• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis wacana bahasa jurnalistik rubrik editorial media Indonesia edisi desember tahun 2000

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis wacana bahasa jurnalistik rubrik editorial media Indonesia edisi desember tahun 2000"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

DESEMBER 2000

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh:

NURRINA DESIANI NIM. 105051102024

JURUSAN KONSENTRASI JURNALISTIK

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

ANALISIS WACANA BAHASA JURNALISTIK

RUBRIK EDITORIAL MEDIA INDONESIA EDISI

DESEMBER 2000

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh:

NURRINA DESIANI NIM. 105051102024

Pembimbing:

Drs. Jumroni, M.Si NIP: 19630515 199203 1006

JURUSAN KONSENTRASI JURNALISTIK

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

(3)

Skripsi yang berjudul ANALISIS WACANA BAHASA JURNALISTIK RUBRIK EDITORIAL MEDIA INDONESIA EDISI DESEMBER 2000 telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 23 September 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam (S.Kom.I) pada jurusan Konsentrasi Jurnalistik.

Ciputat, 01 Desember 2011

Sidang Munaqasyah

Ketua Sidang Sekretaris

Drs. H. Mahmud Jalal, MA Ade Rina Farida, M.Si NIP: 19520422 198103 1 002 NIP: 197700513 200701 2 018

Penguji 1 Penguji 2

Dr. H. Arief Subhan, MA Rubiyanah, MA

NIP: 19660110 199303 1 004 NIP: 19730822 199803 2 001

Pembimbing

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar starta satu (S1) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini, saya telah cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini merupakan hasil plagiat atau hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 2011

(5)

i

Nurrina Desiani 105051102024

Analisis Wacana Bahasa Jurnalistik Rubrik Editorial Media Indonesia Edisi Desember 2000

Media (pers) acap kali disebut sebagai the fourth estate (kekuatan keempat) dalam kehidupan sosial-ekonomi dan politik. Sebagai suatu alat untuk menyampaiakan berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik, karena media juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris.

Paska runtuhnya orde baru, pesuratkabaran Indonesia seolah lepas dari keterkungkungan kebebasan dalam mempublikasikan berita. Realitas yang terjadi saat ini adalah media massa seolah mengibarkan bendera setinggi-tingginya yang berslogan bebas dan bertanggung jawab ke ranah publik. Sejauhmana pemberitaan Editorial Media Indonesia, dilihat dari segi waktu yaitu paska orde baru? Dan bagaimana Media Indonesia mengonstruksi atau membahasakan konteks di lapangan ke dalam teks?

Sehubungan dengan hal tersebut, sebenarnya media berada pada posisi yang mendua, dalam pengertian bahwa ia dapat memberikan pengaruh-pengaruh “positif” maupun “negatif”. Di dalam masyarakat modern pun, media memainkan peran penting untuk perkembangan politik masyarakatnya. Pers kerap disebut-sebut sebagai salah satu pilar demokrasi. Kebebasan berekspresi dalam menyampaikan informasi yang mengusung slogan kebenaran dan kenyataan, untuk disampaikan ke ranah publik. Ironisnya, realitas yang terjadi di lapangan melihat media massa tak sepenuhnya objektif dan tak adil dalam memberitakan atau mengkritik suatu peristiwa. Tugas media massa bukanlah mengungkap kebenaran, karena kebenaran mutlak itu tidak akan pernah kita ketahui, tetapi menanggalkan semaksimal mungkin bias-bias yang mereka anut selama ini.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berlandaskan pada paradigma kritis. Kritis di sini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kekuasaan disalahgunakan, serta melihat bagaimana pemakaian bahasa pada sebuah teks dijadikan sebagai praktik sosial.

(6)

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT, atas berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Tanpa sadar pula, begitu banyak pihak baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam proses penyelesaian penelitian ini. Maka pada kesempatan ini pula penulis hendak menghaturkan rimbunan rasa terima kasih atas bantuan dan dukungan serta bimbingan kepada sejumlah nama di bawah ini yang telah memberikan sumbangan pikiran, tenaga, waktu, materi dan dukungan semangat serta doa:

1. Terima kasih kepada orang tua penulis, Rachmat Karel Mangente (alm) dan Nani Ramdhani, atas cinta dan doanya yang tak letih mereka panjatkan di sepanjang jalan kehidupan penulis. Spesial untuk alm. Papih, di mana pun berada walau tak bisa berjumpa raga, tapi keyakinanku amat kuat bahwa papih selalu ada untuk menemani jejak langkahku.

