• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Data dan Pembahasan

Dalam dokumen T1 232009038 Full text (Halaman 27-41)

Obyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah usaha mikro dan kecil yang berada pada Kecamatan Tingkir, Salatiga yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro dan Kecil. Kategori yang diambil adalah usaha mikro dan kecil yang bergerak pada bidang usaha konveksi. Dilihat dari jenis usahanya, usaha manufaktur seperti usaha konveksi mendominasi usaha yang ada di Kecamatan Tingkir, Salatiga. Waktu penelitian yang dilakukan mulai bulan September 2012 sampai awal Oktober 2012. Peneliti mengambil 42 sampel sebagai sumber

14

penelitian untuk mewakili populasi usaha mikro dan kecil yang ada. Dasar pengambilan sampel berasal dari informasi dari ketua paguyuban usaha konveksi di Kecamatan Tingkir.

Profil Obyek Penelitian

Dalam penelitian ini, semua responden menjalankan usaha konveksi. Usaha konveksi di Kecamatan Tingkir, Salatiga mayoritas memproduksi celana kolor atau hawai, sprei, sarung bantal, dan bedcover. Sedikit diantaranya memproduksi pakaian wanita, pakaian pria, kaos, dan seragam. Dari 42 responden yang diteliti, dilihat dari segi banyaknya karyawan yang bekerja sebesar 42,9 % atau 18 responden termasuk usaha mikro, dan sebesar 57,1 % atau 24 responden termasuk usaha kecil. Seperti dapat dilihat pada gambar 4.1 berikut.

Gambar 4.1 Kategori Usaha

Sumber : data primer yang diolah, 2012

Sesuai dengan kategori Biro Pusat Statistik (BPS), apabila jumlah karyawan 1-4 orang maka usaha itu dikategorikan sebagai usaha mikro, sedangkan jika ada 5 orang sampai dengan 19 orang maka disebut usaha kecil.

15

Tabel 4.1 Lama Usaha Beroperasi

Lama Usaha Jumlah

Responden Persentase (%) 1 bulan s.d ≤ 5 tahun 11 26.2 6 tahun s.d ≤ 10 tahun 23 54.8 11 tahun s.d ≤ 15 tahun 6 14.3 16 tahun s.d ≤ 20 tahun 1 2.4 21 tahun s.d ≤ 25 tahun 1 2.4 Total 42 100

Sumber : data primer yang diolah, 2012

Lama berdirinya usaha mikro dan kecil di Kecamatan Tingkir, Salatiga, mayoritas antara 6 tahun sampai dengan 10 tahun yaitu sebesar 54,8 %

Analisis Pembuatan Laporan Keuangan oleh Usaha Mikro dan Kecil di Kecamatan Tingkir, Salatiga

Dalam usaha pencatatan keuangan sangatlah penting dilakukan, mengingat usaha selalu berhubungan dengan keluar masuknya uang. Namun, mayoritas usaha mikro dan kecil tidak memiliki laporan keuangan secara utuh. Biasanya usaha hanya memiliki catatan-catatan seperti jumlah omset, laba, dan biaya atau dengan kata lain usaha hanya melakukan pembukuan sederhana. Maka dari itu peneliti mengajukan pertanyaan kepada responden untuk mengetahui apakah usaha mikro dan kecil di Kecamatan Tingkir, Salatiga memiliki catatan pendapatan dan biaya. Penulis mendapatkan hasil seperti pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.2 Kepemilikan Catatan Pendapatan dan Biaya No. Catatan Pendapatan dan

Biaya Jumlah Responden Persentase (%) 1. Memiliki 38 90,5 2. Tidak Memiliki 4 9,5 Total 42 100

16

Dari hasil penelitian menunjukan bahwa usaha mikro dan kecil di Kecamatan Tingkir, Salatiga 90,5 % membuat atau memiliki catatan pendapatan dan biaya yang telah dibukukan tetapi hanya ada pencatatan sederhana seperti pada saat terjadi pembelian bahan baku, biaya-biaya yang terjadi dan harga jual produk. Para pelaku usaha yang membuat catatan pendapatan dan biaya mengaku bahwa pembuatan catatan ini dapat membantu menghitung dan mengevaluasi laba usahanya. Dari 9,5 % atau 4 responden yang tidak memiliki, 1 usaha diantaranya beranggapan bahwa tidak perlu adanya pembuatan catatan tersebut, dan 3 sisanya beranggapan bahwa hal itu tidak bermanfaat untuk dilakukan. Para pemilik yang tidak membuat catatan, pendapatan dan biaya biasanya hanya mengandalkan ingatan saja untuk mengingat-ingat jumlah besarnya pendapatan dan biaya (lampiran 3, tabel 3).

