• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

3.5 Analisis Data

Analisis data meliputi: (1) analisis perubahan penggunaan lahan, (2) analisis kemampuan lahan, (3) evaluasi kesesuaian penggunaan lahan berbasis kemampuan lahan, (4) analisis status daya dukung lahan berbasis produktivitas, dan (5) penyusunan arahan penggunaan lahan berbasis kemampuan lahan. Bagan alir pengolahan data disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Bagan alir pengolahan data

Peta Kemampuan Lahan Tingkat Sub

kelas

Overlay Data Produksi

semua komoditas hasil pertanian (Tahun 2005 dan

2010)

Peta Kesesuaian Penggunaan Lahan Tahun 2005 dan 2010 dengan Kemampuan Lahan

Jumlah Penduduk, kebutuhan lahan per

orang (Tahun 2005 dan 2010)

Ketersediaan Lahan (Tahun 2005 dan 2010)

Kebutuhan Lahan (Tahun 2005 dan 2010)

Status Daya Dukung Lahan berbasis produktivitas (Tahun 2005 dan 2010)

Arahan penggunaan lahan yang sesuai kemampuan lahan

Analisis kuantitatif, spasial dan deskriptif lereng, peta bentuk lahan,

citra ASTER GDEM

Identifikasi Kelas Kemampuan Lahan Citra Geoeye Tahun 2010 Interpretasi citra Peta Penggunaan Lahan Tahun 2005 Peta Perubahan Penggunaan Lahan

Kota Bima Dalam Angka (Tahun 2005 dan 2010) Peta Penggunaan Lahan Tahun 2010 Overlay Tahap 5 Tahap 4 Pengecekan Lapang

Tabel 1 Matriks tujuan, metode analisis, data dan sumber data, serta hasil yang diharapkan dari penelitian

No Tujuan Metode Analisis Data dan Sumber Data Hasil

1 Menganalisis penutupan/ penggunaan lahan tahun 2010

Interpretasi citra menggunakan 9 kunci interpretasi

Data yang dibutuhkan:

Citra Satelit Geoeye-1 imagery date 30 April 2010

Sumber data:

Open source – Google Earth

Peta penggunaan lahan tahun 2010

2 Menganalisis perubahan penggunaan lahan periode tahun 2005 – 2010

Analisis SIG:

Overlay peta penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010 Analisis LQ

Analisis deskriptif

Data yang dibutuhkan:

• Peta penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010

• Peta administrasi Sumber data :

BAPPEDA Kota Bima Hasil tahapan analisis sebelumnya

Mengetahui dinamika dan pusat-pusat aktifitas perubahan penggunaan lahan selama periode tahun 2005 – 2010

3 Menganalisis kemampuan lahan Kota Bima tingkat sub kelas

Analisis SIG:

Operasi overlay berbagai peta tematik

Analisis kualitatif mengacu pada kriteria klasifikasi

kemampuan kelas pada tingkat sub-kelas (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007)

Data yang dibutuhkan:

Peta tanah, peta kelas lereng, peta bentuk lahan, citra ASTER GDEM

Sumber data : Puslittanak Diunduh dari

http://www.gdem.aster.ersdac.or.jp/

Mengetahui kemampuan lahan Kota Bima tingkat sub kelas

Lanjutan Tabel 1

No Tujuan Metode Analisis Data dan Sumber Data Hasil

4 Mengevaluasi kesesuaian penggunaan lahan dengan kemampuan lahan

Analisis SIG:

Operasi overlay antara peta penggunaan lahan dengan peta kemampuan lahan

Data yang dibutuhkan:

Peta penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010

Peta kemampuan lahan

Sumber data:

BAPPEDA Kota Bima Hasil tahapan analisis sebelumnya

Peta kesesuaian

penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010 dengan kemampuan lahan

5 Menentukan status daya dukung lahan pada tahun 2005 dan 2010

Perbandingan antara total ketersediaan lahan dan total kebutuhan lahan

(Supply Side vs Demand Side)

Metode penghitungan merujuk pada Permen LH 17/2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah

Data yang dibutuhkan:

