• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAHUN ANGGARAN 2008 (MILIYAR)

B. ANALISIS DAN EVALUASI

1. Analisis Kontribusi Pendapatan Asli Daerah Dalam Memenuhi Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintahan Kota Medan

Kemampuan keuangan dan anggaran daerah pada dasarnya adalah kemampuan dari pemeintah daerah dalam meningkatkan sumber-sumber penerimaan pendapatan asli daerah. Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi terletak pada kemampuan daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan mengandalkan kemampuan keuangan daerahnya sendiri.

Artinya daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangannya sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerahnya.

Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Depdagri RI bekerjasama dengan Fisipol UGM (dalam Munir, Dasril, H.A Djuanda, H.N.S. Tangkilisan, 2007:14) untuk menentukan tolak ukur kemampuan daerah dapat dilihat dari rasio PAD terhadap total APBD dan berikut ini skala interval kemampuan keuangan daerah seperti pada Tabel 4.5 di bawah ini :

Tabel 4.6 Skala Interval Kemampuan Keuangan Daerah Kabupaten/Kota

Persentase PAD Kemampuan Keuangan Daerah

0,00-10,00 Sangat Kurang

20,01 – 30,00 Sedang

30,01 – 40,01 Cukup

40,01 – 50,00 Baik

> 50,00 Sangat Baik

Sumber : Tim Litbang Depdagri-Fisipol UGM

Berdasarkan skala interval kemampuan keuangan daerah untuk kota Medan, maka selama pelaksanaan otonomi daerah yakni dari tahun 2004-2008 menunjukkan bahwa kemampuan keuangan daerah untuk kota Medan berada pada skala interval sangat kurang (0,00-10,00 %) walaupun dari tahun 2004 hingga 2008 mengalami peningkatan yang fluktuatif.

Tabel 4.7 Kontribusi PAD dalam APBD Kota Medan selama Periode 2004-2008

Tahun Anggaran PAD (Rp. Juta) APBD (Rp. Miliyar) Kontribusi (%) 2004 257,989 1.075,195 4,17% 2005 303,383 1.228,649 4,05% 2006 312,862 1.398,910 4,47% 2007 314,802 1.645.540 5,23% 2008 380,814 1.795,672 4,72%

Sumber : Bagian Keuangan Pemerintahan Kota Medan

Berdasarkan Tabel 4.7 di atas terlihat bahwa pada Tahun 2004, PAD Kota Medan memberikan kontribusi sebesar 4,17 persen dari APBD dan pada Tahun 2005 mengalami penurunan kontribusi menjadi 5,11 persen. Dan Tahun 2006

mengalami peningkatan kontribusi menjadi 4,47 persen. Untuk Tahun 2007 mengalami peningkatan kembali menjadi 5,23.

Kemudian pada Tahun 2008, kontribusi PAD terhadap APBD Kota Medan kembali mengalami penurunan menjadi 4,72 persen meskipun jumlah PAD-nya yang tertinggi tapi persentase dari segi kontribusinya mengalami penurunan.

Hasil temuan ini sebenarnya merupakan fenomena umum yang tidak hanya dihadapi oleh kota Medan, namun fenomena ini dihadapi oleh sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia yakni masih relatif kecilnya peranan/kontribusi PAD di dalam struktur APBD.

Dengan kata lain, peranan atau kontribusi penerimaan yang berasal dari pemerintahan pusat dalam bentuk sumbangan dan bantuan, bagi hasil pajak dan bukan pajak, masih mendominasi dalam susunan APBD.

Temuan ini sejalan dengan hasil studi yang dilakukan oleh Tampubolon, 2002 (dalam Batam Pos, 12 Februari 2008) tentang pelaksanaan otonomi daerah di kota besar Surabaya yang seharusnya memiliki potensi besar dalam kemandirian financial, ternyata data pada tahun 2000-2002 menunjukkan bahwa kontribusi PAD kota Surabaya hanya sekitar 25% dari penerimaan kota Medan. Fakta ini menunjukkan tingginya fiscal pemerintah kota Surabaya terhadap uluran tangan dari pusat.

