• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN FIQIH ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN FIQIH ISLAM"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

SITI SRI REZEKI 117011045/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SITI SRI REZEKI 117011045/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

(3)

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Abdullah Syah, MA)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD) (Dr. Utary Maharani Barus, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Tanggal lulus : 05 Februari 2015

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Abdullah Syah, MA

Anggota : 1. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD 2. Dr. Utary Maharani Barus, SH, MHum 3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

(5)

Nama : SITI SRI REZEKI

Nim : 117011045

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN FIQIH ISLAM

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : SITI SRI REZEKI Nim : 117011045

(6)

tersebut, diperlukan norma hukum yang mengaturnya. Hal ini diperlukan dalam rangka mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing anggota keluarga, guna membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera. Namun sebagai manusia pasti banyak persoalan yang timbul dalam suatu rumah tangga yang tanpa disadari dapat menyebabkan terjadinya perceraian. Perceraian dapat diajukan ke Pengadilan Agama baik oleh suami maupun istri, namun ada juga perceraian yang dilakuan di luar pengadilan sehingga memberikan kemudharatan bagi istri dan anak- anaknya karena perceraian tersebut tidak legal menurut Undang-Undang dan KHI.

Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai pengaturan perceraian yang dilakukan di luar pengadilan menurut KHI dan Fiqih Islam, akibat hukum perceraian di luar pengadilan menurut KHI dan Fiqih Islam dan perceraian di luar pengadilan tidak mendapatkan legalitas menurut ketentuan KHI dan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kemashlahatan, sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif. Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara mendalam terhadap peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan pendapat ahli hukum. Teknik pengumpulan data dalam tesis ini dilakukan secara studi kepustakaan dan wawancara.

Pengaturan perceraian yang dilakukan di luar pengadilan tidak pernah diatur dalam KHI, KHI mengharuskan perceraian dilakukan di depan sidang pengadilan seperti yang diatur dalam Pasal 115 sementara dalam Fiqih Islam tidak ditemukan mengenai penjelasannya dalam Al-Qur’an dan hadits, sehingga diperbolehkan membangun hukum tentang sesuatu hal tersebut melalui metode ijtihad dalam bentuk ijma’ maupun qiyas, dengan demikian perceraian yang dilaksanakan di luar Pengadilan memiliki kesesuaian dengan fiqih Islam sehingga dapat dilegalkan dalam konteks fiqih Islam. Akibat hukum perceraian di luar pengadilan menurut KHI adalah sah secara hukum agama saja, tetapi belum sah secara hukum negara karena belum dilakukan di depan sidang pengadilan agama, terhadap suami isteri tidak memiliki surat cerai atau akta cerai yang mempunyai kekuatan hukum, dan terhadap anak yang belum dewasa berhak mendapatkan hak asuh dari ibunya, anak yang sudah dewasa berhak memilih untuk mendapatkan hak asuh dari ayah atau ibunya, dan terhadap harta benda perkawinan tidak ada pembagian harta bersama, karena dalam KHI tidak mengatur perceraian diluar pengadilan, sedangkan menurut Fiqih Islam tidak ada pendapat para ulama mazhab yang mengharuskan perceraian didepan sidang Pengadilan, dengan demikian dalam hukum Islam perceraian tersebut tetap

(7)

kedhaliman bagi isteri dan anak, serta mempersulit administrasi kependudukan negara.

Kata kunci : analisis yuridis, perceraian, diluar Pengadilan.

(8)

order to set up happy and prosperous family. However, there are, of course, many problems which occur in a family lifw which might bring about a divorce. A divorce can be claimed by a husband or a wife to Religious Court although there are also divorces which are claimed out of court which will do harm to the wife and the children since it is illegal according to law and KHI (Compilation of the Islamic law).

The problems of the research were as follows: how about the regulation on a divorce which was claimed out of court, how about the legal consequence of a divorce which was claimed out of court according to KHI and the Islamic Fiqh, and how about a divorced claimed out of court could have its legality according to KHI and Law No.

1/1974.

The research used the theory of advantage and judicial normative method which was aimed to analyze deeply legal provisions, laws, and regulations, jurisprudence, and legal expert’s opinion. The data were gathered by conducting library research and interviews.

An out of court divorce is never regulated in KHI which requires a divorce to be claimed in court, as it is stipulated in Article 115, while in the Islamic Fiqh, there is no explanation about it in the Koran and Hadist so that it can be made a law through ijtihad (interpretation through reasoning and judgement of the Koranic code) in the form of ijma’ (consensus of opinion) and qiyas (analogy). Thus, a divorce which is claimed out of court, according to KHI, is valid only in the religious law, but it is illegal in the State law because it is not claimed in the Religious Court., Here, both wife and husband do not have certificates of divorce which have legal force. Under-age children have the right to be taken care by their mother, while grow-up children can decide who will take care of them, either father or mother. There is no allocation of joint property because KHI does not regulate out of court divorce, while according the Islamic Fiqh there is no opinion of mahzab (religious sect) scholars who require a divorce to be in court. Therefore, the divorce is valid in the Islamic law, and the relation between husband and wife is broken off. A divorced wife can still have mut’ah (enjoyment) from her ex-husband, and she can be remarried afte her iddah (period during which a divorced woman is not allowed to remarry) is over. According to four Imam Mahzabs, the mother has the right to take care of the under-age child, and the allocation of joint property depends on the agreement between the couples. KHI do not legalize an out of court divorce since it brings about disadvantage to the wife and her children and hampers the administration of residential affairs.

Keywords: Divorce, Out of Court, Complication of the Islamic Law, Islamic Fiqh.

(9)

penulisan ini yang merupakan syarat guna mencapai gelar Magister Kenotariatan.

Berkat rahmat dan karuniaNya yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi dan penulisan tesis ini dengan judul “ANALISIS YURIDIS

TERHADAP PERCERAIAN DILUAR PENGADILAN MENURUT

KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN FIQIH ISLAM”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat beriring salam teruntuk Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan ajaran Islam sehingga kita keluar dari zaman kebodohan.

Harapan penulis, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bukan hanya pada penulis sendiri, tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya, dan bagi mahasiswa khususnya yang berada, di lingkungan pendidikan hukum. Penulis sangat menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, karena penulis adalah manusia biasa dan tak luput dari kesalahan dan kekurangan.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan baik moralmaupun materil. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

(10)

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Abdullah Syah, MA, PhD selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran dan masukan dalam penulisan tesis ini hingga selesai.

4. Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD, selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk hingga selesainya penulisan tesis ini.

5. Ibu Dr. Utary Maharany Barus, SH, M.Hum selaku anggota Komisi Pembimbing atas segala waktu, masukan, bimbingan serta sarannya dalam penyelesaian penulisan tesis ini.

6. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan dan Dosen Penguji atas kritik dan sarannya dalam penulisan tesis ini.

7. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Dosen Penguji dan Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan, atas segala waktu serta kritik dan sarannya dalam menyelesaikan tesis ini.

