• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Lingkungan perairan yang mempengaruhi chironomida

Kedalaman merupakan salah satu parameter fisika perairan yang berkaitan erat dengan intensitas cahaya matahari, tekanan, dan suhu di dalam kolom perairan. Semakin dalam perairan, semakin berkurang intensitas cahaya matahari yang masuk. Semakin besar kedalaman, semakin besar tekanan air. Tekanan pada air berpengaruh terhadap proses osmosis dalam tubuh organisme sehingga organisme akan berusaha agar tekanan osmosis lingkungan sesuai dengan keadaan tubuh dan proses osmoregulasi dalam tubuh organisme. Hal ini berpengaruh terhadap pola penyebaran organisme, khususnya makroavertebrata pada kolom perairan dengan kedalaman yang berbeda (Pinder 1986; Wetzel 2001).

Kedalaman juga dapat berpengaruh terhadap stratifikasi suhu dalam kolom perairan berkenaan dengan panas yang diterima pada setiap kolom perairan. Hal ini disebabkan oleh semakin besarnya gaya yang bekerja pada lapisan yang lebih dalam. Kedalaman merupakan wadah penyebaran atau faktor fisik yang berhubungan dengan banyaknya air yang masuk ke dalam suatu sistem perairan dan berpengaruh terhadap penyebaran organisme perairan.

2.4.2. Suhu

Suhu merupakan parameter penting dalam perairan dan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan di perairan. Suhu suatu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan

laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta

kedalaman badan air. Perubahan suhu berperan terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air. Suhu juga sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi, dan volatilitas. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Wetzel 2001).

Sebagian besar makrozoobenthos dapat mentolerir suhu air di bawah 35 C, walaupun ada yang mampu bertahan pada suhu yang ekstrim panas, misalnya pada sumber mata air panas yang bersuhu 35 C hingga 50 C. Contoh serangga yang dapat hidup pada suhu ekstrim tersebut adalah larva diptera Famili Chironomidae, Culicidae, Stratiomyidae, dan Ephydridae; larva Coleoptera Famili

Dytiscidae dan Hydrophylidae; Hemiptera; dan Odonata (Ward 1992). Menurut Casper in Rossaro (1991), suhu, substrat, dan kecepatana arus merupakan factor

penentu struktur komunitas chironomida. Suhu adalah salah satu faktor penentu penting bagi laju pertumbuhan dan perkembangan serangga air. Ukuran serangga dewasa sangat tergantung pada suhu perairan yang diterimanya pada saat perkembangan larva di air (Pinder 1986).

2.4.3. Oksigen terlarut

Dissolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarut adalah jumlah mg/L gas

oksigen yang terlarut dalam air. Kadar oksigen yang terlarut bergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian, serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut akan semakin kecil (Wetzel 2001).

Fluktuasi harian oksigen dapat mempengaruhi parameter kimia yang lain, terutama pada saat kondisi tanpa oksigen, yang dapat mengakibatkan perubahan sifat kelarutan beberapa unsur kimia di perairan. Selain itu, penurunan konsentrasi DO juga dapat menyebabkan dampak yang kurang baik bagi makroavertebrata karena oksigen terlarut dibutuhkan untuk respirasi makroavertebrata seperti serangga akuatik sehingga merupakan parameter lingkungan yang sangat penting (Ward 1992). Beberapa jenis anggota Chironomidae tahan terhadap kandungan oksigen yang rendah (Pinder 1986).

Distribusi dan kelimpahan benthos (misalnya larva serangga, crustacea, dan moluska) sangat dipengaruhi oleh konsentrasi oksigen dan tipe dasar perairan. Kebanyakan populasinya ditemukan di atas sedimen pada lapisan termoklin dan tepi danau yang mengalami turbulensi oksigen dan yang memiliki makanan melimpah. Pada bagian bawah termoklin, jumlah mereka turun karena terjadi penurunan suhu. Organisme yang memiliki spesialisasi tertentu saja yang dapat mendiami zona profundal danau eutrof yang juga memiliki kandungan oksigen rendah (Goldman & Horne 1983).

