• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan Langkah-langkah Metode Inkuiri

2. Analisis Amanat Menggunakan Metode Inkuiri

Novel Pertemuan Dua Hati dibagi atas enam bagian. Pada setiap bagian peneliti akan memaparkan analisis amanat yang terdapat dalam novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini.

Moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya (Nurgiyantoro, 1995: 321). Moral dan tema dipandang memiliki kemiripan karena keduanya merupakan sesuatu yang terkandung dalam novel. Moral dalam karya sastra dapat dipandang sebagai amanat, pesan, message. Amanat dalam cerita, menurut Kenny (via Nurgiyantoro, 1995: 322)

dimaksudakan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis. Secara umum, moral mengarah pada pengertian tentang ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila (Depdiknas, 2005).

Karya sastra yang mengandung tema sesungguhnya merupakan suatu penafsiran atau pemikiran tentang kehidupan. Permasalahan yang terkandung di dalam tema atau topik cerita adakalanya diselesaikan secara positif (happy ending). Amanat terdapat pada sebuah karya sastra secara implisit ataupun secara eksplisit. Implisit, jika jalan keluar ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah lau tokoh menjelang cerita akhir (Sudjiman, 1988: 57). Eksplisit, jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan, dan sebagainya, berkenaan dengan gagasan yang mendasari cerita itu (Sudjiman, 1988: 57-58).

Berikut ini akan dianalisis amanat dalam novel Pertemuan Dua Hati, untuk mempermudah proses analisis amanat, penulis membaginya ke dalam beberapa bagian seperti berikut.

a. Bagian Pertama

Bagian ini mengisahkan tentang kepindahan keluarga Bu Suci karena suaminya dipindah tugaskan ke Semarang. Hal itu menyebabkan Bu Suci meninggalkan pekerjaan lamanya di Purwodadi. Meskipun harus pindah, Bu Suci gembira terhadap kenaikan pangkat suaminya.

Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini: 2.1.1 Bu Suci dan keluarganya pindah dari Purwodadi ke Semarang.

Mereka mengontrak satu rumah untuk ditinggali oleh mereka sekeluarga. Rumah itu terlihat paling cocok dengan selera Bu Suci dan sesuai dengan dana yang mereka miliki. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

Rumah yang dikontrak suamiku besar.

Terlalu besar kelihatannya dari luar bagi kami berlima. Tetapi begitu orang masuk, berulah ketahuan bahwa sebenarnya kamarnya hanya dua. Bentuk ruang tengah memangjang, sehingga member kesan bahwa rumah itu luas. Meskipun cukup lama mencari, itulah satu-satunya tempat bernanung yang dikira suamiku paling sesuai dengan cita-rasaku. Apalagi harus pula memperhitungkan jumlah uang yang tersedia guna keperluan tersebut. Yang paling penting, kamar mandi, sumur, dan kamar kecil ada di dalamnya. (Dini, 2005: 9).

Amanat secara eksplisit pada bagian 2.1.1 yaitu belanjakan uang kita sesuai dengan kebutuhan. Tidak perlu muluk-muluk dalam membeli sesuatu, namun harus dilandasi dengan seberapa besar dana yang kita miliki.

2.1.2 Bu Suci menggunakan lingkungan sebagai tempat belajar anak-anaknya. Salah satunya adalah pasar. Di pasar Bu Suci menjelaskan bermacam-macam binatang ternak yang diperjualbelikan. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

Aku menyadari bahwa letak pasar itu sangat bermanfaat. Baik bagi orang yang mau berbelanja maupun bagi pengamat biasa. Seringkali kuberhenti di sana pada hari-hari pasaran hewan. Kalau kebetulan aku berada di sana, kuberikan kata-kata tambahan seperlunya pada percakapan mereka mengenai ternak itu (Dini, 2005: 17).

Amanat secara implisit pada bagian 2.1.2 yaitu lingkungan dan alam sekitar kita merupakan tempat belajar yang paling baik. Sebab kita dapat melihat dan mempelajari berbagai hal secara langsung.