8. Para Bapak/Ibu Dosen Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat selama penulis mengikuti pendidikan.

(11)

membesarkan dan mendidik penulis dari kecil hingga dewasa yang senantiasa memberikan doa dan dukungan hingga saat ini. Mereka memiliki peran yang sangat penting dan tak terhingga, rasanya ucapan terima kasih saja tidak akan pernah cukup untuk menggambarkan wujud penghargaan penulis.

11. Sahabat-sahabatku di Magister Kenotariatan dan seluruh kawan-kawan Angkatan 2011 khususnya Group C.

Hanya Allah yang dapat membalas segala kebaikan dan jasa-jasa yang diberikan mereka semua. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak atas segala kekurangan yang penulis sadari sepenuhnya terdapat dalam tesis ini guna perbaikan dikemudian hari.

Medan, Februari 2015 Penulis,

Siti Sri Rezeki

(12)

1. Nama : Siti Sri Rezeki

2. Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 20 Februari 1988 3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Status : Belum menikah

5. Agama : Islam

6. Alamat : Jl. Tabanas No. 18 Komplek Wartawan Medan

II. KELUARGA

1. Nama Ayah : Haryanto Senjaya

2. Nama Ibu : Nurhayati

3. Nama Saudara : Ari Mujianto Subiono Hadi Rommy Dwiyanto Dian Agustina

III. PENDIDIKAN

1. SD : SD Swasta Pertiwi Tahun 1994-2000

2. SMP : SLTP Swasta Pertiwi Tahun 2000-2003

3. SMA : SMA Negeri 1 Medan Tahun 2003-2006

4. Perguruan Tinggi (S1) : Universitas Islam Sumatera Utara Tahun 2006-2010

5. Perguruan Tinggi (S2) : Program Studi Magister Kenotariatan

Universitas Sumatera Utara Tahun 2011-2015

(13)

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR ISTILAH ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Konsepsi ... 16

G. Metode Penelitian... 17

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 17

2. Sumber Data ... 18

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 20

4. Analisis Data ... 21

BAB II PENGATURAN PERCERAIAN YANG DILAKUKAN DI LUAR PENGADILAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN FIQIH ISLAM ... 23

A. Perceraian Di luar Pengadilan ... 23

(14)

A. Perceraian Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan Fiqih

Islam ... 49

B. Rukun dan Macam-macam Perceraian ... 66

C. Akibat Hukum Perceraian Di Luar Pengadilan menurut Kompilasi Hukum Islam dan Fiqih Islam ... 76

BAB IV PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN TIDAK MENDAPATKAN LEGALITAS MENURUT KETENTUAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 ... 91

A. Setiap Perceraian Harus Di Depan Pengadilan ... 93

B. Perceraian Di luar Pengadilan Membawa Kedhaliman Bagi Isteri dan anak ... 94

C. Mempersulit administrasi kependudukan Negara... 98

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 101

A. Kesimpulan ... 101

B. Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 105

(15)

Fasakh : Membatalkan atau Merusakkan

Firaq : Pisah

Iddah : Masa Tunggu

Ijma’ : Kesepakatan Para Ulama Dalam Menetapkan

Suatu Hukum Hukum Dalam Agama Berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits Dalam Suatu Perkara Yang Terjadi

Ijtihad : Pendapat; Tafsiran

Li’an : Menuduh Isteri Berbuat Zina Atau Mengingkari Anak Dalam Kandungan Isteri

Ma’ruf : Baik

Mumayyiz : Anak Yg Sudah Mencapai Usia Dimana Anak

Tersebut Sudah Bisa Membedakan Mana Yang Baik Dan Mana Yang Buruk

Munakahat : Perkawinan

Nusyuz : Meninggalkan Kewajiban Bersuami Isteri

Poligami : Memiliki Isteri Lebih Dari Satu Orang

Qiyas : Mengukur Sesuatu Atas Sesuatu Yang Lain Dan

Kemudian Menyamakan Antara Keduanya

(16)

SWT : Subhanahu wa ta’ala

UU : Undang-undang

Q.S : Qur’an Surah

KHI : Kompilasi Hukum Islam

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu ajaran yang penting dalam Islam adalah pernikahan (perkawinan).

Begitu pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga dalam Al-Qur’an terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai masalah pernikahan dimaksud. Dengan pernikahan diharapkan akan menciptakan pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi terhormat1, interaksi hidup berumah tangga dalam suasana damai, tentram dan rasa kasih sayang antara anggota keluarga, yang semuanya bermuara pada harmonisasi keluarga.2

Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan. Upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam rumah tangga sekaligus sarana untuk mendapatkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi.

Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya manusia di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah SWT terhadap hamba-Nya.

Perkawinan juga merupakan suatu perbuatan yang disuruh oleh Allah SWT dan juga Nabi kepada umatnya. Namun, suruhan Allah SWT dan Rasul untuk melakukan perkawinan itu tidaklah secara mutlak tanpa persyaratan. Ikatan perkawinan merupakan unsur pokok dalam pembentukan keluarga yang harmonis dan

1Abd. Nashr Taufik Al-Athar, Saat Anda Meminang, Terjemahan Abu Syarifah dan Afifah, (Jakarta : Pustaka Azam, 2000), hal. 5.

2Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1995), hal. 1.

(18)

penuh rasa cinta kasih, maka dalam pelaksanaan perkawinan tersebut, diperlukan norma hukum yang mengaturnya.

Sebagai aktifitas yang memiliki nilai ibadah, maka dalam proses perkawinan - menurut hukum Islam diterapkan beberapa aturan untuk mencapai keabsahan secara agama. Tata aturan tersebut di antaranya berkaitan dengan syarat dan rukun perkawinan hingga proses perkawinan itu sendiri. Selain diatur dalam konteks agama, di Indonesia perkawinan juga diatur dalam sebuah undang-undang khusus yang hanya membahas mengenai perkawinan.

Penerapan norma hukum dalam pelaksanaan perkawinan terutama diperlukan dalam rangka mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing anggota keluarga, guna membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera. Hal ini sesuai dengan tujuan dari sebuah perkawinan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Dengan demikian, maka sudah dapat diketahui apa sebenarnya yang ingin dicapai dalam perkawinan itu. Namun karena keluarga atau rumah tangga itu berasal dari dua individu yang berbeda, maka dari dua individu itu mungkin terdapat tujuan yang berbeda, untuk itu perlu penyatuan tujuan perkawinan demi tercapainya keluarga yang sakinah. Tanpa adanya kesatuan tujuan antara suami dan isteri dalam keluarga dan kesadaran bahwa tujuan itu harus dicapai bersama-sama, maka dapat dibayangkan bahwa keluarga itu akan mudah mengalami hambatan-hambatan yang merupakan sumber permasalahan besar dalam keluarga, yang akhirnya dapat menuju

(19)

keretakan keluarga yang berakibat lebih jauh sampai kepada perceraian. Tujuan perkawinan adalah merupakan titik tuju bersama yang akan diusahakan untuk dicapai secara bersama-sama pula.

