• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan Langkah-langkah Metode Inkuiri

1. Analisis Tema Menggunakan Metode Inkuiri

Novel Pertemuan Dua Hati dibagi atas enam bagian. Pada setiap bagian peneliti akan memaparkan analisis tema yang terdapat dalam novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini. Tema (theme) menurut Stanton dan Kenny (via Nurgiyantoro, 1995: 67) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun, tema yang disajikan dalam novel bermacam-macam jenisnya. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di mana teks sebagai struktur sematis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko & Rahmanto via Nurgiyantoro, 1995: 68).

Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita yang bersifat menjiwai seluruh bagian cerita. Untuk menemukan tema sebuah karya fiksi harus disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu dalam cerita. Stanton menyatakan bahwa tema kurang lebih bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose).

Sudjiman (1988, 93) mengemukakan tiga langkah yang dapat digunakan untuk menentukan tema. Pertama, melihat persoalan yang paling menonjol. Kedua, persoalan mana yang paling banyak menimbulkan konflik lalu menyebabkan terjadinya peristiwa. Ketiga, menentukan dan menghitung waktu penceriteraan yang diperlukan untuk menceriterakan peristiwa yang ada dalam karya sastra. Ketiga langkah tersebut dilakukan secara berurutan.

Berikut ini akan dianalisis tema dalam novel Pertemuan Dua Hati, untuk mempermudah proses analisis tema, penulis membaginya ke dalam beberapa bagian seperti berikut.

a. Bagian Pertama

Bagian ini mengisahkan tentang kepindahan keluarga Bu Suci karena suaminya dipindah tugaskan ke Semarang. Hal itu menyebabkan Bu Suci meninggalkan pekerjaan lamanya di Purwodadi. Meskipun harus pindah, Bu Suci gembira terhadap kenaikan pangkat suaminya. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

1.1.1 Bu Suci dan keluarganya harus pindah ke Semarang karena suaminya dipindah tugaskan ke kota besar itu. Bu Suci harus meninggalkan pekerjaannya di Purwodadi. Hal itu dapat dibuktikan dengan kutipan berikut:

Pindah rumah selalu merepotkan. Apalagi pindah ke kota lain. Tetapi hal ini sudah kami pertimbangkan semasak-masaknya. Suamiku mulai bekerja sebagai montir biasa. Kemudian, sebagai wakil bapakku, keahliannya di bidang mesin semakin menonjol. Perusahaan pusat memperhatikan kelebihannya dari montir-montir lain. Pindah ke Semarang, dia harus mengawasi kelancaran jalannya semua kendaraan angkutan yang keluar dari bengkel. Ini sangat penting bagi dirinya. Meskipun aku harus meninggalkan Purwodadi tempatku bekerja selama ini, aku tururt gembira akan kenaikan pangkat suamiku (Dini, 2005: 12).

Persoalan yang menonjol pada bagian 1.1.1 yaitu bersyukur. Bu Suci bersyukur atas kenaikan pangkat suaminya. Walaupun hal tersebut menyebabkan Bu Suci dan keluarganya harus meninggalkan Purwodadi dan pindah ke Semarang.

1.1.2 Bu Suci akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai guru SD di tempat anak sulung dan anak keduanya bersekolah. Namun, sesuatu terjadi pada anak keduanya. Hal itu dapat dibuktikan dengan kutipan berikut:

Lalu kami membicarakan kapan aku mulai mengajar. Kepala Sekolah menganjurkan supaya secepat mungkin aku masuk kerja. Sementara berbincang-bincang mengenai hari aku akan memulai karir baruku itu, aku berpikir kepada anakku kedua. Mudah-mudahan dia segera sehat kembali. Sejak kami pindah, seringkali dia rewel, menangis tanpa sebab nyata kelihatan. Kalau ditanya, katanya kepala pusing. Lain dari kebiasannya, dia cepat kembali tersinggung. Disebabkan sesuatu yang remeh seringkali bertengkar dengan adiknya. Suamiku berkata, barangkali udara kota Semarang kurang cocok bagi dia (Dini, 2005: 19).

