• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

4.2 Karakteristik Fisik Lahan .1 Kemiringan Lereng

Kondisi kemiringan lereng di Kota Bima beragam dari 0 - 3% hingga lebih dari 65%. Kemiringan lereng Kota Bima terbagi kedalam tujuh kelas yaitu: kelas lereng 0-3%, 3-8%, 8-15%, 15-30%, 30-45%, 45-65%, dan >65%. Kelas lereng 15-30% menempati luasan terbesar, yaitu 6.222 hektar atau 28,5% dari luas wilayah Kota Bima. Luas dan penyebaran masing-masing kelas lereng disajikan dalam Tabel 7. Topografi Kota Bima dari citra ASTER GDEM, disajikan dalam Gambar 12.

Gambar 12 Topografi Kota Bima dari citra ASTER GDEM Tabel 7 Kelas lereng dan relief Kota Bima

Kelas

Lereng Relief Luas (ha)

Persentase (%) 0 - 3% Datar 2.886 13,2 3 - 8% Berombak 2.596 11,8 8 - 15% Bergelombang 4.638 21,5 15 - 30% Miring/berbukit 6.223 28,4 30 - 45% Agak curam 2.752 12,6 45 - 65% Curam 2.246 10,2 > 65% Sangat curam 522 2,3 Jumlah 21.862 100,0

Pada Gambar 12 terlihat bahwa permukiman, yaitu area yang berwarna putih, sebagian besar terletak pada lahan-lahan datar. Lahan-lahan datar tersebut merupakan area yang rawan banjir, karena memang merupakan endapan aluvial atau dataran yang terbentuk akibat adanya banjir.

4.2.2 Jenis Tanah

Terdapat dua jenis tanah tingkat ordo di wilayah Kota Bima, yaitu Entisol dan Inseptisol; lima jenis tanah tingkat sub-ordo yaitu Fluvent, Psamment, Orthent, Aquept, dan Ustept; enam jenis tanah tingkat great-group yaitu Ustifluvent, Ustipsamment, Ustorthent, Halaquept, Endoaquept, dan Haplustept; serta dua belas jenis tanah tingkat sub-grup, yaitu Lithic Haplustepts, Lithic Ustorthents, Typic Endoaquepts, Typic Haplustepts, Typic Endoaquepts, Typic Halaquepts, Typic Haplustepts, Typic Ustifluvents, Typic Ustipsamments, Typic Ustorthent, Typic Ustorthents, dan Typic Ustorthents.

Entisol adalah tanah yang tingkat perkembangan horisonnya masih sangat sederhana tetapi berbeda dengan bahan induk karena Entisol sudah mempunyai epipedon okrik, sedang horison bawah pencirinya belum terbentuk. Tanah Entisol memiliki kedalaman dangkal sampai dalam, drainase terhambat sampai baik, tekstur halus, pH agak alkalis. Entisol dapat berasal dari bahan endapan baru yang bertekstur pasir sampai liat atau bahan-bahan volkanik muda seperti abu gunung api atau lahar. Entisol dapat juga berasal dari bahan induk tua seperti batuan liat, batuan pasir, batuan beku, dan lain-lain yang karena terus-menerus tererosi perkembangan tanah tidak dapat berjalan lanjut. Bila ditemukan horison penciri selain epipedon okrik, horison-horison tersebut ditemukan di luar penggal penentu untuk klasifikasi ordo tanah sehingga tidak dapat masuk ke dalam ordo tanah yang lain kecuali Entisol. Karena dapat berasal dari berbagai macam bahan induk dengan umur beragam dari muda sampai tua, dan sembarang iklim, relief, serta vegetasi, maka sifat Entisol juga sangat beragam. Sementara Inseptisol adalah tanah yang memiliki tingkat perkembangan yang sudah lebih matang, namun secara umum Entisol dan Inseptisol masih dikategorikan sebagai tanah muda. Pada sub-grup tanah Lithic, kedalaman solum adalah dangkal. Sementara tanah sub-grup Typic mempunyai sifat-sifat yang tidak menyimpang dari great

