• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis data dilakukan menggunakan anova pada masing-masing unit percobaan menggunakan software SAS 9.1.3 portable serta Minitab versi 15. Perbandingan setiap karakter pengamatan untuk perbedaan nilai pengamatan antar kedua musim tanam dilakukan dengan uji t pada taraf nyata 5%. Formula untuk ujitberpasangan adalah (Mattjik & Sumertajaya 2006):

n s d t d do hitung / µ ð

pada derajat bebas n-1.

adalah nilai tengah dari beda dua contoh

n d

d i

adalah galat baku

Kriteria pengambilan keputusan adalah jika nilai p < 0.05 pada taraf 5% berarti terdapat perbedaan antara MK II dan MH, dan jika nilai p  0.05 artinya tidak terdapat perbedaan antara MK II dan MH.

Hasil dan Pembahasan

Hasil anova gabungan MK II dan MH pada genotipe tunggal dan campuran disajikan pada Tabel 6 dan Tabel 7. Pada genotipe tunggal terlihat bahwa genotipe sangat berpengaruh terhadap seluruh karakter pengamatan. Pengaruh musim pada genotipe tunggal tampak pada karakter tinggi tanaman, jumlah malai per rumpun, jumlah gabah hampa per malai, persentase gabah isi, hasil per ha dan ukuran sink, sedangkan interaksi genotipe dengan musim berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah malai per rumpun dan jumlah gabah isi per malai. Karakter pengamatan yang sangat dipengaruhi oleh genotipe, musim dan interaksi keduanya pada genotipe tunggal adalah tinggi tanaman dan jumlah malai per rumpun.

Tabel 6 Ringkasan hasil anova gabungan pada genotipe tunggal

Karakter pengamatan Genotipe Musim Genotipe*musim

Tinggi tanaman (cm) ** ** *

Jml malai per rumpun ** ** *

Jml gabah isi per malai (butir) ** tn *

Jml gabah hampa per malai (butir) ** * tn

Jml gabah total per malai (butir) * tn tn

Bobot 1000 butir (g) ** tn tn

Persentase gabah isi (%) ** * tn

Ukuran sink (g m2) ** * tn

Hasil per ha (ton) ** ** tn

Pada genotipe campuran, genotipe juga sangat berpengaruh terhadap seluruh karakter kecuali ukuran sink. Pengaruh musim tampak pada tinggi tanaman, jumlah malai per rumpun, bobot 1000 butir, hasil per ha dan ukuran

sink, sedangkan interaksi genotipe dengan musim hanya mempengaruhi tinggi tanaman. Karakter pengamatan yang sangat dipengaruhi oleh genotipe, musim dan interaksi keduanya pada genotipe campuran hanyalah tinggi tanaman.

n n d d n s s d i d ) 1 /( ) (  2    

Tabel 7 Ringkasan hasil anova gabungan pada genotipe campuran

Karakter pengamatan Genotipe Musim Genotipe*musim

Tinggi tanaman (cm) ** ** *

Jml malai per rumpun ** ** tn

Jml gabah isi per malai (butir) ** tn tn

Jml gabah hampa per malai (butir) ** tn tn

Jml gabah total per malai (butir) ** tn tn

Bobot 1000 butir (g) ** * tn

Persentase gabah isi (%) ** tn tn

Ukuran sink (g m2) tn ** tn

Hasil per ha (ton) * ** tn

Perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran pada masing-masing lingkungan dianalisis menggunakan uji t. Genotipe campuran mempunyai jumlah malai per rumpun lebih banyak dan ukuran sink lebih besar daripada genotipe tunggal (p=0.0226 dan 0.0177), sedangkan persentase gabah isi lebih besar pada genotipe tunggal (p=0.0481) di Majalengka pada MK II. Karakter agronomi yang lain tidak menunjukkan adanya perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran. Pada lingkungan yang lain yaitu Majalengka MH, Pacitan MK II dan Pacitan MH tidak ada perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran pada seluruh karakter agronomi (p>0.05).

