• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data dari dua lokasi dan dua musim tanam dianalisis kohomogenan ragamnya menggunakan Uji Bartlett. Apabila data dari dua lokasi dua musim mempunyai ragam yang homogen selanjutnya dilakukan analisis gabungan. Analisis dilakukan menggunakansoftware SAS 9.1.3 portable, Minitab 15 dan Microsoft Excel 2003.

2. Analisis stabilitas

Stabilitas hasil padi sawah genotipe tunggal dan campuran dianalisis menggunakan metode AMMI.

Model linier AMMI adalah (Floreset al 1996):

Yij = + gi + ej +

N 1

kikjk +ij

Yij : hasil dari genotipe ke-i dan lingkungan ke-j

 : rata-rata keseluruhan nilai

gi : deviasi genotipe dari rata-rata keseluruhan nilai ej : deviasi lingkungan dari rata-rata keseluruhan nilai

k : nilai Analisis Komponen Utama (AKU) pada aksis k

ik : nilai AKU genotipe pada aksis k

jk : nilai AKU lingkungan pada aksis k N : banyaknya AKU yang ada dalam model

ij : galat

3. Pendugaan parameter genetik

Anova gabungan digunakan untuk menganalisis keragaman genetik karakter hasil pada genotipe tunggal dan campuran berdasarkan pemisahan nilai kuadrat tengah harapan (Tabel 16).

Tabel 16 Anova gabungan untuk musim dan lokasi

Sumber keragaman Derajat bebas (db)

Kuadrat Tengah (KT)

Kuadrat Tengah Harapan

Lokasi (L) (l– 1) KT9 -Musim (M) (m– 1) KT8 -L x M (l– 1)(m– 1) KT7 -Ulangan/L*M (r-1) lm KT6 -Genotipe (G) (g– 1) KT5 σ2 e+ rσ2 glm+rl σ2 gm+rm σ2 gl+rlm σ2 g L x G (l– 1)(g– 1) KT4 σ2 e+ rσ2 glm+rm σ2 gl M x G (m -1)(g– 1) KT3 σ2 e+ rσ2 glm+rl σ2 gm L x M x G (l– 1)(m-1)(g-1) KT2 σ2 e + rσ2 glm G*Ulangan/L*M (g-1)(r-1) l m KT1 σ2 e

Dari sidik ragam tersebut, dihitung parameter genetik yaitu: - Ragam galat (σ2 e) σ2 e = KT1 - Ragam genetik (σ2 g) σ2 g = (KT5–(KT4+KT3-KT2))/rlm - Ragam interaksi genotip x lingkungan (σ2

gl) σ2

gl = (KT4– KT2)/rm - Ragam genotip x musim (σ2

gm) σ2

gm = (KT3– KT2)/rl

- Ragam interaksi genotip x lingkungan x musim (σ2

glm) σ2 glm = (KT2– KT1)/r - Ragam fenotip (σ2 f). σ2 fMB= rl e l gl g 2 2 2 σ σ σ  

- Heritabilitas arti luas (Hbs).

h2 = MB f g 2 2 σ σ x 100%

- Koefisien keragaman genetik (KKG).

KKG = x g 2 σ x 100%

Hasil Dan Pembahasan Stabilitas Produktivitas

Rata-rata produktivitas pada keempat percobaan adalah 6.89 t ha-1 dengan rentang 2.73 t ha-1 sampai 11.35 t ha-1. Sedangkan rentang, rata-rata serta koefisien keragaman produktivitas genotipe tunggal dan campuran padi sawah pada setiap lingkungan disajikan pada Tabel 17. Rata-rata produktivitas pada MK II di Majalengka dan di Pacitan berbeda menurut uji F (p<0.05), demikian pula terdapat perbedaan rata-rata produktivitas pada MH di Majalengka dan Pacitan (p<0.0001). Hal tersebut mengindikasikan bahwa genotipe berpengaruh terhadap hasil. Hasil uji Bartlett mempunyai X2 hitung 85.34 (p=0.065), artinya tidak terdapat perbedaan ragam pada keempat percobaan tersebut (Tabel 17). Dengan demikian, pada keempat percobaan dapat dilakukan analisis gabungan.