group-nya atau dengan kata lain tidak menunjukkan adagroup-nya sifat-sifat tambahan yang nyata selain dari sifat-sifat dasar yang dimiliki oleh great group-nya. Untuk tekstur, tanah-tanah Entisol dan Inseptisol memiliki tekstur pasir berlempung atau lebih halus, kecuali untuk great-group ustipsamment bertekstur lebih kasar. Untuk drainase, tanah-tanah Entisol memiliki drainase yang baik, karena tanah jenis ini memiliki epipedon okhrik yang berwarna terang.

Gambar 13 Peta tanah Kota Bima Tabel 8 Luas masing-masing jenis tanah

Jenis Tanah Luas (ha) Persentase (%)

Typic Ustifluvents 9 0,04 Lithic Ustorthents 15 0,1 Typic Ustipsamments 40 0,2 Typic Halaquepts 169 0,8 Typic Endoaquepts 1.789 8,4 Lithic Haplustepts 2.237 10,6 Typic Ustorthents 3.595 17,0 Typic Haplustepts 13.339 62,9 Jumlah 21.193 100,0

Keterangan: Luas total tidak sama dengan luas wilayah, karena terdapat area yang tertutupi oleh lahan terbangun (669 hektar) dan tidak tersurvei sehingga tidak memiliki atribut dalam peta tanah (Puslittanak 1997).

Tanah jenis Typic Haplustepts menempati luas lahan yang paling besar yaitu 13.339 hektar atau 61% dari luas wilayah Kota Bima. Secara spasial tanah jenis ini tersebar di bagian utara, timur, dan selatan Kota Bima, meliputi empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Asakota, Mpunda, Raba, dan Rasanae Timur.

4.2.3 Bentuk Lahan

Bentuk lahan wilayah Kota Bima dapat dikelompokkan menjadi 4 bentuk lahan utama, yaitu Aluvial, Marin, Volkanik, dan Karst. Bentuk lahan Aluvial dapat dibedakan menjadi dataran banjir (di daerah dekat pantai), dataran Aluvial (di Kota Bima), dan dasar lembah (jalur aliran sungai). Bentuk lahan Marin dibedakan menjadi dua bagian yaitu pesisir (pesisir pasir dan pesisir lumpur) dan tebing batuan. Bentuk lahan Volkanik menempati wilayah yang paling luas dan secara spasial menempati wilayah bagian utara Kota Bima. Bentuk lahan Karst menempati wilayah paling utara dan bagian tenggara Kota Bima. Pada tingkat sub grup, lima bentuk lahan utama tersebut dibedakan menjadi 16 tipe bentuk lahan yaitu:

1. A1128 : Jalur Meander, yaitu wilayah sepanjang sungai meander dengan batas pinggir pada ujung-ujung lengkung luar. Biasanya dicirikan oleh adanya bekas-bekas aliran sungai lama.

2. A13 : Dataran Aluvial, yaitu dataran luas yang terbentuk karena pengendapan bahan aluvial oleh air, terdiri atas lumpur, pasir atau kerikil, umumnya termasuk agak tua (subresen) dan sungai yang membentuk wilayah ini sudah tidak jelas lagi. 3. A15 : Jalur Aliran, yaitu wilayah sepanjang aliran sungai di wilayah

yang relatif datar dan tersusun oleh bahan-bahan baru dari sungai tersebut, umumnya berlapis-lapis.

4. A2 : Lahan Aluvio-Koluvial, yaitu lahan agak datar sampai miring, terbentuk karena proses fluvial dan koluvial (gravitasi) di antara bukit-bukit atau kaki bukit/gunung.