Tujuan perkawinan yang lain selain membentuk keluarga bahagia, juga bertujuan lain yaitu bersifat kekal. Dalam perkawinan perlu ditanamkan bahwa perkawinan itu berlangsung untuk waktu seumur hidup dan selama-lamanya kecuali dipisahkan karena kematian.

Tujuan perkawinan menurut Islam adalah menuruti perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.3 Hal ini senada dengan firman Allah SWT Q.S. Ar-Rum.

[XXX]: 21 yang artinya :

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia (Allah) menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda bagi kaum berfikir".4

Adapun tujuan perkawinan pada umumnya bergantung pada masing-masing individu yang akan melakukannya, karena lebih bersifat subjektif. Tujuan umum yang hendak dicapai adalah memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia dan akhirat.

Adapun tujuan pernikahan secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut:5

3Slamet Abidin dan Amiruddin, Fiqih Munakahat , Cet-1, (Bandung: Pustaka Setia 1999), hal.

12-18.

4Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ( Jakarta: PT. Bumi Restu, 1971), hal.

644.

5Abdul Rahman I. Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal. 5.

(20)

1. Melaksanakan libido seksual;

2. Memperoleh keturunan yang saleh;

3. Memperoleh kebahagiaan dan ketentraman;

4. Mengikuti sunnah Nabi;

5. Menjalankan perintah Allah; dan 6. Untuk berdakwah.

Tujuan kedua dari perkawinan menurut Islam adalah menenangkan pandangan mata dan menjaga kehormatan diri, sebagaimana dinyatakan dalam hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang berbunyi:6

"Dari Abdullah bin Masud, Rasullulah SAW. Berkata: Hai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandang (terhadap yang dilarang oleh agama) dan memelihara faraj. Dan barangsiapa yang tidak sanggup hendaklah berpuasa. Karena puasa itu adalah perisai baginya".

(H.R. Bukhari dan Muslim).

Ketentuan mengenai perkawinan di Indonesia telah diatur dalam Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan telah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan peraturan-peraturan lainnya mengenai perkawinan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Mengenai sahnya perkawinan terdapat pada Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam”

6 Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Pola Hidup Muslim (Minhajul Muslim Mu’amalah), (Bandung:

PT. Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 163.

(21)

sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Bagi yang beragama Islam, apabila tidak dapat membuktikan perkawinan dengan akta nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan/pengesahan nikah) kepada Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Kompilasi hukum Islam (KHI). Namun itsbat Nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan:7

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;

b. Hilangnya akta nikah;

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;

d. Perkawinan terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan;

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

Artinya, bila ada salah satu dari kelima alasan di atas yang dapat dipergunakan, dapat mengajukan permohonan Itsbat Nikah ke Pengadilan Agama.

Sebaliknya, akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan.

Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan, jika sebelumnya sudah memiliki Akta Nikah dari pejabat berwenang.

Perkawinan selain merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia sejak zaman dahulu hingga sekarang, perkawinan juga merupakan masalah yang aktual untuk dibicarakan di dalam maupun di luar percaturan hukum. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan bertujuan

7Pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam.

(22)

untuk mengatur pergaulan hidup yang sempurna, bahagia dan kekal di dalam suatu rumah tangga guna teciptanya rasa kasih sayang dan saling mencintai. Namun kenyataan sejarah umat manusia yang telah berusia ribuan tahun telah membuktikan bahwa tidak semua tujuan perkawinan itu dapat dicapai, bahkan sebaliknya kandas ataupun gagal sama sekali di tengah jalan, karena tidak tercapainya kata sepakat atau karena olehnya salah satu pihak ataupun perilaku kedua belah pihak yang bertentangan dengan ajaran agama.8

Terkadang dalam menjalani kehidupan perkawinan akan banyak ditemui benturan-benturan antara pasangan suami isteri. Hal inilah yang dapat memicu terjadinya perceraian yang akhirnya juga akan berdampak terhadap anak-anak mereka.

Perkawinan yang tidak harmonis keadaannya tidak baik dibiarkan berlarut- larut, sehingga demi kepentingan kedua belah pihak suami istri. Perkawinan yang demikian diputus cerai. Hal ini tentu akan berakibat pada anak-anaknya yang tidak pernah berbuat salah namun harus menanggung dan merasakan akibat dari perceaian kedua orang tua mereka.

Walaupun perceraian merupakan urusan pribadi, baik berdasarkan kehendak bersama maupun kehendak salah satu pihak yang seharusnya tidak perlu adanya campur tangan pemerintah. Namun untuk menghindari tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum maka perceraian harus

8 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2011), hal. 1.

(23)

melalui lembaga pengadilan. Dalam fiqih Islam tidak ditentukan kalau perceraian itu harus melalui sidang pengadilan, seperti yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam karena lebih banyak manfaat yang didapat oleh kedua belah pihak, maka sudah sepantasnya umat Islam mengikuti ketentuan ini.

Di masyarakat Indonesia, saat ini banyak ditemukan kasus yang melakukan jalan pintas dengan tidak memperhatikan peraturan-peraturan perkawinan yang berlaku sehingga akhirnya banyak menimbulkan terjadinya perceraian yang dilakukan di luar pengadilan.

Pada kasus yang saya temui diawal penelitian, masyarakat masih saja melakukan perceraian di luar pengadilan. Sebut saja misalnya Tuan Hendra memilih perceraian di luar pengadilan dikarenakan prosesnya tidak rumit, dengan waktu yang relatif cepat, tidak memerlukan dana, dan malu apabila diketahui orang. Ada juga Nyonya Yani, Nyonya Rinda dan Nyonya Ana menerima diceraikan suaminya di luar pengadilan walaupun perbuatan tersebut tidak legal menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Ketiga Nyonya tersebut menerima perceraian yang demikian karena suami mereka tidak memberikan nafkah.

Kendatipun perbuatan perceraian yang dilakuan di luar pengadilan tersebut tidak ada larangan dalam Fiqih Islam, namun memberikan mudharat bagi perempuan yang diceraikan karena perceraian tersebut tidak legal menurut Undang-Undang dan Kompilasi Hukum Islam. Disamping tidak mendapatkan akibat hukum, sehingga

(24)

perempuan yang diceraikan tidak dapat menuntut hak-hak keperdataan dari perkawinan tersebut di pengadilan.9

Perceraian yang dilakukan melalui sidang pengadilan dapat memberi perlindungan hukum terhadap mantan isteri dan anak-anak mereka. Hak-hak mantan isteri dan anak-anak dapat terpenuhi karena mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Sedangkan perceraian yang dilakukan di luar pengadilan tidak dapat memberikan kepastian hukum terhadap mantan isteri dan anak-anak mereka. Hak-hak isteri dan anak yang ditinggalkan pun tidak terjamin secara hukum. Hal ini juga menyebabkan mantan suami atau mantan isteri tidak dapat menikah lagi dengan orang lain secara sah menurut ketentuan perundang-undangan.