Persoalan yang menonjol pada bagian 1.1.2 yaitu konflik batin. Bu Suci bahagia karena dapat mengajar kembali, namun dia juga cemas terhadap sikap anak keduanya yang berbeda tidak seperti biasanya.

b. Bagian Kedua

Bagian ini mengisahkan tentang Bu Suci yang sudah kembali mengajar di sekolah. Di sekolah ini, Bu Suci menemukan seorang murid sukar yang belum pernah dijumpai sewaktu ia mengajar selama sepuluh tahun di Purwodadi. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

1.1.3 Bu Suci akhirnya mengajar di sekolah. Ia bersyukur mendapat pekerjaan di SD yang fasilitasnya memadai. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

Aku berterima kasih kepada Tuhan karena teringat nasib beberapa bekas kawan sekolahku. Setahun sekali kami masih saling berkabar. Dua daripadanya turut transmigrasi ke pelosok Pulau Kalimatan dan Sumatra. Masing-masing menceritakan kesulitan dan kegigihan mereka. Keduanya harus merangkap mengajar murid-murid dari tingkatan kelas berbeda. Yang di Kalimantan bahkan bercerita, bahwa setiap kali hujan deras turun, murid-murid disuruh pulang. Karena atap bangunan sekolah terlalu rapuh, guru khawatir akan terjadinya kecelakaan. Tiada hentinya aku mengulangi cerita kawanku itu kepada anakku dan murid-muridku. Aku ingin menanamkan kesadaran yang sama, betapa bahagia serta beruntung kami mempunyai sekolah bagus dan kokoh. Guru bersama murid dapat menunaikan tugas masing-masing tanpa rasa ketakutan (Dini, 2005: 25). Persoalan yang menonjol pada 1.1.3 yaitu bersyukur. Bu Suci beruntung dapat bekerja kembali dan bekerja di sekolah yang memiliki fasilitas yang bagus serta bangunan sekolah yang kokoh tidak seperti yang dialami sebagian dari teman-temannya yang bekerja menjadi guru di luar pulau.

1.1.4 Ternyata ada seorang murid yang tidak disukai di kelas Bu Suci. Anak tersebut sudah beberapa hari tidak masuk sekolah. Tapi tidak ada satu orang temannya yang mau menjenguk dan menanyakan mengapa ia membolos sebab anak tersebut suka berbuat jahat terhadap teman-temannya. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

“Biar Waskito tidak masuk, Bu! Kami malahan senang!”

Sekali lagi aku terkejut oleh suara yang tiba-tiba ini. Aku menoleh ke arah si pembicara, murid perempuan.

“Ya, betul, Bu! Kelas tenang kalau dia tidak ada,” suara murid laki-laki lain yang sama tegasnya menguatkan pendapat itu.”

“O, ya?” tenang aku menahan nada dan isi kalimatku. “Mengapa? Karena Waskito suka berguarau? Bikin keributan?”

“Oh, tidak! Bukan berguarau! Kalau itu, kami juga suka!”

“Dia jahat! Jahat sekali, Bu!” tambahan itu terdengar dari arah murid perempuan yang sama.

“Ah, masa!” sekali itu terloncat isi hatiku yang sebenarnya, tanpa ada kekangan maupun penahanan perasaan.

Sungguh-sungguh aku semakin heran mengetahui Waskito demikian dihindari kawan sekelasnya (Dini, 2005: 28).

Persoalan yang menonjol pada 1.1.4 yaitu penasaran. Bu Suci merasa heran mengapa murid-murid di kelasnya menganggap bahwa Waskito adalah anak yang jahat. Padahal menurut Bu Suci tidak ada anak yang jahat, yang ada hanyalah anak yang nakal. c. Bagian Ketiga

Bagian ini menceritakan tentang bagaimana Bu Suci mencari informasi mengenai Waskito kepada nenek Waskito. Meskipun pada saat yang bersamaan, kondisi anak kedua Bu Suci juga masih memerlukan pemeriksaan yang intensif. Bu Suci berusaha menjalankan perannya sebagai guru dan juga sebagai seorang ibu.

1.1.5 Bu Suci mengirimkan surat pribadi kepada nenek Waskito dan mengatakan ingin menemui nenek Waskito untuk menanyakan mengapa Waskito tidak masuk sekolah. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

Suratku kepada nenek Waskito dijawab dengan ramah. Pada suatu sore yang telah ditentukan, aku berkunjung ke rumah kakek dan nenek tersebut. Aku bertemu dengan sepasang suami-isteri sebaya dengan orangtuaku. Si suami

hanya sebentar menyalamiku, kemudian masuk kembali ke kamar praktik (Dini, 2005: 35).

