BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
B. Faktor Penghambat Implementasi Rehabilitasi Terhadap
4. Faktor Individu Anak, Keluarga dan Masyarakat
Yang dimaksud dengan:
1. Anak adalah seseorang yang berusia 8 (delapan) tahun dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
2. Anak korban penyalahgunaan narkotika adalah termasuk anak yang memerlukan perlindungan, dan perlindungan khusus.
3. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
4. Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
5. Penyalahgunaan Narkotika adalah pemakaian obat/ narkotika, umumnya untuk dirinya sendiri dengan cara menyimpang daripada cara yang dipakai dalam pengobatan.
6. Korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika.
82 7. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan
secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.
8. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
9. Wajib Lapor adalah kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh pecandu narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya, dan/atau orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur kepada institusi penerima wajib lapor untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
10. Aturan yang dimaksud dalam hal ini adalah aturan yang berlaku di Indonesia: Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
11. Sarana dan Prasarana yang dimaksud adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai alat dan penunjang dalam mencapai suatu tujuan, seperti: gedung rehabilitasi, sumber daya manusia (SDM), dan lain-lain.
12. Keluarga dalam hal ini berarti orang-orang terdekat yang ada di sekitar korban.
83 13. Masyarakat berarti orang-orang di sekitar korban yang tidak
memiliki ikatan kekerabatan atau ikatan keluarga dengan korban.
84
85 2) Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih secara purposed sampling sekaligus sebagai responden, yaitu korban penyalahgunaan narkotika mulai dari usia 8 (delapan) tahun sampai 17 (tujuh belas) tahun sebanyak 5 (lima) orang. Hal ini didasarkan pada pra penelitian yang telah dilakukan oleh calon peneliti di kedua lokasi tersebut. Selain itu pula, hal ini dilakukan terutama untuk memenuhi kompetensi implementasi pemberian hak-hak anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika.
D. Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Data primer, adalah data yang diperoleh melalui penelitian lapangan dengan pihak-pihak yang terkait sehubungan dengan penelitian ini,
2) Data sekunder, adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, terhadap berbagai macam bacaan yaitu dengan menelaah literatur, artikel, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku, maupun sumber lainnya yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian.
E. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan, dalam penelitian ini peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara sebagai berikut:
Setelah semua data terkumpul, dalam penelitian data yang diperoleh baik data primer maupun sekunder, maka data tersebut diolah dan dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan serta menafsirkan data berdasarkan teori sekaligus menjawab permasalahan dalam penelitian atau penelitian ini.
87 BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Implementasi Rehabilitasi Terhadap Anak Sebagai Korban Penyalah gunaan Narkotika
Anak sebagai korban dalam penyalah gunaan narkotika adalah objek yang paling rentan terhadap peredaran narkotika, karena anak dianggap belum dapat mengoptimalkan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi ke masa depan, sehingga dalam mengambil sikap dan tindakan yang kadang berujung pada perbuatan pidana. Sebagai seseorang yang dianggap belum dapat mengoptimalkan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi ke masa depan, maka ketika anak melakukan sesuatu yang dianggap salah oleh hukum, utamanya yang terkait dengan masalah narkotika, sesungguhnya anak tersebut tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya karena tentunya banyak faktor yang menyebabkan sehingga anak tersebut dapat terjerumus menjadi anak nakal di dalam permasalahan narkotika.
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah mengatur bahwa pecandu narkotika dan korban penyalah gunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Hal ini kembali dikuatkan pada Pasal 55 ayat (1) bahwa orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi
88 medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabiitasi sosial.
Guna mengetahui sejauh mana rehabilitasi telah diimplementasikan kepada anak sebagai pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika, berikut peneliti akan menguraikan mengenai rehabilitasi dan pasca rehabilitasi.74
1. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah proses layanan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dan korban penyalah guna narkotika dari ketergantungannya, yang meliputi aspek fisik/kesehatan, mental, sosial, dan spiritual serta vokasional agar dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam masyarakat.