5. B2 : Grup Fluvio-Marin (B), yaitu Dataran Estuarin Sepanjang Muara/Hilir Sungai dan Pantai, sementara penjelasan lebih lanjut pada tingkat subgroup (B2) adalah merupakan wilayah di sekitar muara/hilir sungai dan pantai estuarin yang dipengaruhi oleh air sungai dan pasang-surut air laut melalui alur-alur kecil (creeks).

6. K2 : Dataran Karst, yaitu karst dengan bukit-bukit kecil yang relatif sama ketinggiannya, dijumpai di wilayah yang relatif rendah elevasinya, dan tidak terdapat tebing curam di sekitarnya.

7. K3 : Perbukitan Karst, yaitu wilayah karst dengan relief perbukitan.

8. M32 : Grup Teras Marin (M3) subgroup Teras Marin Subresen (M32), yaitu bentuk lahan dimana bahan penyusun teras terdiri atas bahan endapan subresen, biasanya posisinya lebih ke pedalaman dan tererosi.

9. V112 : Kaldera, yaitu cekungan volkan luas di bagian atas sistem gunung berapi strato, biasanya terbentuk karena penurunan puncak kerucut (collapse atau tererosi), atau karena terjadinya letusan raksasa.

10. V113 : Lereng Volkan Atas, yaitu bagian lereng atas kerucut volkan yang curam, biasanya dengan garis-garis kikisan yang dalam. 11. V114 : Lereng Volkan Tengah, yaitu bagian lereng tengah kerucut

volkan yang tidak terlalu curam dengan pola drainase radial. 12. V115 : Lereng Volkan Bawah, yaitu bagian lereng bawah kerucut

volkan yang melandai.

13. V16 : Lungur Volkanik, yaitu bagian dari sistem volkan yang merupakan punggung-punggung atau lungur-lungur karena prosesnya telah berlangsung cukup lama. Bisa terdapat di bagian lereng atas, lereng bawah, atau kaki volkan.

14. V32 : Perbukitan Volkanik Tua, yaitu perbukitan volkanik tua dengan lereng >15% dan perbedaan tinggi 50-300 m.

15. V4 : Intrusi Volkanik, yaitu penerobosan magma melalui celah/retakan/patahan dalam kulit bumi, membeku di bawah permukaan kulit bumi yang kemudian muncul di permukaan karena erosi;

16. X1 : Grup X, yaitu bentukan alam atau hasil kegiatan manusia yang tidak termasuk dalam grup yang telah diuraikan sebelumnya, misalnya: lahan rusak, singkapan batuan, penambangan, penggalian, landslide, wilayah sangat berbatu, dan lain-lain. Sebaran bentuk lahan disajikan dalam Gambar 14. Bentuk lahan yang menempati luas terbesar adalah lungur volkanik, yaitu 7.375 hektar dan secara spasial tersebar di bagian tengah Kota Bima.

Gambar 14 Peta bentuk lahan Kota Bima

4.2.4 Jenis Bahan Induk Tanah

Bahan induk dianggap sebagai faktor pembentuk tanah yang amat penting oleh para perintis pedologi (Dokuchaev 1883 diacu dalam dalam Hardjowigeno 2003). Pengaruh dan hubungan sifat-sifat bahan induk dengan sifat-sifat tanah

terlihat lebih jelas pada tanah-tanah di daerah kering atau tanah-tanah muda, hal ini relevan dengan kondisi fisik lahan Kota Bima, dimana ordo tanah yang dimiliki Kota Bima adalah ordo Entisol dan Inseptisol yang merupakan kategori tanah muda. Jenis bahan induk tanah Kota Bima disajikan dalam Tabel 9, dan sebarannya disajikan dalam Gambar 15.

