• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA

B. Analisis Discourse Practice

68

Tema Editorial Media Indonesia muncul berdasarkan hasil koordinasi tim penulis editorial, dengan menyepakati batasan-batasan penulisan yang harus dihindari. Seperti yang dituturkan mantan penulis editorial dan kini sebagai Dewan Redaksi Media Group, Djadjat Sudradjat

“Proses pemilihan tema pada tahun 2000, saat awal-awal

Media Indonesia hadir, belum ada rapat redaksi yang membahas tema. Laurens Tato menjadi penulis tunggal editorial saat itu. Tetapi setelah terbentuknya tim, mulailah ada forum. Ada Saur Hutabarat, Laurens Tato dan saya. Koordinasinya tidak tentu dan tidak formal, main feeling saja. Memang dalam konteks sebuah industri media massa besar, ini tidak sehat. Hanya saja sudah ada kesepakatan mengenai batasan-batasan umum yang sekiranya memiliki tingkat sensitivitas tinggi (SARA, menyerang pribadi, meruntuhkan kredibilitas negara, menyinggung merah putih) harus dihindari. Kemudian terjaring pelatihan editorial dan sekarang sudah makin terencana dan ada rapat redaksi. Ada jatah-jatah siapa yang menulis apa, pembagian tersebut disesuaikan dengan bidang kemampuannya. Gairah ke politiknya relatif tinggi, sesekali ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan.”1

Editorial Media Indonesia ditulis berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan

“Editorial Media Indonesia tentu saja merekonstruksi fakta -fakta di lapangan. Kerja jurnalistik itu pasti ada -fakta dulu. Jika ada teks dulu baru peristiwa, itu namanya agenda setting. Kerja jurnalistik adalah memaknai peristiwa, peristiwa harus mempunyai makna. Kerja jurnalistik juga harus merekonstruksi peristiwa. Cara menilai suatu rekonstruksi benar atau tidak adalah semakin dekat dengan fakta peristiwa aslinya, semakin benar dari perstiwa. Semakin dipelintir, semakin jauh dari kebenaran peristiwa. Artinya, publik boleh dan mempunyai hak menyeleksi dan meninggalkan yang rekonstruksinya jauh dari peristiwa. Setelah Metro lahir, editorial ditampilkan di Metro.

1

dan harus dipertanggung jawabkan visualnya.”2

Editorial Media Indonesia sebagai bentuk kritisme sebuah institusi media massa nasional, mampu menyajikan penulisan dengan bahasa yang terus terang, berani, dan tegas; baik kritisme yang disajikan secara personal maupun institusional kepada publik

“Kalau kita bicara proses dari awal, editorial itu hak privat

publisher, sikap penerbit terhadap sesuatu. Media Indonesia

menjadi menarik karena editorial yang sifatnya privat dibedah di ruang publik, publik dilibatkan. Agar memiliki public meaning, silakan saja publik berkomentar. Tetapi dalam konteks membangun demokrasi, interaksi seperti ini menjadi penting. Barang privat dipublikasikan di ruang publik, hasilnya jadi milik bersama. Pers semakin punya makna publik, semakin dibaca banyak orang. Semakin jauh dari makna publik, semakin ditinggalkan. Jika ada bahasa pribadi, mudah saja. Hukumannya hanya tinggal diberikan ke publik, biar publik yang menilai. Tetapi spiritnya harus institusi. Subjektivitas dalam editorial merupakan subjektivitas yang harus mempunyai makna publik, dipertanggung jawabkan secara publik dan relnya tetap kembali ke publik”.3

Editorial Media Indonesia memiliki karakter yang berani mengolah dan memainkan bahasa dalam dalam penulisannya. Editor bahasa hanya melakukan koreksian dalam pada penulisan tiap kata, kalimat, dan paragraf saja

”Tentunya dalam sebuah struktur keredaksian sudah

memiliki job desk masing-masing sesuai dengan perannya. Memang tak jarang ada perdebatan menyoal gaya bahasa antara redaktur bahasa dengan tim editorial. Seperti yang tadi saya katakan bahwa semakin lama semakin ketemu keseragaman bahasanya. Editor bahasa dan tim editorial mampu sinergi. Jadi seolah-olah isi kepala kita sudah sepemikiran dan seragam,

2Ibid.,Djadjat Sudradjat.