2.1.3 Setelah pindah ke Semarang, anak kedua Bu Suci tiba-tiba sakit. Dia sering demam tinggi dan mengalami kejang-kejang. Kemudian Bu Suci dan suaminya memeriksakannya ke dokter perusahaan. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

Aku sangat prihatin. Dokter perusahaan tidak memberi penjelasan lain. Tetapi melihat caranya memriksa seluruh badan anakku, diulangi pertanyaan-pertanyaan mengenai demam dan kekejangannya. Hatiku merasa bahwa dokter mempunyai sesuatu pikiran yang tidak dikatakannya kepada kami berdua. Namun di samping itu, aku percaya, bahwa Tuhan selalu mendengarkan dan memperhatikan yang mencintaiNya. Semoga dia memberi kekuatan kepadaku, dan melimpahkan kesejahteraan kepada keluargaku. Dengan kepercayaan serta keyakinan ini aku akan mulai bekerja kembali (Dini, 2005: 21).

Amanat secara eksplisit pada 2.1.3 yaitu berdoalah selalu kepada Tuhan. Sebab Tuhan pasti akan menolong dan mendengarkan doa-doa umatnya.

b. Bagian Kedua

Bagian ini mengisahkan tentang Bu Suci yang sudah kembali mengajar di sekolah. Di sekolah ini, Bu Suci menemukan seorang murid sukar yang belum pernah dijumpai sewaktu ia mengajar selama sepuluh tahun di Purwodadi.

2.1.4 Setelah Bu Suci kembali mengajar, Bu Suci tahu bahwa ada murid sukar di kelasnya. Murid ini tidak disukai oleh teman-teman sekelasnya. Lalu Bu Suci mencoba mencari tahu perihal murid sukarnya itu kepada Kepala Sekolah dan rekan-rekan guru. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

Waskito memang dianggap sebagai anak yang tidak tetap, atau labil. Sifatnya selalu berubah. Selama tiga hari berturut-turut dia mungkin menunjukkan sikap tiga macam. Keterlibatannya di dalam kelas demikian pula. Kepala Sekolah konon masih berharap agar Waskito tidak dimasukkan golongan murid sukar. Selama ini persoalannya tidak diremehkan. Hanya saja, masih ditunggu perkembangan berikutnya. Siapa tahu, barangkali murid itu tidak kembali lagi ke sekolah kami! Tentu saja ini harapan pengecut! Tetapi memang begitulah yang sebenarnya. Masing-masing guru sudah terlalu sibuk mengurusi diri dan keluarganya. Di samping mengajar di SD, kebanyakan mempunyai kerja sampingan lain yang memungkinkan mereka mendapat tambahan penghasilan. Buat apa repot-repot mengurus anak sukar yang bukan saudara dan bukan kawan! Tugas pendidik memang bagus dan merupakan tujuan cita-cita. Namun zaman yang berobah cepat menuntut cara dan biaya hidup sedemikian menantang rakyat rendahan, termasuk pegawai negeri setingkat guru SD (Dini, 2005: 30-31).

Amanat secara implisit pada bagian 2.1.4 yaitu dalam melakukan suatu pekerjaan bukan semata-mata hanya untuk mendapatkan uang saja. Namun harus disertai dedikasi dan kesungguhan yang tinggi dalam menjalankannya. Agar hak dan kewajiban menjadi seimbang.

2.1.5 Pihak sekolah mengirimkan surat menanyakan mengapa Waskito tidak masuk, sedangkan Bu Suci mengirimkan surat pribadi terhadap nenek Waskito dan mengatakan ingin berkenalan

dengannya. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

Perbincangan dengan para guru menghasilkan dua keputusan. Dari pihak sekolah, akan dikirim surat menanyakan mengapa Waskito selama ini tidak masuk. Dari pihakku sendiri, akan kukirimkan surat kepada si Nenek. Isinya sangat pribadi, mengatakan keinginanku berkenalan. Aku ingin menunjukkan turut berprihatin mengenai cucu sulungnya. Aku tidak yakin apakah ini berguna bagi perkembangan Waskito selanjutnya. Yang jelas, aku wajib mencoba melakukan pendekatan terhadap murid kelasku. Keseimbangan dan ketenangan kelas yang menjadi tanggung jawabku sangat mempengaruhi karirku. Di samping itu, kedudukanku sebagai ibu rumah tangga hanya dapat kujalankan dengan baik jika aku tidak menemukan kesulitan di lapangan kerjaku. Keduanya saling berkaitan. Satu dan lainnya harus sejajajr dan seimbang supaya hatiku tenteram (Dini, 2005: 33).