Dapat diketahui bahwa sebagian besar usaha mikro dan kecil di Kecamatan Tingkir, Salatiga mempunyai catatan pendapatan dan biaya. Hal ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang mengatakan bahwa usaha mikro dan kecil biasanya melakukan pelaporan keuangan secara sederhana yang bisa disebut pembukuan, dimana pelaporan keuangan itu hanya ada catatan-catatan penting saja.

Tabel 4.3 Kepemilikan Laporan Keuangan

No. Laporan Keuangan Jumlah

Responden Persentase (%) 1. Memiliki 9 23,68 2. Tidak Memiliki 29 76,32 Total 38 100

17

Laporan Keuangan disusun untuk mengukur, menilai, dan mengevaluasi kondisi serta potensi usaha. Dalam suatu usaha, umumnya laporan keuangan terdiri dari neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan modal, laporan arus kas. Namun bentuk laporan keuangan di usaha mikro dan kecil hanya berupa laporan sederhana. Laporan keuangan tersebut antara lain laporan omset perbulan dan laporan keluar masuk barang.

Hal ini terbukti dalam penelitian ini bahwa terdapat sebanyak 29 responden (76,32%) tidak memiliki laporan keuangan. Terdapat 20 responden atau 68,97% beranggapan bahwa pembuatan laporan keuangan di usahanya tidak perlu dilakukan. Hal ini mengingat usahanya yang dibilang masih relatif kecil dan belum membutuhkan laporan keuangan yang kompleks. Selain itu, mereka lebih memilih membuat catatan pendapatan dan biaya. Catatan pendapatan dan biaya dianggap lebih mudah dibuat dan tidak memerlukan biaya dalam pembuatannya dibandingkan dengan pembuatan laporan keuangan. Sebanyak 6 responden (20,69%) mengaku bahwa tidak bisanya membuat laporan keuangan. Sisanya sebanyak 3 responden (10,34 %), pembuatan laporan keuangan di usahanya adalah hal yang tidak bermanfaat bagi usahanya. Padahal disisi lain pembuatan laporan keuangan sangatlah berguna untuk mengetahui kondisi keuangan suatu usaha (lihat lampiran 4 tabel 4). Namun tentunya tidak semua usaha mikro dan kecil di sana tidak membuat pelaporan keuangan, masih ada 23,68% atau sebanyak 9 responden yang membuat. Menurut Karyawati (2008) menyebutkan bahwa biasanya usaha mikro dan kecil hanya membuat

18

pelaporan keuangan usaha yang sederhana, hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini.

Tabel 4.4 Bagian Akuntansi dalam Pembuatan Laporan Keuangan

Sumber : data primer yang diolah, 2012

Bagian akuntansi sebenarnya hal yang penting untuk membantu dalam pembuatan laporan keuangan dalam sebuah usaha. Namun, kebanyakan usaha mikro dan kecil belum membutuhkan bagian akuntansi untuk mengontrol keuangannya. Menurut hasil penelitian ini hanya 12 responden (31,57 %) yang telah mempunyai bagian akuntansi untuk mencatat atau mengelola pencatatan keuangan di dalam usahanya. Dari 12 responden tersebut, dapat dilihat tidak hanya usaha mikro dan kecil yang membuat laporan keuangan saja yang sudah mempunyai bagian akuntansi, tetapi usaha mikro dan kecil yang membuat catatan pendapatan dan biaya pun juga sudah ada yang mempunyai bagian akuntansi. Sedangkan, sebanyak 26 responden (68,42 %) belum memiliki bagian akuntansi untuk mengelola pencatatan keuangan. Dapat dilihat alasan responden yang tidak memiliki bagian khusus untuk pengelolaan keuangan, yaitu sebanyak 7 responden (26,93 %) merasa tidak perlu adanya bagian khusus untuk mengelola keuangan usahanya, 7 responden (26,93 %) lainnya mengaku dalam pengelolaan keuangan masih bisa dilakukan oleh karyawan lainnya sehingga tidak membutuhkan bagian khusus untuk melakukannya. Sisanya

