• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA

3.6. Analisis Data

3.6.2. Analisis capaian instar larva chironomida

Data yang diperoleh selama pengamatan akan diolah untuk menghasilkan penjelasan secara deskriptif dalam bentuk grafik untuk melihat perkembangan, pertumbuhan, dan produktivititas larva chironomida yang dikaji. Selain itu dilakukan juga analisis statistik untuk menguji perbedaan antar perlakuan atau waktu pengamatan.

Ciri-ciri penting sejumlah besar data dengan segera dapat diketahui melalui pengelompokan data tersebut ke dalam beberapa kelas dan kemudian dihitung banyaknya pengamatan yang masuk ke dalam tiap kelas. Susunan data ini biasanya disajikan dalam bentuk tabel yang disebut sebaran frekuensi (Walpole 1992). Data yang disajikan dibuat dalam bentuk kelompok untuk memperoleh gambaran yang lebih baik mengenai populasi yang sedang diamati.

Larva chironomida diketahui mengalami empat tahap yang disebut instar. Analisis kelompok digunakan untuk mengelompokkan larva chironomida berdasarkan instarnya. Analisis kelompok adalah teknik multivariat yang bertujuan untuk mengelompokkan objek-objek berdasarkan karakteristik yang dimilikinya. Analisis kelompok digunakan untuk mengklasifikasi objek sehingga setiap objek yang paling dekat kesamaannya dengan objek lain berada dalam kelompok yang sama. Pengelompokan ini dilakukan dengan bantuan program MINITAB 14 dan panduan penentuan centroid atau pusat data berdasarkan

Dettinger-Klemm (2003) dan Zilli et al. (2008).

Rancangan acak lengkap adalah salah satu rancangan percobaan yang paling sederhana. Rancangan ini digunakan apabila bahan maupun kondisi percobaan bersifat homogen. Metode ini digunakan untuk mengetahui apakah perlakuan konsentrasi bahan organik yang berbeda mempengaruhi perubahan ukuran larva

chironomida. Penelitian kali ini menggunakan perlakuan yang dibedakan berdasarkan konsentrasi bahan organik yang digunakan. Hipotesis yang digunakan yaitu sebagai berikut.

H0 : semua αi = 0 (atau tidak ada pengaruh perlakuan bahan organik terhadap pertumbuhan larva chironomida)

H1 : minimal ada satu αi ≠ 0 (atau minimal ada satu perlakuan bahan organik yang mempengaruhi pertumbuhan larva chironomida)

Jika Ftabel>Fhitung maka keputusan yang diperoleh adalah terima H0 sedangkan jika Ftabel<Fhitung maka keputusan yang diperoleh adalah tolak H0 terima H1. Selanjutnya, kesimpulan yang diperoleh jika keputusannya terima H0 adalah bahwa tidak ada satu pun perlakuan yang memberikan perbedaan yang nyata terhadap pertumbuhan larva chironomida. Sementara itu jika keputusan yang didapat adalah tolak H0 atau terima H1, maka kesimpulan yang bisa diambil adalah setidaknya ada satu perlakuan yang mempengaruhi pertumbuhan larva chironomida. Parameter yang digunakan dalam rancangan acak lengkap adalah panjang total, lebar badan, panjang kepala, dan lebar kepala.

3.6.3.Analisis perkembangan bahan organik pada substrat buatan

Pada bagian ini data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan statistik. Analisis deskriptif dilakukan dengan menggunakan tabel dan gambar dalam bentuk grafik perkembangan bahan organik dari waktu ke waktu selama penelitian. Adapun secara statistik data yang diperoleh dianalisis dengan rancangan percobaan dengan pengamatan berulangan (Repeated Measurement),

dengan pengukuran respon dari unit-unit percobaan yang dilakukan berulang- ulang pada waktu yang berbeda. Melalui rancangan ini dapat dilihat pengaruh perlakuan yang dicobakan terhadap perkembangan bahan organik selama penelitian berjalan, sehingga pengaruh waktu juga akan sangat bermanfaat untuk dikaji. Rancangan ini dicirikan oleh dua atau lebih perlakuan. Keuntungan menggunakan rancangan ini adalah mampu mendeteksi respon dari taraf masing- masing faktor (pengaruh utama) terhadap waktu serta interaksi antar dua faktor (pengaruh sederhana) terhadap waktu (Mattjik dan Sumertajaya 2002).