Amanat secara eksplisit pada bagian 2.1.5 yaitu sebagai guru yang profesional, sudah seharusnya kita mengenal dan mengetahui bagaimana latar belakang keluarga siswa kita.

c. Bagian Ketiga

Bagian ini menceritakan tentang bagaimana Bu Suci mencari informasi mengenai Waskito kepada nenek Waskito. Meskipun pada saat yang bersamaan, kondisi anak kedua Bu Suci juga masih memerlukan pemeriksaan yang intensif. Bu Suci berusaha menjalankan perannya sebagai guru dan juga sebagai seorang ibu.

Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini: 2.1.6 Waskito tumbuh dalam keluarga yang kurang memberikan

perhatian kepadanya. Orangtuanya selalu memberikan apa saja yang diinginkan oleh Waskito, namun tidak memberikan kasih

sayang dan perhatian yang sebenarnya diperlukan oleh Waskito. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

Semua kemauan si anak dituruti katanya kerena cinta dan sayang kepada anak. Aku sependat dengan nenek Waskito bahwa bukan kecintaan ataupun kesayangan melainkan kelemahan. Anak-anak harus diajar berdisiplin atau keteraturan dalam hidup sehari-hari. Ini akan memberi pengaruh besar dalam cara berpikirnya kelak pada umur dewasa (Dini, 2005: -38).

Amanat secara eksplisit pada bagian 2.1.6 yaitu memenuhi semua keinginan anak bukanlah sikap yang baik. Anak juga perlu diajarkan sikap disiplin yang akan membuat hidupnya menjadi teratur.

2.1.7 Bu Suci mengambil keputusan untuk tetap membantu murid sukarnya yaitu Waskito dan memeriksakan anak keduanya yang sedang sakit. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

Anak dan murid. Bukan anak atau murid. Ya, akhirnya itulah yang harus kupilih: kedua-duanya. Aku ingin, dan aku minta kepada Tuhan, agar diberi kesempatan mencoba mencakup tugasku di dua bidang. Sebagai ibu dan sebagai guru. Dengan pertolonganNya, pastilah aku akan berhasil. Karena Dia mahabisa dalam segala-galanya.

Sebelum kembali tidur, aku hendak langsung berhadapan dengan Dia. Aku melakukan sembahyang Tahajud untuk mencari jalan terang (Dini, 2005: 47). Amanat secara eksplisit pada bagian 2.1.7 yaitu sebagai seorang guru, kita berkewajiban untuk menolong murid yang membutuhkan bantuan kita namun tidak meninggalkan peran kita dalam keluarga. Kita tidak dapat memilih salah satu, sebab semuanya merupakan kewajiban yang harus dipenuhi.

d. Bagian Keempat

Bagian ini mengisahkan tentang penyakit apa yang sebenarnya diderita oleh anak kedua Bu Suci dan kembalinya Waskito ke sekolah. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

2.1.8 Bu Suci dan suami prihatin terhadap penyakit yang diderita anak keduanya. Namun mereka tetap bersyukur karena penyakit anaknya diketahui ketika mereka sudah pindah ke Semarang. dengan perawatan dan pemeriksaan yang intensif maka penyakit anak keduanya dapat disembuhkan. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

Disertai keprihatinan yang besar, sabar dan tekun kami mengikuti nasihat Dokter. Di samping itu kami menyadari bahwa kesedihan tidak perlu dibesar-besarkan, tidak perlu direntang-panjangkan hingga berlarut-larut. Kami justru harus bersyukur, karena penyakit anak kami diketahui pada waktu ini. Sekarang kami tinggal di Semarang. Di kota besar kami mendapatkan kemudahan serta kemungkinan-kemungkinan perawatan. Dokter juga menceritakan, bahwa lima belas tahun yang lalu, bahkan di luar negeri pun, orang-orang masih sukar diinsafkan bahwa epilepsi adalah penyakit yang dapat disembuhkan (Dini, 2005: 50).