• Jumlah penduduk

• Produksi padi/beras

• Produksi non padi

• Harga satuan beras

• Harga satuan tiap jenis komoditas selain beras pada tingkat produsen

Sumber data:

BPS dan BAPPEDA Kota Bima

Status daya dukung lahan berbasis produktivitas

Lanjutan Tabel 1

No Tujuan Metode Analisis Data dan Sumber Data Hasil

6 Membuat peta arahan penggunaan lahan berbasis kemampuan lahan

Penentuan arahan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahan dilakukan berdasarkan prinsip bahwa semakin tinggi kelas kemampuan lahannya, maka semakin sedikit pilihan

penggunaannya (Arsyad 2010)

Hasil tahapan analisis sebelumnya Peta arahan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahan

Peta penggunaan lahan tahun 2005 skala 1 : 25.000 diperoleh dari BAPPEDA Kota Bima. Sementara peta penggunaan lahan tahun 2010 diperoleh dari interpretasi citra Geoeye-1 Kota Bima dengan resolusi 0,41 meter atau 16 inci dan imagery date 30 April 2010 yang terdapat pada Google Earth. Menurut Este dan Simonett (1975), interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan menilai arti pentingnya obyek tersebut. Dalam interpretasi citra, penafsir mengkaji citra dan berupaya mengenali obyek melalui tahapan kegiatan deteksi, identifikasi, dan analisis. Setelah mengalami tahapan tersebut, citra dapat diterjemahkan dan digunakan ke dalam berbagai kepentingan, misalnya dalam bidang geografi, geologi, lingkungan hidup, dan sebagainya. Deteksi adalah usaha penyadapan data secara global, baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Deteksi merupakan penentuan ada tidaknya suatu obyek, misalnya obyek berupa hutan. Identifikasi adalah kegiatan untuk mengenali obyek yang tergambar pada citra yang dapat dikenali berdasarkan ciri yang terekam oleh sensor dengan alat stereoskop.

Dalam kegiatan interpretasi citra, ada tujuh karakteristik dasar yang menjadi pertimbangan (Lillesand dan Kiefer 1990), yaitu:

1. Bentuk, adalah konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Bentuk beberapa obyek demikian khas sehingga citranya dapat diidentifikasi langsung hanya berdasarkan kriteria ini.

2. Ukuran, adalah ciri obyek berupa jarak, luas, tinggi, dan volume. Ukuran obyek pada citra adalah berupa skala. Contohnya: lapangan olah raga sepak bola dicirikan oleh bentuk segi empat dan ukuran yang tetap, yaitu sekitar 80-100 m.

3. Pola, adalah hubungan susunan spasial obyek. Pola dapat digunakan untuk membedakan obyek bentukan manusia dan beberapa obyek alamiah. Misalnya pola aliran sungai yang berkelok-kelok berbeda dengan pola jalan raya yang umumnya lurus. Kebun karet, kebun kelapa, dan kebun kopi mudah dibedakan dengan hutan atau vegetasi lainnya karena polanya yang teratur.

4. Bayangan, bersifat menyembunyikan detail atau obyek yang berada di daerah gelap. Bayangan juga dapat merupakan kunci pengenalan yang penting dari

beberapa obyek yang justru dengan adanya bayangan menjadi lebih jelas. Misalnya lereng terjal tampak lebih jelas dengan adanya bayangan. Foto-foto yang sangat condong biasanya memperlihatkan bayangan obyek yang tergambar dengan jelas.

5. Rona, adalah warna atau kecerahan relatif obyek pada foto.

6. Tekstur, adalah frekuensi perubahan rona pada citra. Biasa dinyatakan dengan “kasar”, “sedang” dan “halus”. Misalnya, hutan bertekstur kasar dan semak bertekstur sedang. Tekstur merupakan hasil gabungan dari bentuk, ukuran, pola, bayangan, dan rona.

7. Situs, adalah letak suatu obyek terhadap obyek lain di sekitarnya. Misalnya permukiman pada umumnya memanjang pada pinggir pantai, tanggul alam, atau sepanjang tepi jalan; atau persawahan banyak terdapat di daerah dataran rendah.

Dari tujuh karakteristik dasar tersebut di atas, Sutanto (1992) menambahkan satu karakteristik lagi, yaitu asosiasi. Asosiasi adalah keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek lainnya. Misalnya, stasiun kereta api berasosiasi dengan jalan kereta api yang jumlahnya lebih dari satu (bercabang). Munibah (2008) menambahkan faktor lain yang dapat dijadikan sebagai kunci interpretasi citra adalah kedekatan antara interpreter dengan obyek yang diinterpretasi.

Menurut Sutanto (1992), pada dasarnya interpretasi citra terdiri dari dua kegiatan utama, yaitu perekaman data dari citra dan penggunaan data tersebut untuk tujuan tertentu. Perekaman data dari citra berupa pengenalan obyek dan unsur yang tergambar pada citra serta penyajiannya ke dalam bentuk tabel, grafik atau peta tematik. Urutan kegiatan dimulai dari (a) menguraikan atau memisahkan obyek yang rona atau warnanya berbeda; (b) ditarik garis batas/deliniasi bagi obyek yang rona dan warnanya sama; (c) setiap obyek dikenali berdasarkan karakteristik spasial dan unsur temporalnya; (d) obyek yang sudah dikenali diklasifikasi sesuai dengan tujuan interpretasinya; (e) digambarkan ke dalam peta kerja atau peta sementara; (f) dilakukan pengecekan medan (lapangan) untuk verifikasi; dan (g) interpretasi akhir, yaitu pengkajian atas pola atau susunan keruangan (obyek) untuk dapat dipergunakan sesuai tujuannya.

Deteksi perubahan penggunaan lahan dilakukan melalui proses tumpang susun (overlay) antara peta penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010 menggunakan ArcGIS 9.3. Identifikasi pusat-pusat perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan menggunakan analisis Location Quotient (LQ).

Analisis LQ (Location Quotient) merupakan teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktifitas di suatu wilayah dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Sebagai contoh adalah pemusatan aktifitas di level provinsi dalam lingkup wilayah nasional, atau pemusatan aktifitas di level kabupaten/kota dalam lingkup wilayah provinsi, demikian seterusnya. Analisis LQ pada awalnya merupakan salah satu teknik yang dikembangkan untuk melakukan analisis ekonomi basis. Dalam perkembangannya, analisis LQ dapat digunakan untuk menganalisis untuk pemusatan aktifitas apapun, dalam hal penelitian ini adalah pemusatan aktifitas perubahan penggunaan lahan. Teknik LQ dilakukan secara berjenjang, dimulai dari unit administrasi terkecil (kecamatan) untuk setiap wilayah kabupaten, kemudian dilakukan pada unit kabupaten (Rustiadi et al. 2009).

Persamaan analisis LQ dalam penelitian ini adalah:

X

X

X

X

LQ

J I IJ IJ .. . . / / ………(1) Dimana:

XIJ : luas perubahan penggunaan lahan di kecamatan ke-i XI. : total luas perubahan penggunaan lahan di Kota Bima X.J : luas kecamatan ke-i

X.. : total luas wilayah Kota Bima

Interpretasi hasil analisis LQ adalah sebagai berikut:

- Jika nilai LQij > 1, maka hal ini menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu aktifitas di sub wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah atau terjadi pemusatan aktifitas di sub wilayah ke-i, sehingga dapat diketahui bahwa suatu wilayah administrasi terkecil yang dianalisis merupakan wilayah yang menjadi pusat perubahan penggunaan lahan.

- Jika nilai LQij = 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai konsentrasi aktifitas di wilayah ke-i sama dengan rata-rata total wilayah.

- Jika nilai LQij < 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai aktifitas lebih kecil dibandingkan dengan aktifitas yang secara umum ditemukan di seluruh wilayah.

3.5.2 Kemampuan Lahan

Kemampuan lahan merupakan karakteristik lahan yang mencakup sifat tanah (fisik dan kimia), topografi, drainase, dan kondisi lingkungan hidup lain. Berdasarkan karakteristik lahan tersebut, dapat dilakukan klasifikasi kemampuan lahan kedalam tingkat kelas, sub kelas, dan unit pengelolaan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Dalam penelitian ini kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasi kemampuan lahan pada tingkat sub kelas adalah kelerengan, jenis tanah, bahan induk, tekstur, kedalaman solum, drainase, dan kepekaan erosi.

Bahan induk dianggap sebagai faktor pembentuk tanah yang amat penting oleh para perintis pedologi (Dokuchaev 1883 dalam Hardjowigeno 2003). Pengaruh dan hubungan sifat-sifat bahan induk dengan sifat-sifat tanah terlihat lebih jelas pada tanah-tanah di daerah kering atau tanah-tanah muda, hal ini relevan dengan kondisi fisik lahan Kota Bima dimana jenis tanahnya hanyalah dua ordo yaitu Entisol yang merupakan tanah muda dan Inseptisol yang sedikit lebih matang. Data tersebut diperoleh dari peta tanah skala 1:50.000 yang bersumber dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak). Atribut peta mencakup jenis tanah, landform, relief, kelas lereng, dan ketinggian (altitude). Peta ini kemudian dipertajam dengan menggunakan data pendukung citra ASTER GDEM resolusi 30 m. Penajaman yang dilakukan adalah dengan mendeliniasi manual peta tanah yang ada khususnya atribut landform dan relief. Tahapan penajaman adalah: (1) konversi citra ASTER GDEM menjadi hillshade menggunakan fasilitas ArcToolbox pada ArcGIS; (2) meng-overlay peta tanah dengan DEM hillshade; dan (3) mendeliniasi manual peta tanah berdasarkan kenampakan landform yang serupa. Sukarman (2005) menyatakan bahwa data DEM dapat digunakan untuk membantu deliniasi satuan peta tanah semi detail dengan baik, di daerah bergunung berbahan induk homogen maupun heterogen. Pada daerah demikian, DEM dapat mengidentifikasi landform (bentuk lahan) dan relief dengan baik.

Klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat sub kelas dilakukan dengan memperhatikan kriteria seperti pada Tabel 2 (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).

Tabel 2 Kriteria klasifikasi kemampuan lahan pada tingkat sub kelas

No. Faktor Kelas Kemampuan

I II III IV V VI VII VIII

1. Tekstur tanah (t) a. lapisan atas (40 cm) b. lapisan bawah t2/t3 t2/t4 t1/t4 t1/t4 t1/t4 t1/t4 t2/t3 t2/t4 t2/t3 t2/t4 t2/t3 t2/t4 t2/t3 t2/t4 t2/t3 t2/t4 2. Lereng permukaan (%) l0 l1 l2 l3 (*) l4 l5 l6 3. Drainase d0/d1 d2 d3 d4 (**) (*) (*) (*) 4. Kedalaman efektif k0 k0 k1 k2 (*) k3 (*) (*) 5. Keadaan erosi e0 e1 e1 e2 (*) e3 e4 (*) 6. Kerikil/batuan b0 b0 b0 b1 b2 (*) (*) b3 7. Banjir o0 o1 o2 o3 o4 (*) (*) (*)

(*) = dapat mempunyai sembarang sifat faktor penghambat dari kelas yang lebih rendah (**) = permukaan tanah selalu tergenang air.

Penggolongan besarnya intensitas faktor penghambat dalam kriteria klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat sub kelas dapat diuraikan sebagai berikut (Arsyad 1979 dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).

a. Tekstur tanah (t)

Duabelas tekstur tanah dikelompokkan ke dalam lima kelompok sebagai berikut:

-t1 (halus: liat berdebu, liat)

-t2 (agak halus: liat berpasir, lempung liat berdebu, lempung berliat, lempung liat berpasir)

-t3 (sedang: debu, lempung berdebu, lempung) -t4 (agak kasar: lempung berpasir)

-t5 (kasar: pasir berlempung, pasir) b. Lereng permukaan (l)

Lereng permukaan dikelompokkan sebagai berikut: -l0 (0-3%: datar)

-l1 (3-8%: landai/berombak)

-l2 (8-15%: agak miring/bergelombang) -l3 (15-30%: miring/berbukit)

-l5 (45-65%: curam) -l6 (>65%: sangat curam) c. Drainase tanah (d)

Drainase tanah diklasifikasikan sebagai berikut:

-d0 (baik): tanah mempunyai peredaran udara baik. Seluruh profil tanah dari atas sampai lapisan bawah berwarna terang yang uniform dan tidak terdapat bercak-bercak.

-d1 (agak baik): tanah mempunyai peredaran udara baik. Tidak terdapat bercak-bercak berwarna kuning, coklat, atau kelabu pada lapisan atas dan bagian atas lapisan bawah.

-d2 (agak buruk): lapisan tanah atas mempunyai peredaran udara baik. Tidak terdapat bercak-bercak berwarna kuning, coklat, atau kelabu. Bercak-bercak terdapat pada seluruh lapisan bawah.

-d3 (buruk): bagian atau lapisan atas (dekat permukaan) terdapat warna atau bercak-bercak berwarna kelabu, coklat, dan kekuningan.

-d4 (sangat buruk): seluruh lapisan permukaan tanah berwarna kelabu dan tanah bawah berwarna kelabu atau terdapat bercak-bercak kelabu, coklat, dan kekuningan.

d. Kedalaman efektif (k)

Kedalaman efektif dikelompokkan sebagai berikut: -k0 (dalam: >90 cm)

-k1 (sedang: 90-50 cm) -k2 (dangkal: 50-25 cm) -k3 (sangat dangkal: <25 cm) e. Keadaan erosi (e)

Kerusakan oleh erosi dikelompokkan sebagai berikut: -e0 (tidak ada erosi)

-e1 (ringan: <25% lapisan atas hilang) -e2 (sedang: 25-75% lapisan atas hilang)

-e3 (berat: >75% lapisan atas hilang, <25% lapisan bawah hilang) -e4 (sangat berat: >75% lapisan atas hilang, >25% lapisan bawah hilang)

3.5.3 Kesesuaian Penggunaan Lahan dengan Kemampuan Lahan

Untuk memperoleh peta kesesuaian antara penggunaan lahan dengan kemampuan lahan, peta kemampuan lahan tingkat sub kelas di-overlay dengan peta penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010.

3.5.4 Daya Dukung Lahan Berbasis Produktivitas

Ketersediaan lahan ditentukan berdasarkan data total produksi aktual setempat dari setiap komoditas di suatu wilayah, dengan menjumlahkan produk dari semua komoditas yang ada di wilayah tersebut. Untuk penjumlahan ini digunakan harga sebagai faktor konversi karena setiap komoditas memiliki satuan yang beragam. Sementara itu, kebutuhan lahan dihitung berdasarkan kebutuhan hidup layak.

Gambar 4 Metode penghitungan daya dukung lahan berbasis neraca lahan menurut Permen LH 17/2009

Penghitungan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a. Penghitungan Ketersediaan (Supply) Lahan

Rumus:

………(2)

Dimana:

SL = Ketersediaan lahan (ha)

Pi = Produksi aktual tiap jenis komoditi (satuan ton). Komoditas yang diperhitungkan meliputi pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan.

Total Produksi aktual seluruh komoditas setempat Ketersediaan Lahan Populasi Penduduk Kebutuhan lahan per orang yang diasumsikan dengan luas lahan untuk menghasilkan 1 ton setara beras/tahun Kebutuhan Lahan

Daya Dukung Lahan Berbasis Produktivitas

Hi = Harga satuan tiap jenis komoditas (Rp/kg) di tingkat produsen.

Hb = Harga satuan beras (Rp/kg) di tingkat produsen. Ptvb = Produktivitas beras (ton/ha).

Dalam penghitungan ini, faktor konversi yang digunakan untuk menyetarakan produk nonberas dengan beras adalah harga.

b. Penghitungan Kebutuhan (Demand) Lahan Rumus:

……….(3)

Dimana:

DL = Total kebutuhan lahan setara beras (ha) N = Jumlah penduduk (orang)

KHLL = Luas lahan yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup layak per penduduk:

a. Luas lahan yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup layak per penduduk merupakan kebutuhan hidup layak per penduduk dibagi produktivitas beras lokal.

b. Kebutuhan hidup layak per penduduk diasumsikan sebesar 1 ton setara beras/kapita/tahun.

c. Daerah yang tidak memiliki data produktivitas beras lokal, dapat menggunaan data rata-rata produktivitas beras nasional sebesar 2400 kg/ha/tahun atau 2,4 ton/ha/tahun. c. Status daya dukung lahan diperoleh dari pembandingan antara ketersediaan

lahan (SL) dan kebutuhan lahan (DL) . Bila SL>DL, daya dukung lahan dinyatakan surplus. Bila SL<DL, daya dukung lahan dinyatakan defisit. Sumber: Permen LH 17/2009

Terkait standar kebutuhan hidup layak dalam penghitungan kebutuhan lahan, di dalam Permen LH 17/2009 tidak didefinisikan kebutuhan layak yang dimaksud.

Tabel 3 Contoh perhitungan nilai produksi total

No. Komoditas Produksi

(Pi)

Harga Satuan (Hi)

Nilai Produksi (Pi ×Hi) 1. Padi dan palawija, antara

lain:

padi, jagung, dan seterusnya.

……… ………… ………..

2. Buah-buahan, antara lain: mangga, jeruk, dan seterusnya.

……… ………… ………..

3. Sayur mayur, antara lain: bawang merah, bawang putih, dan seterusnya.

……… ………… ………..

4. Tanaman obat-obatan, antara lain: jahe, lengkuas, dan seterusnya.

……… ………… ………..

5. Produksi daging, antara lain: sapi, kambing, dan

seterusnya.

……… ………… ………..

6. Produksi telur, antara lain: ayam kampung dan ras.

……… ………… ………..

7. Perikanan. ……… ………… ………..

8. Perkebunan, antara lain: kelapa, kopi, dan seterusnya.

……… ………… ………..

9. Kehutanan : kayu dan non kayu

……… ………… ………..

TOTAL

3.5.5 Arahan Penggunaan Lahan Sesuai Kemampuan Lahan

Arahan penggunaan lahan ini hanya didasarkan pada kelas kemampuan lahan. Kemampuan lahan merupakan cara sistematis untuk menilai potensi lahan agar dapat berproduksi secara lestari (Worosuprodjo 2005). Analisis kemampuan lahan dapat digunakan untuk menunjang kebijakan dan perencanaan penggunaan lahan yang optimal yang tujuannya harus berkesinambungan dan berkelanjutan. Lahan diklasifikasikan menggunakan faktor penghambat, sehingga dengan mengetahui faktor penghambatnya maka potensi yang menghambat pemanfaatan dapat diminimumkan. Hal ini dimaksudkan agar peruntukan lahan tidak melebihi kapasitas dan daya dukung lahan sehingga kelestarian lahan pun terjaga. Penilaian ini dapat juga digunakan untuk memperbaiki pengelolaan yang sudah ada sehingga dapat diperoleh bentuk konservasi yang tepat (Notohadiprawiro 1991).

Penentuan arahan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahan dilakukan berdasarkan prinsip bahwa semakin tinggi kelas kemampuan lahannya, maka semakin sedikit pilihan penggunaannya. Kemampuan lahan pada kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan, seperti untuk penanaman tanaman pertanian umumnya (tanaman semusim dan tahunan), rumput untuk makanan ternak, padang rumput, dan hutan. Tanah pada kelas V, VI, dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohon atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal, tanah kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu, seperti buah-buahan, tanaman hias atau bunga-bungan, dan bahkan jenis sayuran bernilai tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Tanah dalam kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami (Arsyad 2010).

Kelas kemampuan lahan

Intensitas dan pilihan penggunaan meningkat

Ca g ar alam / Hu tan li n d u n g Hu tan P ro d u k si Terb atas P en g g em b alaa n Terb atas P en g g em b alaa n S ed an g P en g g em b alaa n I n ten sif Ga ra p an Terb atas Ga ra p an S ed an g Ga ra p an In ten sif Ga ra p an S an g at In ten sif Ha m b atan /an ca m an m en in g k at, Ke se su aian d an p il ih an p en g g u n aa n b erk u ra n g I II III IV V VI VII VIII

Gambar 5 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan

Sumber: Arsyad 2010

Dokumen terkait