Tabel 17 Rentang, rata-rata hasil, koefisien keragaman (KK) genotipe tunggal dan campuran padi sawah di dua musim dua lokasi

Hasil (t ha-1) Uji bartlett

Lingkungan Rentang Rata-rata F hitung nilai p KK X2 hitung nilai p Majalengka MK II 4.33– 8.46 6.72 2.86 0.0056 10.71590 Majalengka MH 2.72– 8.72 6.52 21.60 <.0001 8.055431 Pacitan MK II 5.41– 11.35 8.50 2.20 0.0282 13.74399 Pacitan MH 4.19– 8.05 5.82 5.15 <.0001 10.23526 85.34 0.065

Keragaman produktivitas genotipe yang diuji pada keempat lingkungan terlihat sangat berbeda (Gambar 6). Berdasarkan boxplot dapat diperoleh informasi kisaran nilai, interquartil, rata-rata, median, batas atas dan batas bawah serta pencilan mayor dan pencilan minor suatu kelompok data. Kisaran terlebar terlihat pada Majalengka MH dengan produktivitas terendah 2.72 t/ha dan tertinggi 8.72 t/ha dan rata-rata 6.52 t/ha. Median ditunjukkan oleh garis di tengah kotak sebesar 7.02 t/ha. Keragaman data paling sempit terlihat pada Pacitan MH.

Tabel 18Produktivitas (t ha-1) di Majalengka dan Pacitan pada MK II dan MH Majalengka Pacitan Kode Genotipe MK II 2011 MH 2011/ 2012 Rata-rata MK II 2011 MH 2011/ 2012 Rata-rata Rata-rata 4 lingku-ngan G1 Inpari 6 Jete 6.61 6.91 6.76 9.49 5.97 7.73 7.25 G2 Inpari 13 8.09 7.26 7.68 8.75 4.80 6.78 7.23 G3 Ciherang 6.91 7.52 7.22 8.91 6.92 7.91 7.57 G4 IPB 98-F-5-1-1 7.31 7.07 7.19 7.27 6.14 6.70 6.95 G5 IPB 97-F-13-1-1 7.25 7.10 7.18 10.18 6.70 8.44 7.81 G6 IPB 102-F-92-1-1 5.74 3.15 4.45 7.26 4.40 5.83 5.14 G7 IPB 107- F-60-1-1 5.99 4.54 5.27 6.87 5.70 6.28 5.78 6.81 G8 Maros+Ciherang 5.55 6.74 6.15 7.86 5.77 6.82 6.48 G9 Maros+Cigeulis 6.54 6.91 6.73 8.62 6.80 7.71 7.22 G10 Ciherang+Cigeulis 7.01 7.93 7.47 9.81 6.74 8.27 7.87 G11 Inpari 6 Jete+Inpari 13 7.92 7.60 7.76 9.63 5.77 7.70 7.73 G12 Inpari 6 Jete+Ciherang 7.02 7.07 7.05 8.04 6.77 7.40 7.23 G13 Maros+Ciherang+Cigeulis 6.89 7.34 7.12 9.40 5.51 7.46 7.29 G14 IPB 117-F-7-2+IPB 97-F-13-1-1 6.24 7.03 6.64 8.17 5.31 6.74 6.69 G15 IPB 107-F-60-1-1+IPB 102-F-90-2-1 6.00 4.31 5.16 7.19 5.50 6.34 5.75 G16 IPB 117-F-7-2+IPB 97-F-13-1-1 +IPB 98-F-5-97-F-13-1-1 6.68 7.73 7.21 8.51 5.58 7.04 7.13 G17 IPB 102-F-92-1-1+IPB 107-F-60-1-1+IPB 102-F-90-2-1 6.52 4.71 5.62 8.56 4.65 6.60 6.11 6.95 Rata-rata 6.72 6.52 6.62 8.50 5.82 7.16 6.89