Amanat secara eksplisit pada bagian 2.1.8 yaitu patuhilah nasihat dan perintah dokter ketika kita sedang sakit. Sebab dokter merupakan tenaga medis yang sudah ahli dalam bidang kesehatan. 2.1.9 Ketika Bu Suci kembali mengajar setelah beberapa hari harus

memeriksakan anak keduanya. Ternyata Waskito juga sudah kembali bersekolah lagi. Pada pertemuan pertama mereka, Bu Suci sedang memindahkan tempat duduk murid-muridnya agar

berganti-ganti teman. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

Aku mulai hafal nama isi kelasku. Sejak mulai mengajar, aku mempunyai cara supaya muridku tidak sling menggantungkan diri pada tetangga sebelahnya. Sekali-sekali, tanpa pemberitahuan aku menyuruh mereka ganti bangku. Ada anak yang terlalu lemah dan mudah terpengaruh oleh teman yang duduk berdekatan. Kalau terlalu lama berdampingan, anak itu akan menjadi bayangan teman sebangkunya. Belum tentu pegaruh iru membuat kebaikan. Dengan perpindahan ini aku mengharapkan memiliki kelas yang berpribadi. Aku ingin memiliki murid yang kelak menjadi manusia yang beridiri sendiri. Kepercayaan kapada diri sendiri juga merupakan keteguhan yang sangat penting dalam pengajaran.

Hari itu aku menyuruh murid-muridku berpindah tempat. Meskipun itu adalah yang pertama kalinya kutrapkan di sekolahku yang baru, tetapi anak didikku sekelas hanya menunjukkan rasa keheranan yang lemah. Barangkali mereka terlalu lega melihatku kembali mengajar setelah berhari-hari muncul secara sekilas-sekilas.

Semua menurut, berpindah ke bangk-bangku yang kutunjuk. Ketika sampai pada giliran Waskito, dia membantah:

“Tidak, Bu! Saya di sini saja!”

Meskipun aku sudah mengira dan bersiap-siap akan menerima sanggahan dari murid itu, namun aku agak terperajat mendengar jawabannya. Kutahan diriku supaya tetap bersikap tidak mengacuhkan, sambil lalu melemparkan pertanyaan:

“Mengapa?”

Dan langsung kuteruskan mengatur anak-anak yang lain (Dini, 2005: 53−54).

Amanat secara eksplisit pada bagian 2.1.9 yaitu dengan berganti teman yang berdekatan akan membuat siswa lebih percaya diri dan tidak bergantung pada teman di samping kanan-kirinya. Dengan begitu, kemungkinan terpengaruh menjadi kecil. Selain itu, dengan berpindah

tempat duduk maka siswa akan saling mengenal satu sama lain teman satu kelasnya.

e. Bagian Kelima

Bagian ini mengisahkan tentang bagaimana akhirnya Bu Suci mengetahui cara untuk mendekati Waskito. Bu Suci memahami apa yang disukai Waskito dengan meminta bantuan sesama rekan guru dan mengamati gerak-gerik anak tersebut. Meskipun ternyata dengan cara tersebut sikap Waskito belum benar-benar berubah.

Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini: 2.1.10 Waskito menyukai hal-hal yang berhubungan dengan keterampilan

tangan, begitu juga dengan sebagian besar murid di kelas Bu Suci. Oleh karena itu, Bu Suci memberikan tugas membuat bejana sederhana kepada murid-muridnya. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

Karena kulihat bukan hanya Waskito yang tertarik pada peralatan pabrik rakyat tersebut, maka aku merencanakan menunjukkan teori bejana berhubungan di kelasku. Kubentuk kelompok-kelompok untuk bekerja bersama. Setelah kugambar modelnya di papan tulis, kupaparkan keterangannya sesuai dengan kemampuan pengertian anak-anak kelas empat, setiap kelompok kuberi tugas membikin alat yang sama (Dini: 2005: 65).

Amanat secara eksplisit pada bagian 2.1.10 yaitu sebagai guru harus pintar mencari akal agar anak-anak tertarik terhadap pelajaran. Dengan begitu, anak-anak akan menjadi lebih dekat dan terbuka terhadap guru.