Yijkl = µ + αi + j + α ij + ijk + ωl + kl + αωil + ωjl + α ωijl + ijkl (3) Keterangan :

Yijkl : nilai respon bahan organik pada lokasi taraf ke-i, kedalaman substrat

taraf ke-j, ulangan ke-k dan waktu pengamatan ke-l

µ : Rataan umum

αi : pengaruh lokasi, taraf ke-i

j : pengaruh kedalaman substrat, taraf ke-j

α ij : pengaruh interaksi antara lokasi dengan kedalaman substrat ijk : komponen acak perlakuan

ωl : pengaruh waktu pengamatan ke-l kl : komponen acak waktu pengamatan

αωil : pengaruh interaksi waktu dengan lokasi, taraf ke-i, ulangan ke-l ωjl : pengaruh interaksi waktu dengan kedalaman substrat, taraf ke-j,

ulangan ke-l

α ωijl : pengaruh interaksi lokasi taraf ke-i, kedalaman substrat taraf ke-j, ulangan ke-l dengan waktu

ijkl : komponen acak dari interaksi waktu dengan perlakuan

Dari model tersebut didapat tiga komponen acak, yaitu komponen acak untuk perlakuan ( ijk), waktu (

ω

l) dan interaksi waktu dengan dengan perlakuan

( ijkl).

3.6.4. Analisis perkembangan dan pertumbuhan larva chironomida

Berdasarkan data panjang dan lebar kapsul kepala dibuat grafik yang dapat memberi gambaran berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi setiap instar larva. Perubahan ukuran kapsul kepala yang terlihat pada grafik merupakan batas dari masing-masing instar.

Larva chironomida dalam pertumbuhannya terbagi ke dalam empat tahapan atau biasa disebut dengan instar. Larva chironomida mengalami molting pada setiap fase pertumbuhan menuju tahapan instar berikutnya. Moltng ini terjadi karena adanya pertumbuhan yang terhambat oleh bagian tubuh yang dilindungi kitin. Dengan demikian, pada tahap ini yang digunakan sebagai tolok ukur dalam menduga pertumbuhan dari tahapan instar ialah ukuran kapsul kepala karena kapsul kepala ini berukuran tetap dalam satu fase instar.

Berdasarkan data panjang dan lebar kapsul kepala dibuat grafik yang dapat memberi gambaran berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi setiap instar larva.

Perubahan ukuran kapsul kepala yang terlihat pada grafik merupakan batas dari masing-masing instar.

Ukuran kapsul kepala yang digunakan untuk menduga pertumbuhan ialah lebar kapsul kepala (bagian tengah yang memiliki lebar maksimum yang diukur secara melintang) dan panjang kapsul kepala (dari anterior hingga posterior

bagian kapsul kepala larva) (Dettinger-Klemm 2003). Data panjang dan lebar kapsul kepala diplotkan ke dalam sebuah grafik scatter untuk menduga kelompok

instar. Pendugaan kelompok instar menggunakan pendekatan dari hasil penelitian Dettinger-Klemm (2003) (Tabel 2) sebagai centroid dan dilakukan uji cluster analysis (K-means) menggunakan program Minitab 14 untuk menentukan ukuran

panjang dan lebar kapsul kepala setiap tahapan instar. Data ukuran panjang dan lebar kapsul kepala kemudian dipisahkan berdasarkan ukuran setiap tahapan instar untuk diplotkan pada grafik scatter. Data ukuran tersebut diplotkan pada grafik

scatter menggunakan program Sigma plot dengan ukuran panjang kapsul kepala

sebagai axis (sumbu x) dan lebar kapsul kepala sebagai ordinat (sumbu y). Dengan demikian akan tergambar pola pertumbuhan dari instar pertama hingga instar ke empat.

