• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Data

Dalam dokumen Hubungan ceo gender dan manajemen laba (Halaman 20-81)

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Data

BAB VI PENUTUP

Bab ini menjelaskan kesimpulan, keterbatasan penelitian, dan saran dari penulis.

6 BAB II

LANDASAN TEORI

A. CEO (Chief Executive Officer)

CEO (Chief Executive Officer) termasuk dalam manajer puncak (top manager). Manajer puncak bertanggung jawab untuk menentukan tujuan organisasi, menetapkan strategi untuk mencapai tujuan, mengawasi dan menginterpretasikan lingkungan eksternal, serta mengambil keputusan yang memengaruhi keseluruhan organisasi (Draft 2006: 17). CEO memutuskan keseluruhan strategi yang akan memungkinkan organisasi tersebut mencapai tujuannya (Anthony dan Govindarajan, 2005: 22). Kewenangan resmi berada di tangan anggota dewan direksi yang ditetapkan pada CEO (Chief Executive Officer) yang secara pribadi bertanggungjawab kepada anggota dewan dan pemilik atas kinerja organisasi yang dikelolanya (Bateman dan Snell, 2013: 288).

B. Gender

Women’s Studies Encyclopedia dalam Asih (2014), menjelaskan

bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat. “Kata ‘gender’ dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan tanggungjawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya” (Puspitawati, 2013). Menurut

Handayani dan Sugiarti, (2001: 4), gender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan peran antara laki-laki dan perempuan. Identitas

gender (gender identity) merujuk pada penghayatan seseorang terhadap

gendernya, termasuk pengetahuan, pemahaman, dan penerimaan menjadi seorang laki-laki atau perempuan (Egan dan Perry, 2011 dalam Santrock, 2011: 285). Tipe gender (gender typing) mengacu pada penerapan peran tradisional dari maskulin atau feminim (Santrock, 2011: 285).

Perempuan dan laki-laki memiliki peran yang berbeda. Perangender (gender role) merupakan seperangkat ekspektasi yang menentukan bagaimana perempuan dan laki-laki seharusnya berpikir, bertindak, dan merasa (Santrock 2011: 285). Perbedaan antara perempuan dan laki-laki dapat terlihat dari struktur biologi. Perbedaan anatomis biologis dan komposisi kimia dalam tubuh oleh sejumlah ilmuwan dianggap berpengaruh pada perkembangan emosional dan kapasitas intelektual masing-masing (Handayani dan Sugiarti 2001: 7). Perempuan dan laki-laki secara alamiah memiliki struktur biologis berbeda yang tidak dapat dipertukarkan dan merupakan ketentuan biologi atau ketentuan Tuhan (kodrat) (Handayani dan Sugiarti, 2001: 3). Perbedaan kodrat sangat mempengaruhi kondisi psikis masing-masing, sehingga secara alamiah terlihat perkembangan sifat psikologis yang dimiliki (Putry, 2016). Perbedaan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki dapat berpengaruh pada perilaku yang dilakukan. Perilaku tersebut dapat berupa perbedaan dalam hal gaya kepemimpinan, gaya berkomunikasi, konservatisme,

menghindari resiko, dan pengambilan keputusan (Peni dan Vahaama, 2010). Byrnes, et al (1999), menyatakan bahwa perempuan lebih berhati-hati dan kurang agresif daripada laki-laki dalam konteks variasi akan pengambilan keputusan. Pemimpin perempuan lebih demokratis dan kurang direktif (tegas) dibandingkan pemimpin laki-laki (Eagly dan Johnson, 1990).

C. CEOGender

Stereotip masyarakat tentang gender dapat berkaitan dengan posisi seorang CEO dalam perusahaan. Menurut Kuntjara (2012: 159), “Tidak

mudahnya bagi perempuan untuk berada di dunia kerja yang biasanya diduduki laki-laki terlihat dari cara laki-laki dan perempuan berkomunikasi, perbedaan status dan kekuasaan, serta stereotip laki-laki dan perempuan

yang masih kuat melekat di masyarakat”.