Persoalan yang menonjol pada 1.1.5 yaitu peduli. Sikap Bu Suci yang peduli dengan muridnya, Waskito, membuatnya mengirimkan surat kepada nenek Waskito. Kemudian surat Bu Suci ditanggapi dengan ramah oleh nenek Waskito. Bahkan nenek Waskito mau menemui Bu Suci untuk membicarakan perihal cucunya itu.

1.1.6 Dari cerita nenek Waskito, alasan Waskito berbuat “jahat” kepada teman-temannya yaitu karena dia tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari kedua orangtuanya. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

“Anak kami belum pernah menghukum, apalgi memukul Waskito!” kata si nenek. “Barangkali inilah kesalahannya. Ada anak-anak yang memerlukan perhatian, yang menganggap hukuman jasmaniah sebagai ganti perhatian yang diinginkan. Saya pernah menyaksikan sendiri anak-anak saudara saya. Mereka baru sadar akan kekeliruannya jika kena tangan ayah atau ibu mereka. Waskito sudah terlanjur tidak mendapatkan kata-kata manis atau bujukan, dia mungkin harus dipukul. Ah, kalau melihat dia di rumah mereka, Jeng! Tidak pernah ditegur, tidak pernah diberitahu mana yang baik dan mana yang jelek. Seumpama anak berjalan, kaki menyentuh pot sehingga jatuh. Di rumah kami, saya bilang: hati-hati kalau berjalan, Sayang! Tolong sekarang tanaman dan pot pecah itu dibenahi! Seumpama ibunya ada, langsung dia akan membela: ah, enggak apa-apa, nanti saya ganti. Biar pembantu yang membenahi! Nah, begitu itu setiap kali Waskito berbuat kekeliruan. Maksud saya, saya hanya ingin mendidik anak bersikap rapi dan teratur, Jeng!” (Dini, 2005: 37).

Persoalan yang menonjol pada 1.1.6 yaitu sebab. Waskito tumbuh menjadi anak yang kurang perhatian dari orangtua. Itulah

alasan Waskito melakukan hal-hal yang “jahat” agar orangtuanya memperhatikan Waskito.

1.1.7 Bu Suci merasa bimbang harus memilih yang mana. Apakah memilih mengurusi anaknya yang sedang sakit atau membantu murid sukarnya agar berubah menjadi anak yang baik. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

Apakah yang akan kukerjakan esok hari?

Kalau menuruti petunjuk dokter, secepat mungkin aku harus ke rumah sakit memeriksakan anakku. Sore, ahli syaraf buka praktik sendiri di rumahnya. Kami disuruh memilih mana yang lebih praktis. Hanya, alat-alat guna pemeriksaan pastilah lebih lengkap di rumah sakit. Begitulah kata dokter perusahaan. Alat-alat apakah itu? Apakah yang diderita anakku? Semuanya serba teka-teki. Serba mengkahawtirkan. Urusan murid sukar belum selesai, bahkan baru mulai akan kuusahakan menolongnya. Kini Tuhan memberiku percobaan lain. Keluargaku terlibat, dan aku harus memilih. Manakah yang lebih penting? (Dini, 2205: 46).

Persoalan yang menonjol pada 1.1.7 yaitu dilema. Bu Suci merasa bimbang harus memilih yang mana. Memeriksakan anaknya dan mendampinginya secara intensif dalam menjalankan pengobatan atau membantu murid sukarnya, Waskito, agar bisa berubah menjadi anak yang tidak “jahat” lagi.

d. Bagian Keempat

Bagian ini mengisahkan tentang penyakit apa yang sebenarnya diderita oleh anak kedua Bu Suci dan kembalinya Waskito ke sekolah.

