BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
4. Fungsi Persandian
Fungsi persandian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah fungsi berdasarkan penggunaan bahasa untuk suatu tujuan tertentu, bukan fungsi yang didasarkan atas hubungan sintagmatis (struktural) atau sebagaimana fungsi dalam satuan sintaksis. Hal ini disebabkan karena dalam proses persandian tidak mengubah fungsi baik secara gramatik maupun sintaktik dari bentuk semula.
Dalam pembicaraan mengenai penelitian yang pernah dilakukan atau pustaka yang terkait dengan masalah persandian, sebagaimana tersebut pada latar belakang masalah. Ada dua penelitian yang membahas tentang fungsi persandian,
yaitu “Persandian dalam Bahasa Jawa Suatu Studi Perbandingan” (1989) oleh Sri Hartati, bentuk skripsi dan “Bentuk Persandian dalam Bahasa Jawa (Suatu Tinjauan Komparatif)” (1991) oleh Sumadi, bentuk laporan penelitian.
Menurut Sri Hartati (1989:42-48), fungsi persandian berdasarkan penggunaan bahasa untuk suatu tujuan tertentu, maksudnya adalah dalam penggunaan persandian, ada tujuan tertentu yang hendak dicapai oleh penggunanya atau pemakainya. Adapun macam fungsi persandian tersebut antara lain: (1) memperlancar dan mempercepat pengucapan, (2) memberi kesan keindahan, (3) Memenuhi aturan puisi (tembang) yaitu guru wilangan dan guru lagu, dan (4) menunjukkan kesatuan bentuk.
Dalam penelitian Sumadi (1990/1991:13-15), fungsi persandian tidak menjadi bagian dari analisis data. Fungsi pesandian hanya disinggung dalam kerangka teori sebagai acuan penulisan. Beberapa fungsi persandian tersebut antara lain: (1) memenuhi ketentuan guru wilangan atau chanda, (2) penyingkatan bunyi, (3) memperlancar bunyi, dan (4) memancarkan keindahan.
commit to user
Dari macam fungsi persandian menurut Sri Hartati dan Sumadi di atas, maka dapat disimpulkan beberapa fungsi persandian sebagai berikut.
a. Memperlancar dan Mempercepat Pengucapan
Proses morfofonemik berupa persandian umumnya ditujukan untuk mempercepat dan memperlancar pengucapan (Jos Daniel Parera dalam Sri Hartati, 1989:43). Sri Hartati (1989:43) dalam memberikan contoh fungsi ini lebih mengarah pada persandian dalam, yaitu bentuk persandian yang terjadi pada
rangkaian katadan afiks. Seperti bentukan kata kelingan [kEliGan] „teringat‟ yang
diturunkan dari bentuk dasar eling [eliG] „ingat‟ dan konfiks {ka-an}. Bentukan
yang dihasilkan dari proses tersebut seharusnya *kaelingan [kaeliGan] „teringat‟,
namun ternyata bentuk tersebut tidak lancar dan sukar untuk diucapkan. Untuk memperlancar dan mempercepat pengucapan tersebut, maka bunyi [a] yang
bergabung dengan bunyi [e] lebur menjadi bunyi [E].
Contoh persandian yang diberikan oleh Sumadi (1990/1991:15) dalam fungsi ini yaitu bentukan kata amatemwaken [amat| mwak| n] „menemukan‟ dan
muktyaneng [mUkty anEG] „mulia di‟. Bentuk persandian [wa] pada amatemwaken
[amat| mwak| n] „menemukan‟ merupakan hasil persandian bunyi vokal [u] dengan bunyi vocal [a]. Bentuk persandian [ya] pada muktyaneng [mUkty anEG] „mulia di‟ merupakan hasil persandian bunyi vokal [i] yang bertemu dengan bunyi vokal [a]. Munculnya bentuk persandian [wa] dan [ya] dapat memperlancar pelafalan bunyi pada bentukan kata tersebut di atas.
commit to user
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: (1) menurut Sri Hartati, fungsi ini banyak dijumpai pada bentukan-bentukan kata yang mengarah pada persandian dalam, yang umumnya berhubungan dengan proses morfofonemik. (2) Fungsi persandian untuk memperlancar dan mempercepat pengucapan oleh Sumadi lebih ditekankan pada bentuk persandian yang dihasilkan, yaitu berbentuk semivokal dan vokal seperti [wV] atau [yV]. Dalam hal ini peneliti lebih cenderung menggunakan pendapat Sumadi untuk acuan dalam menganalisis data.