Meskipun perceraian yang dilakukan di luar pengadilan tidak akan mendapatkan legalitas berdasarkan peraturan perundang-undangan baik menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun menurut Kompilasi Hukum Islan, namun masih saja ada masyarakat yang melakukan perceraian di luar pengadilan. Padahal dapat kita lihat bahwa perceraian di luar pengadilan ini lebih banyak mengakibatkan kerugiannya dibandingkan dengan manfaat atau kebaikannya. Salah satu contohnya yaitu tidak adanya jaminan terhadap hak-hak mantan isteri dan anak. Hal ini juga mengakibatkan pelaku perceraian di luar pengadilan tidak dapat melakukan pernikahan selanjutnya secara sah menurut perundang-undangan.

9Wawancara Dengan Tuan Hendra, Nyonya Yani, Nyonya Rinda dan Nyonya Ana, Tanggal 5 November 2013.

(25)

Dari hal-hal yang diuraikan di atas, maka hal-hal inilah yang menimbulkan permasalahan untuk dapat diteliti secara lebih mendalam seperti sebenarnya faktor- faktor apa yang menjadi dasar penyebab terjadinya perceraian dilakukan di luar pengadilan. Di samping itu kita juga perlu mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan dari perceraian yang dilakukan di luar pengadilan apabila dikaji menurut Kompilasi Hukum Islam dan Fiqih Islam.

Banyaknya perceraian yang terjadi di masyarakat yang dilakukan di luar pengadilan juga akan menimbulkan permasalahan yang harus dibahas secara lebih mendalam terutama apabila para pihak yang telah terlanjur melakukan perceraian di luar pengadilan ingin melegalkan perceraian tersebut sehingga mendapatkan legalitas atau kepastian hukum akan perceraian mereka menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penyusun tertarik untuk membahas lebih lanjut dalam tesis yang berjudul “ANALISIS YURIDIS PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN FIQIH ISLAM”.

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan mengenai perceraian yang dilakukan di luar pengadilan menurut Kompilasi Hukum Islam dan Fiqih Islam?

2. Bagaimana akibat hukum perceraian di luar pengadilan menurut Kompilasi Hukum Islam dan Fiqih Islam?

(26)

3. Mengapa perceraian di luar pengadilan tidak mendapatkan legalitas menurut ketentuan Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan tentang perceraian yang dilakukan di luar pengadilan menurut Kompilasi Hukum Islam dan Fiqih Islam.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum perceraian di luar pengadilan menurut Kompilasi Hukum Islam dan Fiqih Islam.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis perceraian di luar pengadilan tidak mendapatkan legalitas menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan pemahaman yang lebih dalam kepada pembaca tentang perceraian di luar pengadilan menurut Kompilasi Hukum Islam dan fiqih Islam.

2. Secara Praktis

(27)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada setiap kalangan baik akademisi maupun praktisi dalam menghadapi permasalahan perceraian di luar pengadilan menurut Kompilasi Hukum Islam dan fiqih Islam sebagaimana yang banyak terjadi di masyarakat.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan kepustakaan yamg ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan, belum ada penelitian tesis sebelumnya yang berjudul “Tinjauan Yuridis Perceraian Di luar Pengadilan Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Fiqih Islam”.

Akan tetapi ada beberapa penelitian yang menyangkut perceraian di antaranya:

1. Penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian (Studi Pada Pengadilan Negeri Siak-Riau)” oleh A. Rico H.

Sitanggang Nim. 0370110006, yang membahas tentang :

a. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan putusnya perkawinan karena perceraian ?

b. Bagaimana akibat hukum terhadap anak dan harta perkawinan yang disebabkan perceraian melalui putusan pengadilan ?

c. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam mengadili perkara perceraian ? 2. Penelitian dengan judul “Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi

(28)

Hukum Islam” oleh Ismy Syafriani Nasution Nim. 077011030, yang membahas tentang :

a. Bagaimana cara penyelesaian sengketa terhadap harta bersama menurut Undang-Undang Perkawianan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam ?

b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menentukan pembagian harta bersama akibat perceraian ?

c. Bagaimanakah penyelesaian jika terjadi sengketa yang berkaitan dengan pemeliharaan anak dari pembagian harta bersama setelah terjadinya perceraian dikaitkan dengan perjanjian perkawinan ?

3. Penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Hak Pemeliharaan Anak Setelah Terjadinya Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Kasus Terhadap Putusan Pengadilan No.

101/Pdt.G/2009/PN/MDN)” oleh Nur Fatmah G Nim. 087011084, yang membahas tentang :

a. Faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian dan akibat hukumnya terhadap anak ?

b. Upaya yang ditempuh para pihak untuk memperoleh hak pemeliharaan (hak asuh) anak ?

c. Dasar pertimbangan hukum yang dilakukan dalam penetapan hak pemeliharaan (hak asuh) anak ?

(29)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Dalam sebuah penulisan ilmiah tidak terlepas dari adanya teori yang dijadikan kerangka berpikir di dalam penulisan. Teori yang dimaksud untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu timbul,10 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang menunjukkan ketidakbenarannya. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.11

Apabila dikaitkan dengan penelitian ini, maka kerangka teori yang digunakan juga yang berkaitan dengan permasalahan perceraian di luar pengadilan adalah “teori mashlahat yang didukung oleh teori sadd al-zari’ah (preventif)”. Secara etimologi kata mashlahat, jamaknya mashalih berarti sesuatu yang baik, yang bermanfaat dan merupakan lawan dari keburukan atau kerusakan. Mashlahat terkadang disebut dengan mencari yang benar. Esensi mashlahat adalah terciptanya kebaikan dan kesenangan dalam kehidupan manusia serta terhindar dari hal-hal yang dapat merusak kehidupan umum.12

Menurut M. Hasballah Thaib, mashlahat yang dimaksud adalah kemashlahatan yang menjadi tujuan syara’, bukan kemashlahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan hawa nafsu manusia.13

10M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: FE UI, 1996), hal. 203.

11M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80.

12 Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung:

Citapustaka Media Perintis, 2013), hal. 36.

13Ibid, hal. 28.

(30)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mashlahat ialah guna, faedah14. Kata mashlahat diartikan dengan ladzhzah (rasa enak) dan upaya mendapatkan atau mempertahankannya.15.

Al-Ghazali mengatakan arti yang sebenarnya dari mashlahat adalah menarik kebaikan atau menolak mudharat. Adapun artinya secara istilah yaitu pemeliharaan tujuan syara’, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Segala sesuatu yang mengandung nilai pemeliharaan atas pokok yang lima ini adalah mashlahat, semua yang menghilangkannya adalah mafsadat dan menolaknya merupakan mashlahat.