Ujitjuga digunakan untuk mengalisis adanya perbedaan antara MK II dan MH pada genotipe tunggal maupun genotipe campuran. Analisis dilakukan pada setiap lokasi dan gabungan dari kedua lokasi. Rata-rata pengamatan dan hasil ujit

genotipe tunggal di Majalengka untuk karakter tinggi tanaman, jumlah malai per rumpun, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, jumlah gabah total per malai, bobot 1000 butir, persentase gabah isi, hasil per ha dan ukuran

sink tertera pada Tabel 8. Perbedaan antara MK II dan MH terlihat pada tinggi tanaman, jumlah malai per rumpun dan ukuran sink, sedangkan karakter pengamatan yang lain tidak ada perbedaan. Tinggi tanaman pada MH lebih tinggi daripada MK II, sedangkan jumlah malai per rumpun dan ukuran sink pada MH lebih rendah daripada MK II. Perbedaan pada tinggi tanaman dan jumlah malai per rumpun sangat dipengaruhi oleh genotipe, musim dan interaksi keduanya, dan perbedaan pada ukuransinkdipengaruhi oleh genotipe dan musim.

Tabel 8 Rata-rata pengamatan genotipe tunggal MK II dan MH di Majalengka dan hasil ujit

Karakter pengamatan MK II MH Uji t

Tinggi tanaman (cm) 98.85 115.42 **

Jml malai per rumpun 12.14 10.36 *

Jml gabah isi per malai (butir) 131.49 122.79 tn

Jml gabah hampa per malai (butir) 50.41 52.56 tn

Jml gabah total per malai (butir) 181.90 175.36 tn

Bobot 1000 butir (g) 26.62 27.13 tn

Persentase gabah isi (%) 72.46 71.52 tn

Ukuran sink (g m2) 1425.60 1203.5 *

Hasil per ha (ton) 6.84 6.22 tn

Hasil analisis uji t di Pacitan berbeda dengan hasil uji t di Majalengka. Selain terdapat perbedaan pada tinggi tanaman dan jumlah malai per rumpun, juga terdapat perbedaan pada jumlah gabah hampa per malai dan hasil per ha (Tabel 9). Perbedaan tinggi tanaman dipengaruhi oleh genotipe, musim dan interaksi keduanya. Perbedaan pada jumlah malai per rumpun dan hasil per ha hanya dipengaruhi oleh genotipe dan musim tanpa ada pengaruh interaksi, sedangkan jumlah gabah hampa per malai dipengaruhi oleh genotipe saja. Tinggi tanaman dan jumlah gabah hampa per malai lebih tinggi pada MH daripada MK II, sedangkan jumlah malai per rumpun dan hasil per ha lebih tinggi pada MK II. Tabel 9 Rata-rata pengamatan genotipe tunggal MK II dan MH di Pacitan dan

hasil uji t

Karakter pengamatan MK II MH Uji t

Tinggi tanaman (cm) 94.69 114.33 **

Jml malai per rumpun 13.52 9.63 *

Jml gabah isi per malai (butir) 108.83 119.94 tn

Jml gabah hampa per malai (butir) 26.64 40.18 *

Jml gabah total per malai (butir) 135.47 160.12 tn

Bobot 1000 butir (g) 26.91 27.09 tn

Persentase gabah isi (%) 80.94 76.08 tn

Ukuran sink (g m2) 1134.60 1026.10 tn

Hasil per ha (ton) 8.39 5.80 **

Perbedaan antara MK II dan MH lebih banyak terjadi pada genotipe campuran. Tinggi tanaman, bobot 1000 butir dan persentase gabah isi terlihat lebih tinggi pada MH daripada MK II, sedangkan jumlah malai per rumpun, jumlah gabah hampa per malai, jumlah gabah total per malai dan ukuran sink pada MH lebih rendah. Terdapat dua karakter pengamatan yang tidak menunjukkan

perbedaan di Majalengka yaitu jumlah gabah isi per malai dan hasil per ha (Tabel 10).