Contoh: dupyarsa [dupy arsO] „ketika akan‟
Kata dupyarsa [dupy arsO] „ketika akan‟ merupakan gabungan dari kata dupi
[dupi] „ketika‟ dan arsa [arsO] „akan‟. Setelah bergabung dan mengalami proses persandian, muncul bunyi [ya]. Munculnya bunyi [ya] pada dupyarsa [dupy arsO] „ketika akan‟ ini dirasakan lebih memperlancar dan mempercepat pelafalan atau pengucapan daripada bentuk *dupiarsa [dupiarsO].
b. Memancarkan Kesan Keindahan
Persandian berfungsi untuk memancarkan kesan keindahan (Maryono dkk. dalam Sri Hartati, 1989:43). Sumadi (1990/1991:15) menjelaskan bahwa fungsi jenis ini banyak dimanfaatkan dalam ragam literer bahasa Jawa. Sebagaimana yang kita ketahui, bahasa pedalangan merupakan bahasa Jawa yang literer, maka banyak persandian yang digunakan dengan tujuan untuk memancarkan kesan keindahan. Sri Hartati (1989:79-80) menambahkan bahwa dari semua persandian yang ada, yang terbanyak memberi kesan keindahan adalah persandian dengan
commit to user
preposisi ing „di‟ atau dengan pronominal penunjuk iki „ini‟, iku „itu‟, ika „itu‟, dan ikang„itu‟.
Contoh: sireku [sirEku] „kamu itu‟
Kata sireku [sirEku] „kamu itu‟ diturunkan dari kata sira [sirO] „kamu‟ dan iku
[iku] „itu‟. Setelah bergabung dan mengalami proses persandian, muncul bunyi [E] menjadi sireku [sirEku] „kamu itu‟. Jika bentukan tersebut disajikan tanpa menggunakan persandian, yaitu sira iku [sirO iku] „kamu itu‟, maka tidak ditemui kesan keindahan di dalamnya. Lain halnya dengan bentukan sireku [sirEku] „kamu itu‟, kata tersebut dirasa lebih memancarkan kesan keindahan.
c. Memenuhi Aturan Guru Wilangan
Dalam Ngengrengan Kasusastran Djawa (S. Padmosoekotjo, 1953:43), persandian banyak ditemukan dalam karya sastra yang berbentuk tembang,
fungsinya adalah untuk memenuhi tuntutan guru wilangan. Yang dimaksud dengan guru wilangan adalah “cacahing wanda saben gatra” (jumlah suku kata pada tiap baris) (S. Padmosoekotjo, 1956:27). Apabila dalam satu baris mempunyai jumlah suku kata yang melebihi aturan, maka harus dilakukan pengurangan jumlah suku kata. Soepomo Poedjosoedarmo (1978:195-196) menjelaskan bahwa pengurangan jumlah suku kata dapat terjadi karena synkope atau kontraksi. Contoh yang terjadi karena proses synkope seperti: nagari – nagri
„negara‟, nerak – nrak „menerjang‟, terang – trang „jelas‟, dan weruh – wruh
„tahu‟. Adapun yang dimaksud dengan kontraksi yaitu pengurangan jumlah suku kata dengan menggabungkan dua kata menjadi satu kata. Penggabungan ini selalu mengikuti hukum sandi.
commit to user
Contoh: engetan prasetyamba „teringat setiaku‟
Contoh di atas merupakan cuplikan baris keempat dari bait tembang Pangkur Dhudha Kasmaran. Menurut aturan guru wilangan, dalam baris tersebut harus terdiri dari tujuh suku kata, dan baris di atas sudah memenuhi aturan tersebut, terbukti:
e- nget- a pra- se- tyam- ba „ingatlahsetiaku‟ 1 2 3 4 5 6 7
Apabila kata prasetyamba [pras| ty ambO] „setiaku‟ dikembalikan ke bentuk semula yaitu prasetya [pras| ty O] „setia‟ dan amba [ambO] „aku‟, maka baris tersebut tidak memenuhi guru wilangan. Hal tersebut dikarenakan jumlah suku kata menjadi bertambah satu, yaitu menjadi delapan suku kata, terbukti:
e- nget- a pra- se- tya am- ba „ingatlahsetiaku‟ 1 2 3 4 5 6 7 8
Untuk memenuhi aturan guru wilangan, maka perlu dilakukan proses persandian, yatu kata prasetya [pras| ty O] „setia‟ dan amba [ambO] „aku‟ digabung menjadi
prasetyamba [pras| ty ambO] „setiaku‟.