CEO gender pada penelitian ini dikategorikan menjadi dua yaitu maskulin dan feminim. CEO gender pada penelitian ini ditentukan berdasarkan jenis kelamin. Jenis kelamin CEO dalam penelitian ini diketahui dari nama dan foto CEO perusahaan. Data gender pada CEO diukur menggunakan skala nominal. Skala nominal mengukur variabel dengan mengklasifikasikan orang atau objek dalam dua kategori atau lebih (Sumanto, 2014: 95). Variabel CEO gender dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan variabel dummy. Kategori 1 untuk perusahaan yang dipimpin oleh CEO perempuan dan kategori 0 untuk perusahaan yang dipimpin oleh CEO laki-laki.

D. Manajemen Laba

1. Pengertian Manajemen Laba

Menurut Asih (2014), “Manajemen laba merupakan campur tangan manajemen dalam proses penyusunan laporan keuangan eksternal guna mencapai tingkat laba tertentu dengan tujuan menguntungkan diri sendiri (perusahaan sendiri)”.

Menurut Scott (2015: 445), manajemen laba adalah pemiilihan kebijakan akuntansi oleh manajer dalam mempengaruhi laba untuk mencapai tujuan-tujuan spesifik pelaporan laba.

Menurut Schipper (1989), manajemen laba adalah suatu intervensi dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Menurut Fischer and Rosenzweig (1995), manajemen laba adalah tindakan manajer untuk menaikkan (menurunkan) laba periode berjalan dari sebuah perusahaan yang dikelola manajer tanpa menyebabkan kenaikan (penurunan) keuntungan ekonomi perusahaan.

2. Motivasi Manajemen Laba

Menurut Sulistiawan, et al (2011: 31), beberapa hal yang memotivasi individu atau badan usaha melakukan tindakan manajemen laba yaitu: motivasi bonus, motivasi utang, motivasi pajak, motivasi penjualan saham, motivasi pergantian direksi, dan motivasi politis. Motivasi-motivasi tersebut dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.

a. Motivasi Bonus

Pemegang saham memberikan insentif dan bonus atas kinerja manajemen. Insentif dari pemegang saham diberikan secara rutin, sedangkan bonus diberikan ketika kinerja manajemen berada pada area pencapaian bonus yang telah ditetapkan oleh pemegang saham. Manajemen akan menaikkan laba periode berjalan untuk mendapatkan bonus dari pemegang saham. Manajemen cenderung menaikkan laba ketika bonus dari pemegang saham ditentukan berdasarkan prosentase tertentu.

b. Motivasi Utang

Motivasi utang dilakukan ketika manajemen ingin mendapatkan pinjaman dari kreditor. Manajemen laba dengan motivasi utang dilakukan agar kreditor mau menginvestasikan sejumlah dana pada perusahaan.

c. Motivasi Pajak

Manajemen melakukan praktik manajemen laba dapat terjadi karena motivasi pajak. Manajemen akan melakukan manajemen laba agar laba fiskal yang dilaporkan lebih rendah dan tidak melanggar peraturan yang berlaku. Laba fiskal yang rendah membuat perusahaan membayar pajak yang rendah.

d. Motivasi Penjualan Saham

Perusahaan akan melakukan penawaran saham perdananya ke publik (Initial Public Offering) untuk mendapatkan tambahan modal

usaha dari investor. Perusahaan yang telahgo public untuk melanjutkan usaha dan melakukan ekspansi akan melakukan penawaran kedua, ketiga, dan seterusnya. Laba dalam laporan keuangan perusahaan akan digunakan oleh investor untuk pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan oleh investor berkaitan dengan investasi yang akan diberikan pada perusahaan tersebut.

e. Motivasi Pergantian Direksi

Motivasi pergantian direksi dilakukan untuk mendapatkan bonus yang maksimal pada akhir masa jabatan. Direksi cenderung bertindak kreatif dengan menyajikan laba yang tinggi agar performa kinerjanya terlihat baik ketika akhir masa jabatan.

f. Motivasi Politis

Manajer cenderung melakukan tindakan kreatif dengan menyajikan laba yang lebih rendah untuk mengurangi visibilitas perusahaan agar tidak menarik perhatian pemerintah, media, atau konsumen. Hal tersebut dilakukan agar tidak menyebabkan meningkatnya biaya politis.