Ibnu Sina berkata dalam Kitab Al-Shifa, seharusnya jalan untuk cerai itu diberikan, dan jangan ditutup sama sekali. Karena menutup mati jalan perceraian akan mengakibatkan beberapa bahaya dan kerusakan. Ini antaranya karena jika suami isteri satu sama lain tidak saling mengasihi lagi. Jika terus-terusan dipaksa untuk tetap bersatu antara mereka justru akan tidak baik, pecah dan kehidupannya menjadi kalut.16

Taufiq Rahman menyatakan, perceraian disyariatkan untuk menata kembali perpecahan dan menjaganya dari berbagai gangguan baik dari dalam maupun dari luar. Dalam perceraian terdapat beberapa mashlahat untuk mengadakan perbaikan (islah) dan penyegaran bagi kedua pihak untuk berintrospeksi diri apa keduanya akan meneruskan kembali hubungan berumah tangga atau tidak, dan apa di antara

14Bambang Marhijanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini, (Surabaya: Penerbit Terang, 1999), hal. 236.

15Ibid.

16Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT. Alma’rif, 1980), hal. 12.

(31)

keduanya masih ada rasa saling percaya satu sama lain atau tidak. Hal ini dapat mendorong pihak suami isteri untuk berkumpul kembali mengadakan rujuk dan membina rumah tangga yang lebih baik.17

Teori pendukung dalam penulisan ini digunakan teori saad al-Zari’ah (preventif), yang berarti melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemashlahatan untuk menuju suatu kemafsadatan.18

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah membagi saad al-zari’ah dalam dua bentuk berdasarkan segi akibat suatu perbuatan yang dilakukan yaitu:19

1. Perbuatan itu membawa suatu kemafsadatan (kerusakan).

Sebagai contoh meminum khamar akan mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu merupakan suatu kemafsadatan.

2. Perbuatan itu pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan tetapi dijadikan jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik dengan sengaja maupun tidak disengaja.

Perceraian merupakan kehancuran sebuah rumah tangga. Perkawinan yang berawal dari cinta dan kasih sayang berubah menjadi kebencian. Dalam Fiqih Islam maupun Kompilasi Hukum Islam tidak ada larangan mengenai perceraian, tetapi harus didahului dengan upaya perdamaian antara kedua belah pihak. Akan tetapi jika perdamaian antara suami isteri tidak terwujud dan perselisihan semakin memuncak, maka perceraian mungkin jalan yang terbaik.

17Taufiq Rahman, Hadis-Hadis Hukum Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 118.

18Zamakhsyari, Op. Cit., hal. 158.

19Ibid, hal. 156.

(32)

Jika pernikahan harus dicatatkan di Kantor Pencatatan Perkawinan, maka perceraian juga harus dicatatkan di Pengadilan Agama bagi muslim agar perbuatan masyarakat yang berkenaan dengan hukum mendapatkan perlindungan hukum yang pasti. Tentunya dengan adanya perlindungan hukum tidak perlu dikhawatirkan hak- hak para pihak akan terlantar begitu saja.

2. Konsepsi

Konsep merupakan unsur pokok dari sebuah penelitian. Penentuan dan perincian konsep ini dianggap sangat penting agar persoalan utama dalam penulisan tidak menjadi kabur. Konsep yang terpilih perlu ditegaskan, agar tidak terjadi salah pengertian mengenai arti konsep tersebut.

Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar untuk menyamakan persepsi dan dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan sebagai berikut:

1. Perkawinan adalah ikatan yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang yang antara keduanya bukan merupakan muhrim.20

2. Perceraian adalah suatu perbuatan hukum dari seorang suami yang dilakukan terhadap isterinya. Perbuatan tersebut dapat membawa akibat hukum yang sangat luas bagi seseorang dan keluarga. Karena itu Islam mensyariatkan bahwa suami yang menjatuhkan thalak itu harus memenuhi syarat-syarat

20Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1993), hal. 353.

(33)

sebagai berikut: sudah dewasa, berfikir sehat, mempunyai kehendak bebas dan masih mempunyai hak thalak.21

3. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sekumpulan hukum-hukum Islam yang dikemas dalam satu bagian secara umum yang mencakup bagian keseluruhan materi tertentu yang biasanya dimuat per bab dan diperjelas Pasal demi Pasal.

4. Fiqih Islam adalah pendapat para ulama tentang masalah hukum sebagai hasil ijtihad para ulama dalam memahami Al-Qur’an atau sunnah.22

G. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan cara menganalisisnya. Disamping itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.23

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Sifat penelitian yang sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini adalah deskriptif analitis. Sifat penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang

21Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 343.

22Sulaiman Rasjid, Op. Cit., hal. 12.

23 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 43.

(34)

ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu. Maksudnya untuk menggambarkan permasalahan hukum perkawinan yang berkaitan dengan perceraian yang dilakukan di luar pengadilan. Penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan petunjuk atau saran terhadap hal-hal yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah perkawinan yang berkaitan dengan perceraian.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian yuridis normatif. Nama lain dari penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum doktrine, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum doktrine karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan- bahan hukum lainnya.24

Dengan demikian penggunaan jenis penelitian yuridis normatif dimaksudkan melalui pendekatan masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang- undangan yang berlaku dan fiqih Islam yang berkaitan langsung dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.

2. Sumber Data

Sumber data utama dari penelitian ini adalah sumber data sekunder yang terdiri dari bahan hukum sekunder, bahan hukum primer dan bahan hukum tersier.

Data-data hukum sekunder tersebut meliputi berbagai sumber baik sumber data tertulis seperti Peraturan Perundang-Undangan, buku-buku ilmiah, dan sebagainya.

24Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 13.

(35)

Dalam hal seorang peneliti diharapkan dapat mengumpulkan sebanyak mungkin bahan pustaka yang terkait dengan objek penelitiannya sehingga dapat menambah khasanah dalam menganalisis data dan menyajikan hasil penelitian.

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mempelajari berbagai macam peraturan perundang-undangan dan fiqih Islam yang ada kaitanya dengan perkawinan menyangkut perceraian di luar pengadilan. Data sekunder tersebut meliputi beberapa hal yaitu :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan salah satu sumber hukum yang penting bagi sebuah penelitian ilmiah hukum yang bersifat yuridis normatif. Bahan hukum primer meliputi bahan-bahan hukum yang isinya mengikat secara hukum karena dikeluarkan oleh instansi pemerintah. Bahan hukum primer dapat ditemukan melalui studi kepustakaan (library research) baik di perpustakaan fakultas, universitas maupun perpustakaan umum lainnya.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang isinya memperkuat atau menjelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder biasanya berupa bahan-bahan hukum seperti bacaan hukum, jurnal-jurnal yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer berupa buku teks, konsideran, artikel dan jurnal, sumber data elektronik berupa internet.

c. Bahan Hukum Tersier

(36)

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang dijadikan pegangan atau acuan bagi kelancaran proses penelitian. Bahan hukum tersier biasanya memberikan informasi, petunjuk dan keterangan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Di perpustakaan biasanya bahan hukum tersier berada pada ruangan khusus, dan dalam penelitian ini bahan hukum tersier yang digunakan hanya kamus.