(7)

iii

melalui aset fakultas berupa perpustakaan.

4. Terima kasih kepada Drs. Jumroni, M.Si selaku dosen pembimbing, tak bosan membimbing penulis melewati hambatan baik dari segi penulisan hingga jalannya sebuah penelitian dengan berbekal ilmu pengetahuan. Makasih pak, selalu memberi kepercayaan penuh kepada penulis untuk menuntaskan dengan baik.

5. Terima kasih kepada Dra. Rubiyanah yang selalu menanyai tanpa bosan ”kamu kapan lulusnya, Nur?” Secara tidak langsung, pertanyaan

ibu memberi semangat lain kepada saya. Terima kasih juga kepada Ibu Ade, kerja keras ibu untuk mengagendakan jadwal sidang sangatlah luar biasa.

6. Terima kasih kepada seluruh dosen dan staff di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang tidak bisa dirunutkan nama-namanya, berkat semaian kasih sayangnya yang tercurah dalam doa, semangat belajar dan kedewasaan dalam kerangka ilmu pengetahuan, telah mengajarkan penulis menjadi seorang akademisi yang kaya ilmu, baik ilmu yang tertuang dalam teori maupun praktiknya.

7. Terima kasih kepada Mas Djadjat Sudradjat selaku Pemred Lampung Post sekaligus menjadi salah satu Dewan Redaksi Media Indonesia

(8)

iv

yang memuaskan serta memberikan informasi kepada peneliti seputar Editorial Media Indonesia tahun 2000. Sehingga penelitian ini menjadi layak dan sempurna.

8. Terima kasih kepada Bang Tonny Schumacer selaku staff sekretaris redaksi Media Indonesia yang banyak membantu penulis dalam menyusuri data-data editorial di ruang keredaksian dan di perpustakaan

Media Indonesia. Selalu saja mencuri waktu piketnya dan begadang hingga tak terasa sudah begitu larut. Makasih bang Toni.

9. Terima kasih kepada sahabat dan sahabati di Pergerakan BIRU khususnya penghuni Blue Dormitory 3, Yanti, Cindy, Ana, Uus, Irma. 10.Terima kasih kepada kubu ’senior = akting’ M. Iqbal Islami, Agung

Kumojoyo, Budi Purnomo, Zaid Muhammad dan Carman Latief Anshori, selalu memberi dukungan doa dan celotehan yang kadang membuat suasana tegang tapi bermakna.

(9)

v

dengan pilihan kita masing-masing, termasuk pilihanku untuk lulus belakangan. Semoga perkawanan kita abadi.

13.Terima kasih kepada Bapak Rulli Nasrullah untuk pinjaman buku yang ditulis oleh Jane Stokes, sangat membantu untuk mempermudah pengerjaan skripsi dan menambah referensi.

14.Terima kasih kepada kawan-kawan Pers Mahasiswa , yakni Teras Dekan, Transparan, Institut, Jarak Pena dan Local Wisdom.

15.Terima kasih kepada koran lokal Tangsel Pos yang telah memberikan kesempatan waktu dan pengertiannya kepada penulis untuk menuntaskan perjalanan tugas akhir ini yang sempat tertunda.

16.Terima kasih kepada pemilik ’Kosan Dewi Sartika’, Bapak H. Abdullah Sukarta dan isteri, selalu rajin menanyakan kapan penulis lulus dan mendoakan agar penulis menjadi orang sukses.

17.Terima kasih kepada pihak-pihak yang pernah membantu penulis untuk pengeditan tata letak skripsi, Denadon Caniago, Kak Yazid dan Kak Suudi.

(10)

vi

siklus hidup, ada suka dan duka, ada tawa dan tangis, ada sukses dan

gagal”. Di setiap sudut ruang dan waktunya, kau tak henti menyemai dengan penuh kesabaran agar kelak penulis mampu menjadi pribadi yang cerdas, kuat dan bermoral dalam menggeluti dunia pers yang penuh dengan benturan-benturan idealisme dan perpolitisan. Sengaja kutulis terkahir di nomor 18, sejatinya nomor 18 merupakan identitas kelahiranmu.