70

justru hal tersebut menjadi sebuah karakter Editorial Media Indonesia, terus terang, tegas dan lugas. Mengenai perombakan pada konten, tentu ada aturannya dan mesti melalui kesepakatan rapat redaksi. Peran editor bahasa harus mampu meminimalisir kesalahan pada penulisan tiap kata, kalimat dan paragraf yang masih berbentuk dummy sebelum proses akhir naik cetak. Editor bahasa tentu memiliki bobot peran yang sangat penting dalam proses produksi penulisan editorial”.4

Dibuktikan melalui penulisannya mengenai Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang saat itu menjabat sebagai Presiden RI. Pemilihan bahasanya sangatlah berani, menggunakan bahasa perumpamaan, satire, sinisme, dan sarkasme. Seolah mengubur etika bahasa

”Gus Dur bagi pers saat jelang jatuh, tidak menarik pemberitaannya. Dari segi pemerintahan, sudah jauh bersimpang jalan dengan kehendak publik. Gus Dur itu demokratis, tahan banting, dan hanya Gus Dur yang bisa dikiritik dan tidak pernah ada masalah. Tapi memang tidak semua kebijakan Gus Dur mesti kontra. Secara integrasi kebangsaan, sangat bagus. Wacana yang disodorkan Gus Dur saat itu mampu meminimalisir konflik”.5

Namun, tanpa bermaksud mengabaikan kaidah bahasa jurnalistik beserta etika bahasanya, Editorial Media Indonesia

akhirnya menemukan formula kebahasaan yang menjadi standarisasi dalam penulisannya

“Penulis editorial itu macam-macam, punya latar belakang kultural berbeda. Punya cita rasa bahasa yang berbeda. Cita rasa bahasa dibentuk oleh pemahaman. Menjadi menarik, bahasa itu arbitrer (sembarang). Kata yang sama jika diucapkan oleh orang beda budaya akan berbeda maknanya. Kasar tidak kasar, halus tidak halus, tidak ada standarnya. Gaya bahasa personal pasti

4

Ibid., Djadjat Sudradjat.

5

membangun standar bahasa yang sama, iya. Walaupun ada pertentangan dengan bahasa, tapi semakin lama semakin ketemu keseragaman bahasanya. Akhirnya Media Indonesia

menemukan formula bahasa yang bisa diterima masyarakat. Bahasa yang baik mesti bahasa yang terdidik, bahasa yang tidak vulgar, tidak menyerang secara pribadi, sedikit ada sentuhan sastra. Bahasa yang miskin metafor, tak ada analogi, tak ada kata imaji, akan membuat jenuh pembaca.”6

Sehingga otoritas tertinggi dalam struktur keredaksian ada pada pemimpin redaksi (pemred). Selain memiliki tanggung jawab yang besar, pemred memiliki hak untuk mengubah isi penulisan

”Apapun bentuknya, berita itu wajar mengalami perubahan di akhir. Jika ada peristiwa yang lebih aktual dan menarik, memungkinkan ada perubahan. Bukan menjadi monopoli editorial, jadi wajar saja jika ada perubahan. Jika perubahan itu dilakukan oleh pemred, itu bukan masalah. Pemred memiliki otoritas dan pemred pula yang bertanggung jawab jika ada masalah. Pemred punya hak”.7

Analisis Produksi Teks

Sejarah hadirnya Editorial Media Indonesia dilatar belakangi oleh keterkungkungan pada masa Orde Baru. Proses menjadi Editorial Media Indonesia hingga menjadi sekarang ini mengalami fase-fase perjalanan dan merupakan metamorfosis dari rubrik Selamat Pagi di koran Prioritas. Semangat perjuangannya tetap sama, melawan bahasa yang melingkar-lingkar. Di sinilah Editorial Media Indonesia diperhitungkan oleh publik, dilihat dari aspek kebahasaannya yang lugas, berani, dan terus terang dalam mengkritisi realitas

6

Ibid., Djadjat Sudradjat. 7Ibid., Djadjat Sudradjat.

72

yang terjadi di lapangan. Gairah penulisannya lebih kepada politik, sesekali kepada ekonomi, sosial, pendidikan, dan kebudayaan.

Proses pemilihan tema editorial memang berdasarkan koordinasi tim penulis editorial, dengan menyepakati beberapa batasan umum yang sekiranya memiliki sensitivitas tinggi (SARA, pribadi, kredibilitas negara, dan menyinggung merah putih) harus dihindari. Sirkulasi penulisannya secara bergilir, sesuai bidangnya masing-masing dan tentu saja menyesuaikan tema yang sudah disepakati oleh tim.