2.1.11 Setelah tiga bulan berjalan, tiba-tiba Waskito mengamuk di depan kelas. Hal ini menyebabkan banyak rekan guru mengusulkan agar Waskito di keluarkan saja. Namun, Bu Suci tetap berkeras hati mempertahankan muridnya itu. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

Peristiwa itu mengoncangkan kepercayaan sekolah kepada Waskito. Terus terang banyak rekan guru yang mengusulkan agar murid itu dikeluarkan saja. Tingkat kenakalan sudah terlampaui. Sekarang sudah sampai pada taraf membahayakan. Kami rapat lama merundingkan dia. Hari itu kami tiba di kelas hanya melihat permainan gunting. Sedangkan menurut murid-murid lain, sebelum Kepala Sekolah dan aku datang, Waskito melempar-lemparkan korek api yang telah dinyalakan ke segala penjuru.

Dengan susah payah aku mempertahankan muridku. Para rekan yang menginginkan pengeluaran Waskito ternyata lebih banyak dari yang mendukungku. Tetapi aku bersitahan (Dini, 2005: 69).

Amanat secara eksplisit pada bagian 2.1.11 yaitu mempertahankan murid bermasalah sama dengan menolongnya untuk berubah menjadi lebih baik. Sebab setiap murid berhak diberi kesempatan untuk memperbaiki sikap.

2.1.12 Sebagai guru Bu Suci sadar bahwa tugas seorang guru tidak hanya mengajar namun juga membantu murid-murid sukar seperti Waskito agar dapat berubah menjadi lebih baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

“Kalau setiap kali dia marah, kita yang menanggung akibatnya, kita menjadi korbannya, itu tidak adil! Tidak termasuk dalam program maupun kurikulum! Tugas kita mengajar!”

“Berbicara mengenai tugas”, ucapku menyela, karena terlalu bersenang hati mendapat kesempatan mengutarakan isi hatiku mengenai pendidikan. “Saya kira

tugas kita juga termasuk menolong murid-murid sukar. Selama hampir tiga bulan, ya hampir tiga bulan sekarang saya bertanggung-jawab akan kelas dan murid ini, saya merasa mulai mengenal dan mengerti dia. Barangkali dia juga demikian terhadap saya. Tetapi kami berdua masih memerlukan waktu lagi” (Dini, 2005: 69).

Amanat secara eksplisit 2.1.12 yaitu tugas seorang guru tidak hanya mengajar dan memberikan pengetahuan tentang pelajaran tertentu kepada muridnya. Namun juga mengenal dan memahami murid-muridnya.

f. Bagian Keenam

Bagian ini mengisahkan tentang keberhasilan Bu Suci dalam menenangkan Waskito dan mengambil hati Waskito sehingga Waskito mau menjawab sediki-sedikit pertanyaan dari Bu Suci. Meskipun kadang-kadang Waskito masih sulit untuk mengendalikan dirinya. Namun lama-kelamaan hal tersebut dapat diatasinya. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

2.1.13 Kejadian Waskito mengamuk di depan kelas membuat Bu Suci mengawasi murid-muridnya secara intensif. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

Sejak kejadian yang disebut “kecelakaan” oleh murid-muridku itu, di waktu istirahat aku lebih sering berada di dalam kelas. Kesibukan selalu ada. Selain kerja sambilan sulaman atau menolong anak-anak dalam keterampilan mereka, tidak jarang aku menyiapkan pelajaran yang termasuk program. PR biasanya kami periksa bersama-sama. Tetapi sesudahnya, buku murid kuminta supaya dikumpulkan. Aku memberi nilai kerapian mereka. Dengan demikian anak didikku merasa dikendalikan karena selalu kuteliti buku-bukunya. Aku mengharapkan

menanamkan disiplin kerapian dan kebersihan di samping ketekunan mengerjakan pekerjaan (Dini, 2005: 73). Amanat secara eksplisit pada bagian 2.1.13 yaitu sebagai seorang guru kita harus mengawasi murid-murid kita. Sebab baik tidaknya sikap serta nilai mereka merupakan tanggung jawab kita sebagai guru.

