BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Data
Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka analisis data dalam penelitian “Persandian dalam Bahasa Pedalangan Gaya Surakarta (Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna)” meliputi: (1) bentuk persandian, (2) fungsi persandian, dan (3) makna persandian.
1. Bentuk Persandian
Persandian merupakan proses penggabungan dua kata dengan pertemuan dua bunyi vokal. Kata-kata yang bergabung tersebut harus memiliki syarat, yaitu kata pertama diakhiri dengan bunyi vokal dan kata kedua diawali dengan bunyi vokal pula. Dengan demikian, akan terjadi pertemuan dua bunyi vokal dari dua kata yang bergabung. Pertemuan ini menyebabkan terjadinya proses peleburan atau sintesis yang semula terdiri dari dua bunyi vokal cenderung berubah menjadi satu bunyi vokal. Bertolak dari pernyataan tersebut, maka pengklasifikasian bentuk persandian didasarkan atas macam bunyi vokal akhir kata pertama. Berikut penjelasan mengenai bentuk-bentuk persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta.
a. Kata Pertama Berakhir Bunyi [O]
Dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta, ditemukan tujuh macam bentuk persandian dengan kedudukan kata pertama berakhir bunyi [O]. Ketujuh macam bentuk persandian tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
commit to user
Tabel 2.
Persandian dengan Kedudukan Kata Pertama Berakhir Bunyi [O]
No. Bunyi Akhir Kata I Bunyi Awal Kata II Bentuk Persandian 1. [O] [a] [a] 2. [O] 3. [e] [E] 4. [i] 5. [I] 6. [I] [e] 7. [u] [o] 1) [O] + [a] = [a]
Bentuk persandian [a] terjadi apabila kata pertama diakhiri dengan bunyi [O] dan kata kedua diawali bunyi [a]. Berikut data-data yang menunjukkan bentuk persandian ini.
(4) ..., nama Ki Lurah Nala Gareng, Cakrawangsa, Wiryatmejo (pen:
Wiryatmaja), Ranggamijaya, Braja Lintang, Pancalpamor, Kuda-Parewana, ...
(I/J/37/1/1)
„..., nama Ki Lurah Nala Gareng, Cakrawangsa, Wiryatmaja,
Ranggamijaya,Braja Lintang, Pancalpamor, Kuda-Parewana, ...‟
(5) ..., temahe pra kawula kasangsaya sangsayarda gesangira papariman ngulandara , ...
(I/J/38/4/4-5)
„..., keadaan para pengikut semakin lama semakin tamak hidupnya,
pergi ke mana-mana mengembara, ...‟
(6) ..., risang Gandawastratmaja, ...
(II/S/3/1/2-3) „..., sang Bima, ...‟
commit to user (7) ..., yitna sang narpatmaja, ...
(II/S/5/3/8)
„..., berhati-hati sang putra raja, ...‟
(8) Risang Rama bangkit lir sardulantuk bayangan, ...
(V/P/8)
„Sang Rama bangkit seperti harimau mendapat mangsa, ...‟
Masing-masing bentukan kata yang mengandung persandian pada kelima data tersebut di atas secara berurutan diturunkan dari: data (4) Wirya [wIry O]
„pemberani‟ dan atmaja [atmOjO] „putra‟; data (5) sangsaya [saGsOy O] „semakin‟
dan arda [ardO] „tamak‟; data (6) Gandawastra [gOndOwastrO] „Gandawastra‟ dan atmaja [atmOjO] „putra‟; data (7) narpa [narpO] „raja‟ dan atmaja [atmOjO]
„putra‟; dan data (8) sardula [sardulO] „harimau‟ dan antuk [antU?] „mendapat‟.
Kata Wirya [wIry O] „pemberani‟ data (4), sangsaya [saGsOy O] „semakin‟
data (5), Gandawastra [gOndOwastrO] „Gandawastra‟ data (6), narpa [narpO] „raja‟
data (7), dan sardula [sardulO] „harimau‟ data (8) berkedudukan sebagai kata pertama yang diakhiri dengan bunyi [O]. Adapun kata atmaja [atmOjO] „putra‟
pada data (4), (6), (7), kemudian arda [ardO] „tamak‟ data (5), dan antuk [antU?]
„mendapat‟ pada data (8) berkedudukan sebagai kata kedua yang diawali dengan
bunyi [a].
Bunyi [O] pada akhir kata pertama bertemu dengan bunyi [a] pada awal kata kedua mengalami proses peleburan atau sintesis yang menyebabkan munculnya satu bunyi vokal, yaitu bunyi [a]. Sehingga bentukan kata pada masing-masing data tersebut di atas menjadi: data (4) Wiryatmaja [wIry atmOjO]
commit to user
Gandawastratmaja [gOndOwastratmOjO] „Bima‟; data (7) narpatmaja
[narpatmOjO] „putra raja‟; dan data (8) sardulantuk [sardulantU?] „harimau mendapat‟.
2) [O] + [a] = [O]
Bentuk persandian [O] terjadi apabila kata pertama diakhiri dengan bunyi [O] dan kata kedua diawali bunyi [a]. Berikut data-data yang menunjukkan bentuk persandian tersebut.