Tabel 10 Rata-rata pengamatan genotipe campuran MK II dan MH di Majalengka dan hasil ujit

Karakter pengamatan MK II MH Ujit

Tinggi tanaman (cm) 98.77 115.20 **

Jml malai per rumpun 13.94 11.32 *

Jml gabah isi per malai (butir) 127.15 126.27 tn

Jml gabah hampa per malai (butir) 58.51 44.14 *

Jml gabah total per malai (butir) 185.66 170.41 *

Bobot 1000 butir (g) 25.59 26.59 *

Persentase gabah isi (%) 68.90 75.31 *

Ukuran sink (g m2) 1589.70 1244.8 **

Hasil per ha (ton) 6.64 6.74 tn

Tabel 11 Rata-rata pengamatan genotipe campuran MK II dan MH di Pacitan dan hasil ujit

Karakter pengamatan MK II MH Uji t

Tinggi tanaman (cm) 94.79 114.08 **

Jml malai per rumpun 14.09 9.34 **

Jml gabah isi per malai (butir) 109.02 123.08 tn

Jml gabah hampa per malai (butir) 27.25 38.08 *

Jml gabah total per malai (butir) 136.27 161.15 *

Bobot 1000 butir (g) 25.95 26.21 tn

Persentase gabah isi (%) 80.25 77.15 tn

Ukuran sink (g m2) 1196.7 950.40 *

Hasil per ha (ton) 8.58 5.84 **

Tidak terdapat perbedaan jumlah gabah isi per malai di Pacitan, demikian juga bobot 1000 butir dan persentase gabah isi (Tabel 11). Perbedaan yang utama terjadi pada tinggi tanaman, jumlah malai per rumpun dan hasil per ha. Tinggi tanaman, jumlah gabah hampa per malai dan jumlah gabah total per malai pada MH terlihat lebih rendah, sedangkan jumlah malai per rumpun, hasil per ha dan ukuransink lebih tinggi pada MK II.

Hasil uji t gabungan pada genotipe tunggal antara MK II dan MH dari kedua lokasi menunjukkan tinggi tanaman dan jumlah malai per rumpun tetap menunjukkan perbedaan. Perbedaan yang lain terlihat pada hasil per ha dan ukuran sink (Tabel 12). Tinggi tanaman pada MH lebih tinggi daripada MK II. Karakter jumlah malai per rumpun, hasil per ha dan ukuransink menunjukkan hal yang sebaliknya, yaitu lebih tinggi pada MK II.

Tabel 12 Rata-rata pengamatan genotipe tunggal MK II dan MH gabungan kedua lokasi dan hasil ujit

Karakter pengamatan MK II MH Ujit

Tinggi tanaman (cm) 96.24 115.06 **

Jml malai per rumpun 12.83 10.00 **

Jml gabah isi per malai (butir) 120.16 121.37 tn

Jml gabah hampa per malai (butir) 38.53 46.38 tn

Jml gabah total per malai (butir) 158.69 167.74 tn

Bobot 1000 butir (g) 26.77 27.11 tn

Persentase gabah isi (%) 76.70 73.80 tn

Ukuran sink (g m2) 1280.10 1114.80 *

Hasil per ha (ton) 7.62 6.01 **

Tinggi tanaman dan jumlah malai per rumpun pada genotipe campuran juga menunjukan perbedaan. Karakter lain yang menunjukkan perbedaan adalah bobot 1000 butir, hasil per ha dan ukuran sink (Tabel 13). Tinggi tanaman dan bobot 1000 butir pada MH lebih tinggi daripada MK II, namun karakter jumlah malai per rumpun, hasil per ha dan ukuransink lebih tinggi pada MK II.