Tabel 2. Karakteristik ukuran larva Chironomus sp. berdasarkan instar (Sumber:

Dettinger-Klemm 2003). Instar Head L (µm) Head W (µm) Body L (mm) Body W (µm) I 105-108; 123 ± 10.9 101-184; 112 ± 11.2 0.7-2.0 40-201 II 182-224; 199 ± 10.7 159-208; 190 ± 9.9 1.7-3.8 102-347 III 270-405; 355 ± 29.7 245-356; 311 ± 22.3 3.0-7.5 161-564 IV 494-649; 585 ± 40.3 409-592; 510 ± 37.1 4.7-12.8 353-1128

Setelah dilakukan uji cluster, data ukuran setiap instar tersebut diolah

menggunakan metode Discriminant Analysis pada program SPSS 16 dengan

tujuan untuk mendapatkan kepastian ukuran instar. Pengolahan data berdasarkan

Discriminant Analysis dilakukan dengan cara membandingkan ukuran antara

instar I dan II, instar II dan III, instar III dan IV, dengan tujuan untuk mendapatkan persamaan linear antar instar tersebut, sehingga akan lebih pasti dalam menentukan ukuran instar. Fungsi persamaan linear tersebut ialah untuk

menentukan bahwa ukuran yang didapat termasuk ke dalam tahapan instar tertentu dengan melihat nilai D (diskriminan) berdasarkan persamaan berikut. D = v1X1 + v2X2 + v3X3+ … + viXi + a (4)

Keterangan :

D : Fungsi diskriminan

v : Koefisien diskriminan untuk variabel (ke- i)

X : Nilai variabel (ke- i)

a : Konstanta

i : Jumlah variabel

Berdasarkan persamaan tersebut, jika nilai D < 0, maka suatu kelompok ukuran termasuk instar di bawahnya, sedangkan nilai D > 0, maka termasuk tahap instar berikutnya sesuai dengan instar yang dibandingkan. Sebagai contoh, jika model Discriminant Analysis tersebut dilakukan pada instar I dan instar II, dan

diperoleh nilai D < 0, maka suatu kelompok ukuran termasuk instar I, jika nilai D > 0, maka termasuk tahap instar II, jika nilai D = 0, maka termasuk pada masa transisi ke tahap instar yang lebih besar.

Pengujian statistik untuk melihat perbedaan ukuran tubuh tahapan instar tertentu pada lokasi berbeda dilakukan dengan menggunakan Uji-t dari dua contoh independen (bebas). Hai ini digunakan untuk menguji kesamaan rata-rata dari dua populasi yang bersifat independen, sementara peneliti tidak memiliki informasi mengenai ragam populasi. Maksud dari independen adalah bahwa populasi yang satu tidak dipengaruhi atau tidak berhubungan dengan populasi yang lain (Matjik 2002). Kemungkinan kondisi bahwa peneliti tidak memiliki informasi mengenai ragam populasi adalah kondisi yang paling sering dijumpai di kehidupan nyata. Perhitungan uji-t ini dilakukan menggunakan program Microsoft Excel 2007.

Hipotesis yang digunakan adalah:

Ho : Ukuran tubuh larva chironomida pada instar tertentu sama H1 : Ukuran tubuh larva chironomida pada instar tertentu tidak sama

Perhitungan uji statistik berdasarkan Matjik (2002) adalah:

̅̅̅̅ ̅̅̅̅ √

Dengan r2 merupakan ragam populasi dan x1 merupakan rataan sampel pertama, x2 adalah rataan sampel kedua, d0 adalah dugaan nilai tengah, n1 adalah jumlah sampel yang pertama dan n2 adalah jumlah sampel yang kedua. Notasi S12 adalah ragam sampel pertama dan S2 2 ragam dari sampel kedua.