(9) Puraya-gung (pen: Purayagung) tuhu dahat endah labet saking kathah eden-eden rerenggan kencana sinasotya, ...
(I/J/10/2/1)
„Kedaton besar sungguh sangat indah karena banyaknya hiasan
-hiasan serba emas permata, ...‟
(10) ..., pepak panjrahing puspita-di (pen: puspitadi) neka warni mangambar wangi, ...
(I/J/14/5/1)
„..., bermacam-macam bunga indah beraneka warna semerbak harum mewangi, ...‟
(11) Pura-gung (pen: Puragung) sinung pandhapi winangun dara-gepak, ...
(I/J/108/2/1)
„Keraton besar mempunyai pendopo dengan halaman yang
mengeliling, ...‟
(12) Hanjrahingkang puspitarum, ...
(II/S/3/2/1)
„Dimana-mana ada bunga harum, ...‟
(13) ..., tuwin sagung pradipati, ...
(II/S/9/1/3)
„..., dan juga semua para raja, ...‟
(14) ..., wara baswararum.
(II/S/17/3/5)
commit to user
Masing-masing bentukan kata yang mengandung persandian pada data (9) sampai (14) tersebut di atas secara berurutan merupakan gabungan dari: data (9)
puraya [purOy O] „kedaton‟ dan agung [agUG] „besar‟; data (10) puspita [pUspitO]
„bunga‟ dan adi [adi] „indah‟; data (11) pura [purO] „keraton‟ dan agung [agUG]
„besar‟; data (12) puspita [pUspitO] „bunga‟ dan arum [arUm] „harum‟; data (13)
pra [prO] „para‟ dan adipati [adipati] „raja‟; dan data (14) baswara [baswOrO]
„berkilau‟ dan arum [arUm] „harum‟.
Kata puraya [purOy O] „kedaton‟ data (9), puspita [pUspitO] „bunga‟ data (10) dan (12), pura [purO] „keraton‟ data (11), pra [prO] „para‟ data (13), dan
baswara [baswOrO] „berkilau‟ data (14) berkedudukan sebagai kata pertama yang berakhir bunyi [O]. Adapun kata agung [agUG] „besar‟ pada data (9) dan (11), adi
[adi] „indah‟ data (10), arum [arUm] „harum‟ pada data (12) dan (14), dan kata
adipati [adipati] „raja‟ pada data (13) berkedudukan sebagai kata kedua yang berawal bunyi [a].
Ketika bunyi [O] pada akhir kata pertama bergabung dengan bunyi [a] pada awal kata, terjadi proses peleburan atau sintesis yang menghasilkan satu bunyi vokal, yaitu bunyi [O]. Sehingga bentukan-bentukan kata pada masing-masing data tersebut di atas menjadi: data (9) purayagung [purOy OgUG] „kedaton besar‟; data (10) puspitadi [pUspitOdi] „bunga indah‟; data (11) puragung
commit to user
data (13) pradipati [prOdipati] „para raja‟; dan data (14) baswararum
[baswOrOrUm] „berkilau harum‟.
3) [O] + [e] = [E]
Bentuk persandian [E] terjadi apabila kata pertama diakhiri dengan bunyi [O] dan kata kedua diawali bunyi [e]. Berikut data-data yang menunjukkan bentuk persandian ini.
(15) Busana kadewatan sarwendah datan kuciwa, ...
(I/J/113/6/1)
„Busana kebesaran dewa serba indah tidak mengecewakan, ...‟
(16) ..., kadyenggal yun manubruka, ...
(II/S/14/6/3)
„..., seperti segera akan menyerang, ...‟
Pada data (15), kata sarwendah [sarwEndah] „serba indah‟ merupakan
gabungan dari kata sarwa [sarwO] „serba‟ sebagai kata pertama dan endah [endah]
„indah‟ sebagai kata kedua. Bunyi [O] pada akhir kata pertama bertemu dengan bunyi [e] pada awal kata kedua. Dari pertemuan dua bunyi vokal tersebut terjadi proses peleburan atau sintesis yang menyebabkan munculnya satu bunyi vokal baru, yaitu bunyi [E]. Sehingga kata yang terbentuk menjadi sarwendah
[sarwEndah] „serba indah‟.
Demikian juga dengan bentukan kata kadyenggal [kady EGgal] „seperti segera‟ pada data (16). Kata tersebut diturunkan dari kata kadya [kady O] „seperti‟
sebagai kata pertama berakhir bunyi [O] dan enggal [eGgal] „segera‟ sebagai kata
commit to user
proses peleburan yang menghasilkan satu bunyi vokal baru, yaitu bunyi [E]. Sehingga kata yang terbentuk menjadi kadyenggal [kady EGgal] „seperti segera‟.
4) [O] + [i] = [E]
Bentuk persandian [E] terjadi apabila kata pertama diakhiri dengan bunyi [O] dan kata kedua diawali bunyi [i]. Berikut data-data yang menunjukkan bentuk persandian ini.
(17) ..., patinireku wus pareg, ...
(II/S/6/1/7)
„..., kematiannya itu sudah dekat, ...‟
(18) ..., yeku caritanira, ...