1.1.8 Setelah melalui beberapa pemeriksaan akhirnya diketahui bahwa anak kedua Bu Suci mengidap penyakit epilepsi. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

Orangtua mana tidak terkejut mendengar anaknya mengidap penyakit yang bagaimanapun juga bisa dikatakan jarang. Dari sekumpulan seratus orang belum tentu ada satu yang menderita sakit ayan. Itu bukan selesman, bukan demam, bukan sakit gigi. Anggapan semakin membikin kami berkecil hati. Dokter menyebutkan dengan nama lebih berbau medikal: epilepsi. Khalayak ramai menempatkannya sejajar dengan penyakit gila. Sama seperti mempunyai anak cacat, baik sejak lahir maupun karena kecelakaan pada masa pertumbuhannya. Orang membicarakan yang bersangkutan tidak secara terang-terangan, melainkan dengan bisik-bisik suara rendah, disertai rasa kasihan berlebihan atau cemoohan. Pendek kata, segalanya serba tersembunyi dan tertutup (Dini, 2005: 48-49).

Persoalan yang menonjol pada 1.1.8 yaitu terkejut. Bu Suci dan suaminya merasa terkejut terhadap penyakit yang diderita oleh anak keduanya. Mereka takut jika setelah orang banyak mengetahui penyakit anaknya, orang-orang itu membicarakan anaknya secara diam-diam.

1.1.9 Waskito akhirnya kembali bersekolah. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

Kemudian aku kembali mengajar. Sewaktu masuk kelas, selayang pandang kulirikkan mata ke semua penjuru. Ada wajah baru! Dia duduk di deretan bangku ketiga dari kiri, di tengah. Seketika itu juga aku mengenal raut muka dan sikapnya. Dia mirip kakeknya. Garis-garis hidung, mata serta bibir sangat keras. Dalam keadaan diam demikian, dia nampak sombong, angkuh (Dini, 2005: 53).

Persoalan yang menonjol pada 1.1.9 yaitu pertemuan. Akhirnya Bu Suci bertemu dengan Waskito setelah beberapa hari tidak masuk sekolah, akhirnya Waskito kembali bersekolah lagi. e. Bagian Kelima

Bagian ini mengisahkan tentang bagaimana akhirnya Bu Suci mengetahui cara untuk mendekati Waskito. Bu Suci memahami apa yang disukai Waskito dengan meminta bantuan sesama rekan guru dan mengamati gerak-gerik anak tersebut. Meskipun ternyata dengan cara tersebut sikap Waskito belum benar-benar berubah.

Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini: 1.1.10 Bu Suci meminta bantuan salah satu rekan guru untuk ikut

membantu mengamati Waskito. Ternyata cara untuk mendekati Waskito adalah dengan membicarakan hal-hal yang dia sukai. Dengan begitu, maka Waskito akan memiliki perhatian yang lebih terhadap orang yang peduli pada kegemarannya. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

Dia memberitahukan kepadaku bahwa Waskito mengenal cerita-cerita wayang dengan baik. Bahkan sangat baik dipandang umurnya yang begitu muda. Anak itu mempunyai buku-buku komik wayang yang cukup mendidik. Katanya, ketika tinggal bersama kakek dan neneknya, dia sering dibawa menonton pertunjukan Wayang Wong. Yang lebih mengherankan guru itu ialah Waskito juga menyukai gamelan. Dan kawanku menambahkan, sejak Waskito sering diajak berbicara mengenai wayang, perhatiannya kepada pelajaran Agama lebih besar. Dia bertanya mengapa murid harus dapat mengaji, apakah tidak cukup dengan berdoa dalam bahasa yang diketahuinya saja. Rupa-rupanya, karena kawanku itu mau mempedulikan kegemaran Waskito, maka dia

berhasil memecah kekauan sifat murid sukarku itu. Perbincangan mengenai kesenian telah menyentuh perasaannya. Agama dan kepekaan keindahan memang biasanya berjalan sejajar (Dini, 2005: 63-64).

Persoalan yang menonjol pada 1.1.10 yaitu jawaban. Bu Suci mengetahui bagaimana cara mendekatkan diri dengan Waskito. Yaitu dengan memperhatikan apa kesukaan anak tersebut, maka Waskito akan memiliki perhatian yang lebih kepada orang yang juga memperhatikan apa yang dia sukai.