Akhir kata, penulis berharap agar penelitian ini selain bermanfaat juga dapat mengundang lahirnya gairah penelitian-penelitian lain yang mengkaji berbagai fenomena baru dalam praktik media massa, khususnya media cetak di Indonesia. Sebab penelitian ini seperti sebuah karya yang baru menawarkan sebutir pengetahuan tentang secuil saja dari rimbunan “kebenaran”.

Ciputat, 23 September 2011

(11)
(12)

viii

2. Konsumsi Teks 73

BAB V PENUTUP

(13)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Media (pers) acapkali disebut sebagai the fourth estate (kekuatan keempat) dalam kehidupan sosial-ekonomi dan politik. Sebagai alat untuk menyampaikan berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik, karena media juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris.1

Pengertian senada juga diungkap Gamble dalam buku Abdul Muis tentang media massa, “Media massa adalah bagian komunikasi antar manusia (human

communication) dalam arti media merupakan saluran atau sarana untuk memperluas dan memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antar manusia.”2

Media massa identik dengan pers, mengenai hal ini Onong Uchjana Effendy berpendapat, “Dalam perkembangnnya pers mempunyai dua pengertian,

yakni pers dalam pengertian luas dan sempit. Pers dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk media massa elektronik, radio siaran dan

1

Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: PT Reamaja Rosdakarya, 2006), h. 30-31.

2

(14)

2

televisi siaran. Sedangkan pers dalam pengertian sempit hanya terbatas dalam media cetak, yakni surat kabar, majalah dan buletin kantor berita.”3

Menurut Eriyanto, proses media mendapatkan dan merangkum dalam berita karena berkaitan dengan politik pemberitaan media, di antaranya adalah strategi media dalam meliput peristiwa, memilih dan menampilkan fakta serta dengan cara apa fakta itu disajikan, secara langsung atau tidak langsung, berpengaruh dalam mengonstruksi peristiwa.4

Sehubungan dengan hal tersebut, sebenarnya media berada pada posisi yang mendua, dalam pengertian bahwa ia dapat memberikan pengaruh-pengaruh “positif” maupun “negatif” kepada publik, sehingga publik juga dituntut untuk

tidak langsung mengonsumsi informasi yang disajikan secara mentah-mentah, perlu dicerna dahulu keakuratan informasi atau berita yang disampaikan media massa.

Di dalam masyarakat modern pun, media memainkan peran penting untuk perkembangan politik masyarakatnya. Pers kerap disebut-sebut sebagai salah satu pilar demokrasi. Kebebasan berekspresi dan menyampaikan informasi yang mengusung slogan kebenaran dan kenyataan, untuk disampaikan ke ranah publik.

Ironisnya, realitas yang terjadi di lapangan melihat media massa tak sepenuhnya objektif, tidak adil, dan tidak netral dalam memberitakan atau mengritik suatu peristiwa, seperti yang sering diklaim selama ini. Tugas media

3

Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 146.

(15)

massa bukanlah menyingkap kebenaran, karena kebenaran mutlak itu tidak akan pernah kita ketahui, tetapi menanggalkan semaksimal mungkin bias-bias yang mereka anut selama ini.

Memang persoalannya adalah bahwa media tidak bisa bersifat netral. Misalnya atribut-atribut tertentu dari media dapat mengondisikan pesan-pesan yang dikomunikasikan. Sebagaimana dikatakan oleh Marshall McLuhan;

“The medium is the message,”medium itu sendiri merupakan pesan. “apa -apa yang dikatakan” ditentukan secara mendalam oleh medianya. Terlebih lagi jika disadari bahwa di balik pesan-pesan yang disalurkan lewat media niscaya tersembunyi berbagai mitos. Dan, mitos sebagai sistem signifikasi, mengandung muatan ideologis yang berpihak kepada kepentingan mereka yang berkuasa.”5

Memori kita tentunya masih merekam peristiwa era Orde Baru pasca Peristiwa Malari 1974, ketika rezim Soeharto sangat kuat, pers dalam hal ini media cetak mendapat tekanan atau represi sedemikian rupa, sehingga media cetak kala itu hanya murni sebagai corong penguasa.6 Otoritarianisme di era Orde Baru, media massa seolah-olah dibungkam untuk memberikan informasi dan memberitakan suatu peristiwa yang tidak ada kaitannya dengan pemerintahan saat itu. Pers Indonesia selama 32 tahun (1965-19987) terpasung. Media massa pada era Orde Baru lebih banyak memberitakan hal-hal yang mendukung pemerintah, dan sistem pers saat itu menganut sistem pers otoriter.7 Keadaan berubah ketika

5

Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: PT Reamaja Rosdakarya, 2006), h. 37.