Gambar 6 Boxplot produktivitas (t ha-1) berdasarkan lingkungan pengujian

Analisis ragam gabungan model AMMI menunjukkan bahwa komponen utama yaitu lingkungan, genotipe dan interaksi genotipe x lingkungan berpengaruh terhadap produktivitas (p<0.0001). Adanya pengaruh utama mengindikasikan bahwa ada di antara genotipe yang diuji mempunyai produktivitas yang tidak stabil. Genotipe yang tidak stabil akan mempunyai produktivitas baik pada suatu lingkungan namun belum tentu menunjukkan

produktivitas yang baik jika ditanam pada lingkungan yang lain. Hal tersebut juga dapat terlihat dari ranking setiap genotipe yang relatif tidak konstan pada keempat lingkungan yang diuji (Tabel 19). Menurut Flores et al. (1998) suatu genotipe dikatakan stabil apabila genotipe tersebut mempunyai ranking yang relatif tetap pada beberapa lingkungan. Ketidakstabilan produktivitas suatu genotipe sangat dipengaruhi oleh kondisi dan perubahan iklim, ketahanan terhadap hama dan penyakit serta kondisi lingkungan lainnya (Maalouf 2011). Menurut Lal (2012), ranking setiap genotipe pada setiap lingkungan merupakan cerminan dari interaksi G x E. Informasi adanya interaksi G x E menunjukkan bahwa pada dasarnya genotipe tanaman akan menunjukkan penampilan sesuai dengan kondisi lingkungan tempat tumbuhnya (Baihaki & Wicaksana 2005).

Analisis ragam model AMMI metode postdictive success memberikan informasi bahwa lingkungan memberikan kontribusi keragaman produktivitas sebesar 41.4%, kemudian genotipe 25.2% dan interaksi G x E 15.8%. Dengan demikian produktivitas pada genotipe tunggal dan campuran padi sawah yang sedang dipelajari sangat tergantung kepada lingkungan dan genotipe. Penguraian jumlah kuadrat interaksi G x E menunjukkan bahwa sampai analisis komponen utama 2 (IAKU2) sudah cukup untuk menjelaskan adanya interaksi G x E. Hal tersebut disebabkan IAKU2 memiliki peran yang dominan dalam menerangkan keragaman akibat pengaruh interaksi (p<0.05). IAKU3 tidak diperhitungkan lagi karena tidak nyata (p>0.05). IAKU1 memberikan informasi kontribusi keragaman G x E sebesar 45.6% dan IAKU2 memberikan informasi kontribusi keragaman G x E sebesar 33.9% atau model AMMI2 mampu memberikan informasi keragaman G x E sebesar 79.5%, sedangkan keragaman sebesar 20.5% tidak dapat diterangkan oleh model.

Hasil analisis dengan metode predictive success sesuai dengan hasil analisispostdictive success. Menurut Sumertajaya (2007) dan Floreset al. (1996), model AMMI yang terbaik dengan metode predictive success adalah yang mempunyai nilaiRoot Mean Square Predictive Different (RMSPD) terkecil. Hasil analisis memperlihatkan bahwa yang mempunyai nilai RMSPD terkecil adalah model AMMI2. Predictive success digunakan untuk memprediksi kelompok genotipe yang berpenampilan baik pada banyak lingkungan (Chauhanet al. 1998).

Tabel 19 Ranking genotipe tunggal dan campuran padi sawah pada dua lokasi dua musim Majalengka Pacitan Genotipe MT 1 MT 2 MT 1 MT 2 Inpari 6 Jete 10 11 4 7 Inpari 13 1 6 7 15 Ciherang 7 4 6 1 IPB 98-F-5-1-1 3 9 14 6 IPB 97-F-13-1-1 4 7 1 5 IPB 102-F-92-1-1 16 17 15 17 IPB 107- F-60-1-1 15 15 17 10 Maros+Ciherang 17 13 13 8 Maros+Cigeulis 11 12 8 2 Ciherang+Cigeulis 6 1 2 4 Inpari 6 Jete+Inpari 13 2 3 3 9 Inpari 6 Jete+Ciherang 5 8 12 3 Maros+Ciherang+Cigeulis 8 5 5 12 IPB 117-F-7-2+IPB 97-F-13-1-1 13 10 11 14 IPB 107-F-60-1-1+IPB 102-F-90-2-1 14 16 16 13