Tabel 9 Jenis bahan induk tanah Kota Bima

Bahan Induk Tanah Luas (ha) Persentase (%)

Endapan liat pasir 9 0,04

Endapan pasir marin 40 0,2

Breksi andesit basal 43 0,2

Endapan liat marin 169 0,8

Aluvium dan koluvium 1.179 5,6

Batu kapur kerang 1.336 6,3

Endapan liat 1.863 8,8

Andesit dan basal 3.045 14,4

Breksi andesit 3.577 16,9

Breksi basal 9.933 46,9

Jumlah 21.194 100,0

Keterangan: Luas total tidak sama dengan luas wilayah, karena terdapat area yang tertutupi oleh lahan terbangun (669 hektar) dan tidak tersurvei sehingga tidak memiliki atribut dalam peta tanah (Puslittanak 1997).

Bahan induk tanah yang dominan adalah breksi basalt yang merupakan batuan beku. Batuan jenis ini banyak mengandung mineral kelam (mineral yang banyak mengandung Fe dan Mg) yang merupakan mineral mudah lapuk dan menghasilkan tanah dengan kejenuhan basa yang tinggi. Horison permukaan umumnya bertekstur lempung atau lempung liat (Hardjowigeno 2003).

4.3 Kemampuan Lahan

Dalam penelitian ini kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasi kemampuan lahan adalah kemiringan lereng, tekstur, kedalaman efektif, drainase, dan kepekaan erosi. Kondisi iklim wilayah juga dapat mempengaruhi karakteristik dan kemampuan lahan. Kota Bima beriklim tropis dengan temperatur antara 19,5° - 30,8° Celcius. Curah hujan pertahunnya berkisar antara 468 hingga 1219,2 mm dengan hari hujan terbanyak terjadi pada bulan Januari, Februari, April, November, dan puncaknya sekitar bulan Desember.

Tabel 10 Drainase tanah Kota Bima Drainase

tanah Luas (ha) Persentase (%)

Agak cepat 6.468 30,5 Baik 846 4,0 Cepat 11.715 55,3 Sedang 206 1,0 Terhambat 1.958 9,2 Jumlah 21.193 100,0

Keterangan: Luas total tidak sama dengan luas wilayah, karena terdapat area yang tertutupi oleh lahan terbangun (669 hektar) dan tidak tersurvei sehingga tidak memiliki atribut dalam peta tanah (Puslittanak 1997).

Tabel 11 Tekstur tanah Kota Bima

Tekstur tanah Luas (ha)

Persentase (%)

Berdebu halus dan kasar 13.552 63,9

Berlempung halus 1.179 5,6

Berliat 1.863 8,8

Lempung berpasir 4.420 20,9

Lempung liat berpasir 178 0,8

Jumlah 21.193 100,0

Keterangan: Luas total tidak sama dengan luas wilayah, karena terdapat area yang tertutupi oleh lahan terbangun (669 hektar) dan tidak tersurvei sehingga tidak memiliki atribut dalam peta tanah (Puslittanak 1997).

Tabel 12 Kedalaman efektif tanah Kota Bima

Kedalaman efektif tanah Luas (ha)

Persentase (%) >100 cm 3.042 13,9 50 - 75 cm 5.173 23,7 50 - 90 cm 12.978 59,4 Jumlah 21.862 96,9

Keterangan: Luas total tidak sama dengan luas wilayah, karena terdapat area yang tertutupi oleh lahan terbangun (669 hektar) dan tidak tersurvei sehingga tidak memiliki atribut dalam peta tanah (Puslittanak 1997).

Tabel 13 Erosi tanah Kota Bima

Erosi tanah Luas (ha)

Persentase (%) Berat 4.998 22,9 Ringan 5.138 23,5 Sangat Berat 522 2,4 Sangat ringan 4.982 22,8 Sedang 6.223 28,5 Jumlah 21.862 100,0

Keterangan: Luas total tidak sama dengan luas wilayah, karena terdapat area yang tertutupi oleh lahan terbangun (669 hektar) dan tidak tersurvei sehingga tidak memiliki atribut dalam peta tanah (Puslittanak 1997).

Drainase, tekstur, kedalaman efektif, dan erosi tanah merupakan karakteristik tanah yang dapat diinterpretasi dari jenis tanah, bahan induk, bentuk lahan, dan kemiringan lereng.

