di sisi-Nya dengan memerintahkan beliau dalam sambungan ayat ini “Katakanlah:

"Semuanya (datang) dari sisi Allah".” Ada orang yang memahami ayat "Semuanya (datang) dari sisi Allah" dengan pemahaman keliru.

Mereka mengartikan kata  “keburukan” dengan

ةيصعلما

“kemaksiatan” sehingga mereka menganggap bahwa sumber perilaku maksiat dan perilaku baik yang manusia lakukan adalah dari Allah.

Pemahaman ini keliru sebab yang dimaksud dengan  disini adalah bencana kelaparan, kekeringan, dan semacamnya. Kalau seandainya yang dimaksud dengan  adalah tindakan orang-orang buruk dan

 adalah tindakan orang-orang baik, redaksi ayat di atas semestinya berbunyi

"ةنسح ن م َت بَصَا ام"

(kebaikan yang kamu lakukan) dan

"ةئيس ن م َت بَصَا ام"

(keburukan yang kamu lakukan) dimana manusia menjadi subjek yang melakukan objek kebaikan dan keburukan, bukan seperti yang tertera dalam ayat al-Qur‟an dimana subjek yang menciptakan kejelekan dan kebaikan bukanlah manusia, bahkan pada ayat manusialah yang menjadi objek yang terkena kebaikan dan keburukan.32

Asy-Sya‟rawi mengatakan dalam pengertian "Semuanya (datang) dari sisi Allah" jangan hanya menduga bahwa kebaikan adalah apa yang anda nilai baik, dan keburukan adalah apa yang anda tidak

32 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.3 (Depok: GEMA INSANI, 2013), 173.

senangi ! yang mendapat keburukan dalam pandangan agama adalah yang tidak mendapat ganjaran, karena itu yang baik dan yang buruk, semua dari Allah. Dapat dikatakan juga bahwa "Semuanya (datang) dari sisi Allah", dalam arti sesuai dengan ketentuan sunnatullah dan takdir-Nya. Semua sesuai dengan sunnatullah yang berkaitan dengan hubungan sebab akibat sehingga kejelekan atau keburukan mucul disebabkan perilaku dosa manusia atau sebab kelalaian manusia dalam memahami aturan dan kaidah yang telah ditetapkan Allah.

Semua kejadian adalah berdasarkan ketetapan (al-Qada‟) dan kekuasaan (al-Qadar) Allah. Orang yang baik dan buruk, mukmin maupun kafir akan merasakannya.

Persoalan di atas cukup sulit untuk dipahami oleh orang munafik, Allah mengisyaratkan hal tersebut dengan menegaskan bahwa “Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (pelajaran dan nasihat-nasihat yang diberikan) sedikitpun?” Gaya redaksi semacam ini dikenal dalam bahasa Arab dengan tujuan menekankan penafian. Karena memang persoalan ini tidak dapat dipahami secara baik kecuali oleh mereka yang benar cerdas, sedang mereka tidak demikian.33

2. Surah al-Rȗm ayat 36.

































“Dan apabila Kami rasakan sesuatu rahmat kepada manusia, niscaya mereka gembira dengan rahmat itu. dan apabila mereka ditimpa suatu musibah (bahaya) disebabkan kesalahan yang telah dikerjakan oleh tangan mereka sendiri, tiba-tiba mereka itu berputus asa.”

33 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, v.2 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 520.

69

Kata  dalam kalimat        

 adalah in syarthiyyah dan jawabnya adalah ,34 jadi kata 

mewakili fi‟il, dengan mengandung makna

مههَد َتَ , مههَ ت دَجَو

“engkau

dapati mereka” atau

مههاَرَ ت , مههَ ت يَأَر

“engkau lihat mereka”. Seakan-akan Allah berfirman, 

مههَ ت دَجَو

   

 . Sebagian ahli nahwu Bashrah berkata “Jika  merupakan jawab, karena memiliki kaitan dengan kalimat sebelumnya maka posisinya sama dengan huruf fa‟.”35

Dalam ayat ini manusia yang dimaksud adalah sekelompok orang-orang kafir. Kata  disini merupakan kesenangan hidup, kemewahan, harta yang berlimpah, nikmat kesehatan, keluasan, dan kelapangan. Kalimat  yaitu mereka yang begitu bersuka ria hingga menjadi lupa diri, sombong dan congkak. Apabila Allah Swt memberi suatu nikmat kepada sebagian manusia, dia begitu senang, bangga, lupa diri, dan sombong terhadap orang lain. Namun, apabila dia tertimpa suatu kesulitan atau keburukan, dia pesimis dan berputus asa dari rahmat Allah Swt, benci, kecewa, frustasi dan marah.

Padahal, keburukan dan bala yang menimpanya itu adalah akibat kemaksiatannya sendiri.

Dalam konteks nikmat pada ayat ini, Allah Swt tidak menyebutkan sebabnya karena nikmat memang murni kemurahan dan karunia-Nya.

Sedangkan dalam konteks keburukan, bala dan azab, Allah menyebutkan sebabnya yaitu kemaksiatan-kemaksiatan yang diperbuat, dengan maksud untuk mengecam manusia yang tabiatnya

34 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jilid.11 (Depok: GEMA INSANI, 2013), 109.

35 Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari, Jami‟ Al Bayan an Ta‟wil Ayi al-Qur‟an terj.Akhmad Affandi, juz.20 (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2008), 665.

buruk dan menegaskan makna keadilan.36 Adapun orang mukmin, orang yang dilindungi dan diberikan taufiq oleh Allah, dia senantiasa bersyukur ketika berkelapangan dan senantiasa bersabar ketika mengalami bala maupun musibah.