6

M Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi (Yogyakarta: Gitanyali, 2004), h. 178. 7

(16)

4

rezim Soeharto jatuh paska Mei 1998, sistem politik yang sebelumnya sangat represif menjadi demikian longgar, berita media cetak pun menjadi leluasa.

Pers tentu saja memanfaatkan kebebasan pers yang selama pemerintah Orde Baru tidak pernah didapatkan. Ibarat kuda lepas dari kandangnya, mereka lari dengan sangat cepatnya. Namun, kebebasan pers yang selama ini didapatkan dianggap sudah pada tempatnya. Coba bandingkan dengan kebebasan pers paska Orde Baru yang sangat liar. Pada waktu itu, pers berada pada titik kulminasi kebebasan tertinggi yang bebas membertitakan apa saja, meskipun tanpa fakta sekalipun.

Saat ini, sejalan dengan tingkat kedewasaan pengelola media massa, pers mengartikan kebebasan masih dalam tempat yang wajar. Ia tetap hati-hati dalam meliput pelbagai persoalan di masyarakat, meskipun tentu dengan kekurangan yang melekat di sana sini.8

Reformasi yang mengakhiri pemerintahan Orde Baru adalah tonggak penting bagi perjuangan kebebasan itu. Ketika Reformasi tahun 1998 digulirkan di Indonesia, pers nasional bangkit dari keterpurukannya dan kran kebebasan pers dibuka lagi yang ditandai dengan berlakunya UU No. 40 Tahun 1999. Berbagai kendala yang membuat pers nasional “terpasung”, dilepaskan. Surat Izin Usaha

Penerbitan Pers (SIUPP) yang berlaku di era Orde Baru tidak diperlukan lagi, siapapun dan kapanpun dapat menerbitkan penerbitan pers tanpa persyaratan yang rumit. Euforia reformasi pun hampir masuk, baik birokrasi pemerintahan maupun

8

(17)

masyarakat mengedepankan nuansa demokratisasi. Namun, dengan maksud menjunjung asas demokrasi, sering terjadi ide-ide yang pemunculannya acap kali melahirkan dampak yang merusak norma-norma dan etika. Bahkan cenderung mengabaikan kaidah profesionalisme, termasuk bidang profesi kewartawanan dan pers pada umumnya.

Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supermasi hukum. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia yaitu right to know atau hak untuk tahu, berpendapat dan mendapat informasi. Yang dimaksud dengan kemerdekaan pers yang dijamin sebagai hak asasi manusia adalah pers yang bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.

Untuk itu lahirnya kebebasan pers di era Reformasi ini tentunya menjadi parameter dari segi waktu, di mana pers, khususnya media cetak menjadi lebih berani dalam mengamati dan mengritik birokrasi pemerintahan. Tampak dari pengemasan sebuah bahasa dalam menginterpretasikan pesan yang disampaikan dalam kaitannya dengan konteks secara keseluruhan.

Menurut ungkapan Lorens Bagus (1990), sebagaimana dikutip Alex Sobur;

(18)

6

sama dapat dipakai menghancurkan realitas orang lain, bahasa menjadi tiran.”9

Sudah jamak dan tak asing lagi sebuah surat kabar nasional menyediakan kolom khusus pada halaman tertentu yang menyajikan rubrikasi pendapat atau opini, di antaranya tajuk rencana, surat pembaca, tulisan atau artikel dari tokoh penulis atau ilmuwan. Pada kolom tersebut, segala pendapat, kritik, pikiran orang-perorangan baik mengatasnamakan pribadi maupun institusi, digulirkan secara bebas dalam praktik penggunaan bahasanya, bahkan ada yang menggunakan bahasa sindiran (satire).