3. Pola dalam Manajemen Laba

Menurut Scott (2015: 447), pola yang dilakukan dalam praktik manajemen laba yaitu taking a bath, income minimization, income maximization, dan income smoothing.

Pola dalam melakukan manajemen laba dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.

a. PolaTaking a Bath

Pola taking a bath dilakukan ketika perusahaan melakukan

reorganisasi termasuk saat pergantian CEO. Pola ini membuat manajemen menghapus beberapa aktiva, membebankan perkiraan biaya yang akan datang mempertinggi kemungkinan pelaporan laba periode yang akan datang.

b. PolaIncome Minimization

Pola ini dilakukan dengan menurunkan laba pada periode berjalan menjadi lebih rendah dari yang seharusnya. Pola ini dilakukan untuk motivasi pajak dan politis. Motivasi politis dilakukan agar perusahaan tidak menjadi perhatian utama yang menimbulkan biaya politis yang tinggi. Pola ini dilakukan perusahaan ketika profitabilitas tinggi agar tidak mendapat perhatian politis. Pola ini dilakukan dengan cara penghapusan asset modal, asset tidak berwujud, biaya iklan, dan pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan.

c. PolaIncome Maximination

Pola ini dilakukan dengan menaikkan laba pada periode berjalan menjadi lebih tinggi dari laba yang sebenarnya. Pola ini biasanya dilakukan manajemen ketika akan melakukan IPO. Pola ini dilakukan manajer untuk tujuan mendapatkan bonus.

d. PolaIncome Smoothing

Pola ini dilakukan dengan melaporkan laba pada laporan keuangan menjadi relatif stabil. Laba yang relatif stabil merupakan hal penting bagi investor dan kreditur yang risk averse dalam melakukan pengambilan keputusan. Pola ini menyebabkan manajer mendapatkan kompensasi yang tetap.

4. Teknik Manajemen Laba

Teknik legal yang biasanya dijumpai dalam praktik manajemen laba dapat dikelompokkan ke dalam 5 teknik, yaitu mengubah metode akuntansi, membuat estimasi akuntansi, mengubah periode pengakuan pendapatan dan biaya, mereklasifikasi akun current dan noncurrent, serta mereklasifikasi akrual diskresioner (accrual discretionary) dan akrual nondiskresioner (accrual nondiscretionary) (Wolk, Dodd, dan Tearney 2006 dalam Sulistiawan,et al., 2011: 43). Teknik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Mengubah Metode Akuntansi

Pemilihan metode akuntansi yang digunakan dapat memberikan

outcome yang berbeda, baik bagi manajemen, pemilik, maupun

pemerintah. Metode akuntansi yang dapat diubah seperti metode penilaian persediaan, metode penyusutan aset tetap, leasing, investasi pada obligasi, penggunaan metode harga pasar, pembelian kembali saham perusahaan, dan pengakuan pendapatan.

b. Mengubah Periode Pengakuan Pendapatan dan Biaya

Teknik ini biasanya dilakukan ketika akan melakukan IPO dengan mempercepat pengakuan pendapatan periode mendatang dengan melaporkannya pada periode yang sedang berjalan agar kinerja perusahaan terlihat baik sehingga menunjukkan laba yang maksimal. c. Mereklasifikasi Akun

Teknik ini dilakukan dengan memindahkan posisi akun dari satu tempat ke tempat lainnya.

d. Mereklasifikasi Akrual Diskresioner dan Akrual Nondiskresioner Akrual diskresioner merupakan akrual yang dapat berubah sesuai dengan kebijakan manajemen. Akrual nondiskresioner merupakan akrual yang dapat berubah bukan karena kebijakan manajemen. Akrual merupakan penjumlahan antara akrual diskresioner dan akrual nondiskresioner. Semakin tinggi nilai akrual menujukkan strategi menaikkan laba, sedangkan semakin rendah nilai akrual menujukkan strategi menurunkan laba.

