• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Deskriptif

Pada bab ini akan diuraikan hasil analisis data dengan menggunakan prosedur yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Variabel yang digunakan pada data ini adalah variabel Tingkat Inflasi, BI Rate, dan Nilai Tukar sebagai variabel independen. Sedangkan sebagai variabel dependen adalah variabel nisbah bagi hasil deposito mudharabah di Bank Syariah. Untuk lebih jelasnya data dapat dilihat pada lampiran.

Data-data yang diperlukan dalam analisis ini diperoleh dari berbagai laporan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, secara bulanan pada periode Januari 2006 hingga Desember 2010, total data yang diperoleh terdiri dari 60 bulan. Sehingga diharapkan dapat diketahui dengan jelas faktor apa saja yang mempengaruhi penetapan nisbah bagi hasil deposito mudharabah bank syariah di Indonesia.

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode analisis berganda. Metode ini dipilih karena variabel independen yang digunakan pada penelitian ini lebih dari satu variabel. Prosedur analisis dilakukan dengan menggunakan bantuan statistical software yaitu SPSS 17.

Tabel 4.1

Rata-rata variabel tahunan 2006-2010

Tahun Inflasi Bi rate Nilai tukar Nisabah

2006 13.33% 11.83% 9141 8.55% 2007 6.40% 8.60% 9163 8.% 2008 10.30% 8.66% 9756 7.34% 2009 4.89% 7.14% 10356 7.50% 2010 5.12% 6.5% 9093 6.54 Gambar 4.1 Inflasi dan BI Rate

B. Variabel Penelitian 1. Inflasi

Pada tahun 2005, Indonesia sempat mengalami kenaikan bahan bakar minyak yang mengakibatkan naiknya sebagian besar bahan-bahan pokok masyarakat yang sangat bergantung kepada bahan bakar minyak (BBM). Pada

saat itu harga minyak meroket sebesar 126% 1 yang menyebabkan Inflasi turut

1

Sekretariat Negara Republik Indonesia, Kinerja Pemerintahan SBY-JK di Bidang Perekonomian, artikel diakses pada tanggal 20 februari 2010 dari http://www.setneg.go.id/index.php?option=com content & task=view&id=1694&Itemid=195

52

mengikuti kenaikan harga BBM dari 9,06% menjadi 17,89% atau mengalami kenaikan sebesar 8,83% yang diberlakukan tepat pada tanggal 1 Oktober 2005.

Penurunan secara drastis dari 14,55% pada September 2006 menjadi 6,29% pada Oktober 2006 terjadi karena kebijakan pemerintah untuk menekan

Inflasi yoy (year on year) Oktober 2005-Oktober 2006 yang masih merupakan

dampak dari kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga minyak yang terjadi pada tahun sebelumnya. Selain itu, hari Idul Fitri turut menyumbang tingginya angka Inflasi pada dua hari sebelum lebaran dan lambat laun menurun setelah lebaran usai.

Selain dari kenaikan harga minyak dan pengaruh hari raya Idul Fitri, hal mendesak lainnya yang mendorong pemerintah untuk menekan Inflasi adalah rendahnya tingkat suku bunga SBI (Surat Berharga Bank Indonesia) dari pada tingkat Inflasi. Pada bulan Agustus 2005, suku bunga SBI berada pada posisi 9,5% lebih besar dari tingkat Inflasi pada periode yang sama yaitu sebesar 8,3%. Sedangkan pada Desember 2005, suku bunga SBI naik sebesar 3,25% menjadi 12,75% dan Inflasi jauh lebih tinggi diatas tingkat suku bunga SBI yaitu sebesar 17,1%. Hal ini tentunya dapat menyebabkan terganggunya likuiditas perbankan di Indonesia.2

Dan pada tahun 2008 di bulan Juni dengan kenaikan harga minyak sebesar 30% turut menyumbang tingkat Inflasi yang lambat laun menaik hingga berada pada posisi 12,14% pada bulan September 2008. Sementara Inflasi pada tahun

2

2009 mengalami penurunan yaitu Inflasi berada di level 2,41% pada bulan November yang disebabkan oleh menguatnya nilai tukar dan terjaganya kecukupan pasokan serta kelancaran distribusi kebutuhan pokok. Tekanan Inflasi IHK mengalami akselerasi yang cukup besar di penghujung tahun 2010, sehingga melampaui perkiraan semula maupun rentang saran yang ditatapkan pemerintah.