No. Bagian Akuntansi Jumlah Responden Persentase (%)

1. Ada 12 31,57

2. Tidak Ada 26 68,42

19

sebanyak 12 responden (46,16 %) belum membutuhkan bagian khusus untuk mengelola keuangan dikarenakan usahanya masih dibilang relatif kecil dan pencatatan bisa dilakukan oleh pemilik (lihat lampiran 5, tabel 5).

Menurut hasil penelitian sebelumnya (Karyawati:2008), usaha mikro dan kecil biasanya belum mempunyai suatu bagian akuntansi khusus untuk membuat laporan keuangan usaha. Segala sesuatu yang berhubungan dengan pencatatan keuangan usaha biasanya dibuat oleh pemilik usaha. Seperti yang terjadi pada usaha mikro dan kecil di Kecamatan Tingkir, Salatiga lebih dari separuh usaha mikro dan kecil belum mempunyai bagian khusus akuntansi untuk membuat laporan keuangan.

Analisis Pemisahan Keuangan Pribadi dan Usaha oleh Usaha Mikro dan Kecil di Kecamatan Tingkir, Salatiga.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagian usaha mikro dan kecil di Kecamatan Tingkir, Salatiga hanya membuat catatan pendapatan dan biaya atau bisa disebut sebagai pembukuan sederhana. Selain itu pada usaha mikro dan kecil biasanya terdapat keterbatasan tenaga kerja. Tenaga kerja yang ada umunya terdiri dari anggota keluarga dengan sifat kerja yang informal. Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa semua responden (100 %) mengaku dalam usaha mereka melibatkan anggota keluarga inti (istri/suami, anak) maupun keluarga besar (keponakan, paman, bibi) sebagai tenaga kerja. Tetapi sebanyak 39 responden (92,9 %) telah melakukan penggajian untuk tenaga kerja yang masih keluarga dan sisanya (7,14 %) tidak melakukan penggajian. Usaha yang tidak memberiakan gaji terhadap tenaga kerja yang masih melibatkan

20

keluarga mengaku hanya memberikan kompensasi berupa biaya makan, biaya kebutuhan sehari-hari, dan biaya tinggal ditanggung oleh pemilik usaha. Dari semua responden yang memperhitungan gaji mengaku bahwa perhitungan gaji tersebut dimasukkan kedalam komponen biaya produksi.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa semua usaha kecil di Kecamatan Tingkir, Salatiga sesuai dengan kriteria usaha mikro dan kecil yang dikemukakan oleh Karyawati (2008), biasanya usaha mikro dan kecil melibatkan keluarga sebagai tenaga kerja dengan sifat hubungan kerja yang informal dan mayoritas usaha mikro dan kecil di Kecamatan Tingkir, Salatiga. Namun, usaha di Kecamatan Tingkir Salatiga sudah melakukan penggajian terhadap tenaga kerja yang masih ada hubungan keluarga dan memasukkan perhitungan gaji tersebut kedalam komponen biaya produksi. Dalam hal tenaga kerja, usaha mikro dan kecil di Kecamatan Tingkir, Salatiga mayoritas sudah memilah antara entitas pribadi dan usaha.

Gambar 4.2 Perhitungan gaji yang melibatkan keluarga

21

Selain dapat dilihat berdasarkan tenaga kerja, pemisahan keuangan pribadi dan usaha dapat dilihat dari biaya transportasi yang dikeluarkan untuk pembelian bahan baku usaha. Apabila pemilik usaha membeli keperluan pribadinya tidak boleh dimasukkan kedalam transaksi perusahaan. Pada usaha mikro dan kecil biasanya membeli bahan baku bersamaan dengan pembelian kebutuhan rumah tangga. Oleh karena itu, peneliti mengajukan pertanyaan kepada responden mengenai pembelian bahan baku yang dilakukan bersamaan dengan pembelian kebutuhan rumah tangga, 10 responden (23,8 %) menjawab bahwa pada saat membeli bahan baku, mereka juga membeli kebutuhan rumah tangga. Dan sisanya sebanyak 32 responden (76,2 %) menjawab tidak melakukan hal itu secara bersamaan dikarenakan mereka membeli bahan baku dengan cara pesan antar (lihat lampiran 6, gambar 1).