Fakta bahwa Editorial Media indonesia merupakan opini institusi media massa yang ditulis secara perorangan (tim penulis editorial), namun semangatnya harus institusi. Subjektivitas memang tidak bisa diredam dalam penulisan sebuah opini (Editorial Media Indonesia), namun tetap memiliki makna publik. Penulisan Editorial Media Indonesia berangkat dari realitas yang terjadi di lapangan, kemudian dikemas dengan bahasa yang menarik (salah satu karakteristik bahasa jurnalistik) dan dipadukan dengan gaya bahasa perumpamaan dan pertentangan (satire, sinisme, dan sarkasme), jenis gaya bahasa yang termasuk subjektif.

Editorial Media Indonesia tergolong media cetak yang memiliki karakter penulisan yang berani, terus terang, dan lugas. Hasil wawancara dengan salah satu tim penulis editorial serta beberapa temuan data editorial edisi Desember 2000 mempertegas adanya keberanian dalam membahasakan kritisme Media Indonesia

sebagai sebuah institusi. Adapun peran editor bahasa, hanya memiliki garis kewenangan untuk mengoreksi kesalahan penulisan pada tingkatan kata, kalimat, dan paragraf saja. Otoritas tertinggi untuk mengubah, mengurangi, menambahkan bahkan mengoreksi judul dan isi editorial adalah pemimpin redaksi.

Media Indonesia, intinya jika ada bahasa pribadi, hukumannya tinggal diserahkan kepada publik. Relnya tetap kembali ke publik, biarkan publik yang menilai. Editorial sebagai salah satu produk jurnalistik (opini) bukanlah sebuah kebenaran mutlak, tetapi semangatnya harus selalu mencari kebenaran. Bahwa Editorial

Media Indonesia sebagai salah satu media massa skala nasional, mampu memberikan ruang berinteraksi untuk membangun dan mencari kebenaran. Selain itu media massa memiliki salah satu fungsi sebagaimana dijelaskan oleh Yoseph R. Dominick, dalam bukunya The Dynamics of Mass Communication. Menurutnya, salah satu fungsi media massa adalah interpretasi. Media massa tidak hanya menyajikan fakta dan data, tetapi juga informasi beserta interpretasi mengenai suatu peristiwa tertentu.8

Untuk itu, media massa bukanlah segala-galanya. Dia tidak memiliki kebenaran mutlak dalam menyajikan informasi yang dibungkus menjadi lebih menarik untuk diminati publik. Sehingga segala bentuk pemberitaan dan penulisannya, baik secara personal maupun institusional, wajib dipertanggung jawabkan kepada publik.

2. Konsumsi Teks

Berikut hasil wawancara penulis dengan seorang informan yang memiliki latar belakang selain sebagai pembaca, juga mantan penulis Editorial Media Indonesia tahun 2006-2007.

8

Onong Uchjana Efendi, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 20

74

Poin-poin yang menjadi pokok pembahasan dengan informan adalah sebagai berikut:

1. Perkenalan informan dengan Media Indonesia

2. Perbedaan Media Indonesia dengan surat kabar lainnya

3. Perkenalan informan dengan Editorial Media Indonesia

4. Pandangan informan mengenai Editorial Media Indonesia

5. Pandangan informan mengenai gaya bahasa penulisan Editorial

Media Indonesia terhadap Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Informan Edy A Effendi (EAE):

Edy A Effendi (EAE) merupakan lelaki kelahiran Slawi, Jawa Tengah, 18 Februari 1966. Domisili saat ini di Jalan Sawah Dalam No. 68 RT/RW 04/04, Panunggangan Utara, Pinang, Kota Tangerang 15143.

Selain memosisikan diri sebagai pembaca aktif Media Indonesia

dan editorial, informan juga pernah bergabung sebagai wartawan di

Media Indonesia selama tujuh tahun lebih.