IPB 117-F-7-2+IPB 97-F-13-1-1+IPB 98-F-5-1-1 9 2 10 11 IPB 102-F-92-1-1+IPB 107-F-60-1-1+IPB 102-F-90-2-1 12 14 9 16

Mjlk MT 1

Pctn MT 1

Mjlk MT 2 Pctn MT 2

Keterangan

Gambar 7 Biplot AMMI untuk 17 genotipe dan 4 lingkungan

Berdasarkan BIPLOT AMMI (Gambar 7) dapat dipilah antara genotipe yang stabil dan genotipe yang adaptasi pada lingkungan spesifik. Genotipe-genotipe dikatakan stabil jika berada pada posisi di sekitar titik koordinat (0,0). Dengan demikian genotipe tunggal yang stabil adalah Inpari 6 Jete, Ciherang, IPB 98-F-5-1-1 dan IPB 97-F-13-1-1. Genotipe campuran yang stabil adalah Maros+Cigeulis dan Inpari 6 Jete+Ciherang. Sedangkan genotipe yang dapat

dikategorikan spesifik adalah IPB 97-F-13-1-1 untuk Pacitan MK II; untuk Majalengka MK II adalah IPB 102-F-92-1-1+IPB 107-F-60-1-1+IPB 102-F-90-2-1 serta genotipe Ciherang+Cigeulis, IPB 102-F-90-2-1102-F-90-2-17-F-7-2+IPB 97-F-102-F-90-2-13-102-F-90-2-1-102-F-90-2-1, IPB 102-F-90-2-1102-F-90-2-17-F- 117-F-7-2+IPB 97-F-13-1-1+IPB 98-F-5-1-1 dan campuran Maros+Ciherang untuk Majalengka MH.

Pendugaan parameter genetik

Seluruh sumber keragaman berpengaruh terhadap hasil padi kecuali ulangan/lokasi*musim. Lokasi, musim, interaksi lokasi x musim serta genotipe berpengaruh pada taraf alpha 1%, sedangkan interaksi lokasi x genotipe, interaksi musim x genotipe serta interaksi lokasi x musim x genotipe berpengaruh pada alpha 5%. Adanya interaksi pada sumber keragaman mengindikasikan adanya keragaman genetik yang luas serta lingkungan sangat beragam (Flores et al.

1996).

Berdasarkan hasil anova gabungan, dapat diuraikan ragam genetik, ragam interaksi genotipe x lokasi, ragam interaksi genotipe x musim, ragam interaksi genotipe x lokasi x musim, ragam fenotipe, heritabilitas dan koefisien keragaman genetik (KKG). Ragam genetik sebesar 0.52 dan ragam fenotipe sebesar 0.59. Ragam fenotipe menggambarkan penyebaran data hasil pengamatan populasi (Hermiati 2001). Ragam interaksi genotipe x lokasi dan ragam interaksi genotipe x musim bernilai negatif karena kuadrat tengah interaksi lokasi x genotipe (KT4) sebesar 1.28 serta kuadrat tengah interaksi musim x genotipe (KT3) sebesar 1.71 lebih kecil nilainya dibanding kuadrat tengah interaksi lokasi x musim x genotipe (KT2) sebesar 1.72. Pengurangan KT4 dan KT3 dengan KT2 menghasilkan nilai ragam yang negatif.

Nilai duga heritabilitas dapat dikategorikan rendah jika h2bs < 20%, sedang jika 20% < h2bs < 50% dan tinggi jika h2bs > 50% (Stanfield 1983). Nilai duga heritabilitas terhadap produktivitas genotipe tunggal dan campuran tergolong tinggi yaitu 88.58%. Tingginya nilai duga heritabilitas mengindikasikan bahwa pengaruh genetik terhadap produktivitas lebih besar daripada pengaruh lingkungan. Meskipun menurut Hermiati (2001) karakter hasil serta komponen hasil digolongkan sebagai sifat kuantitatif dan umumnya mempunyai nilai duga

heritabilitas yang rendah, namun tidak selamanya demikian. Herawati et al.

(2009) melaporkan bahwa karakter komponen hasil padi gogo yaitu jumlah gabah per malai, jumlah gabah isi per malai, persentase kehampaan dan bobot gabah per rumpun juga mempunyai nilai duga heritabilitas yang tinggi, masing-masing sebesar 59%, 56%, 63% dan 67%.

