Berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian serta analisis pembahasannya.
BAB VI : PENUTUP
Berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran yang bermanfaat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kemiskinan
Ada berbagai variasi defenisi dan klarifikasi mengenai kemiskinan yang dikemukakan oleh beberapa pakar ekonomi, salah satunya David Cox (dalam Seabrook, 2006: 31) membagi kemiskinan kedalam beberapa dimensi:
1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan pengkalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju, sedangkan negara-negara berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi.
2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten yaitu kemiskinan akibat rendahnya pembangunan, kemiskinan pedesaan yaitu kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan, kemiskinan perkotaan yaitu kemiskinan yang sebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan.
3. Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas.
4. Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk.
Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap
individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya diakses pada pukul 13.46 WIB, 23 Maret 2012).
Kemiskinan dilihat dari sisi poverty profile masyarakat. Kemiskinan tidak hanya menyangkut persoalan kesejahteraan semata, tetapi kemiskinan menyangkut persoalan kerentanan, ketidakberdayaan, tertutupnya akses kepada berbagai peluang kerja, menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk kebutuhan konsumsi, angka ketergantungan yang tinggi, rendahnya akses terhadap pasar, dan kemiskinan terefleksi dalam budaya kemiskinan yang diwarisi dari satu generasi kegenerasi berikutnya (Seabrook, 2006: 34).
Teori kemiskinan budaya yang dikemukakan Oscar Lewis, misalnya, menyatakan bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Faktor eksternal datang dari luar kemampuan orang yang bersangkutan, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya. Kemiskinan model ini seringkali diistilahkan dengan kemiskinan struktural. Menurut pandangan ini, kemiskinan terjadi bukan dikarenakan ketidakmauan si miskin untuk bekerja, melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja WIB, 27 Maret 2012).
Dapat disimpulkan bahwa kemiskinan tidak bisa hanya dipandang dari sisi kurangnya pemenuhan kebutuhan pokok semata sebagai akibat kerentanan dan ketidakberdayaan seperti yang selama ini banyak didefinisikan dalam kebijakan-kebijakan tentang pengentasannya. Kemiskinan juga harus dipandang dari pengertian kemiskinan relatif sehingga kebijakan yang diambil dapat memberikan solusi terhadap akar permasalahan kemiskinan itu sendiri.
2.2. Pemberdayaan Masyarakat
Pemahaman mengenai konsep pemberdayaan tidak bisa dilepaskan dari pemahaman mengenai siklus pemberdayaan itu sendiri, karena pada hakikatnya pemberdayaan adalah sebuah usaha berkesinambungan untuk menempatkan masyarakat menjadi lebih proaktif dalam menentukan arah kemajuan dalam komunitasnya sendiri. Konsep pemberdayaan masyarakat ini muncul karena adanya kegagalan sekaligus harapan. Kegagalan yang dimaksud adalah gagalnya model-model pembangunan ekonomi dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan lingkungan yang berkelanjutan.
Harapan muncul karena adanya alternatif pembangunan yang memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, dan pertumbuhan ekonomi yang memadai. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakanan. Dengan kata lain, pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari dua sisi.
Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat. Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan, serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya.
Upaya yang amat pokok dalam rangka pemberdayaan ini adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan berupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan, dimana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang.
Dalam hal ini perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern,
seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini (Adi, 2003: 51-52).
Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pemberdayaan masyarakat. Menurut Rubin (dalam Adi, 2003: 55) mengemukakan 5 prinsip dasar dari konsep pemberdayaan masyarakat sebagai berikut:
1. Pemberdayaan masyarakat memerlukan break-even dalam setiap kegiatan yang dikelolanya, meskipun orientasinya berbeda dari organisasi bisnis, dimana dalam pemberdayaan masyarakat keuntungan yang diperoleh didistribusikan kembali dalam bentuk program atau kegiatan pembangunan lainnya.
2. Pemberdayaan masyarakat selalu melibatkan partisipasi masyarakat baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan yang dilakukan.
3. Dalam melaksanakan program pemberdayaan masyarakat, kegiatan pelatihan merupakan unsur yang tidak bisa dipisahkan dari usaha pembangunan fisik. 4. Dalam implementasinya, usaha pemberdayaan harus dapat memaksimalkan
sumber daya, khususnya dalam hal pembiayaan baik yang berasal dari pemerintah, swasta maupun sumber-sumber lainnya.
5. Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus dapat berfungsi sebagai penghubung antara kepentingan pemerintah yang bersifat makro dengan kepentingan masyarakat yang bersifat mikro.
2.3. Pengembangan Masyarakat
Pengembangan masyarakat intinya adalah bagaimana individu, kelompok atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Pengembangan masyarakat memiliki fokus terhadap upaya membantu anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama dengan mengidentifikasikan kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pengembangan Masyarakat sering diimplementasikan dalam bentuk:
1. Proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhan.
2. Kampanye dan aksi sosial yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang bertanggung jawab.
Pengembangan Masyarakat terdiri dari dua konsep, yaitu pengembangan dan masyarakat. Secara singkat, pengembangan atau pembangunan merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Bidang-bidang pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor, yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sosial-budaya. Masyarakat dapat diartikan dalam dua konsep, yaitu:
1. Masyarakat sebagai sebuah tempat bersama, yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Sebagai contoh, sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah perkotaan atau sebuah kampung di wilayah pedesaan.
2. Masyarakat sebagai kepentingan bersama, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. Sebagai contoh, kepentingan bersama pada masyarakat etnis minoritas atau kepentingan bersama berdasarkan identifikasi kebutuhan tertentu
seperti halnya pada kasus para orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus (anak cacat fisik) atau bekas para pengguna pelayanan kesehatan mental.
Istilah masyarakat dalam pengembangan masyarakat biasanya diterapkan terhadap pelayanan-pelayanan sosial kemasyarakatan yang membedakannya dengan pelayanan-pelayanan sosial kelembagaan. Pelayanan perawatan manula yang diberikan di rumah mereka dan/atau di pusat-pusat pelayanan sosial kemasyarakatan, sedangkan perawatan manula di sebuah rumah sakit khusus manusia lanjut usia adalah contoh pelayanan sosial kelembagaan.
Istilah masyarakat juga sering dikontraskan dengan negara. Misalnya, sektor masyarakat sering diasosiasikan dengan bentuk-bentuk pemberian pelayanan sosial yang kecil, informal dan bersifat bottom-up, sedangkan lawannya, yakni sektor publik kerap diartikan sebagai bentuk-bentuk pelayanan sosial yang relatif lebih besar. Pengembangan masyarakat berkenaan dengan upaya pemenuhan kebutuhan orang-orang yang tidak beruntung atau tertindas, baik yang disebabkan oleh kemiskinan maupun oleh diskriminasi berdasarkan kelas sosial, suku, jender, jenis kelamin, usia, dan kecacatan (Susantyo, 2008: 39-40).
2.3.1. Model-Model Pengembangan Masyarakat
Pengembangan masyarakat terdiri atas tiga model yang berguna dalam memahami konsep pekerjaan sosial dengan masyarakat yaitu:
1. Pengembangan masyarakat lokal, proses yang ditujukan untuk menciptakan kemajuan sosial dan ekonomi bagi masyarakat melalui partisipasi aktif serta inisiatif anggota masyarakat itu sendiri. Anggota masyarakat dipandang bukan masyarakat sebagai
sistem klien yang bermasalah melainkan sebagai yang unik dan memiliki potensi, hanya saja potensi tersebut belum sepenuhnya dikembangkan.
2. Perencanaan sosial, yang dimaksud perencanaan sosial disini adalah sebagai proses pragmatis untuk menentukan keputusan dan menetapkan tindakan dalam memecahkan masalah sosial tertentu seperti kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja, kebodohan, kesehatan masyarakat yang buruk.
3. Aksi sosial, tujuan dan sasaran utama aksi sosial adalah perubahan-perubahan fundamental dalam kelembagaan dan struktur masyarakat melalui proses pendistribusian kekuasaan, pendistribusian sumber dan pengambilan keputusan. Aksi sosial berorientasi pada tujuan proses dan tujuan hasil. Masyarakat diorganisir melalui proses penyadaran, pemberdayaan, dan tindakan-tindakan actual untuk mengubah struktur kekuasaan agar lebih memenuhi prinsip demokratis, kemerataan dan keadilan (Soetomo, 2006: 131).