(II/S/11/4/1)
„..., yaitu ceritanya, ...‟
Kata patinireku [patinirEku] „kematiannya itu‟ pada data (17) merupakan gabungan dari kata patinira [patinirO] „kematiannya‟ yang berkedudukan sebagai kata pertama dan iku [iku] „itu‟ berkedudukan sebagai kata kedua. Bunyi [O] pada akhir kata pertama yang bertemu dengan bunyi [i] pada awal kata kedua mengalami proses peleburan atau sintesis yang menghasilkan satu bunyi vokal baru, yaitu bunyi [E]. Sehingga kata yang terbentuk menjadi patinireku
[patinirEku] „kematiannya itu‟.
Pada data (18), kata yeku [y Eku] „yaitu‟ apabila diurai terdiri dari kata ya
[y O] „ya‟ sebagai kata pertama berakhir bunyi [O] dan iku [iku] „itu‟ sebagai kata
commit to user
proses peleburan yang menghasilkan satu bunyi vokal baru, yaitu bunyi vokal [E]. Sehingga kata yang terbentuk menjadi yeku [y Eku] „yaitu‟.
5) [O] + [I] = [E]
Bentuk persandian [E] terjadi apabila kata pertama diakhiri dengan bunyi [O] dan kata kedua diawali bunyi [I]. Berikut data-data yang menunjukkan bentuk persandian ini.
(19) Ingkang anem dhasare padha sulistyeng warni, ...
(I/J/8/1/1)
„Yang muda memang sama-sama berparas elok, ...‟
(20) ..., tan sanes hamung Sang Prameswari Nata Astino (pen: Astina), ...
(I/J/17/2/3)
„..., tidak lain hanya Sang Permaisuri Raja Astina, ...‟
(21) Satriya gagah prakosa birawa tur sentosa, dhasar sembada prawireng jurit.
(I/J/65/3/5)
„Satria gagah perkasa disegani dan juga sentosa, memang pemberani
di peperangan.‟
(22) ..., tidhem premanem pranaweng triloka, ...
(I/J/69/1/5-6)
„..., suasana hening terang di tiga alam, ...‟
(23) ..., sinambet gatining kang murweng carita.
(I/J/69/4/3-4)
„..., beralih yang mulai diceritakan.‟
(24) ... Kang Murbeng Gesang, ...
(I/J/96/1/7)
„... Yang Menguasai Hidup, ...‟
(25) ..., semerbak puspiteng udyana, ...
(II/S/3/2/2)
„..., semerbak bunga di taman, ...‟
(26) Dewa-dewa sugata marang kang sureng prang, ...
(II/S/6/3/1)
commit to user (27) ..., purnameng gegana, ...
(II/S/7/3/3)
„..., bulan purnama di langit, ...‟
(28) ..., sanjateng kang dahana gung, ...
(II/S/13/2/2)
„..., senjata dengan api yang besar, ...‟
(29) ..., tan ana sawalengdriya, ...
(II/S/17/2/4)
„..., tidak tampak adanya pembangkangan, ...‟
(30) …, dhuh yayi Prabu haywa sungkaweng tyas, ...
(II/S/19/3/1-2)
„..., aduh adik Prabu jangan bersedih hati, ...‟
(31) ..., Jawateng ngawiyat, ...
(II/S/20/4/4)
„..., dewa di langit, ...‟
(32) ..., sukeng tyas Sri Kresna, ...
(II/S/21/1/6)
„..., senang hati Sri Kresna, ...‟
(33) ... yaksa gung aluhur gagah prakosa jayeng jurit pilih tandhing wudhu mungsuh.
(III/J/18)
„... raksasa besar gagah perkasa menang di peperangan memilih bertanding tak terkalahkan musuh.‟
(34) Ayo dak pondhong, dak ajak mukti wibawa aneng Praja Manimantaka, ...
(III/G/42)
„Mari aku bawa pindah, aku ajak hidup bahagia di Manimantaka ha
ha ha, ...‟
(35) ..., katingal ngaglah hambegagah kaya-kaya tansah tangguh prayitneng kewuh saguh mbrastha mungsuh.
(IV/J/1)
„..., terlihat jelas berdiri dengan kaki terbuka seolah-olah selalu awas dan siap membunuh musuh.‟
(36) Dina iki pun kakang kinen prapteng Pajagalan, ...