4.3.1 Kemampuan Lahan Tingkat Kelas

Gambar 20 Peta kemampuan lahan Kota Bima pada tingkat kelas

Pada tingkat kelas, terdapat 6 kelas kemampuan lahan di Kota Bima, yaitu kelas II, III, IV, VI, VII, dan VIII. Tidak terdapat lahan kelas I atau lahan yang tanpa faktor penghambat sama sekali. Secara spasial, lahan dengan kelas kemampuan yang tinggi terletak di bagian timur dan utara Kota Bima, yaitu pada daerah yang memiliki kelas lereng >30%. Lahan datar memiliki kelas kemampuan yang rendah.

Tabel 14 Kemampuan lahan Kota Bima tingkat kelas Kemampuan

Lahan Luas (ha)

Persentase (%) II 3.079 14,5 III 6.371 30,1 IV 6.223 29,4 VI 2.752 13,0 VII 2.246 10,6 VIII 522 2,5 Jumlah 21.193 100,0

Keterangan: Luas total tidak sama dengan luas wilayah, karena terdapat area yang tertutupi oleh lahan terbangun (669 hektar) dan tidak tersurvei sehingga tidak memiliki atribut dalam peta tanah (Puslittanak 1997).

4.3.2 Kemampuan Lahan Tingkat Sub Kelas

Kemampuan lahan pada tingkat kelas dibagi lagi berdasarkan faktor penghambat sehingga menghasilkan 14 sub kelas kemampuan lahan. Luas yang terbesar adalah sub kelas IV (l, e), dengan luasan 6.223 hektar atau 28,5% dari total wilayah, dan secara spasial tersebar di bagian utara, timur, dan tenggara Kota Bima. Sebaran sub kelas kemampuan lahan disajikan pada Gambar 21.

Tabel 15 Kemampuan lahan Kota Bima tingkat sub kelas Kemampuan Lahan Luas (ha) Persentase (%) II (e) 500 2,4 II (l) 434 2,0 II (t, l, k) 283 1,3 II (t, d) 1.342 6,3 II (t, l) 145 0,7 II (t, l, d) 376 1,8 III (k) 1.515 7,1 III (l, e) 246 1,2 III (l, k, e) 4.392 20,7 III (t, d) 218 1,0 IV (l, e) 6.223 29,4 VI (l, e) 2.752 13,0 VII (l) 2.246 10,6 VIII (l) 522 2,5 Jumlah 21.194 100,0

Keterangan faktor pembatas: t : tekstur

l : lereng d : drainase

k : kedalaman efektif e : bahaya erosi

Keterangan: Luas total tidak sama dengan luas wilayah, karena terdapat area yang tertutupi oleh lahan terbangun (669 hektar) dan tidak tersurvei sehingga tidak memiliki atribut dalam peta tanah (Puslittanak 1997).

4.3 Kesesuaian Penggunaan Lahan dengan Kemampuan Lahan

Dalam penentuan kesesuaian penggunaan lahan yang dikaitkan dengan kemampuan lahan diperlukan proses interpretasi. Pilihan sesuai atau tidak sesuai sebenarnya belum mampu menggambarkan kondisi penggunaan aktual terkait dengan usaha perbaikan lahan, misalnya sudah diterapkannya teknologi atau belum, atau adanya perbedaan kuantitatif antara satu pilihan penggunaan lahan dengan penggunaan lainnya walaupun tetap termasuk dalam satu kategori. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah pemahaman hubungan antara aktual penutupan/penggunaan lahan dengan kelas kemampuan, mengingat aktual penutupan lahan dapat mempunyai makna ganda jika diletakkan dalam konteks sesuai kemampuan atau tidak. Teknologi dapat mengubah kelas kemampuan lahan, misalnya lahan tertentu menjadi kelas IV karena drainase sangat buruk