Gambar 4.3 : Perhitungan Biaya Transportasi

Sumber : data primer yang sudah diolah, 2012

Dari 10 responden yang melakukan pembelian bahan baku secara bersamaan dengan pembelian kebutuhan rumah tangga, 2 responden memperhitungkan biaya transportasi pribadi untuk dipisahkan dari biaya usaha.

22

Usaha memisahkan dengan cara mengestimasi biaya yang dikeluarkan untuk entitas usaha dan pribadi. Menurut responden, sebanyak sepertiga dialokasikan untuk biaya pribadi dan duapertiga dialokasikan untuk biaya usaha. Dan selanjutnya biaya transportasi pribadi tersebut tidak dimasukkan kedalam komponen biaya produksi usaha.

Sisanya sebanyak 8 responden tidak memperhitungkan biaya transportasi pribadi. Mereka menggabung semua biaya transportasi tersebut, dan menganggap menjadi biaya transportasi usaha dan dimasukkan kedalam biaya produksi. Dengan tidak memperhitungkan biaya transportasi pribadi akan mengakibatkan bertambahnya biaya produksi untuk usaha. Biaya transportasi yang seharusnya hanya milik usaha menjadi bertambah dengan adanya biaya transportasi pribadi. Hal ini juga akan berakibat pada harga jual produk nantinya.

Dilihat dari pembelian bahan baku, sebagian besar usaha mikro dan kecil di Kecamatan Tingkir, Salatiga sebenarnya belum bisa dikategorikan apakah sudah memilah biaya transportasi atau belum, dikarenakan mayoritas usaha menggunakan sistem pesan antar. Namun setidaknya masih ada usaha kecil yang melakukan pembelian bahan baku secara bersamaan dengan kebutuhan usaha. Mayoritas usaha yang melakukan itu tidak memilah biaya transportasi milik usaha dan pribadi, dan memasukkan kedalam komponen biaya produksi usaha. Hal ini setidaknya membuktikan bahwa usaha mikro dan kecil di Kecamatan Tingkir, Salatiga sejalan dengan hasi penelitian Suryo (2007) yang menyebutkan bahwa biasanya usaha mikro dan kecil tidak memilah antara biaya

23

transportasi usaha dan pribadi dalam pembelian bahan baku dan keperluan pribadi.

Gambar 4.4 : Tempat tinggal pemilik dan usaha

Sumber : data primer yang sudah diolah, 2012

Usaha mikro dan kecil pada umumnya menggabungkan tempat usaha dan pemilik menjadi satu rumah dikarenakan keterbatasan tempat produksi. Hal inilah yang menyebabkan tercampurnya biaya-biaya usaha dan pribadi. Sebanyak 16,7 % atau 7 responden memisahkan antara rumah tempat tinggal pemilik dengan tempat usaha. Dari 7 responden, ada 3 responden yang membayar biaya sewa untuk menyewa tempat usaha, mereka mengaku biaya sewa tersebut dimasukkan kedalam komponen biaya produksi, sisanya tidak membayar biaya sewa karena tempat usaha tersebut memang dimiliki oleh pemilik usaha sendiri. Sebanyak 83,3 % menjalankan usahanya dengan menggabungkan tempat usaha dengan tempat tinggal pemilik. Dari semua responden yang menggabungkan usahanya mengaku tidak ada yang memisahkan rekening listrik, telepon, dan air. Dari responden yang tidak

24

memisahkan tempat usaha dengan tempat tinggal pemilik, sebanyak 12 responden (34,3 %) menjawab bahwa mereka mengalokasikan berapa biaya yang digunakan untuk usaha dan pribadi. Responden mengalokasikan biaya dengan cara membuat etimasi perhitungan biaya listrik, air, dan telepon setiap bulannya yang akan dimasukkan dalam komponen biaya produksi. Estimasi itu didapat dari berapa lamanya pemakaian listrik, telepon, dan air dalam sehari untuk usaha. Sedangkan sisanya sebanyak 23 responden (65,7 %) tidak mengalokasikan biaya. Dengan tidak adanya alokasi biaya membuat biaya usaha yang tidak akurat dan akan mengganggu dalam keputusan menentukan harga jual suatu produk (lihat lampiran 7, gambar 2).

