• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

5.1. Penatalaksanaan Diet HIV/AIDS Pada Pasien Rawat Inap di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2014

5.1.1. Kandungan Zat Gizi Kalori

Kebutuhan akan zat gizi kalori pasien HIV/AIDS rawat inap berbeda-beda berdasarkan keadaan penyakit dan status gizi pasien. Kebutuhan kalori akan semakin meningkat apabila pasien mengalami infeksi oportunistik maupun penurunan berat badan drastis. Pasien yang telah mencapai stadium AIDS akan menerima kalori yang

lebih tinggi dengan pemberian kecil dan sering. Apabila asupan kalori kurang maka akan menjadi pendorong utama penurunan berat badan (Kemenkes, 2010). Pemberian kalori tinggi sebesar 40-45 kkal/kg BB setiap hari dan disesuaikan dengan gangguan gizi pasien.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan selama 10 hari pemberian makanan pada pasien HIV/AIDS rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan, zat gizi kalori yang diberikan dapat dilihat pada tabel 4.3, rata-rata pemberian sebesar 1795,6 kkal dalam makanan biasa dan 1699,8 kkal dalam makanan lunak. Kandungan zat gizi kalori yang memenuhi kecukupan gizi pasien HIV/AIDS rawat inap berdasarkan standar makanan biasa sebesar 84%, makanan lunak masih sebesar 81%, serta masih jauh dari standar diet TKTP untuk makanan biasa sebesar 67%.

Kandungan kalori yang rendah dapat mengindikasikan kandungan protein, lemak, karbohidrat juga akan rendah. Pemberian kalori tinggi seharusnya dapat dicapai pihak rumah sakit untuk mendukung pengobatan pasien HIV/AIDS. Kebutuhan kalori yang tinggi dapat dicapai dengan mengonsumsi protein tinggi seperti telur, susu, ayam, dan juga menggunakan lemak MCT (minyak kelapa), mentega, kacang-kacangan, ikan goreng tepung, buah, teh manis yang dikonsumsi secara perlahan. Di RSUP H. Adam Malik, makanan sumber kalori tinggi masih kurang seperti nasi putih, ikan goreng, sayur, maupun buah yang kurang jumlahnya dan bervariasi setiap harinya.

membangun otot, organ dan sistem kekebalan tubuh. Pemberian protein tinggi sangat diperlukan bagi pasien yang mengalami penurunan berat badan (Almatsier, 2006).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan selama 10 hari pemberian diet pada pasien HIV/AIDS rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan, zat gizi protein yang diberikan dapat dilihat pada tabel 4.4, rata-rata pemberian sebesar 65,9 g dalam makanan biasa dan 62,2 g dalam makanan lunak. Kandungan zat gizi protein yang memenuhi kecukupan gizi pasien HIV/AIDS rawat inap berdasarkan standar makanan biasa sebesar 87%, makanan lunak masih sebesar 80%, serta masih jauh dari standar diet TKTP untuk makanan biasa sebesar 64%) sebesar 103 g.

Makanan sumber protein tinggi dapat diperoleh dari sumber hewani dan nabati seperti daging, telur, ayam, ikan, tempe, tahu, kacang-kacangan dan produk olahannya. Instalasi gizi RSUP H. Adam Malik Medan sudah memberikan makanan sumber protein tinggi akan tetapi dalam porsi kurang untuk memenuhi kebutuhan protein yang seharusnya. Penambahan telur tidak lagi dilakukan pada setiap menu utama disebabkan pasien dirawat dikelas II dan kelas III dan diganti dengan pemberian susu dancow 200 ml pada menu selingan. Selain itu, makanan sumber protein yang tidak dianjuran bagi pasien HIV/AIDS masih diberikan seperti kacang merah yang berefek buruk bagi pasien.

5.1.3. Kandungan Zat Gizi Lemak

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan selama 10 hari pemberian diet pada pasien HIV/AIDS rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan, zat gizi lemak yang diberikan dapat dilihat pada tabel 4.5, rata-rata pemberian sebesar 48,3 g dalam makanan biasa dan 54,3 g dalam makanan lunak. Jumlah ini masih kurang untuk

standar makanan biasa dan makanan lunak, serta masih jauh dari kebutuhan zat gizi lemak diet TKTP I menurut Almatsier (2006) sebesar 73 g.

Kebutuhan akan zat gizi kalori pasien HIV/AIDS rawat inap berbeda-beda berdasarkan keadaan penyakit dan gangguan gizi yang dialami. Pasien sesak nafas dianjurkan mengonsumsi makanan tinggi lemak MCT. Lemak MCT diperlukan karena mudah diserap dan tidak menyebabkan diare serta digunakan untuk pembentukan sel. Pasien yang mengalami diare diberikan makanan sumber rendah lemak serta pasien yang mengalami malabsorbsi lemak dianjurkan mengonsumsi makanan sumber lemak nabati dan MCT. Instalasi gizi RSUP H. Adam Malik Medan tidak memperhatikan hal tersebut, pemberian jenis makanan disama bagi semua pasien yang menerima makanan lunak maupun makanan biasa.