Analisis pertumbuhan, didasarkan pada biomassa larva. Data yang digunakan adalah data panjang total dan lebar badan pada ruas tubuh ke-5. Data tersebut dipergunakan untuk menentukan biomassa larva chironomida menggunakan pendekatan biovolume.

3.6.5. Produktivitas larva chironomida

Penentuan produktivitas sekunder dari larva chironomida pada percobaan di laboratorium dilakukan menggunakan teknik kohor metode penambahan-jumlah (increment-summation method) (Benke & Huryn 2007) dengan formulasi sebagai

berikut.

∑ ̅

Dengan:

Bawal = Biomassa pada hari pertama pengambilan sampel (gram)

̅ = kepadatan rata-rata (ind/m2)

∆W = Pertambahan biomassa individu (gram) t = waktu pengambilan sampel produktivitas Nilai produktivitas larva memiliki satuan g/m2/bulan.

Pada populasi yang tidak dapat ditelusuri kohortnya dari data lapangan, penentuan produktivitas menggunakan metode non-kohort. Pada metode ini dibutuhkan pendekatan khusus untuk menentukan waktu perkembangan atau laju pertumbuhan biomassa. Dalam hal ini digunakan metode distribusi frekuensi ukuran (size-frequency method) dengan asumsi sampel yang dikumpulkan

sepanjang tahun mendekati kurva mortalitas dari kohort rata-rata (Hynes & Coleman 1968, hamilton 1969, Benke 1979 in Benke & Huryn 2007).

Pada metode frekuensi ukuran (size-frequency method) dibutuhkan data

panjang total untuk menyusun selang kelas ukuran. Data panjang total dikelompokkan dalam selang kelas. Penentuan selang kelas dilakukan

berdasarkan Walpole (1992) dengan menentukan banyaknya kelas yang dihitung menggunakan rumus sebagai berikut, dengan n sebagai jumlah data panjang:

Kemudian ditentukan wilayah dengan mengurangi nilai maksimum dengan minimum data keseluruhan. Selanjutnya adalah penentuan lebar kelas sesuai dengan rumus:

Langkah selanjutnya adalah mendaftar selang kelas atas dan selang kelas bawah dengan data terkecil sebagai permulaan selang kelas bawah. Batas kelas diperoleh dengan menambah atau mengurangi selang kelas dengan ½ kali nilai satuan terkecil. Nilai tengah didapat dengan merata-ratakan batas kelas atas dan batas kelas bawah. Selanjutnya nilai frekuensi ditentukan pada masing-masing kelas, dan yang terakhir adalah pengecekan jumlah kolom frekuensi memiliki jumlah yang sama terhadap banyaknya total pengamatan.

Ciri-ciri penting sejumlah besar data dengan segera dapat diketahui melalui pengelompokan data tersebut ke dalam beberapa kelas dan kemudian dihitung banyaknya pengamatan yang masuk ke dalam setiap kelas. Susunan dari data ini biasanya disajikan dalam bentuk tabel yang disebut sebaran frekuensi (Walpole 1992). Data yang disajikan dalam bentuk sebaran frekuensi dikatakan sebagai data yang telah dikelompokkan. Pengelompokan data-data ini ke dalam kelas- kelas dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang lebih baik mengenai populasi yang ada.

3.6.6. Keterkaitan antara larva chironomida dengan bahan organik

Keterkaitan antara bahan organik dengan larva chironomida akan dianalisis menggunakan persamaan regresi berganda yang menghubungkan antara

produktivitas larva chironomida dengan kandungan bahan organik dalam bentuk COD, kandungan klorofil a, dan AFDM yang ditemukan di atas substrat buatan. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Sehingga mengikuti persamaan regresi:

(7)

(8)

y=b0+b1x1+b2x2+b3x3

Keterangan :

y : larva chironomida

bi : Koefisien regresi untuk variabel (ke- i) x1 : Nilai COD

x2 : kandungan klorofil-a x3 : Nilai AFDM

i : Jumlah variabel

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Penentuan letak substrat berdasarkan kedalaman dari permukaan air