5. Deteksi Manajemen Laba

Menurut Sulistiawan,et al(2011: 67), deteksi manajemen laba dapat dilakukan dengan dua cara yaitu deteksi manajemen laba secara kualitatif dan deteksi manajemen laba secara kuantitatif. Deteksi manajemen laba tersebut dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.

a. Deteksi Manajemen Laba Secara Kualitatif

Mohanram (2003), menyatakan bahwa untuk mendeteksi praktik manajemen laba, analisis akuntansi dapat dilakukan dengan beberapa tahapan sebagai berikut.

1) Mengidentifikasi kebijakan akuntansi utama yang digunakan oleh sebuah perusahaan atau industri.

2) Menilai fleksibilitas akuntansi perusahaan. 3) Mengevaluasi strategi perusahaan.

4) Menilai kualitas pengungkapan perusahan. 5) Mengidentifikasi adanya potensi permasalahan. b. Deteksi Manajemen Laba Secara Kuantitatif

Deteksi manajemen laba secara kuantitatif dapat melalui kebijakan akuntansi dan aktivitas riil. Deteksi manajemen laba melalui kebijakan akuntansi dilakukan menggunakan teknik dan kebijakan akuntansi. Deteksi manajemen laba melalui aktivitas riil dilakukan menggunakan aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan operasional.

Deteksi manajemen laba melalui kebijakan akuntansi dapat dilakukan dengan Jones Model (1991),Modified Jones Model (1995),

Kasznik Model (1999), dan Performance-Matched Discretionary

6. Pengukuran Manajemen Laba

Pengukuran manajemen laba menggunakan model berbasis akrual agregat (aggregate accruals). Model berbasisaggregate accrualsejauh ini yang hanya dapat diterima secara umum karena memberikan hasil paling kuat dalam mendeteksi manajemen laba dan sejalan dengan akuntansi berbasis akrual (Sulistyanto 2008: 9). Model berbasis aggregate accrual menggunakan discretionary accrual sebagai proksi manajemen laba. Proksi discretionary accrual dihitung dengan menggunakan Modified Jones Model. Model Jones dimodifikasi (Modified Jones Model) merupakan pengembangan dari Jones model. Modified Jones model yang dikembangkan oleh Dechow dan kawan-kawan muncul untuk mengatasi kelemahanJones model(Sulistiawan,et al.,2011: 72).

Pengukuran manajemen laba dalam penelitian ini menggunakan

Modified Jones Model karena mengacu pada penelitian yang pernah

dilakukan oleh Dechow, et al (1995). Penelitian yang dilakukan oleh Dechow, et al (1995), menyatakan bahwa versi modifikasi dari model yang dikembangkan oleh Jones (1991) memberikan tes kekuatan yang paling kuat untuk manajemen laba.

Menurut Sulistiawan, et al (2011: 73), penentuan discretionary

accrual menggunakan Modified Jones Model dapat dijelaskan dalam

tahapan-tahapan berikut.

a. Menghitung nilai total akrual

Keterangan:

TAit = Total akrual perusahaan i pada periode t. Niit = Laba bersih perusahaan i pada periode t. CFOit = Arus kas operasi perusahaan i pada periode t. b. Menentukan nilai parameter α1, α2, α3

TAit/ Ait-1= α1(1 / Ait-1) + α2(Δ Revit/ Ait-1) + α3( PPEit/ Ait-1) +ԑit

Keterangan:

NDAit = Akrual nondiskresioner perusahaan i pada periode t. Ait-1 = Total asset awal tahun perusahaan i pada periode t.

Δ Revit = Perubahan penjualan bersih perusahaan i pada periode t.

Δ Recit = Perubahan piutang perusahaan i pada periode t.

PPEit = Property, plant, and equipment perusahaan i pada

periode t.

α1, α2, α3 = Parameter yang diperoleh dari persamaan regresi.