(d4). Dengan pemanfaatan teknologi, lahan tersebut dapat didrainasekan sehingga drainasenya menjadi baik, dan oleh karenanya kelas kemampuan lahannya pun meningkat. Dalam hal ini kelasnya berubah menjadi kelas III atau II. Kondisi ini membuat pencocokan atau evaluasi penggunaan lahan menjadi sesuatu yang kompleks. Pertimbangan penggunaan/penutupan diletakkan pada kelas tertentu membutuhkan pertimbangan yang seksama. Untuk keperluan praktis, sebelum dilakukan proses pencocokan penggunaan lahan dengan kemamppuan lahan, maka perlu disusun matriks kecocokan seperti disajikan dalam Tabel 16.

Dalam penelitian ini, evaluasi kesesuaian antara penggunaan lahan dengan kemampuan lahan hanya dilakukan pada penggunaan lahan sawah, rumput (padang penggembalaan), tambak, dan pertanian lahan kering, karena keempat penggunaan lahan inilah yang menghasilkan nilai produksi terkait dengan penentuan daya dukung lahan berbasis produktivitas. Dalam hal ini terdapat empat kategori kesesuaian penggunaan lahan yaitu: Sesuai, Sesuai Bersyarat, Tidak Sesuai, dan Tidak Dinilai. Yang dimaksud Sesuai Bersyarat adalah bahwa lahan tersebut dapat digunakan untuk tipe penggunaan lahan tertentu setelah dilakukan perbaikan terhadap salah satu atau beberapa faktor penghambat, misalnya perbaikan kelerengan dan bahaya erosi dengan melakukan terasering atau membuat guludan.

Penentuan keputusan Sesuai atau Tidak Sesuai setiap tipe penggunaan lahan dilakukan dengan melihat beberapa faktor pembatas, yaitu erosi, lereng, tekstur, kedalaman efektif, dan drainase. Untuk penggunaan lahan sawah, misalnya, lahan harus memiliki kemiringan lereng <5%, sehingga pada lahan pada kelas kemampuan II dengan faktor pembatas lereng dinyatakan sesuai bersyarat bagi penggunaan lahan sawah (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Namun demikian, pada lahan kelas II dengan faktor pembatas yang lebih banyak, yaitu kedalaman efektif dan tekstur, dinilai sesuai untuk penggunaan lahan sawah. Hal ini kembali kepada atribut tekstur, drainase, dan kedalaman. Pada lahan kelas II (t, d), drainase tanahnya agak buruk dan tekstur liat berdebu. Karakteristik ini sesuai untuk sawah. Untuk lebih jelasnya, kriteria kesesuaian lahan untuk sawah, tambak, padang penggembalaan, perkebunan, dan tanaman pangan lahan kering disertakan dalam lampiran.

Tabel 16 Matriks keputusan kesesuaian penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan tingkat sub kelas

Sub Kelas Kemampuan

Lahan

Penggunaan Lahan Yang Dinilai (Yang menghasilkan nilai produksi)

Keterangan Sawah Tambak Pertanian Lahan Kering Padang Rumput (Penggembalaan)

II (e) S S S S Faktor Pembatas:

II (l) SB S S S e = erosi II (t, l, k) SB S S S l = lereng II (t, d) S S S S t = tekstur II (t, l) SB S S S k = kedalaman II (t, l, d) SB S S S d = drainase III (k) SB S S S III (l, e) SB TS S S Kesesuaian: III (l, k, e) SB TS S S S = Sesuai

III (t, d) S S S S SB = Sesuai Bersyarat

IV (l, e) TS TS S SB TS = Tidak Sesuai

VI (l, e) TS TS SB TS

VII (l) TS TS TS TS

VIII (l) TS TS TS TS

Dari hasil overlay peta penggunaan lahan tahun 2005 dan tahun 2010 dengan peta kemampuan lahan, dengan mengacu kepada matriks keputusan tersebut di atas, diperoleh hasil seperti disajikan dalam Tabel 17.