Penelitian mengenai perceraian di luar pengadilan menurut Kompilasi Hukum Islam dan Fiqih Islam berusaha untuk menemukan jawaban yang konkrit, jelas dan pasti terkait dengan objek masalah yang diteliti, sehingga peran data pendukung seperti kamus sangat dibutuhkan untuk mencari kebenaran dari istilah-istilah hukum yang asing. Bahan hukum primer bukan hanya sekedar pelengkap informasi saja melainkan dapat memberikan petunjuk awal terkait dengan masalah yang diteliti.

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Data dalam penelitian adalah data sekunder yang diperoleh dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data yang dilakukan dengan mempelajari dokumen-dokumen, buku- buku teks, teori-teori, peraturan perundang-undangan, artikel, tulisan ilmiah yang ada hubungannya dengan perceraian di luar pengadilan menurut Kompilasi Hukum Islam dan Fiqih Islam. Selain itu, guna mendukung data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut dilakukan pula penelitian lapangan (field research) melalui wawancara dengan beberapa responden dan informan sebagai narasumber yang dalam hal ini adalah panitera Pengadilan Agama Medan, para ulama, pihak- pihak yang terkait dengan penelitian ini.

(37)

Dalam penelitian ini, alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Studi Dokumen, yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang perceraian di luar pengadilan menurut Kompilasi Hukum Islam dan Fiqih Islam.

Dokumen ini merupakan sumber informasi yang penting yang merupakan dasar dilakukannya penelitian baik dari ketentuan norma dan perundang-undangan yang berlaku.

b. Wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview quide).25 Wawancara dilakukan terhadap informan dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya, baik secara terarah maupun wawancara bebas dan mendalam (depth interview).

4. Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul digunakan metode normatif kualitatif. Normatif, karena penelitian ini bertolak pada peraturan-peraturan yang ada sebagai normatif hukum positif. Sedangkan kualitatif dimaksudkan analisis data yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas-asas dan informasi-informasi.

Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan selanjutnya akan dipilah- pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum maupun

25 Herman Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 71, yang menyatakan wawancara merupakan alat pengumpul data untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi arus informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) pedoman wawancara, dan situasi wawancara.

(38)

berbagai ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan yang mengatur masalah perceraian di luar pengadilan menurut Kompilasi Hukum Islam dan Fiqih Islam sehingga menghasilkan suatu klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini.26

Walaupun dalam penelitian ini nantinya akan bersinggungan dengan perspektif disiplin ilmu lainnya, namun penelitian ini tetap merupakan penelitian hukum, karena perspektif disiplin lain hanya sekedar alat bantu. Dengan demikian, sudah jelas data yang telah terkumpul akan dianalisis secara kualitatif yaitu menafsirkan perceraian di luar pengadilan menurut Kompilasi Hukum Indonesia dan Fiqih Islam.

26Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 24.

(39)

BAB II

PENGATURAN PERCERAIAN YANG DILAKUKAN DI LUAR PENGADILAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM

DAN FIQIH ISLAM

A. Perceraian Di luar Pengadilan 1. Pengertian Perceraian

Perceraian dalam dalam istilah fiqih disebut “thalak” yang berarti “membuka ikatan, membatalkan perjanjian”. Perceraian dalam istilah-istilah fiqih juga sering disebut “furqah”, yang artinya “bercerai”, yaitu “lawan dari berkumpul”. Kemudian kedua istilah itu digunakan oleh para ahli fiqih sebagai satu istilah yang berarti

“perceraian suami isteri”.27

Abdul Djamali dalam bukunya, Hukum Islam, mengatakan bahwa perceraian merupakan putusnya perkawinan antar suami-istri dalam hubungan keluarga.28 Sementara Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqh al-Sunnah, menjelaskan bahwa thalak menurut istilah syara’ adalah: “melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan perkawinan suami istri”.29

Menurut R. Subekti perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan keputusan hakim atau tuntutan salah satu pihak selama perkawinan.30 Sedangkan pengertian perceraian menurut bahasa Indonesia berasal dari suku kata cerai, dan

27 Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2013), hal. 16.

28 Abdul Djamali, Hukum Islam, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hal. 95.

29 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, (Beirut: Daar al-Fikr, 1992), hal. 206.

30 R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta:. Intermasa, 2010), hal 42.

(40)

perceraian menurut bahasa berarti perpisahan, perihal bercerai antara suami dan istri, perpecahan, menceraikan.31 Perceraian menurut ahli fikih disebut thalak atau firqoh.

Sedangkan dalam istilah syara', thalak adalah melepaskan ikatan perkawinan, atau rusaknya hubungan perkawinan.32

Kata thalak dalam istilah fiqih mempunyai arti yang umum ialah “segala macam bentuk perceraian, baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya suami atau isteri”. Selain itu, thalak juga mempunyai arti yang khusus, yaitu “perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami”.33

Di Indonesia peraturan yang mengatur tentang perceraian adalah Undang- undang No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Jo. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, akan tetapi di dalamnya tidak ditemukan interpretasi mengenai istilah perceraian, hanya pengertian perceraian itu dijumpai dalam Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1990) yaitu: Thalak adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang mengadili salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 129, Pasal 130, Pasal 131.

2. Dasar Hukum Perceraian

Permasalahan perceraian atau thalak dalam hukum Islam dibolehkan dan diatur dalam dua sumber hukum Islam, yakni Al-Qur’an dan Hadist. Hal ini dapat dilihat pada sumber-sumber dasar hukum berikut ini:

31 WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), hal 200.

32 Slamet Abidin, Aminuddin, Fikih Munakahat, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), hal 9.

33 Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2013), hal 17.

(41)

Dalam surat Al- Baqarah ayat 231 yang artinya:

"Apabila kamu menthalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka (hanya) unuk memberi kemudlaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa takut berbuat zalim pada dirinya sendiri, janganlah kamu jadikan hukum Allah suatu permainan dan ingatlah nikmat Allah padamu yaitu hikmah Allah memberikan pelajaran padamu dengan apa yang di turunkan itu. Dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah maha mengetahui segala sesuatu”.34

Mengenai perceraian juga disebutkan dalam surat An-Nisa’ ayat 130, yang artinya : “Keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing- masing dari limpahan karunianya, dan Allah Maha Kuat (karunianya) lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. al-Nisa’: 130).35

Ayat di atas menjelaskan jika memang perceraian harus ditempuh sebagai alternatif atau jalan terakhir, maka Allah akan mencukupkan karunianya kepada masing-masing keduanya (suami istri).Walaupun pasangan suami istri sudah di akhiri dengan perceraian, namun Islam tetap memberikan jalan kembali bila kedua belah pihak menghendakinya, dengan catatan thalak yang di lakukan bukan bain kubro, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 249 yang artinya: “Thalak (yang dapat dirujuk) dua kali setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara baik.” (Q.S. al-Baqarah: 249).36

34Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1978), hal. 73.

35 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), hal. 144.

36Ibid.