Hasil penelitian lain oleh MSI-UGM, 2007 (dalam Batam Pos, 12 Februari 2008) sungguh mengejutkan dimana menunjukkan untuk rasio PAD terhadap total penerimaan daerah untuk semua Kabupaten/Kota di Profinsi DIY sangat rendah

yakni dibawah 10%. Disisi lain rasio antara sumbangan pem,erintah pusat dengan total penerimaan daerah sangat tinggi diantara 50% bahkan ada yang diatas 70%.

. Hal ini sejalan dengan pernyataan Miranda Gultom, 2007 (dalam Batam Pos, 12 Februari 2008) yang menyatakan lebih dari lima puluh persen (50%) sumber PAD di Indonesia masih bersumber dari dana perimbangan dimana 80% dari APBD digunakan untuk pengeluaran rutin dan kurang dari 5% untuk pengeluaran modal.

Begitupun hasil penelitian Mulyono, 2005 (dalam Simanjuntak, 2006) menunjukkan bahwa Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara masih memperlihat ketergantungannya dengan derajat fiskal yang berada dalam interval sangat kurang (0,00-10,00) dan memperlihatkan ketidakmampuan daerah otonom untuk menghimpun dana sebagai PAD guna pengelolaaan pembangunan secara mandiri dan berkesinambungan.

Oleh karena itu, baik sebelum maupun sesudah otonomi daerah, dana perimbangan yang berasal dari pemerintah pusat (dana bagi hasil, DAU dan DAK) masih menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi regional Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara.

Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Simanjuntak (2006) bahwa meskipun struktur penerimaan APBD Kabupaten Labuhan Batu selama periode 2001-2005 cenderung meningkat namun persentase kemampuan keuangan daerahnya berada pada skala interval sangat kurang (0,00-10,00%).

Berdasarkan hal tersebut diatas, ketimpangan perbandingan antara PAD sebagai pendapatan lokal dengan pendapatan luar daerah berupa dana

perimbangan sebagai transfer dari pemerintah pusat dalam komponen pendapatan APBD menjadi masalah yang dikritis bagi pemerintahan Kota Medan APBD menjadi masalah kritis bagi pemerintahan Kota Medan.

Untuk itu pemerintah Kota Medan diharapkan lebih mampu untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui sumber-sumber penerimaan PAD. Tuntutan peningkatan PAD menjadi semakin besar seiring dengan semakin banyaknya kewenangan pemerintahan yang dilimpahan kepada pemerintah daerah yang disertai dengan peralihan personil, peralatan, pembiayaan dan dokumentasi ke daerah dalam jumlah yang besar. Semakin tinggi kewenangan keuangan yang dimiliki pemerintah daerah maka semakin tinggi pulka peranan dalam struktur keuangan daerah, demikian pula sebaliknya.

Hasil empiris di Kota Medan ini sejalan dengan studi Kuncoro, 1995 (dalam Munir dkk, 2004) yang menemukan bahwa proporsi PAD terhadap Total Pendapatan Daerah (TPD) sebagian besar Propinsi di Indonesia hanya 15,4 persen, artinya lebih banyak subsidi dari pemerintah pusat dibandingkan dengan PAD dalam pembiayaan pembangunan daerahnya.

Hanya Propinsi DKI Jakarta saja yang mencatat proporsi PAD terhadap TPD-nya lebih dari 60 persen yang berarti 60 persen pengeluaran rutinnya dibiayai oleh PAD-nya. Sementara untuk PAD propinsi hanya mampu membiayai kurang dari 30 persen pengeluaraan rutinnya sedangkan untuk Kapubaten/Kota kurang 22 persen pengeluaran rutinnya dibiayai oleh PAD.

Peningkatan PAD harus terus ditingkatkan dan tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat harus semakin dikurangi secara bertahap, mengingat kondisi keuangan negara dewasa ini relatif sangat terbatas. 2. Peningkatan Kontribusi PAD Dalam Memenuhi (APBD) Pemerintahan Kota

Medan Tahun 2004 - Tahun 2008

Dapat diketahui peningkatan PAD Kota Medan terjadi setiap tahun. Dari segi jumlah pada Tahun 2004 jumlah PAD sebesar 257.989 meningkat di Tahun 2005 menjadi 303.383. Pada Tahun 2006, jumlah PAD kembali meningkat menjadi 312.862. Tahun 2007 mengalami peningkatan lagi menjadi 314.802 dan Tahun 2008 kembali meningkat lagi menjadi 380.814.