Tabel 17 Kesesuaian penggunaan lahan berdasarkan kemampuan lahan

Keterangan

Tahun 2005 Tahun 2010

Luas (ha) Persentase (%) Luas (ha) Persentase (%)

Sesuai 2.221 10 4.884 22

Sesuai Bersyarat 4.974 23 1.324 6

Tidak Sesuai 810 4 1.621 7

Tidak Dinilai 13.856 63 14.034 64

Jumlah 21.861 100 21.862 100

Pada tahun 2005, luas penggunaan lahan yang tidak sesuai kemampuan adalah sebesar 810 hektar (4%). Namun pada tahun 2010 luasan ini meningkat menjadi 1.621 hektar (7%). Peningkatan luasan hampir mencapai 100%. Secara spasial, penggunaan lahan yang tidak sesuai kemampuan lahan terletak di bagian timur wilayah Kota Bima, pada area yang memiliki kelas lereng >30%. Area ini

sebelumnya merupakan hutan, namun pada tahun 2010 telah beralih fungsi menjadi pertanian lahan kering dan tanah terbuka/kosong. Mempertimbangkan lahan permukiman Kota Bima yang terletak di daerah hilir, maka kondisi ini cukup mengkhawatirkan. Rusak atau berkurangnya daerah tangkapan air di kawasan hulu mulai dirasakan dampak buruknya, antara lain dengan kejadian banjir yang terjadi setiap tahun.

Tabel 18 Perubahan status kesesuaian terhadap kemampuan lahan Perubahan kesesuaian penggunaan lahan Perubahan penggunaan lahan Kemampuan lahan Luas (ha)

Kesesuaian tetap Umumnya jenis penggunaan

tetap

21.342

Dari Sesuai menjadi Sesuai Bersyarat

Pertanian lahan kering menjadi sawah

II dan III 415

Dari Sesuai menjadi Tidak Sesuai Pertanian lahan kering menjadi sawah

IV 9

Dari Sesuai Bersyarat menjadi Sesuai

Sawah menjadi pertanian lahan kering

III 77

Dari Sesuai Bersyarat menjadi Tidak Sesuai

Pertanian lahan kering menjadi sawah

VI 3

Dari Tidak Sesuai menjadi Sesuai Sawah menjadi pertanian lahan kering

IV 3

Dari Tidak Sesuai menjadi Sesuai Bersyarat

Rumput menjadi pertanian lahan kering

VI 13

Jumlah 21.862

Sebaran spasial dari perubahan status kesesuaian penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan tahun 2005 dan tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 22 dan 23.

Gambar 22 Kesesuaian penggunaan lahan tahun 2005 berbasis kemampuan lahan

4.4 Daya Dukung Lahan Berbasis Produktivitas

Data produksi yang dihitung untuk mendapatkan status daya dukung lahan adalah semua komoditas yang mempunyai nilai produksi, mencakup 50 komoditas mulai dari padi/beras, sayur-mayur, buah-buahan, perkebunan, daging, telur, dan perikanan darat, dan budidaya keramba. Hasil perhitungan nilai produksi, ketersediaan lahan, kebutuhan lahan dan status daya dukung lahan disajikan dalam Tabel 19.