(42)

Ayat di atas menerangkan bahwa ketentuan thalak yang masih dapat dirujuk oleh suami adalah sebanyak dua kali, maka apabila suami menthalak lagi (ketiga kalinya) maka tidak halal lagi baginya (suami) untuk merujuk isterinya lagi, kecuali si isteri telah menikah lagi dengan orang lain dan telah bercerai. Firman Allah lainnya adalah dalam surat al-Thalak ayat 65 yang artinya: “Hai Nabi, Apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” (Q.S. al-Thalak: 65).37Ayat di atas menjelaskan ketentuan waktu menthalak yaitu ketika si isteri dalam keadaan suci dan belum dicampuri atau dinamakan thalak suni.

Adapun hadist Rasulullah SAW bahwa thalak atau perceraian adalah perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah. Dalam salah satu hadis Nabi SAW, yaitu dari Ibnu Umar r.a, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “Diantara hal-hal yang halal namun dibenci oleh Allah ialah thalak”. (H. R Abu Dawud, Ibnu Majah dan disahkan oleh Hakim dan Abu Hatim menguatkan mursalnya).38

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan PP Nomor 9 tahun 1975 hanya mengatur perceraian secara umum yaitu pada Pasal 38 tentang sebab-sebab putusannya perkawinan, Pasal 39 jo Pasal 14-36 PP Nomor 9 tahun 1975 mengatur tentang tata cara perceraian, dan Pasal 41 mengatur tentang akibat putusnya perceraian. Sedangkan Perceraian di Indonesia secara umum diatur dalam Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 38-44, PP Nomor 9 tahun 1975 Pasal 14-36, dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 113 sampai dengan Pasal 148.

37Ibid, hal. 655.

38Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap,(Semarang: CV. Toha Putra, 1990), hal. 483.

(43)

3. Perceraian Di luar Pengadilan a. Perceraian menurut Fiqih Islam

Allah SWT telah menetapkan ketentuan dalam Al-Quran bahwa kedua pasangan suami isteri harus segera melakukan usaha antisipasi apabila tiba-tiba timbul gejala-gejala dapat diduga akan menimbulkan ganggungan kehidupan rumah tanganya, yaitu dalam firman-Nya yang artinya :

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan Nusyu’z-nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tiduyr mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka jangalah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al Quran Surat An-Nisa’ ayat 34).

Selanjutnya Allah SWT dalam firman-Nya, yaitu Surat An-Nisa’ ayat 128:

“Dan jika seorang weanita khawatir akan Nusyu’z atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari Nusyu’z dan sikap tidak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Apabila usaha antisipasi melalui ayat-ayat tersebut tidak berhasil mempertahankan kerukunan dan kesatuan ikatan perkawinan dan tinggallah jalan satu-satunya terpaksa harus bercerai dan putusnya perkawinan, maka ketentuan yang berlaku adalah Surat Al-Baqarah ayat 229 :39

39Mahmud Junus, Hukum Perkawinan Islam Menurut Mazhad : Sayfi’I, Hanafi, Maliki dan Hambali. (Jakarta : Pustaka Mahmudiyah, 1989), hal. 163-167.

(44)

“Thalak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang tidak kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum- hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”

(Surat Al- Baqarah ayat 229).

Makna yang terkandung dalam Surat Al-Baqarah ayat 229 adalah sebagai berikut :40

1. Sebenarnya perceraian sesuatu yang tidak dibenarkan, sehingga jika terjadi perceraian, maka sangat wajar sekali jika seandainya mereka yang bercerai ini bersedia untuk rukun dan rujuk kembali menyusun kesatuan ikatan perkawinan mereka lagi;

2. Perceraian yang boleh rujuk kembali itu hanya dua kali, yaitu thalak ke-satu dan thalak ke-dua saja. Oleh karena itu terhadap thalak ke-tiga tidak ada rujuk lagi, kecuali setelah dipenuhinya persyaratan khusus untuk ini;

3. Syarat atas kedua orang suami-isteri yang bercerai dengan thalak tiga, untuk bisa melakukan rujuk kembali harus perempuan tersebut menikah dengan laki-laki lain;

4. Jika terjadi perceraian, maka suami dilarang mengambil harta yang pernah diberikan kepada isterinya yang dicerai itu, kecuali atas dasar alasan yang dibenarkan agama;

5. Jika isteri mempunyai alasan syari’at yang kuat, maka dapat dibenarkan isteri meminta cerai dengan cara khulu’, yaitu suatu perceraian dengan pembayaran tebusan oleh isteri kepada suami;

6. Allah SWT sudah mengatur segala sesuatunya, termasuk masalah perkawinan dan hubungannya dengan berbagai macam masalah yang terkait;

7. Barang siapa yang melanggar hukum Allah SWT, sebenarnya dia itu bukan menyiksa diri sendiri dengan perbuatan zhalim.

Menurut asalnya thalak itu hukumnya makruh berdasarkan Hadist Rasulullah SAW, yaitu perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah thalak. (HR. Abu Daud dan Al Hakim). Selanjutnya dalam hadist lain Rasulullah SAW bersabda

40Al Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta : Pustaka Amani, 2002), hal. 202.

(45)

“Perempuan mana saja yang meminta kepada suaminya untuk cerai tanpa ada alasan apa-apa, maka haram atas dia baunya surga”. (HR. Turmudzi dan Ibnu Ma’jah).41 b. Perceraian Menurut Peraturan Perundang-undangan

Meskipun perkawinan dimaksudkan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmat bagi pasangan suami isteri yang memeluk agama Islam, namun dalam perjalanan kehidupan rumah tangganya juga dimungkinkan timbulnya permasalahan yang dapat mengakibatkan terancamnya keharmonisan ikatan perkawinannya. Bahkan apabila permasalahan tersebut tidak memungkinkan untuk dirukunkan kembali, sehingga keduanya sepakat untuk memutuskan ikatan perkawinannya melalui perceraian.

Undang-undang Perkawinan juga menganut asas bahwa perceraian adalah suatu hal yang dihindari karena tujuan perkawinan adalah kebahagian yang kekal dari rumah tangga. Walaupun demikian suatu perceraian tidak dilarang oleh Undang- undang Perkawinan ini, tetapi haruslah dipersukar, maka mestilah perceraian dilakukan didepan pengadilan dengan melalui prosedur yang ditentukan oleh perundang-undangan.42

Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku, perkawinan diatur dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) termasuk ketentuan tentang putusnya perkawinan (perceraian). Dengan

41Ibid.

42 Rusdi Malik, Memahami Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2009), hal 31.

(46)

berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka ketentuan dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tentang perkawinan tidak berlaku.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak terdapat pengertian tentang perceraian, hanya mengatur tentang putusnya perkawinan serta akibatnya.

Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur tentang putusnya perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena :

a. Kematian;

b. Perceraian;

c. Atas putusan Pengadilan.

Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur tentang tata cara perceraian, yaitu dalam Pasal 14 yang menyatakan bahwa:

“seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya, serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu”.