Penelitian tahap ini digunakan untuk menentukan kedalaman sebagai posisi diletakkannya substrat buatan dari permukaan air. Dasar dari penentuan kedalaman pada tahap ini adalah sebaran vertikal kandungan oksigen terlarut di daerah aktivitas karamba jaring apung (KJA). Larva chironomida yang ditemukan di lokasi KJA terdiri dari dua sub famili, yaitu Sub famili Chironominae (enam genera: Chironomus, Dicrotendipes, Kiefferulus, Polypedilum, Paratanytarsus,

dan Rheotanytarsus) serta Sub famili Tanypodinae (tiga genera: Ablabesmyia, Pentaneura, and Procladius). Sementara larva chironomida yang ditemukan di

lokasi Non-KJA berasal dari dua sub famili, yaitu Sub famili Chironominae (enam genera: Chironomus, Dicrotendipes, Kiefferulus, Paratanytarsus, Polypedilum,

dan Rheotanytarsus) dan Sub famili Tanypodinae (tiga genera: Ablabesmyia, Pentaneura, dan Procladius). Jumlah genera yang ditemukan berdasarkan posisi

kedalaman substrat (2; 3,5; dan 5 m) di lokasi KJA dan Non-KJA berturut-turut adalah 8, 6, 4 dan 9, 7, 7 (Tabel 3).

Pada Tabel 3, keberadaan chironomida (individu/m2) dikelompokkan berdasarkan kepadatan per meter persegi. Pada lokasi KJA, terdapat genus

Dicrotendipes dan Kiefferulus, dengan kepadatan yang lebih besar dari 100

individu/m2. Sementara, di lokasi Non-KJA, jenis yang melebihi 100 individu/m2 adalah Dicrotendipes dan Polypedilum yang diikuti kelompok kedua dengan

kepadatan 10–100 individu/m2, yaitu Ablabesmyia, Chironomus, Pentaneura, dan Polypedilum di lokasi KJA serta Ablabesmyia sp., Chironomus, Kiefferulus, Pentaneura, Paratanytarsus, dan Pseudochironomus di lokasi Non-KJA.

Gambar 9 menunjukkan jumlah taksa larva chironomida yang ditemukan beserta kepadatan total larva yang ditemukan di setiap waktu pengambilan contoh di setiap lokasi. Jika dibandingkan antar lokasi, terlihat bahwa larva chironomida yang ditemukan di lokasi Non-KJA memiliki jumlah taksa dan kepadatan yang lebih besar dibandingkan dengan lokasi KJA. Akan tetapi di lokasi KJA terlihat

adanya penurunan jumlah taksa dan kepadatan yang menyolok seiring dengan meningkatnya kedalaman.

Tabel 3. Jenis-jenis larva chironomida yang ditemukan di lokasi penelitian beserta kisaran jumlah individu yang ditemukan di setiap kedalaman.

Genus KJA Non-KJA

2 m 3,5 m 5 m 2 m 3,5 m 5 m Ablabesmyia + – – + + √ Chironomus + + + √ √ √√ Dicrotendipes √√ + – √√ √√ √ Kiefferulus √√ + + √ √ √√ Paratanytarsus + – – + + – Pentaneura √ + + √ √ + Polypedilum √ + – √√ √ + Rheotanytarsus + + – + – – Procladius – – + – – + Individu/m2 1183 18 18 2110 166 1303 Jumlah taksa 8 6 4 8 7 7

√√: > 100 ind/m2 ;√: 50100 ind/m2; : 10-50 ind/m2; +: < 10 ind/m2; : tidak ditemukan