Di akhir tahun 2010 Inflasi IHK tercatat 6,96% (year on year), lebih tinggi dari

perkiraan semula 6,51% (year on year) maupun perkiraan awal tahun 5,7% (year

on year). Masa peceklik yang dibarengi dengan cuaca yang tidak kondusif berdampak pada rendahnya sisi pasokan, sehingga komoditas bahan pangan domestik menjadi pemicu utama tekanan inflasi.

Gambar 4.2 0.00% 2.00% 4.00% 6.00% 8.00% 10.00% 12.00% 14.00% 16.00% 18.00% 20.00% F e b -06 A p r-06 Ju n -06 A ug -06 O c t-06 Dec -06 F e b -07 A p r-07 Ju n -07 A u g -07 O c t-07 Dec -07 F e b -08 A p r-08 Ju n -08 A u g -08 O c t-08 Dec -08 F e b -09 A p r-09 Ju n -09 A u g -09 O c t-09 Dec -09 F e b -10 A p r-10 Ju n -10 A ug -10 O c t-10 Dec -10 Inflasi 2. BI Rate

Berdasarkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG), Yang mengevaluasi perkembangan perekonomian, memandang bahwa secara umum perekonomian

54

nasional menunjukkan perkembangan yang membaik. Perkembangan yang lebih positif ini terutama didukung oleh terjaganya kestabilan ekonomi makro, seperti menguatnya nilai tukar, menurunnya tingkat inflasi. Untuk keseluruhan tahun 2006, Bank Indonesia memandang bahwa optimisme pada perekonomian nasional diperkirakan semakin menguat, terutama didorong oleh kondisi ekonomi global yang lebih kondusif.

Dengan mempertimbangkan semua perkembangan maka Rapat Dewan Gubernur memutuskan level BI Rate yang berlaku dari Januari sampai April 2006 sebesar 12,75%.

Pada akhir tahun 2006 Bank Indonesia memutuskan menurunkan BI Rate dari yang sebelumnya 10,25% pada bulan November menjadi 9,25% keputusan tersebut diambil setelah evaluasi kondisi makroekonomi. Pada bulan Juli 2007 (RDG) Bank Indonesia memutuskan untuk menurunkan BI Rate menjadi 8,25%.

Keputusan diambil setelah melakukan evaluasi menyeluruh tentang

perkembangan dan prospek perekonomian yang semakin baik, serta prospek inflasi. April 2008 (RDG) Bank Indonesia memutuskan untuk tetap mempertahankan BI Rate pada tingkat 8,0%. Keputusan tersebut diambil setelah mencermati dan mempertimbangkan perkembangan dan prospek ekonomi global, regional, dan domestik serta pencapaian terhadap sasaran inflasi tahun 2008 dan 2009 yang ditetapkan oleh pemerintah. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada Oktober 2008 memutuskan untuk menaikkan BI Rate sebesar 9,50% keputusan diambil setelah mencermati dan mempertimbangkan dengan

seksama, perkembangan keuangan dan ekonomi global. Pada akhir tahun (Desember 2008) memutuskan untuk menurunkan BI Rate 9,25%. Keputusan tersebut diambil setelah melakukan evaluasi yang menyeluruh terhadap perkembangan dan prospek ekonomi dan keuangan baik domestik maupun global. Hal ini tercermin pada inflasi yang terus menurun. Laju inflasi bulan November tercatat terendah dibanding bulan yang sama pada tahun-tahun sebelumnya. Bank Indonesia memutuskan untuk menurunkan BI Rate Januari 2009 8,75%. Keputusan ini diambil setelah dilakukan evaluasi menyeluruh kondisi ekonomi dan moneter di dalam dan luar negeri pada saat itu dan prospeknya pada tahun 2009. Bank Indonesia memutuskan untuk menurunkan kembali BI Rate menjadi 7,00%. Keputusan tersebut diambil setelah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap perkmbangan ekonomi di dalam dan luar negeri. Agustus 2009 Bank Indonesia memutuskan BI Rate menjadi 6,50%. Keputusan untuk menurunkan BI Rate ini diambil setelah Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia menyimpulkan bahwa tren penurunan inflasi masih berlanjut seiring dengan masih terbatasnya permintaan domestik dan terus menurunnya ekspektasi inflasi masih berlanjut seiring dengan terbatasnya permintaan domestik dan terus menurunnya ekspektasi Inflasi. Dewan Gubernur juga berpandang bahwa penurunan BI Rate masih konsisten dengan sasaran inflasi Bank Indonesia ke depan. Pada akhir tahun 2009 Bank Indonesia memutuskan untuk meempertahankan BI Rate pada level 6,5%. Hingga di pertengahan tahun 2010 Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada tingkat 6,5%. Bank Indonesia memutuskan tetap