1.1.11 Bu Suci mengamati bahwa Waskito menyukai hal-hal yang berkaitan dengan keterampilan tangan. Hal itu terlihat setiap kali sekolah mengadakan pelajaran yang langsung turun ke lapangan. Ketika di pabrik, Waskito selalu menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan alat-alat pembuatan. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

Aku sendiri pernah mengantar kelasku ke pabrik-pabrik makanan. Kuperhatikan, di antara benda-benda yang menarik murid sukarku, alat pembikinnyalah yang lebih diutamakan. Di luar dugaanku, dalam kunjungan-kunjungan semacam itu, Waskito menjadi kurang ragu-ragu. Dia tidak malu bertanya langsung kepada pengantar yang menyambut serta menemani kami sambil memberi penjelasan. Selama satu bulan bersama kami, dia tak pernah membolos dan selalu turut keluar. Karena kesempatan-kesempatan yang terguguh dan kekurangan guru, untuk semantara Kepala Sekolah mengizinkan kami mengadakan kunjungan demikian sesering mungkin. Meskipun biasanya terjun ke lapangan dijadwalkan sebulan satu kali di sekolah kami. Guru-guru hanya diharuskan mengikuti program semestinya sehingga tidak akan terlambat di akhir tahun (Dini, 2005: 64―65).

Persoalan yang menonjol pada 1.1.11 yaitu cara. Bu Suci memiliki cara untuk mendekati Waskito. Yaitu dengan

memberikan tugas keterampilan dalam membuat bejana. Sebab Waskito terlihat tertarik terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan tangan.

1.1.12 Waskito mengamuk di kelas dengan menodongkan gunting. Bu Suci dan rekan guru segera ke kelas dan mencoba menghentikan kelakuan Waskito sebelum ada korban. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

Aku ketinggalan, kehilangan nafas sempat bertanya kepada murid si pembawa berita:

“Mengapa begitu? Apa yang menyebabkan dia marah? Kalian bertengkar?”

“Tidak, Bu! Bantah anak itu keras. “Dia tidak mau keluar istirahat. Wahyudi dan beberapa kawan mau menemaninya, juga tidak keluar. Tadinya saya ikut-ikut, tapi hanya sebentar terus keluar. Tidak tahu lagi apa yang terjadi! Saya kembali dari kamar kecil, dari jauh terdengar Waskito berteriak-teriak seperti dulu! Betul sama, Bu! Katanya: aku benci! Aku benci kalian semua! Saya masuk kelas, Waskito menodongkan gunting! Entah dari mana! Begitu tiba-tiba, saya berbalik, lari ke kantor!”

Aku desak kerumunan murid yang menonton di pintu. Kulihat Kepala Sekolah maju sambil membentak dan menghardik para penonton. Waskiti berdiri di muka kelas, membelakangi deretan bangku-bangku. Memang dia memegang gunting, tapi tidak terbuka (Dini, 2005: 67―68).

Persoalan yang menonjol pada 1.1.12 yaitu terkejut. Bu Suci tidak menyangka bahwa Waskito akan mengamuk di depan kelas dengan memegang guntingdan korek yang menyala. Padahal beberapa bulan sebelumnya, semua berjalan baik-baik saja.

f. Bagian Keenam

Bagian ini mengisahkan tentang keberhasilan Bu Suci dalam menenangkan Waskito dan mengambil hati Waskito

sehingga Waskito mau menjawab sediki-sedikit pertanyaan dari Bu Suci. Meskipun kadang-kadang Waskito masih sulit untuk mengendalikan dirinya. Namun lama-kelamaan hal tersebut dapat diatasinya. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

1.1.13 Bu Suci sudah lebih santai dalam menghadapi Waskito. Bu Suci sering melakukan percakapan-percakapan kecil saat jam istirahat. Hal ini membuat Waskito mau menjawab sedikit-sedikit pertanyaan

Kesantaianku menghadapi murid sukarku sampai pada pertanyaan mengenai keluarganya. Apa kabar Nenek? Kuceritakan sedikit pertemuanku dengan pasangan suami-isteri tua itu. Aku bahkan mengatakan bahwa neneknya menangis terharu ketika mengingati Waskito hampir member dia tanaman bunga soka. Kutanyakan apakah dia sering bertemu dengan Nenek? Tidak, jawabnya. Dia sendiri jarang keluar kecuali ke sekolah, karena seringkali dia harus mengawasi anak-anak Bu De. Nenek berkunjung ke rumah Bu De, tetapi tidak sering. Kutanyakan lagi apakah ibunya sering datang? Ya, kalau Ibu memang sering datang meskipun Bu De tidak menyukai hal itu (Dini, 2005: 75).