Perkenalan dengan Media Indonesia

Informan EAE mengenal Media Indonesia sejak tahun 1997. “Saya tahu Media Indonesia sejak awal, persisnya saya lupa. Koran ini sebenarnya koran lama secara domain dan nama, kemudian dibeli Surya Paloh. Pada awalnya grup Surya Paloh mempunyai koran bernama Prioritas, kemudian dibredel Orba karena pemberitaan di halaman belakang dengan judul kalau tak

(sekarang Pemred Metro Tv). Akibat dibredel, Elan digusur menjadi reporter senior dan dibuang ke Medan. Surya Paloh kemudian membeli domain Media Indonesia yang sudah lama tak aktif”.9

Perbedaan Media Indonesia dengan surat kabar lainnya

“Dari sisi pemberitaan, Media Indonesia sangat lugas. Lugas dalam mengelola pemberitaan, tidak bertele-tele. Ini terlihat pada pola penulisan berita yang tidak bersambung ke halaman lain. Misalnya ada berita halaman pertama, tak ada sambungan di halaman lain. Tentu ini berbeda dengan harian

Kompas. Tak bersambung ke halaman lain ini, memudahkan pembaca untuk menyelesaikan secara tuntas di halaman awal. Tapi risikonya tak ada kedalaman dari isi berita itu”.10

Perkenalan dengan Editorial Media Indonesia

Bagi EAE, Editorial Media Indonesia sudah tidak asing lagi dan sudah cukup mengenalnya sejak lama.

“Saya tahu Editorial Media Indonesia, karena saya pernah terlibat selama dua tahun di dalamnya. Kebetulan saya menjadi Tim Editorial pertama dari unsur wartawan. Generasi baru penerus editorial, khusus dari unsur wartawan. Diambil dari juara-juara workshop editorial di berbagai tempat selama tiga hari. Inilah hebatnya Media Indonesia, kawan-kawan digodok dalam menulis editorial atau apapun secara selektif”.11

EAE menambahkan soal pembagian tema penulisan editorial dan Tim Penulis yang biasa menulis editorial.

“Sejak lama Tim Editorial ditulis unsur pimpinan, di antara unsur pimpinan itu ada Saur Hutabarat, Djadjat Sudradjat, dan Laurens Tato. Waktu itu ada Mas Imam Anshori Saleh, seorang Gus Durian PKB asli. Isu-isu ke-Islaman biasanya ditulis Mas Iman, baik momentum hari raya, Iedul Adha atau isu-isu politik

9

Wawancara Edy A. Effendi, 5 April 2011.

10

Ibid., Edy A. Effendi.

11

76

yang terkait dengan soal Islam. Sejatinya, seorang Saur Hutabarat dan Laurens Tato yang non muslim pun bisa menulis soal-soal keislaman. Seperti halnya Djadjat Sudradjat menulis soal kekristenan, karena patokan penulisan editorial sudah baku.”12

Pandangan tentang Editorial Media Indonesia

EAE menilai Media Indonesia bersama editorialnya sangat tidak imbang dan tidak objektif dalam menuliskan sebuah berita ataupun editorial.

“Soal Editorial Media Indonesia saya pikir sama dengan editorial-editorial lain. Tapi kalau mau jujur, setiap penulisan berita maupun editorial itu cerminan dari institusi yang mengelolanya, siapa yang di belakang layar pengelola. Secara otomatis berbagai kebijakan penulisan tak lepas dari cara berpikir mereka. Secara kebetulan kawan-kawan yang berdiri di tingkat elit Media Indonesia dalah non muslim. Sebut saja Andy F Noya, Laurens Tato, Saur Hutabarat, dan Elman Saragih. Dulu ketika saya masih menjadi wartawan Media Indonesia, kami menyebut empat sekawan”.13

EAE juga merasakan betul adanya ketidak berimbangan mulai dari peliputan, penulisan hingga penerbitan berita maupun editorial. Ia juga memberikan beberapa fakta yang terjadi di lapangan dan ruang redaksi.

“Ketika fotografer mau memuat foto kebiadaban Israel di Palestina, Yohanes Widada, waktu itu asisten redaktur eksekutif, selalu menghalangi. Juga ketika demo PKS yang begitu rapi dan sangat massif, Elman Saragih selalu meminta tak memuat foto, hanya beritanya saja. Ini jelas-jelas tak fair. Saya waktu itu sebenarnya malu karena KOMPAS yang dikenal sebagai bagian dari kelompok Katolik, justru memuat foto demo PKS di halaman muka. Hal lain ketika kasus Sekolah Sang Timur,

12

Ibid., Edy A. Effendi.

13

jelas memihak sekolah itu dengan alasan tak jelas. Tentu ini dibarengi unsur subjektif”.14

Penilaian terhadap penulisan Editorial Media Indonesia yang memuat tentang Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

EAE juga mendefinisikan Editorial Media Indonesia

“Dari sisi kebahasaan, Editorial Media Indonesia terkenal sangat lugas dan tegas. Dari kalangan manapun, orang bisa langsung membaca Editorial Media Indonesia. Inilah sisi kebahasaan, kemampuan menggunakan kata-kata secara efektif, padat, dan singkat. Biasanya penulisan editorial tak lebih dari 45 baris atau sekitar tujuh paragraf atau satu halaman setengah kuarto”.15

Ia juga memandang bahwa gaya bahasa Editorial Media Indonesia dalam penulisannya mengenai Abdurrahman Wahid, kental dengan sinisme, satire, dan dan subjektif yang keluar dari etika kebahasaan.

“Spesifikasi pada penulisan Gus Dur, saya melihat, membaca, dan meraba, terkesan sangat sinis dan satire. Sikap sinis itu lagi-lagi dipengaruhi unsur subjektif dari Tim Editorial. Kami selalu rapat editorial sebelum editorial ditulis. Jadi, pendapat yang mengemuka di editorial bukan pendapat pribadi tapi pendapat institusi. Susahnya kemudian, meski pendapat institusi, Media Indonesia, tapi penulisan editorial tak lepas dari unsur subjektivitasnya. Unsur subjektivitas inilah yang kemudian seringkali menggangu piranti objektivitas ketika berhadapan dengan persoalan Gus Dur. Judul dan isi editorial seringkali diedit oleh tim yang lebih senior”.16

14

Ibid., Edy A. Effendi.

15

Ibid., Edy A. Effendi.

16

78

Analisis Konsumsi Teks

Informan mengenal Editorial Media Indonesia sejak 14 tahun yang lalu, rentang waktu yang terbilang lama untuk mengenal sebuah koran harian, Media Indonesia. Ia sangat responsif ketika ditanyai seputar Editorial Media Indonesia

beserta gaya penulisannya. Menurutnya, Media Indonesia sebagai sebuah institusi media massa nasional sangatlah lugas, tegas, dan berani. Lugas, tegas, dan berani dari segi penulisan isi berita maupun editorial sebagai sebuah opini redaksinya. Walaupun dia sempat menilai bahwa Editorial Media Indonesia hampir sama dengan editorial (tajuk rencana) koran lainnya. Namun, Setelah cukup lama bergabung di keredaksiaa Media Indonesia, sebagai wartawan dan pernah menjadi salah satu penulis editorial dari unsur wartawan, dia memiliki pandangan sendiri yang kontra terhadap penulisan Editorial Media Indonesia. Bahwa Media Indonesia sangatlah kental dengan subjektivitas dan ideologi para pemimpinnya dalam memutuskan sebuah kebijakan redaksi. Maka tidaklah heran menurutnya, jika beberapa editorial sering dikemas dan disajikan tidak cover both side. Ketidak berimbangan penulisan editorial tentu saja dilatari oleh orang yang berada di balik layarnya. EAE juga mempertegas bahwa Editorial Media Indonesia merupakan cerminan dari institusi yang mengelolanya, otomatis berbagai kebijakan penulisan tak lepas dari cara berpikir mereka. Terlepas suka ataupun tidak suka, menurut EAE, itu sudah menjadi kebijakan baku. Hal-hal seperti itulah yang selalu menjadi pertentangan dalam dirinya, posisinya mendua, satu sisi sebagai seorang wartawan dan sisi lainnya sebagai pembaca setia Media Indonesia. Penjabarannya mengenai beberapa fakta yang terjadi di lapangan maupun redaksi, Editorial Media Indonesia pernah menunjukkan keberpihakan terhadap Sekolah Sang Timur di

beralasan, melainkan adanya unsur subjektif. Apalagi EAE mencoba membandingkan Media Indonesia dengan koran nasional lainnya, KOMPAS, yang menurutnya KOMPAS merupakan koran yang berkiblat non Islam, mampu memuat foto demo PKS yang rapi dan massif di halaman muka, Media Indonesia tidak melakukan itu, EAE merasa malu dengan sikap yang diusung Media Indonesia yang tidak adil dan terkesan memilih. Fakta lainnya saat salah satu fotografernya mau memuat foto kekejian Israel terhadap Palestina, Redaktur Eksekutifnya yang berlatar non muslim, menghalanginya. Padahal konflik Israel dengan Palestina murni soal perebutan batas wilayah yang kebetulan saja memiliki keyakinan (agama) berbeda. Sehingga menurut penilaian EAE, Media Indonesia sangatlah tebang pilih dalam menyoroti berbagai fakta yang terjadi di lapangan, berita maupun opini redaksi yang dipilih berdasarkan kesukaan pimpinannya, walaupun melalui rapat redaksi, pada praktiknya tidaklah terlihat sebagai sebuah keputusan bersama atau redaksi. Pandangan lain yang digulirkan oleh EAE mengenai gaya penulisan Editorial Media Indonesia terhadap Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sinismenya sangat kental. Kesantunan dalam berbahasa tidak selalu diusung dalam penulisan Editorial Media Indonesia, spesifikasinya terhadap sosok Abdurrhamn Wahid. Menurutnya sikap tersebut sangatlah merugikan untuk pihak lain, dalam kasus ini adalah Abdurrahman Wahid. Janganlah Editorial Media Indonesia menjadi Media yang provokatif, melainkan media yang inovatif dalam segi penulisan, informatif dalam segi isi , dan edukatif dalam segi manfaat.