Permasalahan anak telah direspon oleh berbagai Kementerian terkait antara lain Kementerian; Sosial, Pendidikan, Dalam Negeri, Agama, Tenaga Kerja, Hukum dan Ham, serta lembaga lainnya. Di lingkup lembaga, Badan Narkotika Nasional (BNN) merespon masalah anak dengan kecanduan atau penyalah gunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (Narkoba) sebagai anak yang memerlukan perlindungan khusus, yaitu anak yang menjadi korban penyalah gunaan narkotika.
74 Badan Narkotika Nasional, Petunjuk Teknis Rehabilitasi Bagi Pecandu dan Korban Penyalah gunaan Narkotika Pada Anak, Direktorat Penguatan Lembaga Rehabilitasi Instansi Pemerintah Deputi Bidang Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional, 2015. Hal 2.
89 Kemudian dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang mengatur segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi serta mendapatkan perlidungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Lembaga rehabilitasi yang melaksanakan layanan rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak merupakan balai dan/ atau loka rehabilitasi milik BNN. Dalam hal ini dijelaskan tentang program layanan, sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam layanan, dan sarana prasarana.
Program layanan rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak mengacu pada standar pelaksanaan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial serta standar nasional pengasuhan untuk lembaga kesejahteraan sosial anak, serta perlindungan anak, yang meliputi penerimaan awal, asesmen, rehabilitasi, dan pascarehabilitasi.
Sumber Daya Manusia (SDM) dalam pelaksanaan rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak minimal terdiri dari:75
75 Ibid, hal 15-16.
90 a. Teknis Rehabilitasi
1) Dokter umum yang memiliki sertifikasi asesor dari Kementerian Kesehatan;
2) Sarjana psikologi;
3) Pekerja sosial (social worker);
4) Konselor adiksi;
5) Tenaga pendidik;
6) Instruktur vokasional;
7) Pembimbing rohani;
8) Pengasuh.
Apabila tidak terdapat Dokter umum, maka harus memiliki kerjasama/ sistem rujukan ke fasilitas institusi penerima wajib lapor Kementerian Kesehatan.
b. Administrasi
1) Petugas administrasi;
2) Petugas keuangan;
3) Petugas pencatatan dan pelaporan.
c. Penunjang
1) Petugas kebersihan;
2) Petugas keamanan;
3) Petugas dapur.
91 Selanjutnya, merujuk kepada sarana dan prasarana minimal yang diperlukan dalam pelaksanaan rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak, meliputi:
1) Ruang periksa/ klinik;
2) Ruang kelas dan konseling;
3) Ruang makan;
4) Ruang perpustakaan/ baca;
5) Ruang bermain anak (ada playground khusus);
6) Sarana rekreasi dan pengembangan minat dan bakat anak, dan
7) Ruang rawat inap/ asrama yang disesuaikan dengan kondisi anak, sarana olahraga, dan ruang ibadah jika layanan yang dilaksanakan berupa rawat inap.
Pelaksanaan rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak selain mengacu pada prinsip-prinsip rehabilitasi, juga memperhatikan hak dasar anak, yaitu:76
a) Non diskriminasi
Semua bentuk pelayanan berkaitan dengan pengasuhan baik di dalam keluarga, keluarga pengganti, maupun melalui lembaga rehabilitasi, dilaksanakan tanpa diskriminasi, dari sisi usia, jenis kelamin, ras, agama dan budaya, dan bentuk diskriminasi lainnya.
76 Ibid, hal 22.
92 b) Kepentingan terbaik anak
Kepentingan terbaik anak menjadi prioritas dalam pelayanan yang dilakukan oleh semua pihak yang bekerja dalam pengasuhan anak.
c) Keberlangsungan hidup dan perkembangan
Upaya untuk mencari solusi pelaksanaan rehabilitasi dilakukan dengan memperhatikan perkembangan anak.
d) Partisipasi
Keputusan tentang rehabilitasi bagi anak dilakukan semaksimal mungkin dengan melibatkan partisipasi anak, sesuai dengan kapasitas mereka dan kapan pun anak mau.
Sesuai dengan Petunjuk Pelaksanaan Rehabilitasi Anak BNN, kriteria pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak yang mengikuti rehabilitasi, yaitu:77
1. Laki-laki/ perempuan;
2. Usia 18 tahun ke bawah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak untuk batas minimal dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak untuk batas maksimal;
3. Pernah menggunakan narkotika minimal 1 (satu) tahun terakhir;
77 Ibid, hal 23-24.
93 4. Memiliki orang tua/ wali yang bertanggung jawab;
5. Pelaksanaan titipan pencandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak dalam proses peradilan dengan melampirkan surat permohonan penitipan;
6. Jika pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak diluar proses peradilan mendapat penetapan diversi maka melampirkan surat penetapan sesuai dengan tingkatan diversi;
7. Jika pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak terkait proses peradilan, maka wajib melampirkan surat putusan sesuai dengan tingkat pemeriksaan;
8. Jika pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak adalah pelajar maka wajib melampirkan surat keterangan cuti dari sekolah.
Selanjutnya, pelaksanaan rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak meliputi beberapa tahapan, yaitu:
a) Penerimaan
Penerimaan merupakan suatu proses sebelum memulai tahap rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak, meliputi tahapan sebagai berikut:
94 1) Pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika
pada anak yang datang ke pelayanan rehabilitasi atau yang dijangkau oleh petugas penjangkau bersama orangtua/ wali, diterima oleh petugas layanan rehabilitasi.
2) Petugas layanan rehabilitasi menjelaskan mengenai alur dan program rehabilitasi yang akan dijalani oleh pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak serta memberikan form pendaftaran dan surat pernyataan menyetujui rehabilitasi dan tindakan yang akan dilakukan (informed concent) yang ditandatangani oleh orang tua/ wali.
3) Petugas melakukan pemeriksaan urin terhadap pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak.
4) Petugas menjelaskan tentang pelaksanaan asesmen dan pelaksanaan rehanilitasi di lembaga rehabilitasi dan ditandatangani oleh pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak.
5) Petugas mendokumentasikan seluruh hasil pemeriksaan di dalam rekam medis.
95 b) Skrinning
Skrinning adalah proses mengidentifikasi kemungkinan penyalah gunaan zat atau masalah penggunaan zat (narkotika) seseorang dan menentukan tindakan berikutnya yang sesuia dan dibutuhkan.
Tujuan dari dilakukannya skrinning adalah untuk mengidentifikasi adanya gangguan penggunaan zat dan perlu tidaknya penilaian yang lebih komprehensif untuk gangguan penggunaan zat tersebut, dengan mengungkap indikator-indikator yang berhubungan di kalangan anak dan remaja.
Tahapan skrining diawali dengan pemeriksaan urin yang dilakukan untuk menegaskan hasil skrinning hingga diagnosis tahap berikutnya, khususnya untuk mengetahui riwayat jenis napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya) yang digunakan oleh klien dengan menggunakan alat tes cepat (rapid test) untuk pengungkapan hingga 7 (tujuh) jenis napza.
Apabila dibutuhkan, klien dapat menjalani pemeriksaan lanjutan yang lebih akurat dan mendalam, dengan cara merujuk pada instansi yang memiliki fasilitas
96 laboratorium khusus napza, seperti yang ada di BNN, Balai Rehabilitasi BNN, RSKO, dan lain-lain.
Setelah melakukan proses skrining, maka akan menghasilkan gambaran umum mengenai taraf permasalahan dari seorang klien yang dapat digambarkan dalam bagan berikut ini:
c) Asesmen
Asesmen ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis permasalahan klien dan mendapatkan gambaran klinis maupun masalah yang lebih mendalam secara komprehensif sehingga dapat menentukan rencana terapi yang tepat bagi pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak.
Skrining
Risiko:
Sedang Risiko: Tak ada
atau rendah
Risiko: Tinggi atau Adiksi Kompulsif
Lebih ditekankan pada
edukasi, informasi dan
pencegahan positif
Brief Intervension;
Terapi Non-Intensif
Terapi Intensif
97 Pelaksanaan asesmen bertujuan untuk:
1) Menginisiasi komunikasi dan interaksi terapeutik;
2) Meningkatkan kesadaran tentang besar dan dalamnya masalah yang dihadapi oleh anak terkait penggunaan narkotika;
3) Mengkaji masalah medis dan kondisi lain yang perlu menjadi perhatian khusus;
4) Menegakkan diagnosis;
5) Menyusun rencana terapi;
6) Memberikan umpan balik, dan 7) Memotivasi perubahan perilaku.