Tabel 13 Rata-rata pengamatan genotipe campuran MK II dan MH gabungan kedua lokasi dan hasil ujit

Karakter pengamatan MK II MH Ujit

Tinggi tanaman (cm) 96.78 114.64 **

Jml malai per rumpun 13.16 9.71 **

Jml gabah isi per malai (butir) 110.05 118.91 tn

Jml gabah hampa per malai (butir) 36.93 35.65 tn

Jml gabah total per malai (butir) 148.46 156.46 tn

Bobot 1000 butir (g) 25.34 25.98 *

Persentase gabah isi (%) 72.27 74.09 tn

Ukuran sink (g m2) 1308.8 1037.4 **

Hasil per ha (ton) 1308.8 1037.4 **

Tinggi tanaman (cm) 7.24 5.99 **

Uji t juga memberikan informasi tidak adanya perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran. Hanya terdapat dua karakter pengamatan di Majalengka yang menunjukkan perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran yaitu jumlah malai per rumpun dan bobot 1000 butir. Perbedaan bobot 1000 butir juga terjadi antara genotipe tunggal dan campuran di Pacitan (Tabel 14). Rata-rata MK II dan MH di Majalengka pada karakter jumlah malai per rumpun pada genotipe campuran adalah 12.63, lebih tinggi daripada genotipe tunggal (11.25). Rata-rata MK II dan MH di Majalengka dan Pacitan pada karakter bobot 1000 butir pada

genotipe tunggal lebih tinggi daripada genotipe campuran. Rata-rata bobot 1000 butir di Majalengka pada genotipe tunggal adalah 26.88 g dan pada genotipe campuran 26.09 g, sedangkan di Pacitan berturut-turut 27.00 g dan 26.08 g.

Tabel 14 Perbandingan genotipe tunggal dan campuran di Majalengka dan Pacitan berdasarkan ujit

Karakter pengamatan Majalengka Pacitan

Tinggi tanaman (cm) tn tn

Jml malai per rumpun * tn

Jml gabah isi per malai (butir) tn tn

Jml gabah hampa per malai (butir) tn tn

Jml gabah total per malai (butir) tn tn

Bobot 1000 butir (g) * *

Persentase gabah isi (%) tn tn

Ukuran sink (g m2) tn tn

Hasil per ha (ton) tn tn

Berdasarkan semua hasil analisis di atas, diketahui bahwa perbedaan yang terjadi antara MK II dan MH disebabkan oleh pengaruh genotipe, musim serta interaksi keduanya. Penampilan tanaman pada MH lebih tinggi daripada MK II 2011 terjadi karena adanya mekanisme adaptasi morfologi pada tanaman padi. Dou et al. (2010) melaporkan bahwa Oryza rufipogon yang ditanam dalam keadaan tergenang mempunyai penampilan lebih tinggi daripada yang ditanam dalam keadaan tidak tergenang pada seluruh fase pertumbuhan.

Berdasarkan penelitian Sesbany (2009), padi yang ditanam dalam keadaan air macak-macak mempunyai hasil lebih tinggi, jumlah anakan lebih banyak, tidak terjadi pemanjangan ruas batang yang abnormal, perkembangan perakaran lebih baik, tekanan turgor tinggi sehingga dapat menyerap hara lebih banyak dan kandungan prolin rendah dibandingkan padi yang ditanam dalam keadaan selalu tergenang. Keadaan air sesuai dengan musim, pada MK II keadaan air sawah macak-macak pada awal tanam dan kering saat panen, sedangkan pada MH keadaan air selalu tergenang sepanjang musim. Keadaan air tersebut menyebabkan rata-rata hasil pada MK II lebih tinggi daripada MH, demikian juga jumlah malai per rumpun. Hasil per ha salah satunya ditentukan oleh ukuran sink, oleh karena itu diduga keadaan air yang macak-macak berpengaruh positif terhadap ukuransink.

Pengaruh pencampuran terhadap perbedaan nilai pengamatan pada seluruh karakter agronomi belum dapat diketahui. Genotipe tunggal maupun campuran tidak menunjukkan pola yang spesifik. Baik pada genotipe tunggal maupun campuran menunjukkan pola pertumbuhan yang tidak berbeda pada semua karakter yang diamati. Pengembangan metode penelitian yang spesifik perlu dikembangkan supaya dapat diketahui adanya pengaruh pencampuran genotipe karena metode yang digunakan belum mampu menjelaskan pengaruh tersebut.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil anova, terdapat pengaruh genotipe, musim dan interaksi keduanya terhadap nilai pengamatan pada genotipe tunggal maupun campuran. Uji t menunjukkan terdapatnya perbedaan pada nilai pengamatan antara MK II dan MH. Perbedaan tidak terjadi antara genotipe tunggal dan campuran, kecuali pada jumlah malai per rumpun di Majalengka dan bobot 1000 butir di Majalengka dan Pacitan. Dengan demikian belum dapat diketahui pengaruh pencampuran terhadap perbedaan nilai pengamatan antara MK II dan MH.

Daftar Pustaka

Alexandrov VA, Hoogenboom G. 2000. The impact of climate variability and change of crop yield in Bulgaria. Agricultural and Forest Meteorology

104 : 315– 327.

Begley D, Mc. Cracken A.R, Dawson W.M, Watson S. 2009. Interaction in short rotation coppice willow, Salix viminalis genotype mixtures. Biomass and Bioenergy 33 : 163– 173.

Casanova D, Goudriaan J, Forner MMC, Withagen JCM. 2002. Rice yield prediction from yield components and limiting factors. Europ. J. Agronomy 17 : 41– 61.

Cooper M, Rajatasereekul S, Immark S, Fukai S, Basnayake J. 1999. Rainfed rice lowland strategies for Northeast Thailand. I. Genotypic variation and genotypic x environment interaction for grain yield. Field Crop Research

64 : 131-151.

Dou W, Wang H, Xu Y, Xing W, Liu G. 2010. Effects of water depth and substrate type on growth dynamics and biomass allocation of Oryza rufipogon.Acta Ecologica Sinica 30 : 16– 21.

Harahap Z, Silitonga TS. 1988. Breeding for resistance againts major pests and disease of rice In Zakri A.H (editor) Plant Breeding and Genetic Enginering. Sabrao.

Hirai Y, Keisuke S, Hamagami K. 2012. Evaluation of an analitycal method to identify determinants of rice yield components and protein content.

Computers and Electronics in Agriculture 83 : 77– 84.

[IRRI] International Rice Research Institute. 1996.Standar Evaluation System for Rice. Ed ke-4. INGER Genetic Resources Center.

Jackson L.F, Wennig R.W. 1997. Use of wheat cultivar blends to improve grain yield and quality and reduce disease and lodging. Field Crop Research 52 : 261-269.

Jeng TL, Tseng TH, Wang CS, Chen CL, Sung JM. 2006. Yield and grain uniformity in contrasting rice genotype suitable for different growth environment.Field Crop Research 99 : 59– 66.

Makarim AK, Ikhwani. 2008. Respon komponen hasil varietas padi terhadap perlakuan agronomis. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 27 : 148– 153.

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press

Sadras VO, Slafer GA. 2012. Environmental modulation of yield components in cereals: heritabilities reveal a hierarchy of fenotypic plasticities. Field Crop Research 127 : 215– 224.

Sakamoto T, Matsuoka M. 2008. Identifying and exploiting grain yield genes in rice.Current Opinion in Plant Biology 11 : 209– 214.

Sesbany. 2009. Respon pertumbuhan dan produksi empat varietas unggul padi sawah (Oryza sativa L) terhadap berbagai tingkat genangan air pada berbagai jarak tanam [disertasi]. Medan: Program Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara.

Shimono H, Hasegawa T, Iwama K. 2002. Response of growth and grain yield in paddy rice to cool water at different growth stages. Field Crop Research

73 : 67– 79.

Suprapto, Widyantoro. 2005. Serangan penggerek padi putih dan penampilan agronomis galur-galur padi sawah irigasi.J. HPT Tropika 5 : 82– 87.