2.3.2. Peranan Pekerja Sosial Dalam Pengembangan Masyarakat
Paradigma generalis dapat memberi petunjuk mengenai fungsi kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat serta menunjukkan peranan-peranan dan strategi sesuai dengan fungsi tersebut. Mengacu pada Parsons, Jorgensons dan Hernandez (dalam Susantyo, 2008: 51-52) ada beberapa strategi dalam pengembangan masyarakat. Strategi tersebut disesuaikan dengan peranan pekerja sosial dalam pelaksanaan pengembangan masyarakat, meliputi:
1. Fasilitator
Peranan fasilitator sering juga disebut sebagai pemungkin sebagai tanggung jawab untuk membantu klien menjadi mampu menangani tekanan situasional atau transisional. Pengertian ini didasari oleh visi pekerjaan sosial bahwa setiap perubahan terjadi pada dasarnya dikarenakan oleh adanya usaha-usaha klien sendiri, dan perana pekerja sosial adalah memfasilitasi atau memungkinkan klien mampu melakukan perubahan yang ditetapkan dan disepakati bersama.
2. Broker
Dalam konteks pekerja sosial dengan masyarakat, peran pekerja sosial sebagai broker tidak jauh berbeda dengan peran broker dipasar modal. Seperti halnya dipasar modal, pekerjaan sosial dengan masyarakat terdapat klien atau konsumen namun, demikian pekerja sosial yang menjadi broker mengenai kualitas pelayanan sosial dilingkungannya menjadi sangat penting dalam memenuhi keinginan kliennya memperoleh keuntungan maksimal.
3. Mediator
Pekerja sosial sering melakukan peran mediator dalam berbagai kegiatan pertolongannya. Pekerja sosial dapat memerankan sebagai fungsi kekuatan ketiga untuk menjembatani anatara anggota kelompok dan sistem lingkungan yang menghambatnya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam peran pekerja sosial sebagai mediator meliputi kontak perilaku, negosiasi, mendamai pihak ketiga, serta berbagai macam resolusi konflik.
4. Pembela
Peran pembelaan dapat dibagi dua: advokasi kasus dan advokasi kausa. Apabila pekerja sosial melakukan pembelaan atas nama seorang klien secara individual, maka ia berperan sebagai pembela kasus. Pembelaan kausa terjadi manakala klien yang dibela pekerja sosial bukanlah individu melainkan sekelompok anggota masyarakat.
5. Pelindung
Dalam melakukan peran sebagai pelindung, pekerja sosial bertindak berdasarkan kepentingan korban, calon korban, dan populasi yang beresiko lainnnya. Peranan sebagai pelindung mencakup penerapan sebagai kemampuan yang menyangkut: kekuasaan, pengaruh, otoritas, dan pengawasan sosial.
2.4. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Definisi Corporate Social Responsibility menurut World Business Council on
Sustainable Development adalah komitmen dari bisnis/perusahaan untuk berperilaku etis
dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, seraya meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas. Definisi lain, Corporate Social Responsibility adalah tanggung jawab perusahaan untuk menyesuaikan diri terhadap kebutuhan dan harapan stakeholders sehubungan dengan isu-isu etika, sosial dan lingkungan, di samping ekonomi (Wibisono, 2007: 6).
Petkoski dan Twose (dalam Susanto, 2007: 22) mendefinisikan Corporate Social
Responsibility sebagai komitmen bisnis untuk berperan untuk mendukung pembangunan
masyarakat luas, untuk meningkatkan mutu hidup mereka dengan berbagai cara yang menguntungkan bagi bisnis dan pembangunan.
Green Paper Komisi Masyarakat Eropa 2001 (dalam Susanto, 2007: 24) menyatakan bahwa kebanyakan definisi tanggung jawab sosial korporasi menunjukkan sebuah konsep tentang pengintegrasian kepedulian terhadap masalah sosial dan lingkungan hidup ke dalam operasi bisnis perusahaan dan interaksi sukarela antara perusahaan dan para stakeholder-nya. Ini setidaknya ada dua hal yang terkait dengan tanggungjawab sosial korporat itu yakni pertimbangan sosial dan lingkungan hidup serta interaksi sukarela.