Lemak yang baik dapat memberikan energi ekstra yang dibutuhkan tubuh. Kebutuhan lemak pasien HIV/AIDS diberikan cukup sebesar 10-25% dari kebutuhan energi total. Makanan sumber lemak seperti minyak, margarine, santan, dan kelapa dalam jumlah terbatas dapat diberikan pada pasien dan tidak dianjurkan memberikan makanan yang mengandung lemak tinggi seperti makanan digoreng, bersantan kental. Instalasi gizi RSUP H. Adam Malik sering menyediakan makanan biasa yang digoreng seperti ikan, ayam, telur, tahu, tempe akan tetapi dalam jumlah minyak sedang.

267,8 g dalam makanan biasa dan 242,8 g dalam makanan lunak. Jumlah ini masih kurang untuk standar makanan biasa dan makanan lunak, serta masih jauh dari kebutuhan zat gizi karbohidrat diet TKTP I menurut Almatsier (2006) sebesar 420 g.

Kebutuhan karbohidrat pasien HIV/AIDS harus dalam jumlah yang tepat dan cukup dari sisa kebutuhan energi total. Pasien dapat mengonsumsi semua bahan makanan kecuali makanan yang menimbulkan gas seperi ubi jalar. Pasien yang mengalami sesak nafas dianjurkan mengonsumsi rendah karbohidrat dan diberikan makanan posisi setengah tidur. Instalasi gizi RSUP H. Adam Malik Medan menyediakan makanan sumber karbohidrat masih dalam jumlah sedikit sehingga kebutuhan zat gizi kalori masih jauh dari standar diet yang seharusnya.

5.1.5. Kandungan Zat Gizi Vitamin A dan Vitamin C

Penderita HIV positif perlu mendapatkan vitamin tinggi untuk sistem kekebalan tubuh. Menurut penelitian Ive Maryani, dkk (2012), pasien HIV/AIDS juga dianjurkan untuk mengonsumsi makanan sumber antioksidan tinggi seperti vitamin A, vitamin C, dan vitamin E, untuk melindungi sel-sel, mempercepat penyembuhan luka, memperbaiki nafsu makan dan stabilitator berat badan. Selain itu, pemberian vitamin C akan menghambat menurunnya laju limfosit dan viral load.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan selama 10 hari pemberian diet pada pasien HIV/AIDS rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan, zat gizi vitamin A dan vitamin C yang diberikan dapat dilihat pada tabel 4.7 dan tabel 4.8, rata-rata pemberian vitamin A sebesar 1437,3 ug dan vitamin C 79,4 mg dalam makanan biasa serta vitamin A sebesar 534,7 ug dan vitamin C 71,2 mg dalam makanan lunak. Jumlah ini masih jauh dari kebutuhan zat gizi vitamin A dan vitamin C diet TKTP I

menurut Almatsier (2006) berturut-turut sebesar 2746 ug dan 114 mg. Hal ini juga terjadi dalam penelitian Ive Maryani, dkk (2012) di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta menemukan pasien HIV/AIDS sebagian besar memiliki asupan antioksidan rendah seperti vitamin A, vitamin C, dan vitamin E, yang akan beresiko menurunkan sistem kekebalan tubuh terhadap virus HIV.

Makanan mengandung vitamin tinggi bagi pasien HIV/AIDS yaitu 150% angka kecukupan gizi (AKG) seperti vitamin A dan vitamin C, dan bila perlu ditambahkan dalam bentuk suplemen dengan dosis yang cukup. Bahan makanan sumber vitamin A seperti sayuran hijau tua, kuning, sayuran berwarna orange, atau merah dan buah, hati, telur utuh, susu,dan bahan makanan sumber vitamin C seperti buah jeruk, pepaya, pisang, apel, dan sebagainya. Instalasi gizi RSUP H. Adam Malik Medan masih kurang dalam menyediakan bahan makanan sumber vitamin tinggi, setiap hari menyediakan pisang dan semangka bagi pasien HIV/AIDS, selain itu, sayuran yang tidak dianjurkan pada pasien HIV/AIDS masih diberikan seperti sawi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Carole Leach menemukan bahwa pemberian makanan yang beragam dan kaya nutrisi sebelum memulai pengobatan antiretroviral akan memperkecil kemungkinan berkembangnya HIV dan kemungkinan kecil pasien meninggal (Leach, 2012). Di RSUP H. Adam Malik Medan diketahui bahwa pemberian buah-buahan sumber vitamin yang penting sebagai antioksidan masih sedikit yang diberikan, dan juga tidak adanya pemberian

Pemenuhan asupan zat gizi yang optimal melalui pemberian diet yang sesuai dengan standar sangat bermanfaat dalam mengurangi jangka waktu perawatan dan mempercepat proses penyembuhan, mengurangi infeksi, menurunkan mortalitas serta memperbaiki status gizi pasien.