Persoalan yang menonjol pada 1.1.13 yaitu nyaman. Waskito sudah mulai merasa nyaman dengan Bu Suci maka dia sudah mau menjawab beberapa pertanyan dari Bu Suci walaupun hanya sedikit-sedikit.

1.1.14 Waskito marah karena tanamannya dianggap kurang subur oleh teman-temannya. Pot-pot tanaman dirusak dan diinjak-injak di depan kelas. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

Dalam tanya jawab yang kupaksakan itu dia mengaku bahwa dia marah karena kawan-kawannya mengejek tanamannya yang kurang subur, kalah dari tunas-tunas lain (Dini, 2005: 83).

Persoalan yang menonjol pada 1.1.14 yaitu marah. Waskito marah mendengar ejekan teman-temannya yang menganggap bahwa tanamannya kurang subur.

1.1.15 Usaha Bu Suci tidak sia-sia, setelah kejadian pot tanaman itu, Waskito kini menjadi anak yang lebih terbuka. Nilai-nilai dalam rapornya juga mengalami kemajuan. Hal ini membuat Waskito masuk ke dalam daftar siswa pandai di kelas Bu Suci. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan di bawah ini:

Kejadian hari itu merupakan tambahan yang melengkapi pertemuan hati Waskito dan hatiku. Untuk selanjutnya, kami lebih terbuka berunding dan berbincang,baik berduaan maupun di hadapan orang lain.

Rapor berikutnya berisi angka-angka normal. Untuk menghadiahi usaha kerasnya yang berhasil meraih tempat sebagai murid “biasa”, pada waktu liburan Waskito kami bawa menengok kota kecil kami Purwodadi. Dia diajak suamiku memancing sepuas-puas hatinya. Dan aku tidak menyesal memenuhi janjiku itu terlalu kini, karena sekembali dari liburan, kuperhatikan dia semakin berubah. Seolah-olah dia bertekad untuk menjadi murid yang lebih dari biasa saja. Untuk seterusnya dia selalu terdaftar ke dalam baris anak-anak yang pandai di kelasku.

Akhir tahun pelajaran, Waskito naik kelas (Dini, 2005: 85).

Persoalan yang menonjol pada 1.1.15 yaitu hasil. Setelah beberapa kali mendapat kejutan dari sikap Waskito yang tidak terduga. Kerja keras Bu Suci dalam mempertahankan Waskito tidak sia-sia. Dengan usaha dan keyakinan yang besar, akhirnya

Waskito menjadi anak yang berprestasi dan memiliki sikap yang baik.

Berdasarkan hasil analisis tema pada enam bagian dalam novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini, berikut ini penulis akan mengklasifikasikan langkah-langkah menemukan tema dalam novel ini, yaitu:

a. Persoalan yang Menonjol

Persoalan yang menonjol dalam novel ini adalah pertemuan Bu Suci dengan Waskito yang dianggap sebagai murid “jahat” oleh teman-temannya. Waskito merupakan murid sukar yang memiliki latar belakang keluarga yang tidak memberikan perhatian dan kasih sayang kepadanya. Hal ini menyebabkan Bu Suci memiliki perhatian khusus pada muridnya itu. Bu Suci berusaha keras membantu Waskito agar ia kembali menjadi anak yang baik dalam perilaku sehari-hari dan dalam meningkatkan nilai akademiknya.

Berikut ini kutipan yang mendukung persoalan yang menonjol dalam novel ini, yaitu (1.1.1), (1.1.4), (1.1.6), (1.1.9), (1.1.10), (1.1.11), (1.1.12), (1.1.13), (1.1.14), (1.1.15).

b. Persoalan yang Menimbulkan Konflik

Pada persoalan yang menimbulkan konflik dalam novel ini adalah konflik batin yang dialami Bu Suci yang berhubungan dengan keluarga dan muridnya. Ketika Bu Suci kembali mengajar ternyata anak keduanya menderita penyakit epilepsi yang membuat hatinya terpukul.

Dokumen terkait