Peningkatan PAD dari segi pajak daerah meningkat setiap tahunnya. Dapat kita lihat Tahun 2004, pajak daerah yang berhasil diperoleh sebesar 145.585 juta. Pada Tahun 2005 meningkat menjadi 178.113 juta. Tahun 2006 meningkat kembali menjadi 181.184 juta dan Tahun 2007 mengalami peningkatan yang tidak begitu banyak menjadi sebesar 181.047 juta dan Tahun 2008, pajak daerah kembali meningkat sebesar 216.792 juta.

Peningkatan PAD dari segi retribusi daerah mengalami fluktuasi naik dan turun. Pada Tahun 2004, retribusi daerah yang berhasil diperoleh sebesar 106.438 juta. Tahun 2005 mengalami peningkatan menjadi 112.271 juta. Tahun 2006, retribusi daerah kembali mengalami peningkatan menjadi 122.519 juta. Tahun 2007 mengalami penurunan menjadi 119.899 juta. Dan Tahun 2008 mengalami peningkatan menjadi 131.643 juta.

Peningkatan PAD dari segi laba BUMD mengalami fluktuasi naik dan turun. Pada Tahun 2004, laba BUMD yang berhasil diperoleh sebesar 1.001 juta. Tahun 2005 mengalami penurunan menjadi 802 juta. Tahun 2006, laba BUMD kembali mengalami peningkatan menjadi 122.519 juta. Tahun 2007 mengalami penurunan menjadi 119.899 juta. Dan Tahun 2008 mengalami penurunan drastis menjadi 4.912 juta.

Peningkatan PAD dari segi lain-lain PAD yang sah mengalami fluktuasi naik dan turun. Pada Tahun 2004, lain-lain PAD yang sah yang berhasil diperoleh sebesar 4.965 juta. Tahun 2005 mengalami peningkatan menjadi 12.197 juta. Tahun 2006, lain-lain PAD yang sah kembali mengalami penurunan menjadi 4.303 juta. Tahun 2007 mengalami peningkatan menjadi 9.597 juta. Dan Tahun 2008 mengalami peningkatan menjadi 27.467 juta.

Jika dilihat dari segi persen antara jenis PAD dengan jumlah PAD pada Tahun 2004 sebesar 12,01%. Pada Tahun 2005 mengalami kenaikan menjadi 14.96%. Pada Tahun 2006 mengalami penurunan menjadi 3.03%. Tahun 2007 mengalami penurunan kembali menjadi 0,62% dan pada Tahun 2008 mengalami kenaikan menjadi 17.33%.

Berdasarkan keterangan diatas maka sektor yang mengalami peningkatan adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Untuk dapat meningkatkan PAD sebaik-baiknya, dapat melalui langkah-langkah sebagai berikut :

a. Instensifikasi, melalui upaya:

2) Mempelajari kembali pajak daerah yang dipangkas guna mencari kemungkinan untuk dialihkan menjadi retribusi

3) Mengitensifikasi penerimaan retribusi daerah yang ada

4) Memperbaiki prasarana dan sarana pungutan yang belum memadai b. Ekstensifikasi

Upaya pengalian sumber-sumber penerimaan diarahkan pada pemanfaatan potensi daerah yang memberikan kelebihan atau keuntungan secara ekonomis kepada masyarakat. Tujuannya untuk meningkatkan kegiatan ekonomis di masyarakat. Jadi upaya ekstensifikasi diarahkan pada upaya mempertahankan potenasi tersebut dapat dipertahankan secara berkelanjutan.

c. Peningkatan Pelayanan Kepada Masyarakat

Dalam perkembangannya fenomena pembayar pajak telah menjadi hak dari layanan masyarakat, sebagai suatu hak tentunya masyarakat menuntuk suatu kualitas layanan yang baik dari pemerintah, kualitas layanan yang baik tentunya diarahkan kepada layanan untuk kepentingan umum. Wujud dari layanan yang baik kepada masyarakat dan memuaskan beberapa :

1) Adanya kemudahan dalam pengurusan kepentingan dengan layanan yang cepat

2) Memperoleh pelayanan secara wajar

3) Mendapatkan perlakuan yang sama dalam pelayanan 4) Pelayanan yang jujur dan terus terang

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait