• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

4. Analisis Data

Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti.

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.

Sebelum analisis data dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pengumpulan data, kemudian dianalisis secara kualitatif dan ditafsirkan secara logis dan sistematis. Metode deduktif berpangkal dari prinsip-prinsip dasar, kemudian menghadirkan objek yang diteliti untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus.

61

62

dalam taraf konsistensi serta konseptual dengan prosedur dan tata cara sebagaimana Kerangka berfikir deduktif dan induktif akan membantu sebuah penelitian, khususnya

yang telah ditetapkan oleh asas-asas yang berlaku umum dalam perundang- undangan.

____________________________

63

61

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 103.

62

Piter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Grup, 2006), hal. 42.

63

Langkah awal dari penelitian ini terlebih dahulu memilih bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang berisi peraturan perundang - undangan serta kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan berkaitan dengan masalah perlindungan HAM, masalah pemasyarakatan, serta menemukan prinsip-prinsip hukum lainnya, kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan kerangka teori yang ada. Selanjutnya menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang diperoleh dengan menggunakan logika berfikir deduktif dan induktif, sehingga dapat menemukan serta memberikan jawaban terhadap masalah yang sedang diteliti yaitu perlindungan Hak Asasi Manusia Terhadap Narapidana Sebagai Warga Binaan Pemasyarakatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasayarakatan.

Bambang Sunggono, Methode Penelitian Hukum Suatu Pengantar, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 19

BAB II

PENGATURAN TENTANG PERLINDUNGAN HAK ASASI

MANUSIA BAGI NARAPIDANA DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN

A. Instrumen Hukum Internasional Tentang Hak Asasi Manusia Bagi Narapidana

Aturan-aturan internasional yang mengatur tentang perlakuan terhadap narapidana tersebut antara lain :

1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Decleration Of Human Rights).

(ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948).

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) adalah suatu Deklarasi yang menjadi dasar instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia. Deklarasi ini juga merupakan interpretasi resmi terhadap semangat Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang salah satu tujuannya adalah memajukan dan mendorong penghormatan terhadap HAM dan kebabasan dasar bagi manusia tanpa adanya perbedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.

Sejak lahirnya deklarasi ini pada tanggal 10 Desember 1948 dan diterima oleh

64

_______________________________________________ 64

Rani Purwanti Kemalasari, Instrumen-Instrumen Internasional Hak-Hak Asasi Manusia (The International Bill Of Human Rights), (Jakarta : Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum Dan HAM, 2012), hal.38.

negara-negara di dunia, maka manusia telah mempunyai peraturan untuk bertindak karena telah memiliki peraturan internasional tentang hak asasi manusia yang mewajibkan pemerintah untuk bertindak menurut cara tertentu, menerima pengaduan seseorang apabila hak dan kebebasannya tidak dihormati. Semua penduduk dunia mendapat manfaat dari prinsip-prinsip yang sama tersebut dan dapat menyampaikan protes apabila hak-haknya dilanggar.

Deklarasi ini terdiri dari 30 pasal yang mengajak manusia agar menggalakkan, menjamin dan mengakui serta menghormati hak-hak asasi manusia dan kebebasan yang telah ditetapkan.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada awalnya diterima oleh 49 negara, 9 abstain dan tidak ada dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menentang. Hak-hak yang diuraikan oleh deklarasi tersebut adalah mengenai hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya adalah merupakan sintesa antara konsep liberal barat dan konsep sosialis.

Pasal 1 dan 2 menegaskan, bahwa semua orang dilahirkan dengan martabat yang sama dan berhak atas semua hak-hak dan kebebasan sebagaimana yang ditetapkan oleh deklarasi tanpa membeda-bedakan warna kulit, ras, jenis kelamin, agama, pandangan politik, kebangsaan atau sosial, hak milik, kelahiran dan kedudukan.

65

____________________________

66

65

Sanwani, Bahan kuliah HAM dan Sitem Hukum Indonesia (Pasca Sarjana Fak Hukum USU, 2011).

66

Indonesia sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar tahun 1945 sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang diwujudkan dalam bentuk perlindungan, pemenuhan, penegakan, penghormatan HAM, demikian juga terhadap narapidana yang sedang menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan.

Sosialisasi perlindungan HAM bagi narapidana, sangat perlu dilaksanakan, dengan demikian diharapkan agar petugas pemasyarakatan dapat meningkatkan etos kerjanya dengan tetap menjunjung tinggi harkat, martabat dan nilai-nilai kemanussiaan, dimana pada gilirannya akan berdampak positif terhadap masyarakat luas.

2. Peraturan-Peraturan Standart Minimum Bagi Perlakuan Terhadap Narapidana (Standart Minimum Rules For the Treatment of Prisoners).

Peraturan ini telah disepakati oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Pertama mengenai Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan Terhadap Pelanggar. Diselenggarakan di Jenewa pada tahun 1995, dan disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial dengan Resolusi 663 C (XXIV) tanggal 31 Juli 1957 dan Resolusi 2076 (LXII) tanggal 1Mei 1997.

67

Tidak semua aturan internasional yang berhubungan dengan perlakuan terhadap narapidana dapat diterapkan di negara lain, dikarenakan beragamnya sistem ____________________________

67

Peter Bachr dkk., (ed), Instrumen Internasional Pokok-pokok Hak Asasi Manusia, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1997), hal. 671-704.

hukum, sosial budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Demikian juga halnya dengan aturan ini, dengan adanya aturan ini yaitu Standart Minimum Rules For the Treatment of Prisoners, tidaklah serta merta dapat diadopsi dan menjadi pedoman sepenuhnya bagi sikaf maupun perlakuan terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan di Indonesia.

Dalam aturan ini terdapat 95 (Sembilan Puluh Lima) poin aturan yang mengatur tentang perlakuan terhadap narapidana, seperti : makanan, pakaian, kebersihan pribadi, latihan dan olah raga, pelayanan kesehatan, informasi kepada dan keluhan oleh narapidana, hubungan dengan dunia luar, buku, agama, penyimpanan harta kekayaan narapidana, pemberitahuan mengenai kematian, sakit, pemindahan dan sebagainya, personal lembaga, hak-hak istimewa, pekerjaan, pendidikan dan rekreasi, hubungan sosial dan perawatan sesudahnya, narapidana gila dan bermental tidak normal, narapidana yang ditahan atau sedang menunggu pemeriksaan pengadilan, narapidana sipil sampai kepada orang-orang yang ditangkap atau ditahan tanpa tuduhan.

Makanan narapidana diatur pada angka 20 (a) yang berbunyi :

Setiap narapidana harus diberikan menurut pengaturannya pada jam-jam biasa dengan makanan bernilai gizi yang memadai untuk kesehatan dan kekuatan, berkualitas sehat dan disiapkan serta yang disajikan dengan baik.68

____________________________

68

Pakaian dan tempat tidur diatur pada angka 17 (a,b dan c) yang berbunyi : (a) Setiap narapidana yang tidak diperkenankan memakai pakaiannya sendiri

harus disediakan pakaian lengkap yang layak dengan iklim dan memadai untuk menjaganya dalam kesehatan yang baik. Pakaian tersebut dengan cara apa pun tidak boleh menurunkan martabat atau menghinakan.

(b) Semua pakaian harus bersih dan dijaga dalam kondisi yang cocok. Pakaian dalam harus diganti dan dicuci sesering yang diperlukan untuk memelihara kesehatan.

(c) Dalam kondisi-kondisi pengecualian, setiap waktu seseorang narapidana dipindahkan di luar lembaga untuk tujuan yang diizinkan, dia harus diperkenankan mengenakan pakaian sendiri atau pakaian lain yang tidak menarik perhatian orang. 69

Agama diatur pada angka 41 (a,b,c) dan angka 42, yang berbunyi :

41 (a) jikalau lembaga menampung para narapidana beragama yang sama dalam jumlah yang cukup, suatu perwakilan yang memenuhi syarat dari agama tersebut harus ditunjuk atau disetujui. Jikalau jumlah narapidana membenarkannya dan kondisi-kondisi mengizinkan, pengaturannya harus atas dasar sehari penuh.

(b) Suatu perwakilan yang memenuhi syarat, yang ditunjuk atau disetujui menurut ketentuan ayat satu akan diperkenankan melakukan pelayanan-pelayanan tetap dan kunjungan-kunjungan keagamaan secara pribadi kepada para narapidana yang seagama dengan dia pada waktu-waktu yang tepat.

(c) Akses ke suatu perwakilan agama apapun yang memenuhi syarat tidak boleh ditolak pada narapidana apapun. Pada sisi lain, kalau ada narapidana yang menolak suatu kunjungan perwakilan agama apapun, sikap dia harus sepenuhnya dihormati.70

Buku, diatur pada angka 40, yang berbunyi sebagai berikut :

Setiap lembaga harus mempunyai perpustakaan untuk digunakan oleh semua katagori narapidana, yang dengan memadai diisi bukan saja dengan

buku-buku rekreasi tetapi juga buku-buku pelajaran dan narapidana didorong untuk menggunakannya dengan sepenuhnya.71

____________________________ 69 Ibid. 70 Ibid, hal. 209. 71

3. Prinsip-Prinsip Utama Untuk Perlindungan Semua Orang dari Segala Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan (Body Of Principles For The Protektion Of All Persons Under Any Form Of Detention Or Imprisonment).

Ibid.

(disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 9 Desember 1988 dengan resolusi 43 / 173). Prinsi-prinsip ini berlaku untuk perlindungan semua orang yang berada dibawah bentuk penahanan apapun atau pemenjaraan.

Dalam kumpulan ini terdapat 39 (Tiga Puluh Sembilan) butir prinsip mengenai perlindungan bagi orang yang ditahan atau dipenjara. Kumpulan ini banyak kebersamaannya dengan sistem pemasyarakatan di Indonesia, antara lain :

72

A. Prinsip 6 yang menyatakan :

“ Tidak seorang pun yang berada dibawah bentuk penahanan atau pemenjaraan apapun dapat dijadikan sasaran penganiayaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Tidak satupun keadaan dapat dijadikan sandaran sebagai pembenaran untuk penganiayaan atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi dan merendahkan martabat.”.73

Prinsip ini mempunyai kesamaan maksud dengan Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 1995, antara lain : 1. Pasal 47 ayat (2) yang berbunyi;

Jenis hukuman disiplin dapat berupa : a. tutupan sunyi paling lama 6 (Enam) hari bagi narapidana atau anak pidana; dan atau

b. menunda atau meniadakan hak tertentu untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.74

____________________________

72

Goran Melander, dkk., (ed), Op. cit, hal. 549. 73

Ibid, hal. 551. 74

2. Pasal 47 ayat (3) yang berbunyi

Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang RI No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Petugas pemasyarakatan dalam memberikan tindakan atau menjatuhkan hukuman disiplin wajib :

a. memperlakukan warga binaan pemasyarakatan secara adil dan tidak bertindak sewenang-wenang dan

b. mendasarkan tindakannya pada peraturan tata tertib lembaga pemasyarakatan.75

B. Prinsip 28 yang menyatakan :

“ Seseorang yang ditahan atau dipenjara berhak memperoleh dalam batas-batas sumber yang tersedia, kalaupun dari sumber-sumber umum, sejumlah bahan pendidikan, budaya dan informasi yang layak, dengan tunduk pada syarat-syarat yang pantas untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum di tempat penahanan atau pemenjaraan “.76

Prinsip ini mempunyai kesamaan maksud dengan Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 1995, pasal 14 ayat (1), mengenai hak-hak narapidana yaitu huruf : b. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.

77

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang.

Banyak lagi butir-butir yang terdapat dalam kumpulan ini yang mempunyai kesamaan dengan UU Nomor 12 tahun 1995 yang tak dapat peneliti tulis dalam tesis ini, karena penelitian ini hanya terfokus kepada hak asasi manusia yang berhubungan dengan narapidana berdasarkan UU RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

____________________________

75

Pasal 47 ayat (3) UU RI No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 76

Goran Melander, dkk., (ed), Op. cit, hal. 557 77

4. Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil And Political Rights).

Pasal 14 ayat (1) huruf C dan F Undang-Undang RI No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Kovenan ini ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal16 Desember 1966.

Prinsip-prinsip yang diproklamasikan dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengakui bahwa martabat yang melekat dan hak yang sama dan tidak terpisahkan dari seluruh umat manusia merupakan landasan dari kebebasan, keadilan dan perdamain di dunia.

78

Kovenan ini mengakui bahwa cita-cita manusia yang bebas untuk menikmati kebebasan sipil dan politik dan kebebasan dari ketakutan dan kemelaratan, hanya dapat dicapai apabila diciptakan kondisi yang didalamnya setiap orang dapat menikmati hak sipil dan juga hak ekonomi, sosial dan budaya.

Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap individu lainnya dan pada masyarakat dimana dia berada, berkewajiban untuk mengupayakan kemajuan dan penaatan dari pihak yang diakui dalam kovenan ini.

Kovenan ini terdiri dari 6 bagian dan 53 pasal, diantara pasal-pasalnya juga melindungi hak-hak orang yang sedang dirampas kemerdekaannya oleh putusan

79

____________________________

78

Lihat Reselusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966; PBB, Treaty

Series, vol. 999, No. 1-14668 dan 1059, No. A-14668 (corrigendum). Kovenan diberlakukan pada

tanggal 23 Maret 1976. Pada tahun 1966, Majelis Umum juga menetapkan Protokol Opsional Pertama pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (diberlakukan sejak tahun 1976) dan pada tahun 1989, Protokol Opsional Kedua (diberlakukan sejak tahun 1991).

79

Pengadilan, diantaranya :

Goran Melander, dkk., (ed), Op. cit, hal. 23 80

Pasal 4 ; “setiap orang yang dijatuhi hukuman mati harus mempunyai hak untuk memohon pengampunan, atau pengurangan hukuman, amnesti. Pengampunan atau pengurangan hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus”.

bagian III;

Pasal 5; “Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan dibawah usia Delapan belas tahun, dan tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan hamil”.

Pasal 10; “Semua orang yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada setiap manusia”.

B. Analisis Instrumen Hukum Internasional Tentang Hak Asasi Manusia Bagi Narapidana.

Instrumen hukum internasional mengenai standar bagi perlakuan dan pelayanan terhadap narapidana tidaklah dimaksudkan untuk menggambarkan secara rinci suatu sistem atau model lembaga-lembaga pidana. Peraturan-peraturan itu hanya berdasarkan konsensus umum mengenai pemikiran masa kini dan unsur-unsur penting dari sistem-sistem yang paling memadai saat ini, untuk dapat dinyatakan dapat diterima secara umum apa yang dianggap baik sebagai asas dan praktek dalam perlakuan terhadap narapidana.81

____________________________________________ 80

lihat Bagian III, Pasal 4,5 dan 10, Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik.seseorang.

81

Tidak semua aturan itu mampu diterapkan pada semua tempat dan waktu, disebabkan karena sangat beragamnya kondisi-kondisi hukum, sosial, ekonomi dan geograpi dunia, meskipun demikian, diharapkan aturan-aturan itu dapat bermanfaat untuk merangsang suatu usaha guna mengatasi kesulitan-kesulitan praktis dalam pengelolaan lembaga pemasyarakatan.

Peter Bachr dkk., (ed), Instrumen Internasional Pokok-pokok Hak Asasi Manusia, Loc.cit

Instrumen hukum internassional dimaksudkan tidak untuk menghalangi aturan ataupun pemikiran-pemikiran serta praktek-praktek perlakuan terhadap narapidana yang ada di suatu negara tertentu termasuk di Indonesia. Namun demikian, dalam aturan ini terdapat banyak hal yang bisa dijadikan acuan bagi pelaksanaan perlakuan terhadap narapidana yang sesuai dengan sistem hukum, ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia.

Sejalan dengan instrument hukum internasional tersebut, petugas pemasyarakatan sebagai aparatur fungsional penegak hukum harus patuh dan turut serta dalam pelaksanaan peraturan perlindunan hak asasi manusia. Tugas yang diemban petugas pemasyarakatan sangat erat dengan nilai kemanusiaan, seperti tuntutan standar aturan internasional dan aturan nasional

C. Perangkat Hukum Nasional Tentang Hak Asasi Manusia Bagi Narapidana 1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Istilah HAM di Indonesia relatif masih baru, akan tetapi konsep HAM telah ada sejak lama yang diterapkan oleh masyarakat adat, seperti yang terdapat dalam Lontara (Wasiat lama Bugis) pada abad XV disebutkan adanya hak untuk hidup, hak untuk bebas, hak bersama dan independensi hakim.82 Demikian juga dengan masyarakat Jawa telah dikenal hak untuk berpindah ke daerah lain, hak untuk memperotes kebijakan pejabat yang lebih tinggi (nggogol).83

UUD tahun 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia, dirancang pada tahun 1945, ketika merancangnya telah terjadi pertentangan antara Soekarno dan kawan-kawan (sebagai pendiri Negara) dengan M. Yamin dan kawan-kawan (sebagai perancang konstitusi), tentang perlu tidaknya HAM dimasukkan ke dalam UUD. Soepomo dalam pandangannya mengatakan bahwa HAM sangat identik dengan ideologi liberal-individual sehingga tidak cocok dengan bangsa Indonesia. Sebaliknya menurut M. Yamin tidak ada alasan untuk menolak memasukkan HAM dalam UUD. Akhirnya disepakati untuk dimasukkannya beberapa prinsip HAM ke dalam UUD

yang sedang dirancang tersebut, sebagaimana yang diatur dalam beberapa pasal UUD tahun 1945.84

Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 sampai 1950 juga mencantumkan HAM yang disebut dengan sebutan Hak-Hak Dasar Warga Negara, kemudian pada Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 sampai 1959 disebut dengan sebutan Hak-Hak kebebasan Dasar Manusia, lalu setelah kembali kepada UUD tahun 1945 pada tahun 1959, maka UUD tahun 1945 yang telah diamandemen menyebutkan dengan tegas tentang HAM yaitu pada Bab X A, pasal 28 huruf A

____________________________________________ 82

Jelly Leviza, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Hukum Indonesia, Bahan kuliah Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum USU tahun 2011.

83

Ibid. 84

sampai J, yang mengatur tentang hak untuk hidup, hak untuk melakukan perkawinan/berkeluarga, hak untuk mengembangkan diri, hak untuk memperoleh jaminan hukum yang adil, hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan, hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, hak atas status

Ibid

kewarganegaraan, hak kebebasan memeluk agama, hak untuk berserikat, hak untuk mendapatkan informasi, hak untuk memperoleh perlindungan diri/keluarga/harta, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk kesejahteraan, hak atas jaminan sosial, hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif, hak identitas budaya/masyarakat tradisional yang dihormati selaras dengan perkembangan zaman, dan lain-lain. Selain dari hak-hak tersebut diatas diwajibkan pula untuk menghormati hak asasi manusia orang lain dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara serta wajib tunduk kepada pembatasan yang telah ditetapkan oleh undang-undang yang bertujuan untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.85

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dipakai saat ini adalah warisan dari pemerintah kolonial Belanda yang disebut dengan Wetboek van Strafrecht (WvS).

Meskipun Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah telah melakukan ____________________________

85

pembahasan Rencana Undang-Undang dibidang hukum pidana yang terkodifikasi (RUU KUHP) agar dapat melahirkan sistem hukum pidana nasional Indonesia guna memenuhi kebutuhan hukum bagi masyarakat hukum Indonesia pada masa sekarang hingga masa yang akan datang, namun kiranya hingga saat ini belum juga

lihat UUD tahun 1945 Amandemen I, II, III, dan IV pasal 28 A sampai 28 J.

selesai dan belum melahirkan sistem hukum pidana nasional sebagai mana yang diharapkan, oleh karena itu hingga kini kita masih memakai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan Belanda tersebut.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) / Wetboek van Strafrecht (WvS) mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum. Pelaku kejahatan dan pelanggaran tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.86

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia dikodifikasi pada tahun 1918 adalah satu-satunya hukum kodifikasi yang berlaku umum untuk semua golongan penduduk yang berada dalam daerah Indonesia. KUHP ini berlaku terhadap setiap orang yang dapat dihukum (tindak pidana = delik) sejak 1 Januari 1918.

Kitab undang-undang ini terdiri dari 3 buku, tiap-tiap buku terdiri dari beberapa bab, tiap-tiap bab terdiri dari pasal-pasal dan tiap-tiap pasal terdiri dari ayat-ayat. Buku I tentang Aturan Umum, terdiri atas 9 bab 103 pasal. Buku II tentang Kejahatan, terdiri atas 31 bab 384 pasal. Buku III tentang Pelanggaran, terdiri atas 9

87

____________________________

86

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1986), hal. 257

87

bab dan 80 pasal.

Ibid, hal. 179.

Terdapat beberapa pasal yang mengatur atau menjadi dasar bagi perlakuan terhadap pemberian hak-hak narapidana, antara lain :

a. Pasal 15 ayat (1)

Orang yang dihukum penjara boleh dilepaskan dengan perjanjian, bila telah lalu dua pertiga bagian dari hukumannya yang sebenarnya dan juga paling sedikit sembilan bulan dari pada itu. Kalau siterhukum itu harus menjalani beberapa hukuman penjara berturut-turut, maka dalam hal ini sekalian hukuman itu dianggap sebagai satu hukuman.

b. Pasal 15 ayat (2)

Pada waktu dilepaskan itu ditentukan pula lamanya tempo percobaan bagi siterhukum itu dan diadakan perjanjian yang harus diturutnya selama tempo percobaan.

Tempo percobaan itu lamanya lebih setahun dari pada sisa hukuman yang sebenarnya dari siterhukum itu. Tempo percobaan itu tidak dihitung selama kemerdekaan siterhukum dicabut dengan sah.

d. Pasal 15a ayat (1)

Pelepasan dengan perjanjian itu harus dengan perjanjian umum, bahwa siterhukum tak akan melakukan perbuatan yang terancam hukuman, ataupun tak akan berkelakuan yang tidak baik dengan jalan bagaimana juapun.

e. Pasal 15a ayat (2)

Kepada perlepasan dengan perjanjian itu boleh pula diadakan perjanjian yang istimewa tentang kelakuan siterhukum, asal saja perjanjian itu tidak membatasi kemerdekaan agama atau politik.

f. Pasal 15a ayat (3)

Pengawasan dalam hal menepati segala perjanjian itu dipertanggungkan kepada amtenar yang tersebut dalam ayat pertama dari pasal 14d.

g. Pasal 15a ayat (4)

Juga dapat diadakan pengawasan yang istimewa dalam hal menepati perjanjian itu, yang semata-mata bermaksud akan memberi pertolongan dan bantuan kepada siterhukum.

h. Pasal 15a ayat (5)

Selama tempo percobaan, perjanjian itu boleh diubah, boleh dicabut begitupun dapat ditetapkan perjanjian yang istimewa, dapat juga diadakan pengawasan istimewa dan pengawasan yang istimewa itu dapat diserahkan kepada orang lain dari pada yang sudah dipertanggungkan dahulu.

i. Pasal 15a ayat (6)

Orang yang dilepaskan dengan perjanjian itu diberikan surat permisi, dimana diterangkan segala perjanjian, yang dijanjikan kepadanya. Kalau ayat yang diatas dilakukan, maka diberikan padanya surat permisi yang baru.

j. Pasal 15b ayat (1)

Pelepasan dengan perjanjian itu boleh dicabut kembali, jika siterhukum selama tempo percobaan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan perjanjian yang tersebut dalam surat permisinya. Jika ada dugaan keras tentang perbuatan demikian, maka pelepasan itu boleh ditunda oleh Menteri Kehakiman.

Dokumen terkait