• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

4. Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul digunakan metode normatif kualitatif. Normatif, karena penelitian ini bertolak pada peraturan-peraturan yang ada sebagai normatif hukum positif. Sedangkan kualitatif dimaksudkan analisis data yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas-asas dan informasi-informasi.

Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum maupun

25 Herman Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 71, yang menyatakan wawancara merupakan alat pengumpul data untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi arus informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) pedoman wawancara, dan situasi wawancara.

berbagai ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan yang mengatur masalah perceraian di luar pengadilan menurut Kompilasi Hukum Islam dan Fiqih Islam sehingga menghasilkan suatu klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini.26

Walaupun dalam penelitian ini nantinya akan bersinggungan dengan perspektif disiplin ilmu lainnya, namun penelitian ini tetap merupakan penelitian hukum, karena perspektif disiplin lain hanya sekedar alat bantu. Dengan demikian, sudah jelas data yang telah terkumpul akan dianalisis secara kualitatif yaitu menafsirkan perceraian di luar pengadilan menurut Kompilasi Hukum Indonesia dan Fiqih Islam.

26Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 24.

BAB II

PENGATURAN PERCERAIAN YANG DILAKUKAN DI LUAR PENGADILAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM

DAN FIQIH ISLAM

A. Perceraian Di luar Pengadilan 1. Pengertian Perceraian

Perceraian dalam dalam istilah fiqih disebut “thalak” yang berarti “membuka ikatan, membatalkan perjanjian”. Perceraian dalam istilah-istilah fiqih juga sering disebut “furqah”, yang artinya “bercerai”, yaitu “lawan dari berkumpul”. Kemudian kedua istilah itu digunakan oleh para ahli fiqih sebagai satu istilah yang berarti

“perceraian suami isteri”.27

Abdul Djamali dalam bukunya, Hukum Islam, mengatakan bahwa perceraian merupakan putusnya perkawinan antar suami-istri dalam hubungan keluarga.28 Sementara Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqh al-Sunnah, menjelaskan bahwa thalak menurut istilah syara’ adalah: “melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan perkawinan suami istri”.29

Menurut R. Subekti perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan keputusan hakim atau tuntutan salah satu pihak selama perkawinan.30 Sedangkan pengertian perceraian menurut bahasa Indonesia berasal dari suku kata cerai, dan

27 Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2013), hal. 16.

28 Abdul Djamali, Hukum Islam, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hal. 95.

29 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, (Beirut: Daar al-Fikr, 1992), hal. 206.

30 R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta:. Intermasa, 2010), hal 42.

perceraian menurut bahasa berarti perpisahan, perihal bercerai antara suami dan istri, perpecahan, menceraikan.31 Perceraian menurut ahli fikih disebut thalak atau firqoh.

Sedangkan dalam istilah syara', thalak adalah melepaskan ikatan perkawinan, atau rusaknya hubungan perkawinan.32

Kata thalak dalam istilah fiqih mempunyai arti yang umum ialah “segala macam bentuk perceraian, baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya suami atau isteri”. Selain itu, thalak juga mempunyai arti yang khusus, yaitu “perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami”.33

Di Indonesia peraturan yang mengatur tentang perceraian adalah Undang-undang No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Jo. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, akan tetapi di dalamnya tidak ditemukan interpretasi mengenai istilah perceraian, hanya pengertian perceraian itu dijumpai dalam Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1990) yaitu: Thalak adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang mengadili salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 129, Pasal 130, Pasal 131.

2. Dasar Hukum Perceraian

Permasalahan perceraian atau thalak dalam hukum Islam dibolehkan dan diatur dalam dua sumber hukum Islam, yakni Al-Qur’an dan Hadist. Hal ini dapat dilihat pada sumber-sumber dasar hukum berikut ini:

31 WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), hal 200.

32 Slamet Abidin, Aminuddin, Fikih Munakahat, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), hal 9.

33 Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2013), hal 17.