ԑit =Error termperusahaan i pada periode t.

c. Menentukan nilainondiscretionary accrual(NDA)

NDAit= α1(1/ Ait-1) + α2(Δ Revit/ Ait-1-Δ Recit/ Ait-1) + α3(PPEit/ Ait-1)

Keterangan:

NDAit = Akrual nondiskresioner perusahaan i pada periode t. Ait-1 = Total asset awal tahun perusahaan i pada periode t.

Δ Recit = Perubahan piutang perusahaan i pada periode t.

PPEit = Property, plant, and equipment perusahaan i pada

periode t.

α1, α2, α3 = Parameter yang diperoleh dari persamaan regresi.

d. Menentukan nilaidiscretionary accruals(DA)

DAit= TAit/ Ait-1 - NDAit

Keterangan:

TAit = Total akrual perusahaan i pada periode t. Ait-1 = Asset awal tahun perusahaan i pada periode t

NDAit = Akrual nondiskresioner perusahaan i pada periode t. DAit = Akrual diskresioner perusahaan i pada periode t.

Pengukuran manajemen laba dalam penelitian ini dilakukan dengan menentukan nilai discretionary accrual yang diperoleh dari selisih antara total akrual perusahaan dibagi dengan asset awal tahun dan

nondiscretionary accrual. Total akrual merupakan penjumlahan

discretionary accrual dan nondiscretionary accrual (Sulistyanto 2008: 164). Akrual merupakan selisih antara laba dan arus kas (Mohanram, 2003). Menurut PSAK No. 01, “Dalam akuntansi akrual, aktiva, kewajiban, ekuiti, penghasilan dan beban diakui pada saat kejadian bukan saat kas atau setara kas diterima dan dicatat serta disajikan dalam laporan keuangan pada periode terjadinya”. Hal tersebut dapat membuat perusahaan mengakui biaya periode tertentu walaupun kas belum dicatat. Perusahaan

juga dapat mengakui pendapatan periode tertentu walaupun kas baru diterima periode yang akan datang sehingga mengakibatkan munculnya akun akrual seperti piutang dagang, pendapatan diterima dimuka, hutang biaya, biaya depresiasi, biaya dikeluarkan dimuka, biaya cadangan, dan lain-lain (Sulistyanto 2008: 161).

Menurut Sulistyanto (2008: 212), discretionary accruals merupakan komponen akrual yang dapat diatur dan direkayasa sesuai dengan kebijakan manajerial, sementara nondiscretionary accruals merupakan komponen akrual yang tidak dapat diatur dan direkayasa sesuai dengan kebijakan manajer perusaahaan.

Dalam mengaplikasikan kebijakan accrual, deferral, dan prosedur alokasi yang memiliki tujuan untuk menyesuaikan biaya dan pendapatan berdasarkan pengeluaran dengan periode terjadinya bukan berdasarkan kas basis, maka dapat dimengerti apabila kebijakan akrual ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan manajemen laba (Sulistyanto, 2008: 182).

Menurut PSAK No. 02,” Arus kas adalah arus masuk dan arus

keluar kas atau setara kas”.Arus kas dalam perusahaan memiliki 3 kategori yaitu aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan yang dapat dijadikan dasar oleh pengguna laporan keuangan untuk menilai kemampuan entitas untuk menghasilkan dan memanfaatkan uang tunainya (Ankarath, et al 2012: 4). “Aktivitas operasi adalah aktivitas penghasil utama pendapatan perusahaan (principal revenue-producing activities) dan aktivitas lain yang bukan merupakan aktivitas investasi dan aktivitas pendanaan” (PSAK No.

02). “Aktivitas investasi adalah perolehan dan pelepasan aktiva jangka panjang serta investasi lain yang tidak termasuk setara kas” (PSAK No.

02). “Aktivitas pendanaan (financing) adalah aktivitas yang mengakibatkan perubahan dalam jumlah serta komposisi modal dan pinjaman perusahaan”

(PSAK No. 02).

Menurut PSAK No 19, “Asset adalah sumber daya yang: (a)

dikendalikan oleh suatu entitas sebagai akibat dari peristiwa masa lalu; dan (b) manfaat ekonomis di masa depan dari asset tersebut diharapkan diterima

oleh entitas”.