Untuk lingkup Kota Bima, status daya dukung selama 5 tahun terakhir mengalami perubahan. Pada tahun 2005 status daya dukung adalah defisit, karena ketersediaan lahan belum mampu memenuhi kebutuhan lahan dalam hal pemenuhan produksi hayati (biohayati). Pada tahun 2010 status daya dukung lahan berubah menjadi surplus. Hal ini terkait perubahan penggunaan lahan yang terjadi selama periode tahun 2005 – 2010. Lahan di Kota Bima yang mengalami pengalihfungsian selama kurun waktu 2005 hingga 2010 adalah seluas 6.692 hektar atau 30,61% luas wilayah. Luas pertanian lahan kering meningkat dari 32,12% menjadi 35,83%, sehingga mengakibatkan peningkatan nilai produksi hayati dan oleh karenanya status daya dukung lahan berbasis produktivitas berubah dari defisit menjadi surplus. Namun demikian, penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan juga bertambah luasannya dari 3,70% menjadi 7,42%. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan jika tidak disertai penerapan teknologi yang tepat, akan menyebabkan lingkungan tersebut terdegradasi. Pengembangan wilayah yang berorientasi pada peningkatan nilai produksi tanpa memperhatikan kemampuan lahan akan menyebabkan lahan tersebut mengalami penurunan hingga kehilangan kemampuan produksinya dalam jangka panjang. Hal yang juga menarik untuk dicermati adalah status daya dukung untuk masing-masing kecamatan. Untuk tahun 2010, dimana status daya dukung lahan untuk Kota Bima secara keseluruhan adalah surplus, Kecamatan Mpunda memiliki status daya dukung defisit. Terkait dengan pembahasan pada analisis LQ, hal ini dipengaruhi oleh laju pertambahan jumlah penduduk yang paling tinggi dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan yang lain, sementara disisi lain aktifitas perubahan penggunaan lahan juga semakin meningkat, dari penggunaan lahan budidaya menjadi lahan terbangun.

Tabel 19 Daya dukung lahan berbasis produktivitas pada tahun 2005 dan 2010

Tabel 20 Nilai produksi per penggunaan lahan

Penggunaan Lahan

Nilai Produksi (Rp)

Tahun 2005 Tahun 2010

Sawah 54.735.500.000 181.377.700.000

Pertanian lahan kering 101.714.823.000 459.915.015.000

Perikanan 2.527.930.000 63.850.000.000

Padang penggembalaan dan Permukiman 42.662.730.000 52.548.630.000

Budidaya keramba 8.014.900.000 250.793.250.000

Jumlah 209.655.883.000 1.008.484.595.000

Kecamatan

Total Nilai Produksi (Rp) Ketersediaan Lahan (ha) Kebutuhan Lahan (ha) Status Daya Dukung (ha)

Tahun 2005 Tahun 2010 Tahun 2005 Tahun 2010 Tahun 2005 Tahun 2010 Tahun 2005 Tahun 2010

Mpunda - 17.286.316.915 - 3.675,33 - 5.594,38 - Defisit

Raba - 59.752.844.854 - 11.026,00 - 8.517,62 - Surplus

Rasanae Barat 36.199.872.000 229.414.675.000 10.513,45 8.085,73 20.560,90 6.246,26 Defisit Surplus Rasanae Timur 152.564.776.000 519.507.508.231 7.359,41 10.290,93 14.392,63 7.949,78 Surplus Surplus Asakota 20.891.235.000 182.523.250.000 3.154,03 3.675,33 6.168,27 2.839,21 Defisit Surplus Kota Bima 209.655.883.000 1.008.484.595.000 21.026,89 36.753,33 41.121,81 31.147,26 Defisit Surplus

4.5 Penentuan Arahan Penggunaan Lahan Sesuai Kemampuan Lahan

Lahan yang mempunyai kelas kemampuan yang rendah akan mempunyai pilihan penggunaan yang lebih banyak, baik untuk pertanian, kehutanan, atau tujuan lain. Umumnya lahan yang kelas kemampuannya rendah juga baik untuk keperluan non pertanian seperti permukiman, industri, sarana infrastruktur, dan lainnya. Sebaliknya lahan yang mempunyai kelas kemampuan tinggi mengindikasikan banyaknya kendala untuk penggunaannya. Jika lahan tersebut dipaksakan digunakan tidak sesuai kemampuannya, maka lahan akan mudah rusak, dan hal ini bisa menghasilkan bahaya yang pada akhirnya menimbulkan kerugian bahkan menjadi bencana. Lahan yang kelas kemampuannya tinggi diorientasikan ke penggunaan yang tidak intensif atau sama sekali dilarang

Dokumen terkait