Parameter kualitas air yang mendukung keberadaan larva chironomida di setiap kedalaman substrat buatan juga diukur. Kualitas air yang diukur meliputi Suhu, kekeruhan,TSS, TDS, pH, DO, dan BOD. Kisaran nilai hasil pengukuran kualitas air parameter-parameter tersebut di kedua lokasi dan di setiap kedalaman substrat buatan disajikan di Tabel 4. Nilai suhu perairan berbeda antar kedalaman pada lokasi KJA dan Non KJA. Suhu semakin rendah dengan bertambahnya kedalaman. Akan tetapi tidak terdapat perbedaan nyata antara lokasi KJA dengan Non KJA (Lampiran 3a). Nilai kekeruhan, TSS, dan TDS tidak berbeda nyata antar kedalaman dan lokasi (P>0,05).

Nilai pH perairan tidak berbeda antar kedalaman pada lokasi KJA dan Non KJA. Akan tetapi nilai pH perairan berbeda antara lokasi KJA dengan Non KJA (P<0,05, Lampiran 3b). Nilai pH di lokasi KJA lebih kecil dibanding lokasi Non KJA. Nilai oksigen terlarut mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya posisi kedalaman substrat. Dengan diuji secara statistik nilai oksigen terlarut memiliki perbedaan yang nyata antar kedalaman di lokasi KJA (Lampiran 3c), sedangkan di lokasi Non-KJA tidak berbeda nyata (P>0,05). Akan tetapi terdapat

perbedaan yang nyata pada kandungan oksigen terlarut antara lokasi KJA dengan Non-KJA di kedalaman yang sama dengan oksigen terlarut di lokasi KJA lebih kecil dibanding lokasi Non KJA. (P>0,05; Lampiran 3c). Adapun nilai BOD dan COD tidak berbeda nyata baik antar kedalaman maupun antar lokasi (P>0,05).

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 100 200 300 400 500 600 700 800 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 0 100 200 300 400 500 600 700 800 K e p a d a ta n ( in d /m 2 ) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 0 100 200 300 400 500 600 700 800 J u m la h t a k sa 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 100 200 300 400 500 600 700 800 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 100 200 300 400 500 600 700 800 Minggu ke-

Gambar 9. Jumlah taksa dan kepadatan (individu/m2) larva chironomida dari setiap kedalaman (berturut-turut dari atas 2 m, 3,5 m, dan 5 m) di kedua lokasi penempatan substrat buatan dari setiap waktu pengambilan contoh. 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 100 200 300 400 500 600 700 800 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 5 m 3,5 m 5 m 3,5 m 2 m KJA Non-KJA 2 m

Pada penelitian tahap ini dilakukan juga pengambilan sampel di substrat alami atau dasar perairan yang memiliki kedalaman sama dengan kedalaman terbesar dari substrat buatan, yaitu 5 m sampel diambil dengan menggunakan alat sampling benthos konvensional (Ekman Grab). Akan tetapi pada tahap ini di

lokasi KJA tidak dijumpai jenis-jenis larva chironomida, sedangkan di lokasi Non-KJA ditemukan jenis Ablabesmyia. Sudarso (2008) dalam penelitian

mengenai komunitas benthos di Waduk Saguling pada kedalaman 5 m hanya menemukan dua jenis chironomida. Kedua genera tersebut termasuk dalam Sub Famili Chironominae (Kiefferulus) dan Tanypodinae (Tanytarsus).

Jarang ditemukannya jenis-jenis chironomida di dasar perairan suatu danau atau waduk lebih banyak disebabkan oleh faktor ketersedian oksigen terlarut pada kedalaman tersebut. Real et al. (2000) yang melakukan penelitian di 114 danau

dan waduk di Spanyol hanya menemukan larva chironomida di beberapa danau oligotrof, bahkan sampai kedalaman sekitar 20 m. Para peneliti tersebut juga mendapatkan bahwa Chironomus bernensis ditemukan di daerah litoral dan sub

litoral yang kaya oksigen dengan kisaran 6,8–8,5 mg/L. Dalam penelitian lain yang dilakukan Heinis & Davids (1993) di danau dengan status trofik meso- oligotrof di Belanda juga menemukan bahwa kandungan oksigen di sekitar substrat tempat hidup larva chironomida merupakan faktor utama yang mempengaruhi keberadaan dan penyebaran spesies chironomida.