Property plant and equipment didefinisikan sebagai aktiva tetap.

“Aktiva tetap adalah aktiva berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dengan dibangun lebih dahulu, yang digunakan dalam operasi perusahaan, tidak dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan normal

perusahaan dan mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun” (PSAK No

16). Komponen aktiva tetap yang sering menjadi objek rekayasa manajerial adalah metode depresiasi dan nilai estimasi umur ekonomis aktiva yang bersangkutan (Sulistyanto 2008:198).

Menurut Kieso, et al(2011: 347), piutang merupakan asset keuangan yang sering dirujuk sebagai peminjaman yang diklaim sebagai tagihan kepada pelanggan berupa uang, barang, maupun jasa. Piutang dapat menjadi obyek rekayasa manajerial karena tidak mempunyai wujud fisik sehingga mudah untuk mengubah bukti-bukti transaksi, mengubah bukti pencatatan piutang, kebebasan menentukan estimasi prosentase biaya kerugian piutang, dan

kebebasan memilih komponen yang dipakai sebagai dasar penghitungan biaya kerugian piutang (Sulistyanto 2008: 185). Perubahan piutang merupakan selisih antara piutang perusahaan pada periode berjalan dengan piutang perusahaan pada periode sebelumnya.

Menurut PSAK No. 23, “Pendapatan adalah arus masuk bruto dari

manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal perusahaan selama suatu periode jika arus kas masuk tersebut mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang

tidak berasal dari kontribusi penanaman modal”. Perubahan pendapatan merupakan selisish antara pendapatan perusahaan pada periode berjalan dengan pendapatan perusahaan periode sebelumnya.

Penelitian ini melakukan klasifikasi manajemen laba menjadi 2 kategori menggunakan variabel dummy. Menurut Sulistiawan,et al (2011: L-12), semakin besar nilai nondiscretionary accruals menunjukkan perusahaan cenderung menggunakan strategi peningkatan laba, sedangkan semakin negatif nilai nondiscretionary accruals menunjukkan perusahaan cenderung menggunakan strategi penurunan laba. Hal tersebut berarti bahwa nilai discretionary accruals positif menunjukkan manajemen laba dilakukan dengan income maximization, sedangkan nilai discretionary accruals negatif menunjukkan manajemen laba dilakukan dengan income

minimization. Kategori dalam klasifikasi variabel manajemen laba

diberikan kode satu untuk discretionary accrual yang memiliki nilai positif dan kode nol untuk discretionary accrual yang memiliki nilai negatif.

E. Hubungan CEOGenderdan Manajemen Laba

Perusahaan dikelola oleh manajer yang memiliki fungsi dan peran masing-masing. CEO (Chief Executive Officer) merupakan jajaran manajemen tingkat puncak. Manajemen tingkat puncak merupakan tingkatan manajemen yang paling tinggi. CEO memiliki tugas untuk memberikan arah organisasi secara keseluruhan. Manajemen tingkat puncak mempunyai wewenang serta tanggungjawab yang maksimal. Manajemen tingkat puncak bertanggung jawab kepada pemilik perusahaan (Pemegang Saham), Pemerintah maupun ke Masyarakat umum.

Menurut Azlina (2010), penjelasan mengenai konsep manajemen laba dapat menggunakan teori keagenan (agency theory) yang menyatakan bahwa praktik manajemen laba disebabkan oleh konflik kepentingan antara manajemen (agent) dan pemilik (principal) yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk mempertahankan tingkat kemakmuran. CEO sebagai ‘agents’

harus bekerja demi kepentingan pemegang saham (principal). Belkaoui (2004: 188) menyatakan bahwa, “Teori keagenan mungkin berawal dengan adanya

penekanan kontrak sukarela yang timbul di antara berbagai pihak organisasi

sebagai suatu solusi yang efisien terhadap konflik kepentingan tersebut”. “Agency theory memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai ‘agents

bagi para pemegang saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham sebagaimana diasumsikan dalam stewardship model”(Daniri 2005: 5). Pihak pemegang saham (principal) sebagai pemberi

wewenang dan pihak manajemen (agent) sebagai pihak yang diberi wewenang memiliki hubungan kerja dalam suatu kontrak. Implikasinya, pihak yang mendapatkan wewenang cenderung berperilaku oportunis (Sulistiawan, et al 2011: 31).

Pengelolaan perusahaan harus diawasi dan dikendalikan untuk memastikan bahwa pengelolaan dilakukan berdasarkan berbagai peraturan dan ketentuan yang berlaku. Menurut Sulistyanto (2008: 20), manajer sebagai pengelola perusahaan merupakan satu-satunya pihak yang menguasai seluruh informasi yang diperlukan untuk menyusun laporan keuangan. Pihak pemegang saham memiliki keterbatasan akses dalam mendapatkan informasi tentang perusahaan. Pemegang saham hanya dapat mengandalkan informasi yang ada dalam laporan keuangan perusahaan yang telah diterbitkan untuk menilai kinerja manajemen selama periode tertentu.

Komponen dalam laporan keuangan tahunan yang digunakan oleh pemegang saham sebagai dasar penilaian kinerja manajemen adalah laba.

Menurut Asih (2014), “Earnings atau laba merupakan komponen keuangan yang menjadi pusat perhatian, sekaligus dasar pengambilan keputusan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya untuk menilai kinerja perusahaan atau kinerja manajer, sebagai dasar untuk memberikan bonus kepada manajer, dan digunakan sebagai dasar penghitungan penghasilan kena pajak”.

Pentingnya komponen laba dalam laporan keuangan menjadikannya rentan untuk dimanipulasi oleh pihak manajemen. Hal tersebut dikarenakan pihak manajemen menginginkan hasil yang maksimal atas kinerja yang telah

dilakukan. Oleh karena itu, tidak jarang praktik manajemen laba dilakukan agar kinerja mereka terlihat maksimal bagi pengguna laporan keuangan.

Praktik manajemen laba dapat dilakukan melalui penggunaan keputusan tertentu dari manajemen. Menurut Healy dan Wahlen (1999), manajemen laba muncul ketika manajer menggunakan keputusan tertentu dalam pelaporan keuangan dan mengubah transaksi untuk mempengaruhi hasil kontrak menggunakan angka akuntansi yang dilaporkan. Manajemen laba menggunakan fleksibilitas dalam prinsip akuntansi yang memperbolehkan manajer untuk mempengaruhi pelaporan laba sehingga menyebabkan pendapatan menjadi lebih besar atau lebih kecil (Lakhal et al, 2015).

Prinsip akuntansi yang berlaku saat ini dapat memiliki keterkaitan dengan praktik manajemen laba. “Selain kebebasan dalam memilih dan

mengganti metode akuntansi, prinsip akuntansi juga memberikan kebebasan pemakainya untuk menentukan nilai estimasi yang digunakannya”

(Sulistyanto, 2008). Hal tersebut membuat CEO yang merupakan pimpinan tertinggi perusahaan memiliki kebebasan menentukan suatu kebijakan dalam penggunaan metode akuntansi atau nilai estimasi yang digunakan perusahaan. Pengambilan keputusan dalam penggunaan kebijakan untuk perusahaan yang dilakukan oleh CEO dapat berbeda antara laki-laki dan perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Gavious,et al(2012) menyatakan bahwa CEO perempuan lebih risk averse dibandingkan CEO laki-laki. Perbedaan mengenaigenderdapat menyebabkan pengambilan keputusan dan

kebijakan yang dilakukan oleh CEO untuk perusahaan dapat berbeda. Hal tersebut dikarenakan perempuan dan laki-laki bertindak secara berbeda dalam menghadapi kondisi yang sama, misalnya dalam hal gaya kepemimpinan, gaya berkomunikasi, konservatisme, menghindari risiko, dan pengambilan

Dalam dokumen Hubungan ceo gender dan manajemen laba (Halaman 20-81)

Dokumen terkait