Dalam surat Al- Baqarah ayat 231 yang artinya:

"Apabila kamu menthalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka (hanya) unuk memberi kemudlaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa takut berbuat zalim pada dirinya sendiri, janganlah kamu jadikan hukum Allah suatu permainan dan ingatlah nikmat Allah padamu yaitu hikmah Allah memberikan pelajaran padamu dengan apa yang di turunkan itu. Dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah maha mengetahui segala sesuatu”.34

Mengenai perceraian juga disebutkan dalam surat An-Nisa’ ayat 130, yang artinya : “Keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunianya, dan Allah Maha Kuat (karunianya) lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. al-Nisa’: 130).35

Ayat di atas menjelaskan jika memang perceraian harus ditempuh sebagai alternatif atau jalan terakhir, maka Allah akan mencukupkan karunianya kepada masing-masing keduanya (suami istri).Walaupun pasangan suami istri sudah di akhiri dengan perceraian, namun Islam tetap memberikan jalan kembali bila kedua belah pihak menghendakinya, dengan catatan thalak yang di lakukan bukan bain kubro, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 249 yang artinya: “Thalak (yang dapat dirujuk) dua kali setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara baik.” (Q.S. al-Baqarah: 249).36

34Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1978), hal. 73.

35 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), hal. 144.

36Ibid.

Ayat di atas menerangkan bahwa ketentuan thalak yang masih dapat dirujuk oleh suami adalah sebanyak dua kali, maka apabila suami menthalak lagi (ketiga kalinya) maka tidak halal lagi baginya (suami) untuk merujuk isterinya lagi, kecuali si isteri telah menikah lagi dengan orang lain dan telah bercerai. Firman Allah lainnya adalah dalam surat al-Thalak ayat 65 yang artinya: “Hai Nabi, Apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” (Q.S. al-Thalak: 65).37Ayat di atas menjelaskan ketentuan waktu menthalak yaitu ketika si isteri dalam keadaan suci dan belum dicampuri atau dinamakan thalak suni.

Adapun hadist Rasulullah SAW bahwa thalak atau perceraian adalah perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah. Dalam salah satu hadis Nabi SAW, yaitu dari Ibnu Umar r.a, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “Diantara hal-hal yang halal namun dibenci oleh Allah ialah thalak”. (H. R Abu Dawud, Ibnu Majah dan disahkan oleh Hakim dan Abu Hatim menguatkan mursalnya).38

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan PP Nomor 9 tahun 1975 hanya mengatur perceraian secara umum yaitu pada Pasal 38 tentang sebab-sebab putusannya perkawinan, Pasal 39 jo Pasal 14-36 PP Nomor 9 tahun 1975 mengatur tentang tata cara perceraian, dan Pasal 41 mengatur tentang akibat putusnya perceraian. Sedangkan Perceraian di Indonesia secara umum diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 38-44, PP Nomor 9 tahun 1975 Pasal 14-36, dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 113 sampai dengan Pasal 148.

37Ibid, hal. 655.

38Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap,(Semarang: CV. Toha Putra, 1990), hal. 483.

3. Perceraian Di luar Pengadilan a. Perceraian menurut Fiqih Islam

Allah SWT telah menetapkan ketentuan dalam Al-Quran bahwa kedua pasangan suami isteri harus segera melakukan usaha antisipasi apabila tiba-tiba timbul gejala-gejala dapat diduga akan menimbulkan ganggungan kehidupan rumah tanganya, yaitu dalam firman-Nya yang artinya :

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan Nusyu’z-nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tiduyr mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka jangalah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al Quran Surat An-Nisa’ ayat 34).