Tabel 4. Kisaran nilai hasil pengukuran kualitas air di lokasi KJA dan Non-KJA di ketiga posisi kedalaman substrat buatan.

Parameter KJA Non-KJA Kedalaman 2 m 3.5 m 5 m 2 m 3.5 m 5 m Kekeruhan (NTU) 1,5–2,7 2,9–7,4 3,1–5,1 3–5,1 3,7–16 5–28 Suhu (oC) 26,3–27,9 25,1–27,6 24,8–27,4 25,6–27,9 25,6–27,1 25,3–26,8 TSS (mg/L) 8–12 10–34 4–18 2–22 4–24 12–116 TDS (mg/L) 130–244 108–172 10–174 98–176 104–164 110–186 pH 6,45–7,06 6,20–6,69 6,16–6,80 6,97–7,30 6,93–7,32 6,76–7,43 DO (mg/L) 2,74–6,31 1,69–2,73 0–1,69 4,85–8,47 2,73–7,9 5,04–6,96 BOD (mg/L) 1,27–4,99 0,49–3,09 0,25–3,2 0,75–3,97 0,37–3,98 0–2,9

Penelitian chironomida di daerah tropis tidak terlalu banyak. Dari beberapa penelitian yang ada di antaranya adalah Yulintine et al. (2007) yang melakukan

penelitian di daerah perairan gambut Kalimantan Tengah. Kedalaman perairan pada lokasi penelitian berkisar antara 0,7–1,6 m dengan kandungan oksigen terlarut 1,59–2,26 mg/L. Pada penelitian yang dilakukan di Danau Lido diperoleh nilai kandungan oksigen terlarut yang tidak berbeda jauh antar kedalaman. Akan tetapi, mengingat kisaran kandungan oksigen di kedalaman 3,5 m dan 5 m yang rendah bahkan tidak ada (0 mg/L) di kedalaman 5 m, maka kedalaman 2 m sebagai posisi untuk melakukan kajian pada penelitian lanjutan dari perkembangan dan pertumbuhan larva chironomida.

4.1.2. Penelusuran capaian instar larva chironomida

Pada tahap penelusuran capaian instar ini, digunakan massa telur (Gambar 10) yang dikumpulkan dari benda-benda (seperti, styrofoam, jaring larva ikan, bambu, tali, dan drum) yang mengapung di sekitar KJA. Bentuk, ukuran, dan warna massa telur dipilih yang relatif sama (semirip mungkin) untuk mendapatkan larva chironomida dengan genus dan umur yang seragam. Anggota Famili Chironomidae yang ditemukan pada massa telur yang menjadi objek penelitian tahap ini adalah larva chironomida Subfamili Chironominae, Genus Chironomus

(Gambar 11).

Adapun klasifikasi genus Chironomus menurut Eppler (2001) adalah

sebagai berikut.

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insecta

Ordo : Diptera (Flies)

Famili : Chironomidae (Midges)

Subfamili : Chironominae Genus : Chironomus

Massa telur yang dikumpulkan rata-rata memiliki diameter 5-20 mm (Gambar 10 a), dengan jumlah telur berkisar antara 400-800 butir. Telur berbentuk bulat lonjong dengan ukuran panjang dan lebar rata-rata 240 µm dan 80 µm (Gambar 10 b). Pada penelitian ini diperoleh informasi bahwa telur memerlukan waktu lebih kurang 17 jam dari waktu pengambilan di Danau Lido

untuk menetas dengan kondisi lingkungan yang homogen sesuai perlakuan penambahan bahan organik yang dicobakan (0 mg/L; 0,5 mg/L; dan 1,0 mg/L).

Gambar 10. Massa telur (a) dan butiran telur (b) Chironomus yang diambil dari

Danau Lido.