Melalui bukunya berjudul Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of
Twentieth Century Business, Elkington (dalam Siagian & Suriadi, 2010: 49)
mengenalkan konsep Triple Bottom Line. Dalam bukunya tersebut Elkington mencoba menyadarkan para pelaku usaha, bahwa jika para pelaku ingin aktivitas ekonomi perusahaannya berkesinambungan dan berjalan baik, maka para pelaku usaha tidak boleh hanya berorientasi pada satu fokus berupa keuntungan, melainkan harus menjadikan tiga fokus sebagai orientasi aktivitas ekonomi, yang oleh Elkington dinamakan dengan konsep “3P”.
Cakupan yang harus menjadi pusat perhatian para pelaku usaha adalah, selain mengejar keuntungan perusahaan (Profit), pihak pelaku usaha juga harus memperhatikan dan terlibat secara sungguh-sungguh dalam upaya pemenuhan kesejahteraan masyarakat (People), serta turut berperan aktif dalam menjamin pemeliharaan dan pelestarian lingkungan (Planet). Dalam kaitan itulah, penerapan
corporate social responsibility dipandang bukan saja sebagai tanggung jawab, tetapi
Corporate Social Responsibility adalah suatu peran bisnis dan harus menjadi bagian dari kebijakan bisnis. Bisnis tidak hanya mengurus permasalahan laba, tapi juga harus mengandung kesadaran sosial terhadap lingkungan sekitar. Sejalan dengan dinamika saat ini, disimpulkan ada enam kecenderungan utama yang semakin menegaskan arti penting Corporate Social Responsibility, yaitu:
1. Meningkatnya kesenjangan antara kaya dan miskin. 2. Posisi negara yang semakin berjarak pada rakyatnya. 3. Makin mengemukanya arti kesinambungan.
4. Makin gencarnya sorotan kritis dan resistensi dari publik. 5. Tren ke arah transparansi.
6. Harapan-harapan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih baik dan manusiawi pada era milenium baru (Soetomo, 2006: 116).
Corporate Social Responsibility merupakan salah satu bentuk implementasi dari
konsep tata kelola perusahaan yang baik. Diperlukan tata kelola perusahaan yang baik agar perilaku pelaku bisnis mempunyai arahan yang bisa dirujuk dengan mengatur hubungan seluruh kepentingan pemangku kepentinga, yang dapat dipenuhi secara proporsional, mencegah kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi korporasi dan memastikan kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera.
Konsep ini mencakup berbagai kegiatan dan tujuannya adalah untuk mengembangkan masyarakat yang sifatnya produktif dan melibatkan masyarakat didalam dan diluar perusahaan, baik secara langsung maupun tidak langsung, meski perusahaan hanya memberikan kontribusi sosial yang kecil kepada masyarakat tetapi diharapkan mampu mengembangkan dan membangun masyarakat dari berbagai bidang.
Ada tiga alasan penting mengapa kalangan dunia usaha mesti merespon dan mengembangkan isu tanggung jawab sosial sejalan dengan operasi usahanya :
Pertama, perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan oleh karenanya wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Perusahaan mesti menyadari bahwa mereka beroperasi dalam suatu tatanan lingkungan masyarakat. Kegiatan sosial ini berfungsi sebagai kompensasi atau upaya imbal balik atas penguasaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi oleh perusahaan yang kadang bersifat ekspansif dan ekploratif, di samping sebagai kompensasi sosial karena timbulnya ketidaknyamanan pada masyarakat, semua ini diimplementasikan karena memang ada regulasi, hukum, dan aturan yang memaksa karena adanya market driven.
Kedua, kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosa mutualisme. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, setidaknya license to operate, wajar bila perusahaan juga dituntut untuk memberikan kontribusi positif kepada masyarakat sehingga bisa tercipta harmonisasi hubungan bahkan pendongkrakan citra dan performa perusahaan. Implementasikan program karena memang ada dorongan yang tulus dari dalam, perusahaan telah menyadari bahwa tanggung jawabnya bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan keuntungan demi kelangsungan bisnisnya, melainkan juga tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Ketiga, kegiatan tanggung jawab sosial merupakan salah satu cara untuk meredam bahkan menghindari konflik sosial. Potensi konflik itu bisa berasal akibat dampak operasional perusahaan ataupun akibat kesenjangan struktural dan ekonomis yang timbul antara masyarakat dengan komponen perusahaan, dan dipraktekkan lebih karena faktor eksternal. Hampir bisa dipastikan implementasi adalah sebagai upaya
dalam konteks kehumasan merupakan kebijaksanaan bisnis yang hanya bersifat kosmetik (Wibisono, 2007: 23-24).