Selanjutnya Allah SWT dalam firman-Nya, yaitu Surat An-Nisa’ ayat 128:

“Dan jika seorang weanita khawatir akan Nusyu’z atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari Nusyu’z dan sikap tidak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Apabila usaha antisipasi melalui ayat-ayat tersebut tidak berhasil mempertahankan kerukunan dan kesatuan ikatan perkawinan dan tinggallah jalan satu-satunya terpaksa harus bercerai dan putusnya perkawinan, maka ketentuan yang berlaku adalah Surat Al-Baqarah ayat 229 :39

39Mahmud Junus, Hukum Perkawinan Islam Menurut Mazhad : Sayfi’I, Hanafi, Maliki dan Hambali. (Jakarta : Pustaka Mahmudiyah, 1989), hal. 163-167.

“Thalak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang tidak kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”

(Surat Al- Baqarah ayat 229).

Makna yang terkandung dalam Surat Al-Baqarah ayat 229 adalah sebagai berikut :40

1. Sebenarnya perceraian sesuatu yang tidak dibenarkan, sehingga jika terjadi perceraian, maka sangat wajar sekali jika seandainya mereka yang bercerai ini bersedia untuk rukun dan rujuk kembali menyusun kesatuan ikatan perkawinan mereka lagi;

2. Perceraian yang boleh rujuk kembali itu hanya dua kali, yaitu thalak ke-satu dan thalak ke-dua saja. Oleh karena itu terhadap thalak ke-tiga tidak ada rujuk lagi, kecuali setelah dipenuhinya persyaratan khusus untuk ini;

3. Syarat atas kedua orang suami-isteri yang bercerai dengan thalak tiga, untuk bisa melakukan rujuk kembali harus perempuan tersebut menikah dengan laki-laki lain;

4. Jika terjadi perceraian, maka suami dilarang mengambil harta yang pernah diberikan kepada isterinya yang dicerai itu, kecuali atas dasar alasan yang dibenarkan agama;

5. Jika isteri mempunyai alasan syari’at yang kuat, maka dapat dibenarkan isteri meminta cerai dengan cara khulu’, yaitu suatu perceraian dengan pembayaran tebusan oleh isteri kepada suami;

6. Allah SWT sudah mengatur segala sesuatunya, termasuk masalah perkawinan dan hubungannya dengan berbagai macam masalah yang terkait;

7. Barang siapa yang melanggar hukum Allah SWT, sebenarnya dia itu bukan menyiksa diri sendiri dengan perbuatan zhalim.

Menurut asalnya thalak itu hukumnya makruh berdasarkan Hadist Rasulullah SAW, yaitu perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah thalak. (HR. Abu Daud dan Al Hakim). Selanjutnya dalam hadist lain Rasulullah SAW bersabda

40Al Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta : Pustaka Amani, 2002), hal. 202.

“Perempuan mana saja yang meminta kepada suaminya untuk cerai tanpa ada alasan apa-apa, maka haram atas dia baunya surga”. (HR. Turmudzi dan Ibnu Ma’jah).41 b. Perceraian Menurut Peraturan Perundang-undangan

Meskipun perkawinan dimaksudkan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmat bagi pasangan suami isteri yang memeluk agama Islam, namun dalam perjalanan kehidupan rumah tangganya juga dimungkinkan timbulnya permasalahan yang dapat mengakibatkan terancamnya keharmonisan ikatan perkawinannya. Bahkan apabila permasalahan tersebut tidak memungkinkan untuk dirukunkan kembali, sehingga keduanya sepakat untuk memutuskan ikatan perkawinannya melalui perceraian.

Undang-undang Perkawinan juga menganut asas bahwa perceraian adalah suatu hal yang dihindari karena tujuan perkawinan adalah kebahagian yang kekal dari rumah tangga. Walaupun demikian suatu perceraian tidak dilarang oleh Undang-undang Perkawinan ini, tetapi haruslah dipersukar, maka mestilah perceraian dilakukan didepan pengadilan dengan melalui prosedur yang ditentukan oleh perundang-undangan.42

Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku, perkawinan diatur dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) termasuk ketentuan tentang putusnya perkawinan (perceraian). Dengan

41Ibid.