Gambar 11. Larva Chironomus (A, seluruh tubuh; B, kepala dari arah ventral)

serta Pupa Chironomus (C. Pupa dengan isi, D. Pupa

kosong/exuviae). (Sumber: Dokumentasi pribadi).

Massa telur yang dikumpulkan rata-rata memiliki diameter 5-20 mm (Gambar 10 a), dengan jumlah telur berkisar antara 400-800 butir. Telur berbentuk bulat lonjong dengan ukuran panjang dan lebar rata-rata 240 µm dan 80 µm (Gambar 10 b). Pada penelitian ini diperoleh informasi bahwa telur memerlukan waktu lebih kurang 17 jam dari waktu pengambilan di Danau Lido untuk menetas dengan kondisi lingkungan yang homogen sesuai perlakuan penambahan bahan organik yang dicobakan (0 mg/L; 0,5 mg/L; dan 1,0 mg/L).

A D C = 5 mm a b = 0,1 mm B

Larva Chironomus yang telah menetas pada wadah tanpa bahan organik

hanya dapat bertahan hidup selama lebih kurang satu minggu dengan sifat hidup planktonik. Pada wadah dengan penambahan bahan organik sebanyak 0,5 mg/l dan 1,0 mg/L, larva Chironomus dapat berkembang hingga mencapai fase pupa

(Gambar 11) dan dewasa. Larva pada wadah dengan tambahan bahan organik ini memerlukan waktu lebih kurang tiga minggu untuk menjadi pupa. Selanjutnya pupa akan hidup selama 24-48 jam sebelum akhirnya menjadi Chironomus sp.

dewasa.

Pengukuran COD pada tahap penelitian ini dilakukan untuk mengamati keberadaan bahan organik pada tiap wadah pemeliharaan. Gambar 12 memperlihatkan kecenderungan nilai COD masing-masing wadah selama pengamatan. Ketiga perlakuan menunjukkan keberadaan COD yang berbeda, dengan kecenderungan antar waktu pengamatan yang sama, yakni mengalami kenaikan sampai hari tertentu kemudian mengalami penurunan hingga pengamatan terakhir. hari ke- 0 3 6 9 12 15 18 21 24 Ni lai CO D (m g/ l) 0 20 40 60 80 100 Bahan organik 0 mg/l Bahan organik 0,5 mg/l Bahan organik 1,0 mg/l

Gambar 12. Nilai kandungan COD (mg/L) di wadah pemeliharaan Chironomus

selama 21 hari penelitian.

Kisaran nilai COD untuk perlakuan tanpa bahan organik adalah 16,67–20,67 mg/L. Perlakuan dengan bahan organik 0,5 mg/l memiliki kisaran 14,33–59,33 mg/L, sedangkan pada wadah perlakuan dengan penambahan bahan organik 1,0 mg/L, nilai COD berkisar antara 15,67–86,67 mg/L. Nilai COD paling tinggi aterdapat pada wadah dengan konsentrasi bahan organik 1,0 mg/L sebesar 86,67 mg/L pada hari ke-14. Nilai COD tertinggi pada perlakuan bahan organik 0,5

mg/L adalah 59,33 mg/L pada hari ke-18 dan untuk perlakuan tanpa penambahan bahan organik adalah 20,67 mg/L pada hari ke-7. Perbedaan nilai COD ini disebabkan oleh perbedaan kadar bahan organik yang ditambahkan pada masing- masing wadah perlakuan. Nilai COD pada perlakuan B.O 1 mg/L lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan tanpa penambahan bahan organik (B.O 0 mg/L) (P<0,05; Lampiran 4).

Kandungan oksigen terlarut (Dissolved Oxygen) mempengaruhi aktivitas

metabolisme biota air termasuk larva chironomida. Kandungan oksigen terlarut digunakan untuk respirasi bagi mahluk hidup heterotrof. Nilai oksigen terlarut sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti aktivitas fotosintesis

Dokumen terkait