(IV/G/6)
commit to user
Masing-masing bentukan kata yang mengandung persandian pada data (19) sampai (36) tersebut di atas secara berurutan diturunkan dari: data (19)
sulistya [sulIsty O] „elok‟ dan ing [IG] „di‟; data (20) prama [prOmO] „tertinggi‟ dan iswari [Iswari] „ratu‟; data (21) prawira [prawirO] „pemberani‟ dan ing [IG] „di‟;
data (22) pranawa [pranOwO] „terang‟ dan ing [IG] „di‟; data (23) murwa [mUrwO]
„mulai‟ dan ing [IG] „di‟; data (24) murba [mUrbO] „menguasai‟ dan ing [IG] „di‟;
data (25) puspita [pUspitO] „bunga‟ dan ing [IG] „di‟; data (26) sura [surO]
„pemberani‟ dan ing [IG] „di‟; data (27) purnama [pUrnOmO] „bulan purnama‟ dan ing [IG] „di‟; data (28) sanjata [sanjOtO] „senjata‟ dan ing [IG] „di‟; data (29)
sawala [sawOlO] „bangkang‟ dan ing [IG] „di‟; data (30) sungkawa [suGkOwO]
„sedih‟ dan ing [IG] „di‟; data (31) jawata [jawOtO] „dewa‟ dan ing [IG] „di‟; data
(32) suka [sukO] „senang‟ dan ing [IG] „di‟; data (33) jaya [jOy O] „menang‟ dan ing
[IG] „di‟; data (34) ana [OnO] „ada‟ dan ing [IG] „di‟; data (35) prayitna [pray ItnO]
„awas‟ dan ing [IG] „di‟; dan data (36) prapta [praptO] „datang‟ dan ing [IG] „di‟.
Kata sulistya [sulIsty O] „elok‟ data (19), prama [prOmO] „tertinggi‟ data (20), prawira [prawirO] „pemberani‟ data (21), pranawa [pranOwO] „terang‟ data (22), murwa [mUrwO] „mulai‟ data (23), murba [mUrbO] „menguasai‟ data (24),
puspita [pUspitO] „bunga‟ data (25), sura [surO] „pemberani‟ data (26), purnama
[pUrnOmO] „bulan purnama‟ data (27), sanjata [sanjOtO] „senjata‟ data (28),
sawala [sawOlO] „bangkang‟ data (29), sungkawa [suGkOwO] „sedih‟ data (30),
commit to user
„menang‟ data (33), ana [OnO] „ada‟ data (34), prayitna [pray ItnO] „awas‟ data (35), dan prapta [praptO] „datang‟ data (36) berkedudukan sebagai kata pertama yang diakhiri dengan bunyi [O]. Adapun kata atau preposisi ing [IG] „di‟ pada data
(19), (21) sampai (36) dan kata iswari [Iswari] „ratu‟ pada data (20) berkedudukan sebagai kata kedua yang diawali dengan bunyi [I].
Bunyi [O] pada akhir kata pertama bertemu dengan bunyi [I] pada awal kata kedua mengalami proses peleburan atau sintesis, dari proses tersebut menghasilkan satu bunyi vokal baru, yaitu bunyi [E]. Sehingga bentukan-bentukan kata pada masing-masing data tersebut di atas menjadi: data (19)
Sulistyeng [sulIsty EG] „elok‟; data (20) prameswari [prOmEswari] „permaisuri‟;
data (21) prawireng [prawirEG] „pemberani di‟; data (22) pranaweng [pranawEG]
„terang di‟; data (23) murweng [mUrwEG] „mulai di‟; data (24) murbeng [mUrbEG]
„menguasai‟; data (25) puspiteng [pUspitEG] „bunga di‟; data (26) sureng [surEG]
„pemberani di‟; data (27) purnameng [pUrnamEG] „bulan purnama di‟; data (28)
sanjateng [sanjatEG] „senjata‟; data (29) sawaleng [sawalEG] „pembangkangan‟; data (30) sungkaweng [suGkawEG] „bersedih‟; data (31) jawateng [jawatEG] „dewa di‟; data (32) sukeng [sukEG] „senang‟; data (33) jayeng [jay EG] „menang di‟; data (34) aneng [anEG] „di‟; data (35) prayitneng [pray ItnEG] „awas‟; dan data (36)
commit to user
6) [O] + [I] = [e]
Bentuk persandian [e] terjadi apabila kata pertama diakhiri dengan bunyi [O] dan kata kedua diawali bunyi [I]. Berikut data-data yang menunjukkan bentuk persandian ini.
(37) Ganeping paningal sangsaya kapranan lamun kapanduk hadeging Wukir Mahendro (pen: Mahendra) hing keblat kidul, ...
(I/J/98/1/7)
„Pandangannya semakin senang kalau melihat berdirinya gunung
Mahendra di lereng selatan, ...‟
(38) ..., labet sang yaksendra kasinungan Aji Gineng Mangraskerti.
(III/J/18)
„..., oleh karena sang raja raksasa mempunyai kelebihan Aji Gineng Mangraskerti.‟
(39) Niwatakawaca: Narendra Manimantaka, Prabu Niwatakawaca. Ciptaning, sumingkira, dak jaluk Supraba!
(III/G/40)
„Niwatakawaca: Raja Manimantaka, Prabu Niwatakawaca,
Ciptaning, menyingkirlah, Dewi Supraba aku minta!‟
(40) Tan kantun atmajendra Raden Harya Seta, ...
(IV/J/1-2)
„Tidak ketinggalan putra raja Raden Harya Seta, ...‟
(41) Kangka: Kawula nuwun inggih, mundhi dhawuh Padukendra.