5.2. Status Gizi Pasien HIV/AIDS Rawat Inap di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2014

Status gizi merupakan hasil keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi dalam bentuk variabel tertentu. Status gizi disebut juga keadaan kesehatan yang diakibatkan oleh adanya interaksi antara makanan, tubuh dan lingkungan hidup manusia (Supariasa dkk, 2001).

Status gizi pasien HIV/AIDS di RSUP H. Adam Malik Medan diketahui melalui pengukuran indeks massa tubuh (IMT), kemudian hasilnya dibandingkan dengan kategori ambang batas indeks massa tubuh untuk Indonesia. Berdasarkan hasil pengukuran yang dapat dilihat pada tabel 4.9, diketahui bahwa mayoritas pasien tergolong pada status gizi kurus tingkat berat sebanyak 9 orang (75%), berstatus gizi kurus tingkat ringan sebanyak 1 orang (8,3%), dan status gizi normal sebanyak 2 orang (16,7%).

Penelitian yang dikutip oleh Jafar (2004) membenarkan bahwa pasien HIV/AIDS dewasa 40%-44% menderita gizi kurang hingga wasting. Hal itu disebabkan orang dengan HIV akan kehilangan nafsu makan, gangguan absorbsi dan metabolisme gizi, infeksi oportunistik. Status gizi juga dipengaruhi oleh gejala penyakit, kesulitan makan, dan durasi pemberian antiretroviral (Daniel, et al, 2013). Status gizi kurus tingkat berat yang mayoritas dialami pasien HIV/AIDS rawat inap

dengan gejala penyakit maupun infeksi oportunistik yaitu tuberkulosis paru (75,0%), lemas (33,3%), dan batuk (33,3%).

Pada saat penelitian, sebagian pasien yang sudah mengalami status gizi kurus tingkat berat saat masuk rawat inap di RSUP H. Adam Malik yang akan beresiko terjadinya mortalitas jika tidak didukung pengobatan dan terapi diet yang tepat, dan sebagian pasien lagi mengalami status gizi kurus setelah mengalami perawatan jangka waktu lama maksimal lebih dari satu bulan. Pasien yang mengalami status gizi kurus kurang dimonitoring dan dievaluasi berdasarkan penurunan berat badan dan makanan yang diberikan setiap hari. Jumlah kandungan zat gizi yang telah dianalisis masih kurang dari standar diet akan semakin memperburuk status gizi pasien. Penurunan status gizi jika tidak ditangani secara tepat akan memperburuk penyakit infeksi, memperlama rawat inap, dan bahkan mempercepat perkembangan HIV menjadi AIDS serta mempercepat kematian.

BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pembahasan, maka beberapa kesimpulan yang dapat diambil antara lain :

1. Penatalaksanaan diet pasien HIV/AIDS diberikan standar makanan umum rumah sakit berupa makanan biasa dan makanan lunak, belum diberikan diet TKTP (tinggi kalori tinggi protein).

2. Frekuensi pemberian diet pasien HIV/AIDS di RSUP H. Adam Malik Medan masih kurang dengan 3 (tiga) kali menu utama dan 1 (satu) menu selingan pagi dalam sehari, tidak ada pemberian dengan frekuensi sering sesuai gangguan gizi yang dialami pasien.

3. Jumlah pemberian dalam makanan biasa masih kurang yaitu kalori 84% standar makanan biasa, 67% standar diet TKTP I dan protein 87% standar makanan biasa, 64% protein standar diet TKTP I dari total kebutuhan gizi pasien HIV/AIDS.

4. Kandungan zat gizi (energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin A, dan vitamin C) dalam setiap jenis diet yang diberikan rumah sakit dalam makanan biasa dan makanan lunak masih dibawah anjuran standar diet yang seharusnya.

5. Mayoritas pasien tergolong pada status gizi kurus tingkat berat sebanyak 9 orang (75%), serta mengalami tuberkulosis paru (75%).

6.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dibuat, maka saran peneliti yang dapat diberikan yaitu:

1. Diharapkan instalansi gizi RSUP H. Adam Malik Medan melakukan pengolahan diet khusus bagi penderita HIV/AIDS sesuai kebutuhan dan gangguan gizi yang dialami tanpa adanya diskriminasi kelas pasien, melakukan pengawasan dalam mengonsumsi makanan pasien, serta adanya kebijakan instalasi gizi dalam menambah jam makan.

2. Sebaiknya instalasi gizi RSUP H. Adam Malik Medan menambahkan jumlah dan variasi makanan sumber zat gizi makro maupun zat gizi mikro tinggi.

BAB II

Dokumen terkait