Menurut Moedjiono & Mejaya (1994), nilai KKG dikategorikan sebagai rendah (0<x<25%), agak rendah (25%<x<50%), cukup tinggi (50%<x<75%) dan tinggi (75%<x<100%). Koefisien keragaman genetik (KKG) genotipe tunggal dan campuran tergolong rendah sebesar 10.50% yang berarti keragaman genetik untuk karakter hasil dalam populasi tersebut sempit.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis ragam gabungan model AMMI, terdapat pengaruh dari komponen utama yaitu lingkungan, genotipe dan interaksi genotipe x lingkungan terhadap produktivitas. Hasil analisis tersebut sesuai dengan ranking setiap genotipe pada masing-masing lingkungan. Hal tersebut menunjukkan bahwa di antara genotipe yang diuji terdapat genotipe yang tidak stabil. Genotipe tunggal yang stabil adalah Inpari 6 Jete, Ciherang, IPB 98-F-5 dan IPB 97-F-13. Genotipe campuran yang stabil adalah Maros+Cigeulis dan Inpari 6 Jete+Ciherang. Sedangkan genotipe yang dapat dikategorikan spesifik adalah IPB 97-F-13-1-1 untuk Pacitan MK II; untuk Majalengka MK II adalah IPB 102-F-92-1-1+IPB 107-F-60-1-1+IPB 102-F-90-2-1 serta genotipe Ciherang+Cigeulis, IPB 117-F-7-2+IPB 97-F-13-1-1, IPB 117-F-7-2 + IPB 97-F-13-1-1 + IPB 98-F-5-1-1 dan campuran Maros+Ciherang untuk Majalengka MH. Terlihat bahwa produktivitas dan stabilitas produktivitas pada genotipe campuran setara dengan genotipe tunggal. Pencampuran tidak menurunkan produktivitas padi sawah. Nilai duga heritabilitas produktivitas tergolong tinggi yaitu 88.58%, sedangkan koefisien keragaman genetik termasuk rendah sebesar 10.50%.

Daftar Pustaka

Allard RW. 1961. Relationship between genetic diversity and consistency of performance in different environment.Crop Science 1 : 127– 133.

Anggia EP et al. 2009. Seleksi hibrida jagung DR Unpad di Indonesia berdasarkan metode Eberhart-Russel dan AMMI.Zuriat 20 : 134– 145. Annicchiarico P, Mariani G. 1996. Prediction of adaptability and yield stability of

durum wheat genotypes from yield respon in normal and artificially drought stress conditions.Field Crop Research 46 : 71– 80.

Arsyad DM, Nur A. 2006. Analisis AMMI untuk stabilitas hasil galur-galur kedelai di lahan kering masam. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 25 : 78– 84.

Ayeh E. 1988. Evidence for yield stability in selected landraces of bean (Phaseolus vulgaris).Exp. Agric. 24 : 367– 373.

Baihaki A, Wicaksana N. 2005. Interaksi genotipe x lingkungan, adaptabilitas, dan stabilitas hasil, dalam pengembangan tanaman varietas unggul di Indonesia.Zuriat16 : 1– 8.

Bos I, Caligari P. 1995. Selection Method in Plant Breeding. Chapman and Hall London.

Chauhan YS, Wallace DH, Johansen C, Singh L. 1998. Genotype-by-environment interaction on yield and its physiological bases in short duration pigeonpea.

Field Crop Research 59 : 141– 150.

Flores F, Moreno MT, Martinez A, Cubero JI. 1996. Genotype-environment interaction in faba bean: comparison of AMMI and principal coordinate models.Field Crop Research 47 : 117– 127.

Flores F. Moreno MT, Cubero JI. 1998. A comparison of univariate and multivariate methods to analyze G x E interaction.Field Crop Research 56 : 271– 286.

Gauch HG. 1988. Model selection and validation for yield trial with interaction.

Biometrics 44 : 705– 714.

Herawati R. Purwoko BS, Dewi IS. 2009. Keragaman genetik dan karakter agronomi galur haploid ganda padi gogo dengan sifat-sifat tipe baru hasil kultur antera.J. Agron Indonesia 37 : 87– 94.