(IV/G/5)
„Kangka: Saya tuanku, siap menerima perintah Paduka Raja.‟
Bentukan kata yang mengandung persandian pada data (37) sampai (41) secara berurutan merupakan gabungan dari kata: data (37) Maha [mOhO] „Maha‟
dan indra [IndrO] „raja‟; data (38) yaksa [y aksO] „raksasa‟ dan indra [IndrO] „raja‟;
data (39) nara [nOrO] „orang laki-laki‟ dan indra [IndrO] „raja‟; data (40) atmaja
[atmOjO] „putra‟ dan indra [IndrO] „raja‟; dan data (41) paduka [padukO] „paduka‟
commit to user
Kata Maha [mOhO] „Maha‟ pada data (37), yaksa [y aksO] „raksasa‟ data (38), nara [nOrO] „orang laki-laki‟ data (39), atmaja [atmOjO] „putra‟ data (40), dan paduka [padukO] „paduka‟ data (41) berkedudukan sebagai kata pertama yang diakhiri dengan bunyi [O]. Adapun kata indra [IndrO] „raja‟ pada data (37) sampai
(41) berkedudukan sebagai kata kedua yang diawali dengan bunyi [I].
Terjadi proses peleburan atau sintesis ketika bunyi [O] pada akhir kata pertama bertemu dengan bunyi [I] pada awal kata kedua, dari proses peleburan tersebut menyebabkan munculnya satu bunyi vokal baru, yaitu bunyi [e]. Maka bentukan kata pada masing-masing data tersebut di atas menjadi: data (37)
Mahendra [mahendrO] „gunung Mahendra‟; data (38) yaksendra [y aksendrO] „raja raksasa‟; data (39) narendra [narendrO] „raja‟; data (40) atmajendra [atmOjendrO]
„putra raja‟, dan data (41) padukendra [padukendrO] „paduka raja‟. 7) [O] + [u] = [o]
Bentuk persandian [o] terjadi apabila kata pertama diakhiri dengan bunyi [O] dan kata kedua diawali bunyi [u]. Berikut data-data yang menunjukkan bentuk persandian ini.
(42) ... satriya wirotama, nenggih Raden Rama Wijaya, ...
(V/P/11)
„... satria perwira utama, yaitu Raden Rama Wijaya, ...‟
(43) ..., keni ing Sarotama, ...
(II/S/20/1/1)
commit to user
Pada data (42), kata wirotama [wirotOmO] „perwira utama‟ merupakan
gabungan dari kata wira [wirO] „perwira‟ dan utama [utOmO] „utama‟. Kata wira
[wirO] „perwira‟ berkedudukan sebagai kata pertama yang diakhiri dengan bunyi
[O] dan kata utama [utOmO] „utama‟ berkedudukan sebagai kata kedua yang
diawali bunyi [u]. Dari pertemuan dua bunyi vokal tersebut, terjadi proses peleburan atau sintesis yang menyebabkan munculnya satu bunyi vokal baru, yaitu bunyi [o]. Sehingga bentukan kata tersebut di atas menjadi wirotama
[wirotOmO] „perwira utama‟.
Proses yang terjadi di atas juga terjadi pada bentukan kata sarotama
[sarotOmO] „panah Sarotama‟ pada data (43). Kata tersebut diturunkan dari kata
sara [sOrO] „panah‟ sebagai kata pertama berakhir bunyi [O] dan utama [utOmO]
„utama‟ sebagai kata kedua berawal bunyi [u]. Adanya pertemuan dua bunyi vokal
tersebut, terjadi proses peleburan yang menyebabkan munculnya satu bunyi vokal baru, yaitu bunyi [o]. Sehingga kata yang terbentuk menjadi sarotama [sarotOmO]
„panah Sarotama‟.
b. Kata Pertama Berakhir Bunyi [i]
Dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta hanya ditemukan satu macam bentuk persandian dengan kedudukan kata pertama berakhir bunyi [i]. Bentuk tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
commit to user
Tabel 3.
Persandian dengan Kedudukan Kata Pertama Berakhir Bunyi [i]
No. Bunyi Akhir Kata I
Bunyi Awal Kata II
Bentuk Persandian
1. [i] [a] [y a]
Berikut data-data yang menunjukkan bentuk persandian tersebut di atas. (44) Bimanyuputra ya Sang Utaryatmojo (pen: Utaryatmaja), ...
(I/J/3/1/4)
„Bimanyuputra juga Sang Utaryatmaja, ...‟
(45) ..., Senayoga, Arimbyatmojo (pen: Arimbyatmaja), Gurundoyo, inggih Raden Purbaya.
(I/J/106/1/3)
„..., Senayoga, Arimbyatmaja, Gurundoyo, juga Raden Purbaya.‟
Kata Utaryatmaja [utary atmOjO] „Utaryatmaja‟ pada data (44) merupakan gabungan dari kata Utari [utari] „Utari‟ yang berkedudukan sebagai kata pertama
berakhir bunyi [i] dan atmaja [atmOjO] „putra‟ berkedudukan sebagai kata kedua berawal bunyi [a]. Bunyi [i] pada akhir kata pertama yang bertemu dengan bunyi [a] pada awal kata kedua mengalami proses peleburan yang menghasilkan bunyi [y a]. Sehingga kata yang terbentuk menjadi Utaryatmaja [utary atmOjO]
„Utaryatmaja‟.