42 Rusdi Malik, Memahami Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2009), hal 31.

berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka ketentuan dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tentang perkawinan tidak berlaku.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak terdapat pengertian tentang perceraian, hanya mengatur tentang putusnya perkawinan serta akibatnya.

Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur tentang putusnya perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena :

a. Kematian;

b. Perceraian;

c. Atas putusan Pengadilan.

Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur tentang tata cara perceraian, yaitu dalam Pasal 14 yang menyatakan bahwa:

“seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya, serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu”.

Alasan-alasan yang dimaksud dalam Pasal 14 tersebut adalah sebagai berikut sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Perkawinan, yaitu:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukum lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah lepasnya ikatan perkawinan dan berakhirnya hubungan perkawinan.43

c. Perceraian Menurut Kompilasi Hukum Islam

Perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam, yang mengatur bahwa putusnya perkawinan dapat dikarenakan 3 (tiga) alasan yaitu kematian, perceraian dan putusan Pengadilan.

a. Kematian.

Kematian sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan adalah jika salah satu pihak baik suami atau isteri meninggal dunia. Jika isteri yang meninggal dunia, seorang suami boleh kawin lagi dengan segera, tetapi seorang janda yang kematian suami, harus menunggu jangka lewatnya waktu tertentu sebelum dapat kawin lagi, jangka waktu itu disebut ‘iddah. ‘Iddah kerena kematian suami adalah empat bulan sepuluh hari dari meninggalnya suami dan jika pada akhir waktu ini isteri hamil, maka jangka waktu untuk dapat kawin lagi sampai dia melahirkan anaknya.

43Loc. Cit.

Putusnya ikatan perkawinan dengan matinya salah satu pihak dari suami atau isteri menimbulkan hak saling waris-mewarisi antara suami isteri atas harta peninggalan yang mati (tirkah) menurut hukum waris (faraid), kecuali matinya salah satu pihak itu karena dibunuh oleh salah satu pihak lain.

b. Perceraian.

a. Thalak b. Fasakh c. Khuluk d. Syiqaq e. Ila’

f. Zihar g. Li’an h. Riddah.44

Thalak yaitu melepaskan ikatan nikah antara suami dan isteri dengan suatu kata-kata tertentu (Q. S. Al-Baqarah: 229). Hukum Islam menentukan bahwa hak thalak adalah pada suami dengan alasan bahwa seorang laki-laki itu pada umumnya lebih mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu dari pada wanita yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Dengan pertimbangan yang demikian tadi diharapkan kejadian perceraian akan lebih kecil kemungkinannya dari pada apabila hak thalak diberikan kepada isteri. Walaupun esensi dari thalak adalah hak suami untuk menceraikan isterinya namun harus memenuhi syarat-syarat terrtentu yang telah ditentukan oleh hukum Islam, baik yang ada pada suami, isteri dan sighat thalak, yang berakibat hukum putusnya perkawinan antara suami dan isteri.

44T. Yafizham, Persintuhan Hukum Di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, (Medan: CV. Mustika, cetakan 1, 1977), hal. 10.

Fasakh yaitu merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh Hakim Pengadilan Agama yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan. Biasanya yang menuntut fasakh di Pengadilan adalah isteri. Adapun alasan-alasan yang diperbolehkan seorang isteri menuntut fasakh di Pengadilan yaitu:45

a. Suami sakit gila.

b. Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan sembuh.

c. Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan hubungan kelamin.

d. Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada isterinya.

e. Isteri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami.

f. Suami pergi tanpa diketahui tempat tinggalnya dan tanpa berita, sehingga tidak diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah cukup lama.