2.4.4. Bahan organik

Bahan organik dalam bentuk detritus merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil buangan dari limbah domestik

dan industri. Berbagai jenis bahan organik yang terdapat di alam ini dirombak (didekomposisi) melalui proses oksidasi, yang dapat berlangsung dalam suasana aerob (keberadaan oksigen) maupun anaerob (tanpa oksigen). Produk hasil akhir dari dekomposisi atau oksidasi bahan organik pada kondisi aerob adalah senyawa- senyawa yang stabil. Sementara produk akhir dari dekomposisi pada kondisi anaerob, selain karbondioksoda dan air, juga berupa senyawa-senyawa yang tidak stabil dan bersifat toksik, misalnya amonia, metana, dan hidrogen sulfida. Keberadaan bahan organik di perairan juga dapat menjadi sumber makanan bagi beberapa kelompok organisme, terutama kelompok organisme pemakan detritus (Pinder 1986).

2.4.5. Nilai pH

Puissanced’Hydrogen (pH atau kekuatan hidrogen) didefinisikan sebagai

logaritma negatif dari ion hidrogen (Goldman&Horne 1983). Nilai pH penting untuk mengindikasikan jumlah ion hidrogen bebas yang berada di dalam air karena adanya logaritma negatif (pH= -log10 [H+]). Perkiraan dari alkalinitas, karbondioksida, dan reaksi asam basa diperoleh dengan menggunakan nilai pH. Konsentrasi ion hidrogen juga merupakan salah satu indikator utama untuk evaluasi kualitas air permukaan mengontrol reaksi kimia berbagai nutrien di danau (Goldman & Horne 1983).

Derajat keasaman (pH) normal memiliki nilai 7 sementara bila nilai pH > 7 menunjukkan zat tersebut memiliki sifat basa, sedangkan nilai pH < 7 menunjukkan keasaman. Nilai pH=0 menunjukkan derajat keasaman tertinggi, dan pH 14 menunjukkan derajat kebasaan tertinggi. Umumnya indikator sederhana yang digunakan adalah kertas lakmus yang berubah menjadi merah bila keasamannya tinggi dan biru bila keasamannya rendah. Selain mengunakan kertas lakmus, indikator asam basa dapat diukur dengan pH meter yang bekerja berdasarkan prinsip elektrolit/konduktivitas suatu larutan.

Nilai pH bersama suhu perairan, oksigen terlarut, nitrat, alkalinitas, ukuran partikel, dan kandungan bahan organik merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi kekayaan jenis, kelimpahan, komposisi, dan distribusi chironomida di ekosistem perairan (Pinder 1986, Rossaro 1991, Lobinske et al.

empat genus chironomida yang menyukai nilai pH tertentu. Genera

Paratanytarsus, Procladius (Psilotanypus), dan Thienemannimyia menyukai pH

3. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian utama dilaksanakan di Danau Lido (Gambar 5) yang terletak diketinggian 502,2 m dpl. Terdapat dua titik di danau yang digunakan sebagai lokasi peletakan substrat untuk kebutuhan penelitian. Lokasi pertama berada pada koordinat 106o48’42” BT dan 06o44’29” LS, sedangkan lokasi kedua berada pada koordinat 106o 48’30” BT dan 06o44’47” LS. Lokasi satu adalah kawasan dengan karamba jaring apung (KJA), sedangkan lokasi dua merupakan kawasan yang tidak terdapat karamba jaring apung (Non-KJA) (Lampiran 1). Penelitian juga dilakukan di laboratorium pada Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Seluruh rangkaian penelitian dilaksanakan dari Bulan Maret 2009 sampai dengan Bulan Juli 2011.

outlet

inlet

Gambar 5. Peta lokasi dan peletakan substrat buatan di Danau Lido. I, lokasi Karamba Jaring Apung (KJA); II, lokasi tanpa Karamba Jaring Apung (Non-KJA). (Sumber: pengukuran koordinat di lapangan dan peta Bakosurtanal 2000)

Dokumen terkait