Kata Arimbyatmaja [arimby atmOjO] „Arimbyatmaja‟ apabila diurai terdiri
dari kata Arimbi [arimbi] „Arimbi‟ sebagai kata pertama berakhir bunyi [i] dan
atmaja [atmOjO] „putra‟ sebagai kata kedua berawal bunyi [a]. Sebagaimana proses persandian pada data (44), terjadi proses peleburan yang menghasilkan
commit to user
bunyi [y a]. Sehingga kata yang terbentuk menjadi Arimbyatmaja [arimby atmOjO]
„Arimbyatmaja‟.
c. Kata Pertama Berakhir Bunyi [u]
Dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta, ada dua macam bentuk persandian dengan kedudukan kata pertama berakhir bunyi [u]. Kedua macam bentuk persandian tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.
Persandian dengan Kedudukan Kata Pertama Berakhir Bunyi [u]
No. Bunyi Akhir Kata I Bunyi Awal Kata II Bentuk Persandian 1. [u] [a] [wa] 2. [I] [wE]
1) [u] + [a] = [wa]
Bentuk persandian [wa] terjadi apabila kata pertama diakhiri dengan bunyi [u] dan kata kedua diawali bunyi [a]. Berikut data-data yang menunjukkan bentuk persandian ini.
(46) ..., pisowane Raden Rama Wijaya lan Raden Lesmana Widagda maring ngarsane ratwagung Prabu Janaka.
(V/J/5)
„..., kedatangan Raden Rama Wijaya dan Raden Lesmana Widagda dihadapan ratu besar Prabu Janaka.‟
(47) ..., nenggih kanjeng ratwalit garwanata angka loro Dewi Kekayi, ...
(V/P/14)
commit to user
Pada data (46), kata ratwagung [ratwagUG] „ratu besar‟ merupakan
gabungan dari kata ratu [ratu] „ratu‟ dan agung [agUG] „besar‟. Kata ratu [ratu]
„ratu‟ berkedudukan sebagai kata pertama yang diakhiri dengan bunyi [u] dan kata
agung [agUG] „besar‟ berkedudukan sebagai kata kedua yang diawali bunyi [a]. Dari pertemuan dua bunyi vokal tersebut, terjadi proses peleburan yang menyebabkan munculnya bunyi [wa].
Proses yang terjadi di atas juga terjadi pada bentukan kata ratwalit
[ratwalIt] „permaisuri kedua‟ pada data (47). Kata tersebut diturunkan dari kata
ratu [ratu] „ratu‟ sebagai kata pertama berakhir bunyi [u] dan alit [alIt] „kecil‟
sebagai kata kedua berawal bunyi [a]. Adanya pertemuan dua bunyi vokal tersebut, terjadi proses peleburan yang menyebabkan munculnya bunyi [wa].
2) [u] + [I] = [wE]
Bentuk persandian [wE] terjadi apabila kata pertama diakhiri dengan bunyi [u] dan kata kedua diawali bunyi [I]. Berikut data-data yang menunjukkan bentuk persandian ini.
(48) ..., ywang kanang pinujweng Ari, ...
(II/S/1/2/4)
„..., tepatnya pada hari ini, ...‟
(49) ..., rupepeh-rupepeh panda (pen: pinda) sata manggih karma (pen:
krama) malbweng pandhapi agung.
(V/P/4)
„..., berjalan menunduk dengan penuh hormat masuk di balai agung.‟
(50) ... jeneng sira sun wisuda kumadeg ratweng Ayodya.
(V/G/13)
commit to user
Kata pinujweng [pinujwEG] „tertuju di‟ pada data (48) merupakan gabungan dari kata pinuju [pinuju] „tertuju‟ yang berkedudukan sebagai kata
pertama dan preposisi ing [IG] „di‟ berkedudukan sebagai kata kedua. Bunyi [u] pada akhir kata pertama yang bertemu dengan bunyi [I] pada awal kata kedua mengalami proses peleburan atau sintesis, dari proses tersebut menghasilkan bunyi [wE]. Kata yang terbentuk menjadi pinujweng [pinujwEG] „tertuju di‟.
Pada data (49), kata malbweng [malbwEG] „masuk di‟ apabila diurai terdiri
dari kata malbu [malbu] „masuk‟ sebagai kata pertama berakhir bunyi [u] dan preposisi ing [IG] „di‟ sebagai kata kedua berawal bunyi [I]. Kata malbu [malbu]
„masuk‟ sebenarnya berasal dari kata malebu [mal| bu] „masuk‟, setelah
mengalami proses synkop menjadi malbu [malbu] „masuk‟. Sebagaimana proses persandian pada data (48), bunyi [u] pada akhir kata pertama yang bertemu dengan bunyi [I] pada awal kata kedua mengalami proses peleburan yang menyebabkan munculnya bunyi [wE]. Kata yang terbentuk menjadi malbweng
[malbwEG] „masuk di‟.