Hermiati N. 2001. Pemuliaan Tanaman. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

Ishag HM, Mohamed BA. 1996. Phasic development of spring wheat and stability of yield and its component in hot environment. Field Crop Research 46 : 169– 176.

Kaya Y, Palta Ç, Taner S. 2002. Additive Main Effects and Multiplicative Interaction analysis of wheat performances in bread wheat genotypes across environments.Turk J Agric For 26 : 275– 279.

Lal RK. 2012. Stability for oil yield and variety recommendations using AMMI (additive main effetcs and multiplicative interactions) model in Lemongrass (Cymbopogonspecies).Industrial Crops and Products 40 : 296– 301. Maalouf F.et al. 2011. Yield stability of faba bean lines under diverse broomrape

prone production environment.Field Crop Research 124 : 288– 294.

Mangoendidjojo W. 2000. Analisis interaksi genotipe x lingkungan tanaman perkebunan (studi kasus pada tanaman teh).Zuriat 11 : 15– 21.

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press

Moedjiono, Mejaya MJ. 1994. Variabilitas genetik beberapa karakter plasma nutfah jagung koleksi Balittas Malang.Zuriat5 : 27– 32.

Roy D. 2000. Plant Breeding, Analysis and Exploitation of Variation. Narosa Publishing House New Delhi.

Sial MA, Arain M.A, Ahmad M. 2000. Genotype x environment interaction on bread wheat grown over multiple sites and years in Pakistan.Pak. J. Bot. 32 : 85– 91.

Stanfield WD. 1983. Theori and Problems of Genetics. 2nd ed. Schains Outline Series. Mc. Graw Hill Book. New Delhi.

Sumertajaya IM. 2007. Analisis Statistik Interaksi Genotipe dengan Lingkungan. Departemen Statistika. Fakultas Matematika dan IPA. Institut Pertanian Bogor.

Suwarto, Nasrullah. 2011. Genotype x environment interaction for iron concentration of rice in Central Java of Indonesia.Rice Science 18 : 75– 78. Tampake H, Luntungan HT. 2002. Pendugaan parameter genetik dan korelasi

antar sifat-sifat morfologi kelapa (Cocos nucifera Linn). Jurnal Littri 8 : 97– 102.

Thillainathan M, Fernandez GCJ. 2001. SAS application for Tai’s stability analysis and AMMI model in genotype x environmental interaction (GEI) effects.The Journal of Heredity 92 : 367– 271.

Wortmann CS, Gridley HE, Musaana SM. 1996. Seed yield and stability of bean multiline.Field Crop Research 46 : 153– 159.

Zobel RW, Wright MJ, Gauch HG, Jr. 1988. Statistical analysis of a yield trial.

Penggunaan varietas atau genotipe campuran pada beberapa tanaman pangan diketahui mampu menurunkan intensitas penyakit dan meningkatkan hasil. Mundt et al. (1995) melaporkan menurunnya keparahan penyakit Septoria blotch pada tanaman gandum apabila ditanam sebagai varietas campuran. Keparahan penyakitYellow Rust pada tanaman barley juga menurun yang diikuti peningkatan hasil di Nepal (Pradhanang & Sthapit 1995). Sharma & Dubin (1996) melakukan penelitian mengenai pengaruh varietas campuran pada gandum terhadap penyakit Spot Blotch. Hasil penelitian menunjukkan penurunan keparahan penyakit menurun 9 – 57% dibanding penanaman tunggal dan hasil meningkat 5.1 – 8.6%. Beberapa penelitian lain mengenai penggunaan varietas atau genotipe campuran adalah pada tanaman gandum terhadap Cephalosporium stripe (Mundt 2002), terhadap Powdery Mildew (Ning et al. 2012) dan terhadap

Stripe Rust (Huang et al. 2012)

Penelitian varietas atau genotipe campuran pada tanaman padi telah dilakukan untuk menurunkan keparahan penyakit blas di China. Zhu et al. (2001) melaporkan hasil penelitian tersebut menurunkan serangan penyakit blas sampai 94% dan hasil yang diperoleh lebih tinggi 89%. Sampai saat ini belum pernah dilaporkan penelitian penggunaan varietas campuran terhadap penyakit hawar daun bakteri (HDB). Penanggulangan HDB utamanya dilakukan dengan menanam varietas yang tahan, namun ketahanan tersebut mudah patah di lapangan karena bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae sangat mudah membentuk strain baru (BB Padi 2009). Percobaan terhadap 7 genotipe tunggal dan 10 genotipe campuran tanaman padi sawah dilakukan untuk mengetahui pengaruh pencampuran berbagai genotipe dalam menurunkan intensitas serangan penyakit HDB serta stabilitas hasil.

Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan kemunculan pertama penyakit pada genotipe tunggal dan campuran pada kedua musim tanam. Perbedaan terjadi pada kejadian penyakit antara MK II dan MH, namun antara genotipe tunggal dan campuran tidak menunjukkan perbedaan. Baik pada genotipe tunggal maupun campuran tidak terlihat pola yang spesifik yang dapat

digunakan sebagai indikasi adanya pengaruh pencampuran, demikian juga pada keparahan penyakit dan AUDPC. Tidak adanya perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran diduga lebih disebabkan oleh faktor patogen penyebab HDB. Sifat bakteri Xoo sebagai penyebab HDB adalah sangat mudah bermutasi membentuk strain yang baru dan sangat mudah menyesuaikan diri dengan inang yang baru. Meskipun latar belakang ketahanan terhadap HDB pada genotipe penyusun genotipe campuran bervariasi, namun belum mampu menahan serangan

Xoo. Selain itu faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkembangan HDB di lapangan. HDB akan berkembang pesat pada kondisi suhu hangat 25oC – 35oC, kelembaban relatif tinggi, hujan disertai angin serta dosis nitrogen yang tinggi.

Bervariasinya gejala HDB pada musim dan lokasi yang berbeda diduga lebih disebabkan oleh patogen yang terbawa benih. Perkembangan penyakit HDB di lapangan sangat ditentukan oleh faktor patogen, lingkungan serta tanaman inang. Benih padi yang ditanam dapat berfungsi sebagai agen pembawa Xoo

penyebab HDB. Perbedaan yang terjadi pada keempat lingkungan pengujian diduga disebabkan oleh perbedaan jumlah inokulum awal Xoo yang terbawa benih. Menurut Walcott (2003), patogen yang terbawa benih tidak terlihat gejalanya sehingga tidak mungkin dapat dideteksi secara visual. Populasi patogen terbawa benih umumnya tidak terlalu besar dan tidak merata jumlahnya pada setiap benih. Keadaan yang demikian menyebabkan bervariasinya kejadian penyakit, keparahan penyakit dan AUDPC penyakit HDB pada genotipe yang diuji.

Pengaruh pencampuran tidak terlihat pada karakter pengamatan yang lain. Genotipe tunggal maupun campuran tidak menunjukkan pola yang spesifik. Anova terhadap genotipe tunggal menunjukkan bahwa genotipe sangat berpengaruh terhadap karakter tinggi tanaman, jumlah malai per rumpun, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, jumlah gabah total per malai, bobot 1000 butir, persentase gabah isi, hasil per ha dan ukuransink. Pada genotipe campuran, genotipe sangat berpengaruh terhadap seluruh karakter pengamatan kecuali ukuransink. Pengaruh musim pada genotipe tunggal terlihat pada karakter tinggi tanaman, jumlah malai per rumpun, jumlah gabah hampa per malai,

persentase gabah isi, hasil per ha dan ukuran sink, sedangkan pada genotipe campuran pengaruh musim terlihat pada tinggi tanaman, jumlah malai per rumpun, bobot 1000 butir, hasil per ha dan ukuran sink. Interaksi antara genotipe dan musim pada genotipe tunggal hanya berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah malai per rumpun dan jumlah gabah isi per malai dan pada genotipe campuran interaksi hanya berpengaruh terhadap tinggi tanaman.