Dalam hal pemisahan tempat usaha dan tempat tinggal pemilik, mayoritas usaha di Kecamatan Tingkir, Salatiga menggabungkan tempat usaha dan pemilik. Semua usaha tersebut tidak melakukan pemisahan rekening, dan hanya sedikit yang melakukan estimasi perhitungan biaya. Hal ini membuktikan bahwa usaha mikro dan kecil di Kecamatan Tingkir, Salatiga sesuai dengan kriteria usaha mikro dan kecil yang menyebutkan bahwa usaha mikro dan kecil biasanya masih mencampur biaya listrik, telepon, air usaha dan pribadi menjadi satu.

25

Gambar 4.5 : Pencatatan atas pengambilan produk yang dipakai sendiri

Sumber : data primer yang sudah diolah, 2012

Dalam asumsi kesatuan usaha semua menganggap bahwa suatu usaha adalah suatu badan yang terpisah dan dibedakan dari orang yang memiliki aset usaha itu sendiri. Suatu aset milik usaha tidak boleh diakui sebagai milik pribadi, begitu juga sebaliknya. Namun usaha mikro dan kecil di Tingkir masih sulit melakukan hal itu, hal ini terlihat dari semua responden yang masih melakukan pengambilan produk untuk dipakai sendiri. Selanjutnya peneliti mengajukan pertanyaan mengenai perlakuan khusus apa yang dilakukan atas pengambilan produk tersebut. Dari 42 responden yang diteliti, sebanyak 43 % melakukan pencatatan khusus untuk mencatat pengambilan produk untuk dipakai kalangan sendiri, dan sisanya sebanyak 57 % tidak melakukan pencatatan khusus. Dengan adanya pengambilan produk yang tidak dicatat akan mengakibatkan berkurangnya persediaan barang dagangan. Hal ini juga secara otomatis akan mengurangi aset dan modal usaha. Menurut hasil penelitian,

26

sebanyak 61,1 % responden melakukan pencatatan saja atas produk yang diambil, dan sisanya sebanyak 38,9 % mengganti seharga produk yang diambil (lihat lampiran 8, gambar 3).

Pengambilan dan pengakuan aset usaha menjadi milik pribadi dalam usaha mikro dan kecil adalah salah satu kriteria yang paling mendasar pada usaha mikro dan kecil. Hal ini juga terlihat pada usaha di Kecamatan Tingkir, Salatiga, separuh lebih usaha mikro dan kecil di sana tidak melakukan perlakuan khusus atas pengambilan produk yang dipakai kalangan sendiri. Sedangkan sisanya mayoritas hanya mencatat dan hanya sedikit yang mengganti seharga produk yang diambil. Hal ini membuktikan bahwa usaha mikro dan kecil konveksi di Kecamatan Tingkir, Salatiga belum membedakan pengakuan aset pribadi dan usaha.

Selain pengambilan produk untuk pribadi, adanya prive juga mempengaruhi keuangan usaha. Pada usaha mikro dan kecil di sana semuanya melakukan prive dan belum melakukan pencatatan terhadap prive tersebut. Akibat jika prive yang dilakukan tidak dicatat, hal ini bisa menimbulkan pengurangan kas dan modal untuk usaha. Selain itu, kejadian yang tidak membedakan pengakuan aset pribadi dan usaha akan berdampak mempengaruhi posisi keuangan usaha. Laporan keuangan yang telah disusun masih berbaur dengan keperluan pribadi maka tidak akan mencerminkan baik posisi keuangan maupun hasil yang dicapai suatu usaha. Mungkin dengan adanya pencatatan khusus akan membuat pembukuan usaha akan lebih teratur dan jelas manakah

27

yang menjadi komponen pribadi atau usaha agar tidak mengganggu satu sama lain.

5. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

Dalam dokumen T1 232009038 Full text (Halaman 27-41)

Dokumen terkait