80

BAB V

PENUTUP

Setelah melalui tahapan mulai dari bab I (pendahuluan), bab II (tinjauan pustaka), bab III (gambaran umum harian Media Indonesia), dan bab IV (temuan dan analisis data), maka akan dihasilkan rumusan masalah melalui kesimpulan dan saran, sebagai berikut :

A. Kesimpulan

Dari kelima data utama penelitian ini (Editorial Media Indonesia), kesimpulan yang diperoleh pada tingkat analisis teks adalah Editorial Media Indonesia sebagai sebuah institusi media massa nasional (koran), dalam segi penulisan judul dan isinya sangatlah berani, lugas dan terus terang. Ketiga modal penulisan tersebut sekaligus karakter dari Media Indonesia. Dilihat dari segi etika kebahasaan, Editorial Media Indonesia tidak ragu untuk menggunakan gaya bahasa pertentangan (ironi, satire, sarkasme) dan gaya bahasa perumpamaan terhadap objek pemberitaannya, baik secara institusional (lembaga tinggi pemerintah) maupun personal (Abdurrahman Wahid). Dari segi pengemasan sebuah opini redaksi, Editorial Media Indonesia memang sangat menarik untuk dibaca.

Selain itu, berdasarkan hasil analisis bahasa jurnalistik pada kelima Editorial Media Indonesia edisi Desember 2000 yang diamati peneliti, dalam penulisannya Editorial Media Indonesia kurang memenuhi tata bahasa

jurnalistik, yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia yang baku. Bahasa yang diterapkan Editorial Media Indonesia lebih mengutamakan bahasa yang menarik dan metafor. Penggunaan bahasa yang tidak terlalu baku dan metafor itulah yang terpenting bagi Editorial Media Indonesia dalam menyampaikan opininya kepada khalayak pembaca, walaupun dilihat dari etika kebahasaan sangatlah rendah.

Pada tataran produksi teks dan merunut dari hasil wawancara dengan salah satu dewan redaksi Media Group, Djadjat Sudradjat. Proses lahirnya Editorial Media Indonesia tentunya berawal dari fakta di lapangan, ada fakta ada berita. Fakta-fakta di lapangan itulah kemudian diangkat untuk dibuat opini redaksi (editorial), memang tidak semuanya, pemilihannya berdasarkan rapat redaksi. Sistem penulisannya pun berdasarkan kapabilitas dan kredibilitas tiap-tiap personal (penulis editorial). Proses pemilihan tema editorial memang berdasarkan koordinasi tim penulis editorial, dengan menyepakati beberapa batasan umum yang sekiranya memiliki sensitivitas tinggi (SARA, pribadi, kredibilitas negara, dan menyinggung merah putih) harus dihindari.

Di tataran konsumsi teks, dapat disimpulkan melalui wawancara dengan Edy A Effendi, dan sudah cukup mengenal sejak lama Editorial Media Indonesia. Sebagai sebuah koran nasional, Media Indonesia belum bisa berdiri di atas kaki yang imbang. Imbang di sini sama dengan objektivitas sebuah penulisan opini redaksi. Terdapat fakta-fakta bagaimana Editorial Media Indonesia memang melakukan pemihakkan, sehingga tidak cover both side. Setiap penulisan berita maupun editorial itu cerminan dari institusi yang

82

mengelolanya, siapa yang di belakang layar pengelola. Secara otomatis berbagai kebijakan penulisan tak lepas dari cara berpikir mereka.

B. Saran

Saran yang dapat penulis berikan kepada Media Indonesia, khusunya bagian redaksi. Editorial merupakan pandangan atau kritisme redaksi terhadap

Dokumen terkait