Abstrak

Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui stabilitas dan nilai parameter genetik produktivitas padi sawah yang ditanam secara tunggal dan campuran Penelitian dilakukan di dua lokasi selama dua musim berturut-turut. Materi genetik yang digunakan terdiri dari 7 genotipe tunggal dan 10 genotipe campuran padi sawah. Percobaan dengan tiga ulangan dilakukan di Kabupaten Majalengka Jawa Barat dan Pacitan Jawa Timur pada Musim Kemarau II 2011 sebagai musim tanam pertama dan Musim Hujan 2011/2012 sebagai musim tanam kedua. Benih dari musim tanam pertama ditanam pada musim tanam kedua. Budidaya dilakukan sesuai rekomendasi setempat. Pengamatan terhadap hasil dihitung berdasarkan produktivitas per plot (kg) pada kadar air panen yang dikonversi ke ton Gabah Kering Giling per ha. Stabilitas dianalisis menggunakan pendekatan model

Additive Main Effects and Multiplicative Interaction (AMMI) dan pendugaan parameter genetik menggunakan anova gabungan untuk lokasi dan musim. Hasil analisis model AMMI dengan biplotnya memberikan informasi bahwa genotipe tunggal yang stabil adalah Inpari 6 Jete, Ciherang, IPB 98-F-5-1-1 dan IPB 97-F-13-1-1. Genotipe campuran yang stabil adalah Maros+Cigeulis dan Inpari 6 Jete+Ciherang. Sedangkan genotipe yang dapat dikategorikan spesifik adalah IPB 97-F-13-1-1 untuk Pacitan MK II 2011; untuk Majalengka MK II 2011 adalah IPB 102-F-92-1-1+IPB 107-F-60-1-1+IPB 102-F-90-2-1 serta genotipe Ciherang+Cigeulis, IPB 117-F-7-2+IPB 13-1-1, IPB 117-F-7-2+IPB 97-F-13-1-1+IPB 98-F-5-1-1 dan campuran Maros+Ciherang untuk Majalengka MH 2011/2012. Produktivitas dan stabilitas produktivitas pada genotipe campuran setara dengan genotipe tunggal. Pendugaan parameter genetik memberikan informasi nilai duga heritabilitas yang tinggi (88.58%) dan koefisien keragaman genetik yang rendah (10.50%).

Abstract

The experiment to find out yield stability and genetic parameters estimations of rice in cultivar and cultivar mixtures conducted at two locations during two successive seasons. Seventeen genotypes used as a material consisted of single genotype, mixture of two genotypes and mixture of three genotypes. The trial arranged in Randomized Complete Block Design with three replications, conducted at Majalengka West Java and Pacitan East Java during second dry season as the first growing season and wet season as the second growing season. The seeds from dry season were used as material in wet season and cultivation was conducted according to local recommendation. The observation to yield was measured according to productivity per plot (kgs) on harvest moisture and converted to productivity per ha on 14% moisture. Analysis of stability using Additive Main Effects and Multiplicative Interaction (AMMI) model approach and genetic parameters estimation using combine analysis. The result of AMMI model and its biplot gave the information that stable single genotypes were Inpari 6 Jete, Ciherang, IPB 98-F-5-1-1 and IPB 97-F-13-1-1. While the stable mixture genotypes were Maros+Cigeulis and Inpari 6 Jete+Ciherang. The specific genotypes were IPB 97-F-13-1-1 for Pacitan dry season; IPB 102-F-92-1-1+IPB 107-F-60-1-1+IPB 102-F-90-2-1 for Majalengka dry season and Ciherang+Cigeulis, IPB 117-F-7-2+IPB 13-1-1, IPB 117-F-7-2+IPB 97-F-13-1-1+IPB 98-F-5-1-1 and Maros+Ciherang for Majalengka wet season. The yield of cultivar mixtures was similar to cultivar. The estimation of genetic parameters showed that there was a high heritability estimation (88.58 %) and low genetic variability coefficient (10.50 %).

Pendahuluan

Stabilitas hasil yang tinggi dan berkualitas baik merupakan hal yang sangat penting dalam pemuliaan tanaman pada perakitan varietas yang beradaptasi luas (Lal 2012). Stabilitas dapat diartikan sebagai penampilan suatu genotipe yang tidak berubah pada kondisi lingkungan dan musim yang selalu berubah. Semakin stabil suatu genotipe, semakin tidak sensitif terhadap perubahan lingkungan (Ishaq & Mohamed 1996; Floreset al. 1998; Thillainathan & Fernandez 2001).