56

mempertahankan BI Rate sampai akhir tahun 2010 pada level 6,5%. Keputusan tersebut didasari pada evaluasi menyeluruh terhadap kinerja perekonomian pada saat itu, dan beberapa risiko yang masih diadapi, dan prospek ekonomi ke depan. Dewan Gubernur memandang level BI Rate saat ni masih konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi ke depan dan tetap kondusif untuk menjaga stabilitas keuangan serta mendorong intermediasi perbankan.

Gambar 4.3

3. Nilai Tukar

Berdasarkan laporan Kebijakan Moneter Triwulan ke-IV Bank Indonesia, dari sisi domestik beberapa risiko mempengaruhi pergerakan IHSG pada akhir tahun 2008. Risiko tersebut di antaranya berupa pelemahan nilai tukar yang

sempat menyentuh level Rp 12.151 per USD November 2008 serta melebarnya

nilai tukar rupiah di pasar Non Delivery Forward (NDF) dengan posisi spot.

Selain itu, isu negatif mengenai kondisi likiuditas bank serta kompleksitas permasalahan saham turut mewarnai perkembangan saham.

Nilai tukar rupiah sepanjang triwulan IV-2008 terus mengalami tekanan akibat dari meningkatnya intensitas krisis pasar keuangan global sejak September 2008 yang dipicu oleh bangkrutnya perusahaan. Lehman Brothers. Hal tersebut menyebabkan selam triwulan IV-2008 rupiah terdepresiasi, baik secara rata-rata maupun point to point dengan volatilitas yang meningkat. Rata-rata rupiah triwulan IV-2008 mencapai Rp 10.914/USD atau melemah 15,5% dibandingkan dengan rata-rata triwulan sebelumnya mencapai Rp 9.221/USD . Sedangkan secara point to point rupiah mencapai level Rp 10.900/USD atau melemah 13,9% dibandingkan dengan akhir triwulan sebelmnya yaitu Rp 9.385/USD. Pergerakan rupiah yang terdepresiasi mengakibatkan volatilitas rupiah pada triwulan IV-2008

melonjak tajam dafri 1,17% menjadi 9,78%.3

3

Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, Laporan Kebijakan Moneter TRiwulan IV-2008 (Jakarta:Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, 2008)h. 15

58

Gambar 4.4

4. Nisbah Bagi Hasil Deposito Mudharabah

Tingginya pertumbuhan DPK tersebut didorong oleh semakin kompetitifnya imbal bagi hasil yang ditawarkan bank syariah, meskipun secara umum sepanjang tahun 2010 suku bunga Deposito Bank Konvensional cenderung meningkat namun dengan peningkatan kinerja pembiayaannya. Bank Syariah dapat memberikan imbal bagi hasil yang tinggi, imbal bagi hasil bank syariah yang menarik terutama pada produk Deposito iB membuat produk tersebut lebih diminati masyarakat dibandingkan penempatan dana lainnya yaitu Tabungan Wadiah Ib. Per September 2010 porsi dana masyarakat yang ditempatkan dalam Deposito iB mencapai 57,76%. Meningkat dibandingkan periode yang sama tahun

2009, yang porsinya mencapai 55,77% namun porsi Tabungan Wadiah iB dan Giro Wadiah iB sedikit menurun dari 32,12% menjadi 30,59% untuk Tabungan Wadiah iB dan 12,10% menjadi 11,65% untuk Giro Wadiah iB.

Gambar 4.5 Bagi Hasil

C. Analisis Hasil Pengolahan Data

Dokumen terkait