Contoh lain dari bentuk persandian ini seperti pada data (50), kata ratweng
[ratwEG] „ratu di‟ diturunkan dari kata ratu [ratu] „ratu‟ dan ing [IG] „di‟. Bunyi [u] pada akhir kata ratu [ratu] „ratu‟ bertemu dengan bunyi [I] pada awal kata ing
[IG] „di‟ mengalami proses peleburan atau sintesis yang menyebabkan munculnya
commit to user
2. Fungsi Persandian
Fungsi persandian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah fungsi berdasarkan penggunaan bahasa untuk suatu tujuan tertentu yang hendak dicapai oleh penggunanya atau pemakainya. Dalam hal ini mencakup dalang, penyusun naskah, dan para pakar bahasa pedalangan yang sekaligus menjadi informan dalam penelitian ini. Berikut beberapa pendapat informan mengenai fungsi persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta.
Karena nanti ada beberapa pengaruh ya, ada karena pengaruh tembang, jadi pengaruh tembang itu jelas saja mempengaruhi bentuk janturan maupun bentuk gineme, satu itu, yang kedua itu karena setiap orang mempunyai pernapasan yang berbeda-beda, jadi panjang pendeknya nafas itu juga mempengaruhi, susilarja susila arja, kemudian itu adalah variasi, untuk membuat sebuah variasi, kemudian ada unsur untuk mencari aspek estetis, jadi kan lebih estetis daripada susila arja, jadi fungsinya adalah macam-macam itu.1
Dari pendapat Sumanto di atas, fungsi persandian yang terlihat antara lain untuk menyingkat bunyi, hal ini berkaitan dengan pernyataan Sumanto mengenai panjang pendek nafas setiap orang yang berbeda-beda sebagaimana tersebut di atas. Fungsi persandian untuk menyingkat bunyi ini juga diutarakan oleh Bambang Murtiyoso.2 Fungsi berikutnya yaitu untuk membuat sebuah variasi dan untuk mencari aspek estetis.
Fungsi persandian lain juga dijelaskan oleh Endang Supadma sebagai berikut.
Kersanipun luwes, kersanipun endah, kersanipun ekspresinipun langkung menjiwai, bahasa pedalangan menika bahasa yang indah yang menarik, indah dalam arti menarik perhatian dan mempunyai kekuatan makna, lebih mengena.3
1
Sumanto, wawancara tanggal 19 Juli 2011, di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. 2
Wawancara tanggal 19 Juli 2011, di Baturono. 3
commit to user
(Supaya halus, supaya indah, supaya ekspresinya lebih menjiwai, bahasa pedalangan adalah bahasa yang indah yang menarik, indah dalam arti menarik perhatian dan mempunyai kekuatan makna, lebih mengena.) Penjelasan Endang Supadma di atas menunjukkan adanya fungsi untuk membuat kata lebih halus, untuk keindahan bahasa, dan untuk mengungkapkan ekspresi. Berkaitan dengan fungsi persandian untuk membuat kata lebih halus, Sumanto juga menjelaskan: “untuk mermperhalus dan itu membuat bahasanya lebih estetis ngono rasane (seperti itu rasanya)”4
. Kemudian berkaitan dengan
“ekspresi”, Bambang Murtiyoso juga menjelaskan sebagai berikut.
Iya untuk ekspresi, kadang makna itu tidak menjadi penting kok, makna itu kedua, yang penting ndakik-ndakike 5, semakin ndakik semakin lancar ekspresi ucapannya ya semakin bagus. 6
Berdasarkan pendapat masing-masing informan sebagaimana tersebut di atas, macam-macam fungsi persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta antara lain sebagai berikut.
a. Memunculkan Kesan Estetis
Fungsi persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta salah satunya adalah untuk memunculkan kesan estetis, Bambang Suwarno menyebutnya dengan “endahing basa” 7
(keindahan bahasa). Berikut contoh data yang menunjukkan fungsi ini.
(15) Busana kadewatan sarwendah datan kuciwa, ...
(I/J/113/6/1)
„Busana kebesaran dewa serba indah tidak mengecewakan, ...‟
4
Wawancara tanggal 19 Juli 2011, di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. 5
Ndakik-ndakike berarti berbicara dengan diksi yang indah penuh makna. 6
Wawancara tanggal 19 Juli 2011, di Baturono. 7
commit to user
Kata sarwendah [sarwEndah] „serba indah‟ diturunkan dari kata sarwa
[sarwO] „serba‟ dan endah [endah] „indah‟. Setelah bergabung dan mengalami
proses persandian muncul bunyi [E] menjadi sarwendah [sarwEndah] „serba
indah‟. Jika bentukan tersebut disajikan tanpa menggunakan persandian, yaitu
sarwa endah [sarwO endah] „serba indah‟, maka tidak ditemui kesan estetis di
dalamnya. Lain halnya dengan bentukan sarwendah [sarwEndah] „serba indah‟,
kata tersebut dirasa lebih memunculkan kesan estetis. (17) ..., patinireku wus pareg, ...