2.1.14 Berkat beberapa pancingan pertanyaan dari Bu Suci akhirnya Waskito menceritakan ke mana dia pergi ketika membolos. Waskito juga bercerita bahwa ia melakukan hal itu karena orangtuanya melarangnya memancing tanpa memberikan alasan yang jelas. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

Pada kesempatan lain, aku berhasil mengetahui apa yang telah dikerjakannya ketika ia membolos selama sepekan penuh. Katanya dia memancing di Banjirkanal! Dia gemar sekali memancing. Kalau hari-hari Minggu atau liburan ia meminta izin kepada orangtuanya selalu ditolak. Sebab itu dia tidak minta izin lagi!

“Mengapa tidak diperbolehkan?” “Tidak tahu!” sahut murid sukarku.

“Mereka tidak menerangkan alasan larangan itu?” “Tidak!”

Menurut pendapatku, tindakan itu aneh. Biasanya apabila sesuatu perbuatan tidak disetujui, harus dijelaskan sebab-sebabnya. Kecuali jika anak itu telah berkali-kali berbuat kesalahan dengan menerjang larangan yang sama itu, maka orangtua berkata: tidak! Tanpa ada komentar lainnya (Dini, 2005: 77).

Amanat secara eksplisit pada bagian 2.1.14 yaitu sebagai orangtua kita harus memberikan alasan yang jelas kepada anak kita mengapa beberapa tindakan tidak boleh dilakukan. Dengan begitu,

anak kita akan tumbuh sebagai manusia yang mengerti mana yang baik dan mana yang tidak baik.

2.1.15 Setelah Bu Suci merasa sudah dekat dengan Waskito dan menganggap bahwa Waskito sudah berubah dan tidak perlu diawasi lagi. Ternyata Tuhan berkata lain, Waskito mengamuk lagi dan menginjak-injak pot tanaman dalam pelajaran keterampilan. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan di bawah ini:

Ejekan kelakar itu diterimanya dengan cara terlalu serius. Perlahan dan sejelas mungkin aku berusaha menerangkan tentang sikap anak-anak yang bermaksud bergurau. Begitulah caranya hidup bersama-sama, berkelompok dengan orang lain. Di rumah Bu De-nya dia mau mengalah dan menerima perlakuan saudara-saudara sepupunya. Di kelas sama saja, kadang-kadang bermain-main dan semua setuju. Tetapi di lain waktu berselisih karena tidak sependapat. Namun demikian tidak perlu disertai perkelahian. Berbantah atau berdebat tidak ada jeleknya. Itu bahkan menunjukkan bahwa pikiran kita terus berjalan. Kalau hati kesal, harus berusaha mengendalikan diri (Dini, 2005: 83).

Amanat secara eksplisit pada bagian 2.1.15 yaitu hidup bersama-sama dengan orang lain pastilah akan menimbulkan pendapat yang berbeda-beda. Namun perbedaan itu tidak perlu disertai dengan perkelahian. Jika merasa kesal dengan seseorang berusahalah mengendalikan diri sebaik mungkin.

2.1.16 Waskito mengamuk karena teman-temannya mengejek tanamannya yang kurang subur. Bu Suci mendengarkan penjelasan Waskito dengan baik dan memberikan nasihat. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

“Tidak ada orang yang baik atau pandai atau cekatan dalam segala-galanya. Kamu terampil dalam hal

pertukangan, otakmu cerdas meskipun pelajaranmu biasa-biasa saja. Bukankah itu sudah sangat mencukupi? Kalau memang kamu hendak membalas dendam terhadap teman-temanmu, tidak dengan cara membanting dan menginjak-injak tanaman mereka. Tekunilah pelajaranmu misalnya! Bejanamu di pasang di ruang keterampilan, dipergunakan sebagai contoh untuk kelas-kelas lain. Itulah prestasimu! Tunjukkan lain-lainnya! kalau memang kamu lemah dalam tumbuh-tumbuhan biji, itu bukan merupakan masalah. Cari sebab-sebabnya barangkali kurang air, atau kurang matahari. Anak seperti kamu tidak seharusnya cepat berputus-asa. Memalukan sekali!” (Dini, 2009: 84). Amanat secara implisit pada bagian 2.1.16 yaitu ketika seseorang member kritikan kepada kita, kita harus menerima dan

Dokumen terkait