Terdapat perbedaan antara MK II dan MH pada beberapa karakter genotipe tunggal maupun campuran berdasarkan hasil uji t. Genotipe tunggal di Majalengka menunjukkan adanya perbedaan tinggi tanaman, jumlah malai per rumpun dan ukuran sink antara MK II dan MH. Karakter tinggi tanaman dan jumlah malai per rumpun di Pacitan juga berbeda antara MK II dan MH, selain itu perbedaan juga terlihat pada jumlah gabah hampa per malai dan hasil per ha. Pada genotipe campuran terlihat lebih banyak karakter yang mempunyai perbedaan antara MK II dan MH. Hanya karakter jumlah gabah isi per malai dan hasil per ha saja di Majalengka yang tidak menunjukkan perbedaan antara MK II dan MH, sedangkan di Pacitan yaitu karakter jumlah gabah isi per malai, bobot 1000 butir dan persentase gabah isi. Berdasarkan hasil tersebut, genotipe campuran mempunyai hasil yang setara dengan genotipe tunggal.

Uji t juga dilakukan untuk mengetahui perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran. Umumnya pada setiap karakter pengamatan tidak terdapat perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran. Perbedaan hanya terlihat pada jumlah malai per rumpun di Majalengka dan bobot 1000 butir di Majalengka dan Pacitan. Tidak diperolehnya hasil analisis dan pola yang spesifik pada genotipe tunggal maupun campuran memberikan informasi bahwa pengaruh pencampuran belum dapat diketahui pada penelitian ini.

Anova gabungan memberikan informasi bahwa genotipe sangat berpengaruh terhadap hasil. Analisis stabilitas model AMMI juga memperlihatkan bahwa genotipe, lingkungan dan interaksi keduanya berpengaruh terhadap hasil. Analisis stabilitas model AMMI memberikan informasi terdapatnya genotipe tunggal maupun campuran yang stabil, yang tidak stabil maupun yang spesifik. Informasi tersebut juga didukung oleh ranking suatu genotipe. Apabila ranking suatu genotipe tidak stabil pada berbagai lingkungan pengujian, maka genotipe

tersebut tidak stabil, namun apabila ranking suatu genotipe relatif konstan pada semua lingkungan pengujian, maka genotipe tersebut tergolong stabil.

Stabilitas hasil pada genotipe campuran tidak berbeda dengan stabilitas genotipe tunggal. Genotipe campuran juga bersifat sama dengan genotipe tunggal, yaitu bisa menjadi spesifik untuk lokasi dan musim tertentu. Kondisi tersebut diduga karena genotipe yang digunakan sebagai materi genetik sudah merupakan varietas dan galur generasi lanjut yang sudah siap dilepas. Varietas dan galur generasi lanjut sudah mengalami uji multilokasi sebelumnya dan sudah terpilih sebagai genotipe yang unggul.

Hasil anova gabungan dari empat lingkungan diperoleh informasi bahwa seluruh sumber keragaman berpengaruh terhadap hasil kecuali ulangan/lokasi*musim. Adanya interaksi pada sumber keragaman mengindikasikan adanya keragaman genetik yang luas serta lingkungan sangat beragam (Flores et al. 1996). Hasil analisis diperoleh bahwa ragam genetik sebesar 0.52 dan ragam fenotipe sebesar 0.59. Nilai duga heritabilitas terhadap produktivitas genotipe tunggal dan campuran tergolong tinggi yaitu 88.58%. Tingginya nilai duga heritabilitas mengindikasikan bahwa pengaruh genetik terhadap produktivitas lebih besar daripada pengaruh lingkungan. Koefisien keragaman genetik (KKG) genotipe tunggal dan campuran tergolong rendah sebesar 10.50% yang berarti keragaman genetik untuk karakter hasil dalam populasi tersebut sempit.

Berdasarkan hasil penelitian “Ketahanan terhadap Hawar Daun Bakteri dan Keragaan Produktivitas Padi Sawah yang Ditanam Tunggal dan Campuran “ dapat ditarik beberapa kesimpulan :

1. Tidak terdapat perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran dalam karakter kemunculan pertama penyakit HDB, kejadian penyakit, keparahan penyakit dan AUDPC. Perbedaan kemunculan pertama penyakit HDB, kejadian penyakit, keparahan penyakit dan AUDPC terjadi antara MK II dan MH.

Dokumen terkait