Asesmen menggunakan Formulir Asesmen Wajib Lapor Teen Addiction Severity Index (TASI) dengan menambahkan wawancara. Namun sekurang-kurangnya dalam asesmen mencakup beberapa aspek dalam kehidupan anak:
1) Informasi demografi anak;
2) Riwayat penggunaan narkotika;
3) Riwayat sekolah;
4) Dukungan hidup;
5) Keluarga;
6) Teman sebaya/ hubungan sosial;
7) Masalah terkait hukum;
98 8) Masalah psikiatris.
d) Observasi
Observasi meliputi kegiatan memperhatikan tanda dan gejala-gejala yang tampak dari seseorang (klien) dan menilai perilaku yang tampak dari klien pada saat itu. Secara khusus, tanda dangejala dapat mengarah kepada informasi mengenai tingkat keparahan dari penggunaan zat, seperti: bentuk pupil mata, tanda bekas suntikan ditangan, paras muka, cara bicara, adanya gejala khas tertentu dari putus zat, dan lain-lain.
e) Wawancara
Proses tanya jawab yang dilakukan baik dengan menggunakan instrumen atau formulir tertentu maupun tanpa instrumen (hanya dengan beberapa pertanyaan kunci saja), khususnya untuk klien yang ketika akan masuk sedang dalam kondisi intoksikasi (keracunan yang disebabkan oleh masuknya obat atau zat kimia ke dalam tubuh melalui mulut) maupun mengalami gejala putus zat. Namun apabila memungkinkan, maka disarankan wawancara dilakukan secara terstruktur dengan menggunakan instrumen khusus yang singkat.
99 Dengan adanya program rehabilitasi rawat jalan ini, maka anak yang menjadi korban penyalah gunaan narkotika telah terpenuhi haknya seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan pada Pasal 67 bahwa:
Perlindungan khusus bagi Anak yang menjadi korban penyalah gunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf e dan Anak yang terlibat dalam produksi dan distribusinya dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi.
Hal ini selaras dengan pendapat mantan Kepala Badan Narkotika Nasional, Anang Iskandar, dalam pidatonya di Lapangan Bhayangkara, Minggu 26 Januari 2014, yang menyatakan bahwa mereka adalah orang sakit yang perlu disembuhkan. Hal inilah yang sering tidak dipahami oleh masyarakat, sehingga muncul sikap atau pandangan yang berbeda dari masyarakat dan aparat penegak hukum dalam menyikapi para pengguna narkoba.78
Rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak dilakukan berdasarkan hasil asesmen
78 Majalah Sinar BNN Edisi Januari 2014 (Revisi), hal 15.
100 serta mengedepankan hak terbaik bagi anak. Terdapat dua program rehabilitasi bagi anak, yaitu rawat inap dan rawat jalan:
a. Program rehabilitasi rawat jalan
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan salah satu konselor di Balai Rehabilitasi BNN Baddoka pada tanggal 8 Maret 2017, dijelaskan bahwa program rehabilitasi rawat jalan merupakan program rehabilitasi untuk residen dengan kategori penggunaan ringan. Dimana penggunaan ringan sendiri adalah penggunaan zat/ narkotika sebanyak 1 (satu) sampai 50 (lima puluh) kali dalam jangka waktu tertentu. Untuk saat ini, ada 10 (sepuluh) orang anak yang mengikuti program rehabilitasi rawat jalan.
Selain itu, program rehabilitasi rawat jalan merupakan alternatif sementara bagi calon residen yang tidak memperoleh tempat di program rawat inap atau yang biasa disebut sebagai daftar waiting list. Untuk beberapa kasus, rawat jalan dilakukan untuk tetap mempertahankan kondisi anak dari ketergantungannya terhadap penggunaan narkotika sebelum akhirnya mengikuti program rehabilitasi rawat inap apabila kuota sudah tersedia.