Penampilan tanaman pada suatu lingkungan tumbuh merupakan hasil interaksi genotipe dengan lingkungan (G x E). Interaksi G x E banyak dikaitkan dengan kemampuan adaptasi suatu individu pada suatu lingkungan tertentu (Mangoendidjojo 2000). Pengaruh interaksi G x E yang besar mempersulit seleksi genotipe yang mempunyai hasil tinggi pada beberapa lingkungan target (Chauhan

et al. 1998). Interaksi G x E ditentukan oleh susunan genetik suatu genotipe dan kompleksitas lingkungan (Bos & Caligari 1995). Selain itu, interaksi G x E berdampak negatif terhadap nilai heritabilitas (Suwarto & Nasrullah 2011).

Penggunaan nilai rata-rata hasil lintas lokasi sebagai kriteria/tolok ukur seleksi (pemilihan galur) kurang tepat karena ada interaksi GxE (Arsyad & Nur 2006). Guna mendapatkan genotipe yang stabil hasil tinggi dan tahan terhadap cekaman biotik atau abiotik, percobaan harus dilakukan pada beberapa lingkungan dengan tingkat cekaman biotik atau abiotik yang bervariasi (Annicchiarico & Mariani 1996).

Stabilitas hasil sangat erat kaitannya dengan interaksi genotipe x lingkungan. Salah satu metode untuk mengetahui stabilitas sekaligus adaptabilitas suatu genotipe adalah Additive Main Effects and Multiplicative Interaction

(AMMI) (Lal 2012). AMMI pertama kali dikemukakan oleh Zobel et al (1988) untuk menganalisis uji multilokasi kedelai. Selanjutnya Gauch (1988) mengembangkan metode seleksi berdasarkan interaksi G x E. AMMI adalah suatu pendekatan yang merupakan gabungan dari pengaruh aditif pada analisis ragam dan pengaruh multiplikasi pada analisis komponen utama. AMMI merupakan suatu teknik analisis data percobaan dua faktor perlakuan dengan pengaruh utama perlakuan bersifat aditif sedangkan pengaruh interaksi dimodelkan dengan model bilinier. Dengan demikian AMMI dapat digunakan untuk mengalisis percobaan

lokasi ganda. AMMI dapat menjelaskan interaksi genotipe x lingkungan dan meningkatkan keakuratan dugaan respon interaksi genotipe x lingkungan. Biplot AMMI meringkas pola hubungan antar genotipe, antar lingkungan dan antara interaksi genotipe x lingkungan (Kaya et al. 2002; Mattjik & Sumertajaya 2006). Berdasarkan penelitian Anggia et al. (2009) AMMI lebih banyak memberikan informasi mengenai interaksi genotipe x lingkungan dibandingkan Eberhart-Russel. Sial et al. (2000) dan Sumertajaya (2007) mengemukakan bahwa AMMI merupakan metode yang efektif untuk mengetahui interaksi G x E. Lal (2012) juga mengemukakan bahwa model AMMI merupakan pendekatan multivariate yang paling otentik untuk analisis stabilitas dibandingkan pendekatan yang lain. Penguraian interaksi dalam model AMMI dilakukan secara bilinier sehingga kesesuaian tempat tumbuh bagi genotipe akan dapat dipetakan dengan jelas (Sumertajaya 2007).

Penelitian mengenai hasil dan stabilitas genotipe campuran telah dilakukan sejak lama. Allard (1961) melaporkan bahwa hasil lima bean lebih stabil jika ditanam dalam populasi yang heterogen dibandingkan populasi yang homogen. Lebih lanjut Ayeh (1988) melaporkan bahwa interaksi genotipe x lingkungan lebih kecil pada genotipe campuran bean dibandingkan genotipe tunggal.

Dokumen terkait