Para fuqaha menetapkan bahwa jika dalam kehidupan suami isteri terjadi keadaan, sifat atau sikap yang menimbulkan kemudharatan pada salah satu pihak yang menderita mudharat dapat mengambil langkah untuk putusnya perkawinan, kemudian hakim memfasakhkan perkawinan atas dasar pengaduan pihak yang menderita tersebut.46

Khuluk atau thalak tebus ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami isteri dengan jatuhnya thalak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu. Hukum Islam memberi jalan kepada isteri yang menghendaki perceraian dengan mengajukan khuluk,

45 Soemiyati, Op. Cit., hal. 111.

46 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. 3, 2009), hal. 247.

sebagaimana hukum Islam memberi jalan kepada suami untuk menceraikan isterinya dengan jalan thalak. Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ialah mengimbangi hak thalak yang ada pada suami. Dengan khuluk ini isteri dapat mengambil inisiatif untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan cara penebusan. Penebusan atau pengganti yang diberikan isteri kepada suaminya disebut juga dengan “iwadl”. Khuluk adalah solusi yang diberikan oleh hukum Islam kepada isteri yang berkehendak untuk bercerai dari suami, dengan tujuan menghindarkan isteri dari kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis dan menimbulkan kemudharatan jika dipertahankan , sehingga isteri khawatir tidak dapat melaksanakan hak Allah untuk menaati suami.47

Syiqaq berarti perselisihan yaitu suatu perselisihan yang telah terjadi demikian hebat antara suami isteri, keadaan mana dapat menimbulkan kesulitan dan penderitaan terutama kepada isteri, karena jalan untuk bercerai baik dengan ta’lik thalak maupun dengan fasakh tertutup, maka persoalan tersebut diselesaikan melalui jalan syiqaq. Syiqaq menurut istilah fiqih berarti perselisihan yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang dipihak suami dan satu orang dari pihak isteri. Hakam tersebut terutama bertugas untuk menamaikan suami isteri itu. Hanya dalam keadaan terpaksa sekali dan sudah sekuat tenaga berusaha mendamaikan suami isteri itu tidak berhasil, maka hakam boleh mengambil keputusan mencerai suami isteri tersebut.48

Ila’ adalah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam hukum Islam, bila seorang suami marah kepada isterinya, maka sebelum ia

47 T. Yafizham, Op. Cit., hal. 13.

48 Ibid.

menjatuhkan thalak, ada cara lain yang dapat ditempuh yakni ila’ atau bersumpah untuk tidak mendatangi isterinya selama saat tertentu dengan harapan menjadi pelajaran kepada isterinya agar tidak durhaka lagi kepada suaminya. Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak di thalak ataupun diceraikan.

Sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut yang menderita adalah pihak isteri karena keadaannya terkatung-katung dan tidak berketentuan. Berdasarkan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 226-227, dapat diperoleh ketentuan bahwa suami yang meng’ila isterinya batasnya paling lama hanya empat bulan. Kalau batas waktunya telah habis maka suami harus kembali hidup sebagai suami isteri atau menthalaknya.

Zhihar adalah prosedur thalak, yang hampir sama dengan ‘ila. Arti zhihar adalah seorang suami yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya sama dengan punggung ibunya. Ibu, menurut Al-Qur’an, adalah orang yang melahirkan kita, yang merupakan penegasan untuk melindungi para isteri maupun kekhususan perihal menjadi ibu.49 Dengan bersumpah demikian itu berarti suami telah menceraikan isterinya. Masa tenggang serta akibat zhihar sama dengan ‘ila. Ketentuan mengenai zhihar ini diatur dalam Al-Qur’an surat Al-Mujadilah ayat 2-4 yang isinya:50

1. Zhihar ialah ungkapan yang berlaku khusus bagi orang Arab yang artinya suatu keadaan dimana seorang suami bersumpah bahwa baginya isterinya itu

49 Asma Barlas, dengan penyunting Kurniawan Abdullah, Cara Quran Membebaskan Perempuan, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005), hal. 340.

50 Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, Annalisa Yahanan, Op. Cit, hal. 155.

Dokumen terkait