Rehabilitasi rawat jalan dapat dilakukan kurang lebih 8 kali pertemuan dalam periode 2 (dua) bulan disesuaikan dengan hasil asesmen dan kebutuhan anak. Dalam program
101 ini, pemberian terapi dapat diberikan berdasarkan diagnosa, terkait kondisi fisik/ psikis dan intervensi psikososial untuk mempertahankan kondisi pulih dari gangguan penggunaan narkotika selama menjalani program rawat jalan.
Partisipasi aktif dari keluarga (orang tua/ wali/
pengampu) sangat diperlukan dalam program rehabilitasi ini untuk keberhasilan pemulihan anak. Program ini juga menjadi pertimbangan utama dalam pemberian terapi mengingat usia anak umumnya masih dalam pengawasan dan didikan orang tua. Tujuan dari program ini adalah pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak mempertahankan kondisi abstinensia. Program rehabilitasi rawat jalan ini dilakukan dengan kunjungan ke Balai Rehabilitasi/ BNN Provinsi/ BNN Kabupaten/ BNN Kota diantar oleh orang tua/
wali. Untuk wilayah Sulawesi Selatan dapat dilakukan di BNN Provinsi Sulawesi Selatan, Balai Rehabilitasi BNN Baddoka, BNNK Palopo, BNNK Bone, dan BNNK Tana Toraja
b. Program Rehabilitasi Rawat Inap
Implementasi rehabilitasi rawat inap dilakukan apabila kondisi tertentu pada anak tidak memungkinkan untuk mendapatkan terapi yang efektif melalui rehabilitasi rawat jalan.
Hal ini menjadi pilihan terakhir mengingat kondisi psikologis anak yang masih harus berada dalam bimbingan orang tua.
102 Jika mengikuti aturan yang ada, berdasarkan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Anak maka rehabilitasi rawat inap bagi anak dilakukan melalui pendekatan Therapeutic Community (TC) modifikasi dan intervensi psikososial dengan mempertimbangkan kebutuhan pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak. Salah satu bentuk intervensi psikososial diadaptasi dari Psychosocial Implementation Manual for Children and Families dari UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime).
Berdasarkan teori hukum dari Lawrence Meir Friedman telah dikemukakan 3 (tiga) unsur sistem hukum, yaitu struktur (structure), substansi (substance), dan kultur hukum (legal culture). Yang dimaksud dengan struktur dalam penelitian ini adalah Badan Narkotika Nasional dan Balai Rehabilitasi yang ada beserta aparatnya. Selanjutnya mengenai substansi dalam penelitian ini merupakan aturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis seperti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Petunjuk Teknis Rehabilitasi Bagi Pecandu dan Korban Penyalah gunaan Narkotika Pada Anak.
Sementara kultur hukum yang dimaksud dalam penelitian ini adalah opini-opini, kepercayaan, kebiasaan, cara berpikir dan
103 cara bertindak, baik dari penegak hukum maupun warga masyarakat, tentang rehabilitasi yang mana salah satunya adalah dengan melaporkan atau secara sukarela mendaftarkan pecandu atau korban penyalah gunaan narkotika bagi anak.
Bekerjanya suatu aturan dalam masyarakat sangat berpengaruh terhadap unsur-unsur dalam sistem hukum.
Artinya rehabilitasi akan berjalan secara maksimal bila aturan, institusi dan kultur hukumnya baik.
Implementasi kegiatan rehabilitasi rawat inap bagi pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak seharusnya dimulai pukul 09.00 – 17.00 dan setelah pukul 18.00 – 19.00 dilanjutkan dengan kegiatan membaca buku.
Namun fakta yang ditemukan di lapangan justru belum sesuai dengan aturan yang ada selama ini.
Jika merujuk kepada petunjuk teknis pelaksanaan rehabilitasi bagi anak yang dikeluarkan oleh BNN Republik Indonesia dan dijelaskan oleh salah satu staf Balai Rehabilitasi BNN yang tidak ingin disebutkan namanya, maka implementasi rehabilitasi bagi residen anak belum sesuai dengan peraturan yang berlaku, dimana rehab anak harus dipisahkan dengan rehab dewasa dengan tahapan sebagai berikut:
104 1) Evaluasi Fisik dan Psikiatrik
Evaluasi fisik dan psikiatrik berlangsung kurang lebih 1 (satu) minggu dan tergantung penilaian gejala putus zat, gaduh gelisah, dan masalah mental yang menyertai pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak.