d. Memenuhi Aturan Guru Lagu
Menurut Sri Hartati (1989:46), fungsi persandian selain untuk memenuhi aturan guru wilangan juga untuk memenuhi aturan guru lagu. Yang dimaksud dengan guru lagu yaitu “tibaning dhong-dhinging swara ing saben wekasaning gatra” (bunyi vokal pada tiap akhir baris) (S. Padmosoekotjo, 1956:27). Dalam hal ini Sri Hartati (1989:47) memberikan contoh baris tujuh pada tembang Sinom,
yaitu miwah kang pra dipatya „serta para Adipati‟. Menurut aturan guru lagu¸ bunyi akhir tembang Sinom baris ketujuh adalah bunyi [O]. Pada kata dipatya
commit to user
[dipaty O]„adipati‟, semula berasal dari kata dipati [dipati] „adipati‟ yang bersuara akhir bunyi [i]. Untuk memenuhi aturan guru lagu, maka kata dipati [dipati] „adipati‟ tersebut digabungkan dengan sufiks {-a}, sehingga bentukan tersebut menjadi dipatya [dipaty O]„adipati‟.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi ini tidak sesuai dengan konsep dasar persandian dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan karena untuk memenuhi aturan guru lagu, jelas yang termasuk di dalamnya adalah bentuk persandian yang merupakan gabungan kata dengan afiks. Adapun konsep dasar persandian yang digunakan dalam penelitian ini adalah proses bergabungnya kata dengan kata.
e. Menunjukkan Kesatuan Bentuk
Menurut Sri Hartati (1989:48), persandian juga sering berfungsi untuk menunjukkan kesatuan bentuk. Sri Hartati (1989:48) juga menambahkan bahwa fungsi ini umumnya dijumpai dalam bentuk prosa dan umumnya terdapat pada persandian yang terjadi pada gabungan kata dengan kata atau persandian luar.
Bahasa pedalangan juga mengenal bahasa prosa atau gancaran, yang mana di dalamnya banyak dijumpai bentukan-bentukan kata yang merupakan gabungan dua kata atau lebih dengan pertemuan dua bunyi vokal.
Contoh: satriyarga [satriy argO] „satria gunung‟
Kata satriyarga [satriy argO] „satria gunung‟ merupakan gabungan dari kata
satriya [satriy O] „satria‟ dan arga [argO] „gunung‟. Setelah bergabung dan mengalami proses persandian, bunyi [O] pada akhir kata satriya [satriy O] „satria‟ melebur, sehingga kata yang terbentuk menjadi satriyarga [satriy argO] „satria
commit to user
gunung‟. Jika bentukan tersebut disajikan tanpa menggunakan persandian, yaitu
satriya arga [satriy O argO] „satria gunung‟, maka sifat bentukan ini terasa renggang. Namun dengan digabungkannya dua kata tersebut, maka sifat bentukan akan lebih terasa rapat dan tidak dapat disisipi bentuk lain.
f. Penyingkatan Bunyi
Menurut Sumadi (1990/1991:14), fungsi persandian untuk penyingkatan bunyi banyak ditemukan dalam karya sastra berbentuk prosa. Pada fungsi ini Sumadi memberikan contoh persandian yang terjadi pada gabungan kata dan afiks, yaitu kata gegedhen [g| g| .dEn] „terlalu besar‟ yang merupakan hasil penggabungan morfem gedhe [g| .de] „besar‟ dan DP- -an. Antara bunyi vokal [e] pada gedhe [g| .de] „besar‟ dan [a] pada sufiks [-an] disandikan menjadi [E]. Dengan kata lain, bunyi vokal [E] merupakan peluluhan bunyi vokal [e] dan [a].
Pada dasarnya, semua bentuk persandian mengalami proses penyingkatan bunyi. Hal ini dapat dilihat dari terjadinya proses pengurangan jumlah suku kata dalam persandian.
Contoh: sedyarsa [s| dy arsO]„niat‟
Kata sedyarsa [s| dy arsO] „niat‟ yang diturunkan dari kata sedya [s| dy O] „bersedia‟ dan arsa [arsO] „akan‟, setelah digabungkan dan mengalami proses persandian menjadi sedyarsa [s| dy arsO] „niat‟. Bunyi [O] pada sedya [s| dy O] „bersedia‟ dan bunyi [a] pada arsa [arsO] „akan‟ bergabung menjadi satu bunyi [a]. Dalam hal ini terjadi proses penyingkatan bunyi sekaligus proses pengurangan jumlah suku kata dari empat suku kata menjadi tiga suku kata.
commit to user