Dari ayat ini bisa disimpulkan bahwa orang-orang kafir adalah orang-orang yang menganut paham oportunisme yaitu paham yang semata-mata hendak mengambil keuntungan untuk diri sendiri dari kesempatan yang ada tanpa berpegang pada prinsip tertentu.37

E. Analisa terhadap kata-kata keburukan dalam al-Qur’an 1. Khabīṡ

Menurut bahasa al-khabits artinya sesuatu yang kotor.

Menurut istilah, al-khabits adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh tabiat yang salimah dan ditinggalkannya, seperti bangkai, darah yang keluar dan binatang yang diharamkan seperti babi.38

Khabīṡ merupakan kebalikan dari kata thayyib yang maksudnya adalah sesuatu yang dibenci baik secara indrawi maupun akal termasuk di dalamnya kesalahan dalam akidah, dusta dalam perkataan dan buruk dalam perbuatan.39

Dalam Tafsir Jalalain disebutkan bahwa Khabīṡ bermakna orang munafik.40 Dalam ayat lain Khabīṡ dipakai untuk kebiasaan yang paling buruk dari kaum Sodom yang mereka itu

36 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, jil.11 (Depok: GEMA INSANI, 2013), 111-112.

37 Tim penyusun kamus pusat bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi.3, cet.4 (Jakarta: Balai Pustaka, 2007).

38 Ahsin W.al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur‟an (Jakarta: AMZAH, 2012), 150.

39 Al-Raghib Al-Ashfahani, Mufradât fî Gharîb Qur‟ân (Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, 2002), 141.

40 Imam Jalaluddin Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti, Tafsîr al-Jalalain, Terj. Bahrun Abu Bakar, juz 1 (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2008), 249.

71 dideskripsikan sebagai orang yang sû‟ dan fâsiq. Sebagaimana tersebut dalam surah al-Anbiyâ‟/21: 74.

Dari term Khabīṡ dan turunannya dapat diketahui bahwa keburukan dengan istilah ini menunjukkan keburukan yang banyak berkaitan dengan keburukan yang bersifat umum seperti perbuatan homoseksual, sesuatu yang mudah diketahui oleh orang banyak dan terjadi karena adanya godaan setan, bahkan setan pun juga termasuk dalam kategori pelaku Khabīṡ, selain itu juga berkaitan dengan keburukan dalam akidah.

Dalam kitab al-Mu‟jam al-Muhfahras Li al-Fȃdzi al-Qur‟an al-Karim karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, terdapat 12 ayat dari 9 surah dalam al-Qur‟an yang mengunakan kata Khabīṡ dan turunannya.

2. Syarrun

Syarrun menunjukkan pengertian segala sesuatu yang dibenci bertolak dengan kebalikannya yaitu al-Khair merupakan segala sesuatu yang disukai.41 Dalam al-Qur‟an term syarrun disebutkan sebanyak 25 kali dalam 22 surah dan 25 ayat serta dengan bentuk jamaknya asyrâr 1 kali dalam 1 surah dan ayat. Term syarrun ini hanya berbentuk masdar, tidak ada bentuk lain.42

Keburukan berdasarkan istilah ini lebih menggambarkan keburukan yang tidak mudah diketahui oleh masyarakat banyak, melainkan hanya oleh orang-orang tertentu wajar bila al-Qur‟an mengisyaratkan bahwa untuk sampai pada al-khair dan menghindari keburukan ini mesti diajak bukan diperintahkan.43

41 Al-Raghib Al-Ashfahani, Mufradât fî Gharîb Qur‟ân (Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, 2002), 257.

42 M. Fuad Abd al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al-Karîm (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), 480.

43 Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam al-Qur‟an, terj. Agus Fahri Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), 280.

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa konsep keburukan dalam term al-syarr, memiliki kecenderungan dalam menggambarkan keburukan yang berdimensi sosial.

Dalam kitab al-Mu‟jam al-Muhfahras Li al-Fȃdzi al-Qur‟an al-Karim karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, terdapat 30 ayat dari 22 surah dalam al-Qur‟an yang mengunakan kata Syarrun dan turunannya.

3. Żillah

Adz-Żillah berarti proses atau upaya pengubahan sesuatu yang baik menjadi buruk, kemuliaan menjadi kehinaan. Kata Żillah merupakan istilah lainnya yang mengandung pengertian sepadan dengan korupsi 44

Ahli Żillah (pelaku amal buruk), komunitas buih, Ungkapan ahli Żillah ini dapat disimak antara lain dalam QS Ra‟du 13:25, Ibrahim 14:18, Ali Imran 3:112, Baqarah 2:61. Kesimpulan dari beberapa ayat tersebut ialah putus hubungan dengan Tuhan dan insan.45

Pemicu putus hubungan dengan Tuhan dan insan ini adalah pola hidup tamak, rakus, serakah (pola hidup yang cenderung memperturutkan hawa nafsu tnpa kendali) pola hidup kikir, pelit, kedekut (pola hidup yang cenderung mengikuti gejolak, gejala egoisme tanpa batas, yang monopoli, cenderung makan tebu dengan akar-akarnya, menguasai dari hulu sampai ke hilir), pola hidup angkuh, pongah, congkak, pamer (pola hidup ambisius, yang begitu terpesona dengan kemegahan diri sendiri).

44 Fuad Fachruddin, Intoleransi Agama terhadap Korupsi, Senin, 03 Des 2018, 03:30 WIB,

44 Fuad Fachruddin, Intoleransi Agama terhadap Korupsi, Senin, 03 Des 2018, 03:30 WIB,

Dokumen terkait