(II/S/6/1/7)
„..., kematiannya itu sudah dekat, ...‟
Kata patinireku [patinirEku] „kematiannya itu‟ pada data (19) merupakan
gabungan dari kata patinira [patinirO] „kematiannya‟ dan iku [iku] „itu‟. Setelah bergabung dan mengalami proses persandian muncul bunyi [E] menjadi
patinireku [patinirEku] „kematiannya itu‟. Apabila bentukan tersebut disajikan
tanpa menggunakan persandian, yaitu patinira iku [patinirO iku] „kematiannya
itu‟, maka terlihat kurang estetis atau kurang indah. Namun jika bentukantersebut
disajikan dengan menggunakan persandian, yaitu menjadi patinireku [patinirEku]
„kematiannya itu‟, maka kata tersebut dirasa lebih memancarkan kesan estetis. b. Mengungkapkan Ekspresi
Fungsi persandian kedua yaitu untuk mengungkapkan ekspresi dalang. Bahasa sebagai media ungkap dalam seni pedalangan tidak lepas dari ekspresi seorang dalang. Bagaimana ekspresi seorang dalang ketika melukiskan suatu
commit to user
keadaan atau percakapan antar tokoh wayang tidak lepas pula dari diksi yang digunakan. Sebagai contoh dapat dilihat pada data (44) dan (45) berikut.
(44) Bimanyuputra ya Sang Utaryatmojo (pen: Utaryatmaja), ...
(I/J/3/1/4)
„Bimanyuputra juga Sang Utryatmaja, ...‟
Kata Utaryatmaja [utary atmOjO] „Utaryatmaja‟ pada data (44) diturunkan dari kata Utari [utari] „Utari‟ dan atmaja [atmOjO] „putra‟. Setelah bergabung dan mengalami proses persandian, kata yang terbentuk menjadi Utaryatmaja
[utary atmOjO] „Utaryatmaja‟. Ketika kata Utaryatmaja [utary atmOjO]
„Utaryatmaja‟ diucapkan oleh seorang dalang, maka akan lebih berekspresi karena
terjadi penekanan suara dengan pelafalan lebih cepat dimana sang dalang menjelaskan bahwa Parikesit adalah putra Abimanyu juga putra Dewi Utari. Akan terasa berbeda jika bentuk tersebut diucapkan tanpa menggunakan persandian seperti Utari atmaja [utary atmOjO] „Utaryatmaja‟. Terdapat jeda dalam pelafalan
bentuk tersebut, sehingga dalam pelafalan terkesan kurang berekspresi.
(45) ..., Senayoga, Arimbyatmojo (pen: Arimbyatmaja), Gurundoyo, inggih Raden Purbaya.
(I/J/106/1/3)
„…, Senayoga, Arimbyatmaja, Gurundoyo, juga Raden Purbaya.‟
Kata Arimbyatmaja [arimby atmOjO] „Arimbyatmaja‟ pada data (45)
merupakan gabungan dari kata Arimbi [arimbi] „Arimbi‟ dan atmaja [atmOjO]
„putra‟. Setelah bergabung dan mengalami proses persandian menjadi
Arimbyatmaja [arimby atmOjO] „Arimbyatmaja‟. Dalam pelafalannya, bentukan
tersebut akan lebih mendukung ekspresi seorang dalang daripada bentuk sebelum disandikan, yaitu Arimbi atmaja [arimbi atmOjO] „Arimbyatmaja‟. Dalam kutipan
commit to user
data tersebut di atas menjelaskan bahwa Raden Gathotkaca mempunyai nama lain atau dalam istilah Jawa disebut dengan dasanama, yaitu seperti Senayoga, Arimbyatmaja, Gurundoyo, dan Raden Purbaya.
c. Menyingkat Bunyi
Dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta, persandian juga berfungsi untuk menyingkat bunyi. Bagi seorang dalang yang memiliki pernapasan pendek, persandian akan banyak digunakan dalam pemilihan kata. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan contoh data sebagai berikut.
(21) Satriya gagah prakosa birawa tur sentosa, dhasar sembada prawireng jurit.
(I/J/65/3/5)
„Satria gagah perkasa disegani dan juga sentosa, memang pemberani di peperangan.‟
Kata prawireng [prawirEG] „pemberani‟ pada data (21) merupakan gabungan dari kata prawira [prawirO] „berani‟ dan ing [IG] „di‟. Setelah bergabung dan mengalami proses persandian, bentukan tersebut menjadi prawireng
[prawirEG] „pemberani‟. Terjadi proses penyingkatan bunyi sekaligus proses pengurangan jumlah suku kata dari empat suku kata menjadi tiga suku kata. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa setiap dalang mempunyai pernapasan yang berbeda-beda, maka dengan persandian yang menyebabkan penyingkatan bunyi ini akan membantu dalang ketika dalam catur-nya menemui masalah pernapasan.
(49) ..., rupepeh-rupepeh panda (pen: pinda) sata manggih karma (pen:
krama) malbweng pandhapi agung.
(V/P/4)
commit to user
Kata malbweng [malbwEG] „masuk di‟ di atas apabila diurai terdiri dari
kata malebu [mal| bu] „masuk‟ yang disynkopkan menjadi malbu [malbu] „masuk
dan preposisi ing [IG] „di‟. Setelah bergabung dan mengalami proses persandian,
bentukan tersebut menjadi malbweng [malbwEG] „masuk di‟. Dalam proses persandian tersebut juga terjadi proses penyingkatan bunyi dan proses pengurangan jumlah suku kata dari tiga suku kata menjadi dua suku kata.