2.5. Evaluasi Pelaksanaan Program 2.5.1. Pengertian Evaluasi
Evaluasi menurut Yusuf (dalam Siagian & Suriadi, 2010: 116) adalah Suatu upaya untuk mengukur secara objektif terhadap pencapaian hasil yang telah dirancang dari suatu aktivitas atau program yang telah dilaksanakan sebelumnya, yang mana hasil penilaian yang dilakukan menjadi umpan balik bagi aktivitas perencanaan baru yang akan dilakukan berkenaan dengan aktivitas yang sama di masa depan.
Evaluasi menurut Jones (dalam Siagian & Suriadi, 2010: 117) adalah suatu aktivitas yang dirancang untuk menimbang manfaat atau efektivitas suatu program melalui indikator yang khusus, teknik pengukuran, metode analisis, dan bentuk perencanaan.
2.5.2. Pengertian Pelaksanaan
Menurut Kamus Webster (dalam Wahab, 1990: 48) implementasi kebijaksanaan dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijaksanaan biasanya dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif, atau dekrit presiden.
Menurut Grindle (dalam Wahab, 1990: 50) implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekadar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu. Ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari kebijakan oleh karena itu, tidak terlalu salah jika dikatakan
implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Sebaik apapun sebuah kebijakan tidak akan ada manfaatnya bila tidak dapat diterapkan sesuai dengan rencana, maka penerapan adalah suatu proses yang tidak sederhana
Pernyataan ini turut didukung oleh Ujodi (dalam Wahab, 1990: 51) mengemukakan dengan tegas bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip jika tidak diimplementasikan.
Dapat dikatakan, bahwa implementasi adalah suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk melaksanakan serta mengoperasikan suatu program atau kebijakan yang perlu dilakukan secara arif, bersifat situasional mengacu pada semangat kompetensi dan berwawasan pemberdayaan. Mengimplementasikan suatu kebijakan diperlukan lebih banyak yang terlibat baik tenaga kerja maupun kemampuan organisasi.
2.5.3. Pengertian Program
Program merupakan tahap-tahap dalam penyelesaian rangkaian kegiatan yang berisi langkah-langkah yang akan dikerjakan untuk mencapai tujuan dan merupakan unsur pertama yang harus ada demi tercapainya kegiatan implementasi. Manila (dalam Jones, 1996: 43) mengemukakan bahwa program akan menunjang implementasi, karena dalam program telah dimuat berbagai aspek antara lain:
a. Adanya tujuan yang ingin dicapai.
b. Adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil dalam menccapai tujuan itu. c. Adanya aturan-aturan yang harus dipegang dan prosedur yang harus dilalui.
d. Adanya perkiraan anggaran yang dibutuhkan. e. Adanya strategi dalam pelaksanaan.
2.5.4. Pengertian Evaluasi Pelaksanaan Program
Evaluasi dalam pelaksanaan suatu program yaitu, melakukan analisis tingkat kemajuan pelaksanaan dibandingkan dengan perencanaan, di dalamnya meliputi apakah pelaksanaan program sesuai dengan apa yang direncanakan, apakah ada perubahan-perubahan sasaran maupun tujuan dari program yang sebelumnya direncanakan (Siagian & Suriadi, 2010: 117-118). Dapat diketahui bahwa evaluasi pelaksanaan program adalah sejauhmana pelaksanaan suatu program, yaitu sosialisasi yang dilakukan, ketepatan sasaran dan waktu program, pelayanan program yang diberikan, manfaat dan tujuan serta penanganan dari pengaduan masyarakat terhadap program.
2.6. BUMN
Sesuai dengan isi Undang Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, dalam BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 disebutkan bahwa Badan Usaha Milik Negara ,yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Perusahaan Perseroan, diatur juga dalam PP No. 12 tahun 1998, sebagaimana telah diubah dengan PP No. 45 tahun 2001, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan (Wibisono, 2007: 67).
Perusahaan Umum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki Negara dan