Alasan-alasan yang dimaksud dalam Pasal 14 tersebut adalah sebagai berikut sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Perkawinan, yaitu:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

(47)

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukum lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah lepasnya ikatan perkawinan dan berakhirnya hubungan perkawinan.43

c. Perceraian Menurut Kompilasi Hukum Islam

Perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam, yang mengatur bahwa putusnya perkawinan dapat dikarenakan 3 (tiga) alasan yaitu kematian, perceraian dan putusan Pengadilan.

a. Kematian.

Kematian sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan adalah jika salah satu pihak baik suami atau isteri meninggal dunia. Jika isteri yang meninggal dunia, seorang suami boleh kawin lagi dengan segera, tetapi seorang janda yang kematian suami, harus menunggu jangka lewatnya waktu tertentu sebelum dapat kawin lagi, jangka waktu itu disebut ‘iddah. ‘Iddah kerena kematian suami adalah empat bulan sepuluh hari dari meninggalnya suami dan jika pada akhir waktu ini isteri hamil, maka jangka waktu untuk dapat kawin lagi sampai dia melahirkan anaknya.

43Loc. Cit.

(48)

Putusnya ikatan perkawinan dengan matinya salah satu pihak dari suami atau isteri menimbulkan hak saling waris-mewarisi antara suami isteri atas harta peninggalan yang mati (tirkah) menurut hukum waris (faraid), kecuali matinya salah satu pihak itu karena dibunuh oleh salah satu pihak lain.

b. Perceraian.

a. Thalak b. Fasakh c. Khuluk d. Syiqaq e. Ila’

f. Zihar g. Li’an h. Riddah.44

Thalak yaitu melepaskan ikatan nikah antara suami dan isteri dengan suatu kata-kata tertentu (Q. S. Al-Baqarah: 229). Hukum Islam menentukan bahwa hak thalak adalah pada suami dengan alasan bahwa seorang laki-laki itu pada umumnya lebih mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu dari pada wanita yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Dengan pertimbangan yang demikian tadi diharapkan kejadian perceraian akan lebih kecil kemungkinannya dari pada apabila hak thalak diberikan kepada isteri. Walaupun esensi dari thalak adalah hak suami untuk menceraikan isterinya namun harus memenuhi syarat-syarat terrtentu yang telah ditentukan oleh hukum Islam, baik yang ada pada suami, isteri dan sighat thalak, yang berakibat hukum putusnya perkawinan antara suami dan isteri.

44T. Yafizham, Persintuhan Hukum Di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, (Medan: CV. Mustika, cetakan 1, 1977), hal. 10.

(49)

Fasakh yaitu merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh Hakim Pengadilan Agama yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan. Biasanya yang menuntut fasakh di Pengadilan adalah isteri. Adapun alasan-alasan yang diperbolehkan seorang isteri menuntut fasakh di Pengadilan yaitu:45

a. Suami sakit gila.

b. Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan sembuh.

c. Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan hubungan kelamin.

d. Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada isterinya.

e. Isteri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami.

f. Suami pergi tanpa diketahui tempat tinggalnya dan tanpa berita, sehingga tidak diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah cukup lama.

Para fuqaha menetapkan bahwa jika dalam kehidupan suami isteri terjadi keadaan, sifat atau sikap yang menimbulkan kemudharatan pada salah satu pihak yang menderita mudharat dapat mengambil langkah untuk putusnya perkawinan, kemudian hakim memfasakhkan perkawinan atas dasar pengaduan pihak yang menderita tersebut.46

Khuluk atau thalak tebus ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami isteri dengan jatuhnya thalak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu. Hukum Islam memberi jalan kepada isteri yang menghendaki perceraian dengan mengajukan khuluk,

45 Soemiyati, Op. Cit., hal. 111.

46 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. 3, 2009), hal. 247.

(50)

sebagaimana hukum Islam memberi jalan kepada suami untuk menceraikan isterinya dengan jalan thalak. Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ialah mengimbangi hak thalak yang ada pada suami. Dengan khuluk ini isteri dapat mengambil inisiatif untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan cara penebusan. Penebusan atau pengganti yang diberikan isteri kepada suaminya disebut juga dengan “iwadl”. Khuluk adalah solusi yang diberikan oleh hukum Islam kepada isteri yang berkehendak untuk bercerai dari suami, dengan tujuan menghindarkan isteri dari kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis dan menimbulkan kemudharatan jika dipertahankan , sehingga isteri khawatir tidak dapat melaksanakan hak Allah untuk menaati suami.47

Syiqaq berarti perselisihan yaitu suatu perselisihan yang telah terjadi demikian hebat antara suami isteri, keadaan mana dapat menimbulkan kesulitan dan penderitaan terutama kepada isteri, karena jalan untuk bercerai baik dengan ta’lik thalak maupun dengan fasakh tertutup, maka persoalan tersebut diselesaikan melalui jalan syiqaq. Syiqaq menurut istilah fiqih berarti perselisihan yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang dipihak suami dan satu orang dari pihak isteri. Hakam tersebut terutama bertugas untuk menamaikan suami isteri itu. Hanya dalam keadaan terpaksa sekali dan sudah sekuat tenaga berusaha mendamaikan suami isteri itu tidak berhasil, maka hakam boleh mengambil keputusan mencerai suami isteri tersebut.48

Ila’ adalah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam hukum Islam, bila seorang suami marah kepada isterinya, maka sebelum ia

47 T. Yafizham, Op. Cit., hal. 13.

48 Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

SUMBER DANA (APBN/APBD /PHLN) PELAKSANAAN PEMILIHAN PENYEDIA PELAKSANAAN PEKERJAAN LELANG/ SELEKSI PEMBELIAN SECARA ELEKTRONIK AWAL (TGL) SELESAI (TGL) AWAL (TGL)..

[r]

Sampel penelitian sebanyak 100 kasus yang didiagnosis secara sitologi suspek limfadenitis tuberkulosis dengan gambaran badan-badan kecil berbentuk oval gelap di dalam

Pihak bank syariah juga dapat melakukan strategi seperti sosialisasi, promosi dan penyuluhan di kalangan siswa/siswi dengan mengumpulkan para siswa/siswi untuk

Suhu permukaan laut perairan pantai Bhinor kompleks PLTU Paiton akibat air bahang berdasarkan kajian citra Satelit Landsat 7ETM+ memiliki kenaikan hingga 6°C

Pertama-tama Penulis ingin mengucapkan Puji Syukur Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tiada hentinya memberikan rahmat, anugerah, berkat, serta hidayah- Nya kepada Penulis, sehingga

Di Provinsi Riau telah terjadi Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di beberapa lokasi, selain pemadaman darat, juga telah dilakukan pemadaman dari udara menggunakan Helicopter

Dalam kaitannya untuk mendorong pengaruh kepedulian terhadap NEP dan kesadaran, bukti hubungan positif antara kegiatan petualangan outdoor dan pemahaman NEP bagi siswa mengikuti