Tahapan evaluasi fisik dan psikiatrik bertujuan untuk menilai masalah fisik serta masalah gangguan mental dan perilaku pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak serta dilakukan pelaksanaan detoksifikasi yaitu suatu proses pelayanan perawatan penyalah gunaan zat yang mengalami gejala putus zat. Tahapan-tahapan yang dilakukan adalah:
a) Melakukan penilaian asesmen medis lanjutan terhadap kondisi fisik, psikiatri dan gejala putus zatnya yang dilakukan oleh psikiater dan dokter umum.
b) Perawat meakukan kajian keperawatan dan menegakkan diagnosa keperawatan serta melakukan asuhan dan intervensi keperawatan kepada pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak serta terapi edukasi dan okupasi.
105 c) Petugas rehabilitasi melakukan pemeriksaan darah
lengkap untuk menunjang diagnosa dokter jika fasilitas dan kompetensi lembaga memenuhi.
d) Pemeriksaan psikiatri dilakukan secara menyeluruh jika dibutuhkan dan terdapat Psikiater di lembaga rehabilitasi atau dilakukan rujukan.
e) Psikoterapi serta grup terapi dilakukan untuk meningkatkan motivasi mengikuti program melalui Motivational Interviewing (MI) / Motivational Enhancement Therapy (MET) dan perubahan kognitif serta perilaku yang menyimpang melalui Cognitive Behavior Therapy (CBT).
2) Stabilisasi
Fase stabilisasi merupakan suatu proses penatalaksanaan dan evaluasi pecandu dan korban narkotika pada anak setelah evaluasi fisik dan psikiatrik.
Selain itu juga merupakan tahapan orientasi program bagi pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak dalam menjalani tahap berikutnya. Secara umum kegiatan pada tahap ini bertujuan untuk mempersiapkan dan memantapkan pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak untuk mengikuti program rehabilitasi sosial. Pada tahap ini pecandu dan korban penyalah gunaan
106 narkotika pada anak telah selesai menjalani tahapan evaluasi fisik dan psikiatrik, dimana kondisi fisik, mental serta emosional secara umum sudah stabil.
Melalui tahapan stabilisasi, pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak diharapkan:
a) Termotivasi untuk mengikuti program rehabilitasi;
b) Kondisi fisik, psikologis, sosial relatif stabil;
c) Keluarga/ instansi mendukung dan memahami program rehabilitasi melalui Family Support Group (FSG).
Pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak dengan kasus sulit atau khusus akan diputuskan melalui suatu pembahasan kasus dengan melibatkan psikiater, dokter umum, konselor, pekerja sosial, psikolog, dan perawat.
3) Program Inti Fokus Pada Perubahan Perilaku dengan Pendekatan Modifikasi TC (Therapeutic Community) dan Metode Lainnya
Program ini dirancang untuk pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak yang berfokus pada perubahan perilaku dan merupakan suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar penyalah guna narkotika anak dan remaja dapat
107 kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat dengan baik dan bertanggung jawab. Metode utama yang digunakan adalah terapi komunitas (therapeutic community) yang dimodifikasi berdasarkan kebutuhan dan intervensi sosial.
Dalam program rehabilitasi khusus anak, ada hal penting yang harus tersedia yaitu pendidikan dasar formal sesuai usia anak. Pendidikan dasar formal dilakukan dengan mekanisme guru kunjung. Jika memungkinkan, selain guru kunjung bisa diberikan akses untuk mendapat pendidikan formal sekolah terdekat dari lembaga rehabilitasi.
Adapun program inti dalam program therapeutic community bagi pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak, dapat dilakukan dengan tahapan Program Utama. Pada program ini, pecandu dan korban penyalah gunaan narkotika pada anak mulai bergabung dalam komunitas terstruktur yang mempunyai hierarki, jadwal harian, terapi kelompok, grup seminar, konseling dan departemen kerja sebagai media pendukung perubahan diri.
Beberapa fase dalam program utama adalah sebagai berikut: