• Tidak ada hasil yang ditemukan

V SIMPULAN DAN SARAN

3.4 Analisis Data .1 Analisis data angin

Data angin yang diperoleh (Lampiran 1 dan 2) kemudian dianalisis secara statistik dengan menggunakan Software WRPlot untuk mendapatkan persentase kejadian kecepatan dan arah angin. Dalam melakukan analisis data angin, maka data angin dikelompokkan dalam beberapa kelas dengan interval 0.5-2.1 m/det, 2.1- 3.6 m/det, 3.6-5.7 m/det, 5.7-8.8 m/det, 8.8-11.1 m/det dan > 11.1 m/det dalam 8 arah angin. Data angin yang telah dikelompokkan digunakan untuk menggambarkan wind rose tahunan dan musiman di pantai Makassar selama tahun 1990 sampai 2008.

3.4.2 Analisisdata sedimen

Data sedimen yang diperoleh dari lapangan dianalisis dengan cara ayakan dan menggunakan metode sieve net yang mengikuti prosedur ASTM (American Society for Testing and Material). Kemudian data ukuran butir sedimen dihitung dengan memplot persentase berat kumulatif terhadap diameter sedimen pada kertas semilog (Lampiran 3). Berdasarkan plot ini, maka dapat ditentukan nilai diameter sedimen. Selanjutnya pengelompokan klasifikasi sedimen dilakukan menurut Skala Wenworth seperti diperlihatkan pada Tabel 2. Analisis parameter statistik sedimen (mean, skewness, sorting dan kurtosis) dilakukan dengan menggunakan persamaan (Allen 1985 dan Lindholm 1987):

Mean : (11) Skewness (12) Sorting: (13) Kurtosis (14)

Berdasarkan hasil perhitungan nilai skewness, sorting dan kurtosis maka parameter statistik sedimen ditentukan dengan menggunakan Tabel 3.

Tabel 3 Distribusi nilai parameter statistik sedimen (Allen 1985)

Sorting (σI) Skewness (SkI) Kurtosis (KG)

Very well sorted Well sorted

Moderately well sorted Moderately sorted Poorly sorted Very poorly sorted Extremely poorly sorted

< 0.35 0.35 – 0.50 0.50 – 0.70 0.70 – 1.00 1.00 – 2.00 2.00 – 4.00 > 4.00

Very fine skewed Fine skewed Symmetrical Coarse skewed Very coarse skewed

0.3 – 1.0 0.1 – 0.3 0.1 – -0.1 -0.1 – -0.3 -0.3 – -1.0 Very platykurtic Platykurtic Mesokurtic Leptokurtic Very leptokurtic Extremely leptokurtic < 0.67 0.67 – 0.90 0.90 – 1.11 1.11 – 1.50 1.50 – 3.00 > 3.00

3.4.3 Analisis data pasang surut

Data pasang surut yang diperoleh dari hasil pengukuran (Lampiran 4) dianalisis dengan menggunakan metode Admiralty (Beer 1997). Analisis ini bertujuan untuk mendapatkan nilai konstanta harmonis pasang surut yaitu : S0, K1, S2, M2, O1, P1, N2, M4, MS4. Nilai konstanta pasang surut tersebut selanjutnya digunakan untuk memperoleh tipe pasang surut dan tunggang pasang surut untuk penentuan kedalaman dan pembuatan peta batimetri.

Tipe pasang surut ditentukkan berdasarkan bilangan Formzal (F) yang dihitung dengan menggunakan persamaan (Beer 1997):

(15) dimana:

F = bilangan Formzahl

O1 = amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan gaya tarik bulan,

K1 = amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan gaya tarik bulan dan matahari,

M2 = amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan gaya tarik bulan

S2 = amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan gaya tarik matahari

Berdasarkan nilai F, maka tipe pasang surut kemudian dikelompokkan sebagai berikut;

F ≤ 0,25 = pasang surut tipe ganda

0,25 < F ≤ 1,5 = pasang surut campuran condong tipe ganda

1,5 < F ≤ 3,0 = pasang surut campuran condong bertipe tunggal F > 3.0 = pasang surut tipe tunggal

3.4.4 Analisiscitra

Pengolahan awal pada citra dilakukan untukkoreksi terhadap kesalahan geometrik. Kesalahan geomterik merupakan kesalahan distribusi spasial dari nilai-nilai piksel yang terekam oleh sensor yang terjadi akibat berbagai faktor. Koreksi

geometrik dimaksudkan untuk mengoreksi distorsi spasial obyek pada citra sehingga posisi obyek yang terekam sesuai dengan koordinat di lapangan (real world coordinate). Data raster umumnya ditampilkan dalam bentuk ”raw” data yang memiliki kesalahan geometrik sehingga perlu dikoreksi secara geometrik ke dalam sistem koordinat bumi.

Koreksi geometri dilakukan dengan cara pengambilan Ground control point

(GCP) yang disebut titik kontrol di bumi yang dilakukan dengan proyeksi Universal Tranverse Mercator (UTM) sebanyak 32 titik kontrol (Lampiran 5) dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Pengukuran titik kontrol dilakukan pada lokasi-lokasi yang kodisinya dianggap tidak berubah dari tahun 1990 – 2008, seperti simpangan jalan dan jembatan pada lokasi penelitian. Titik kontrol tersebut menjadi titik ikat pada semua citra Landsat yang akan dianalisis sehingga didapatkan citra yang sesuai dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan (di muka bumi).

Penentuan garis pantai dilakukan dengan menggunakan citra tahun 1990, 1999, 2003 dan 2008. Citra satelit yang telah dikoreksi secara geometrik digunakan untuk menentukan garis pantai yang dilakukan dengan komposit RGB 542. Dari hasil komposit warna ini, selanjutnya dilakukan deliniasi garis pantai pada setiap citra.

Hasil deliniasi garis pantai dari citra akan menghasilkan garis pantai pada tahun 1990, 1999, 2003 dan 2008. Garis pantai tersebut kemudian dikoreksi terhadap pasang surut. Koreksi garis pantai terhadap pasang surut dilakukan dengan cara :

(1) Mula-mula ditentukan kelerengan pantai (tan β) dengan menggunakan persamaan (Gambar 4):

(16)

(2) Menentukan selisih tinggi muka air pada saat perekaman citra dengan MSL (∆η), seperti pada Gambar 5.

Gambar 5 Penentuan posisi muka air pada saat perekaman citra.

(3) Menentukan jarak pergeseran garis pantai hasil koreksi pasang surut (x) dengan menggunakan persamaan :

(17) (4) Jika perekaman citra dilakukan pada saat tinggi muka air laut lebih besar dari

pada MSL (keadaan pasang), maka garis pantai digeser sejauh x meter ke arah laut. Sebaliknya jika keadaan surut maka garis pantai digeser sejauh x meter ke arah darat.

3.5 Desain Model

3.5.1 Struktur model perubahan garis pantai

Tujuan model ini adalah untuk memprediksi perubahan garis pantai akibat pengaruh angkutan sedimen sejajar pantai yang dibangkitkan oleh gelombang pecah. Pada model ini dilakukan berbagai penyederhanaan terhadap fenomena kompleks dengan tujuan untuk mendapakan model yang sederhana dengan tetap mempertimbangkan akurasi perhitungan. Model ini lebih ditujukan untuk pantai berpasir yang didominasi oleh pengaruh gelombang dan angkutan sedimen sejajar pantai, sedangkan pengaruh pasang surut dan angkutan sedimen tegak lurus pantai tidak diperhitungkan. Model ini terdiri atas empat submodel yaitu (Lampiran 6):

(1) Submodel prediksi gelombang laut lepas yang dibangkitkan oleh angin.

(3) Submodel angkutan sedimen sejajar pantai

(4) Submodel perubahan garis pantai

Keempat submodel ini dikendalikan oleh satu program utama yang mengatur proses secara keseluruhan termasuk input data dan pencetakan output. Struktur model utama diperlihatkan pada Gambar 4. Model utama ini dimulai dengan pembacaan data seperti : data angin, batimetri, sedimen yang tersimpan dalam bentuk file. Proses pertama yang dilakukan adalah menghitung gelombang yang terbangkit oleh angin pada laut lepas sehingga diperoleh rekaman tinggi, periode dan sudut datang gelombang di laut lepas. Informasi ini digunakan sebagai kondisi batas di grid terluar (lepas pantai).

Proses kedua adalah penentuan posisi garis pantai awal berdasarkan data batimetri. Diasumsikan bahwa batimetri dengan kedalaman lebih besar dari nol (hi,j> 0) dianggap sebagai sel laut, sebaliknya kedalaman lebih kecil dari nol (hi,j< 0) dianggap sebagai sel darat. Model akan mendeteksi garis pantai dengan menghitung panjang lintasan dari titik referensi (j = 1) sampai dengan sel laut yang terdekat. Kelerengan pantai dihitung pada setiap grid ke i berdasarkan data bentangan dari tepi pantai sampai grid ke 100 dan kedalaman pada sel tersebut.

Proses ketiga adalah menghitung penjalaran gelombang dari laut lepas ke garis pantai. Dalam perhitungan diasumsikan bahwa proses yang dominan adalah proses refraksi dan shoaling. Proses difraksi, refleksi, interaksi nonlinier, gesekan dasar, perkolasi, energy angin, irregularitas gelombang tidak ditinjau dalam model karena dianggap tidak dominan (Balas & Inan 2002). Berdasarkan informasi tinggi, periode dan sudut datang gelombang di laut lepas, maka model kemudian menghitung transformasi gelombang dari laut lepas menuju pantai. Selain itu dideteksi pula posisi gelombang pecah dengan menggunakan kriteria indeks gelombang pecah (γ).

Setelah diperoleh data posisi garis pantai awal, gelombang yang berisikan informasi berupa tinggi, periode, sudut gelombang dan posisi gelombang pecah maka dimulai loop perhitungan perubahan garis pantai. Sebelum dilakukan perhitungan perubahan garis pantai, maka terlebih dahulu dihitung angkutan sedimen menyusuri pantai serta kontribusi sedimen dari sungai.

Gambar 6 Diagram alir program utama perubahan garis pantai.

Garis menunjukkan proses cascades yaitu output proses terakhir menjadi input pada proses berikutnya.

ya ya Mula Data Gelombang Laut Lepas Transformasi Gelombang Penentuan Posisi Garis Pantai Jika t > 1 hari Perhitungan Angkutan Sedimen Update Batimetri Perhitungan Perubahan Garis Transformasi Gelombang Cetak Hasil Selesai hrke =1 h rk e = h rk e+1 t = t+ ∆t tidak Jika hrke > hrke-n tidak

Proses looping pertama dilakukan untuk menghitung angkutan sedimen dan perubahan garis pantai yang dilakukan setiap interval ∆t = 0.001 hari selama sehari. Setelah t > 1 hari maka proses looping pertama telah selesai kemudian data batimetri diperbaharui berdasarkan posisi garis pantai terakhir dan dilakukan lagi perhitungan transformasi gelombang. Proses looping kedua dilakukan setiap interval 1 hari sampai hari ke 6840 (19 tahun). Looping kedua merupakan proses

cascades yaitu output proses terakhir menjadi input pada proses berikutnya. Jika perhitungan perubahan garis pantai belum cukup 6840 hari, maka perhitungan dilakukan terus sampai hari ke 6840 (19 tahun).

3.5.2 Perhitungan tinggi dan periode gelombang

Untuk menghitung angkutan sedimen dan prediksi perubahan garis pantai, maka perlu diketahui karakteristik gelombang laut lepas dan transformasi gelombang serta gelombang pecah. Karakteristik gelombang pecah dihitung berdassarkan tinggi gelombang laut lepas yang mengalami proses transformasi pada saat bergerak menuju ke pantai. Tinggi gelombang di laut lepas dihitung melalui parameter angin dengan menggunakan metode CEM.

a) Koreksi data angin

Data angin yang digunakan untukmemprediksi tinggi dan periode gelombang laut lepas adalah data angin yang diukur di darat pada ketinggian 12 m dari permukaan laut, sehingga sebelum digunakan dalam perhitungan tinggi dan perioe gelombangdata angin tersebut perlu dikoreksi. Adapun koreksi yang dilakukan adalah (USACE 2003a):

• Koreksi ketinggian

• Koreksi kecepatan angin rata-rata untuk durasi 1 jam

• Koreksi pengukuran kecepatan angin di darat ke laut

• Koreksi stabilitas

(1) Koreksi ketinggian, koreksi ketinggian dilakukan dengan menggunakan persamaan (USACE 2003a):

(18) 1/ 7 10 10 z U U z   =  

dimana : U10 = kecepatan angin yang diukur pada ketinggian 10 meter (m)

Uz = kecepatan angin pada ketinggian z (m).

(2) Koreksi durasi, koreksi ini dilakukan untuk memperoleh kecepatan angin dengan durasi satu jam. Koreksi durasi dilakukan dengan menggunakan persamaan (USACE 2003a):

(19) untuk t < 3600 (20) untuk 3600 < t < 36000 (21) dimana : t = waktu (detik)

Ut = kecepatan angin dengan durasi waktu t

Ut=3600 = kecepatan angin dengan durasi 1 jam

(3) Koreksi pengukuran angin dari darat ke laut. Koreksi ini dilakukan untuk data angin yang diukur di darat. Koreksi pengukuran angin dari darat ke laut dilakukan dengan menggunakan Gambar 7untuk fetch yang lebih besar dari 10 mile. Berasarkan grafik hubungan antara RL dan UL pada Gambar 5, maka diperoleh persamaan (USACE 2003a):

(22) Sehingga UW dihitung dengan menggunakan persamaan :

(23) dimana RL = perbandingan kecepatan angin di laut dan di darat

UL = kecepatan angin di laut (m/detik)

(4) Koreksi stabilitas. Untuk fetch yang lebih besar dari 10 mile, maka diperlukan koreksi stabilitas. Koreksi stabilitas dilakukan dengan menggunakan nilai RT = 1.1 (USACE 2003a), yang dihitung dengan menggunakan persamaan :

(24)

Gambar 7 Hubungan antara RL dengan kecepatan angin di darat (UL) (USACE 2003a).

b) Panjang fetch

Panjang fetch efektif (Fef) pada penelitian ini ditentukan mulai dari kedalaman 20 m kemudian ditarik garis lurus ke arah laut hingga membentur daratan. Apabila panjang fetchyang diperoleh lebih dari 200 km, maka panjang

fetchmaksimum yang digunakan adalah 200 km. Panjang fetch yang digunakan selama penelitian diasumsikan tidak berubah. Panjang fetchditentukan dengan menggunakan peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) melalui langkah-langkah sebagai berikut:

• Mula-mula ditentukan arah angin

• Menghitung panjang jari-jari di titik peramalan sampai titik dimana jari-jari tersebut memotong daratan (Xi)

• Panjang fecth dihitung melalui persamaan : p

i S X

F = • (25)

Gambar 8 Diagram alir koreksi kecepatan angin dan perhitungan tinggi serta periode gelombang laut lepas.

c) Prediksi gelombang

Prediksi tinggi (H0) dan periode gelombang (Tp) di laut lepas berdasarkan data kecepatan angin dan fetchdilakukan dengan menggunakan persamaan (USACE 2003a):

(26)

Fetch

Data Angin

Koreksi pengkuran di darat ke Laut UW = RL Ut=3600 Koreksi Koreksi Durasi Koreksi Stabilitas RT = 1.1 U* = (CD UC2)0.5 UC = RT UW CD = 0.001(1.1+0.035 UC)

(27) (28) (29) dimana : Ho = Tinggi gelombang di laut lepas (m)

Tp = Periode gelombang (detik)

g = Percepatan gravitasi (m/det2)

F = Fetch (m)

UC = Kecepatan angin yang telah dikoreksi (m/det).

Perhitungan koreksi data angin dan tinggi serta periode gelombang dilakukan dengan menggunakan bahasa program FORTRAN dengan langkah-langkah perhitungan diperlihatkan pada Gambar 8.

3.5.3 Transformasi Gelombang

Setelah gelombang di laut lepas terbentuk oleh angin, maka gelombang akan merambat menuju ke pantai. Gelombang yang merambat dari laut lepas menuju ke garis pantai akan mengalami perubahan bentuk seperti perubahan tinggi dan arah gelombang (Balas & Inan 2002). Pada penelitian ini transformasi gelombang menuju pantai hanya mempertimbangkan pengaruh shoaling dan refraksi. Daerah studi dibagi menjadi beberapa titik grid yang berbentuk persegi empat. Tinggi gelombang pada kedalaman h dihitung dengan menggunakan persamaan (USACE 2003a): (30) dimana: Ks = koefisien shoaling (31) (32) (33) (34)

Dokumen terkait