Editorial sebenarnya bukanlah kolom yang paling dicari pembaca. Ketika berhadapan dengan media cetak, misalnya saja surat kabar, orang cenderung akan terfokus pada informasi utama. Jarang sekali, kalau boleh dikatakan demikian, ditemukan orang yang langsung mencari dan membaca kolom editorial.

Fakta tersebut yang mungkin menyebabkan kebanyakan media cetak tidak menaruh editorial pada halaman muka, tapi bukan berarti tidak ada sama sekali. Dalam format surat kabar skala nasional, Media Indonesia tercatat sebagai salah satu dari segelintir surat kabar yang memilih meletakkan kolom editorialnya pada halaman depan.

Kolom editorial memang tidak selalu hadir dengan nama editorial. Masing-masing media cenderung memberi nama yang berbeda sebagai ciri khas medianya. Ada yang menyebutnya sebagai "Dari Kami" milik majalah Intisari,

9

(19)

"Dari Meja Redaksi" kepunyaan buletin Pilar. Sementara Kompas menyebutnya "Tajuk Rencana", sedangkan Seputar Indonesia "Tajuk". Adapun Media Indonesia dan Berita GKMI termasuk yang masih memakai nama "Editorial" pada kolom tersebut.

Di Media Indonesia meyediakan kolom tajuk rencana yang disebut dengan Editorial dan diletakkan di halaman muka tepatnya pojok kanan atas. Rubrik Editorial Media Indonesia ini merupakan evolusi dari rubrik Selamat Pagi Indonesia di Harian Prioritas yang harus dibredel karena telah berani berterus-terang menyatakan pendapat, berjuang mengemukakan pendapat dan berpikir dengan sangat bebas. Tidak gampang memang menemukan gaya tajuk rencana yang dikemas sedemikian rupa agar tetap masuk ke ruang publik. Di tengah kultur sopan santun, kritik dibungkus dalam kata-kata santun.

Tajuk rencana merupakan pendapat institusi mengenai isu yang dibuat berdasarkan rapat redaksi, yang perlu digarisbawahi adalah tidak mengatasnamakan pribadi wartawan. Tajuk rencana pada dasarnya adalah roh bagi sebuah surat kabar. Pada tajuk rencana itulah pandangan, pikiran, dan kritisme redaksi pengelola terhadap beragam peristiwa dikonstruksi untuk menghasilkan sebuah titik pandang dan kemudian ditampilkan ke tengah-tengah publik, karena itu tidak disertai nama penulisnya.

Tajuk rencana menurut Jacob Oetama adalah “Suara lembaga koran

(20)

8

fakta, baru kemudian komentar atas fakta tersebut. Ada dimensi etis, ada dimensi kemanusiaan. Tidak sekadar semua asal dibicarakan, tetapi antara dibicarakan dan juga dilaksanakan.”10

Tajuk Rencana adalah opini berisi pendapat dan sikap resmi suatu media sebagai institusi penerbitan terhadap persoalan aktual, fenomenal, dan atau kontroversial yang berkembang dalam masyarakat. 11

Seperti yang diungkapkan William L. Rivers, Byrce Mc Intryre dan Alison Work;

“Editorial adalah pikiran sebuah institusi yang diuji di depan sidang pendapat umum. Editorial juga adalah penyajian fakta dan opini yang menafsirkan berita-berita yang penting dan mempengaruhi pendapat

umum.”12

Karakter atau identitas sebuah surat kabar terletak pada tajuk rencana. Tajuk rencana pers papan atas atau pers berkualitas misalnya, memiliki ciri antara lain senantiasa hati-hati, normatif, cenderung konservatif, dan menghindari pendekatan kritik yang bersifat telanjang atau tembak langsung dalam ulasan-ulasannya.13

Terus terang, Tegas, dan Lugas adalah karakter paling menonjol dari Editorial Media Indonesia. Editorial Media Indonesia memesona sebagai naskah, dan juga memesona sebagai pemikiran. Di situlah letak kekuatan Editorial Media

10

Jacob Oetama, Perspektif Pers Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 137-138. 11

AS Haris Sumadiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis Profesional (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005), h. 2.

12

William L Rivers, Bryce Mc Intyre, dan Alison Work, Penyunting Dedy Djamaluddin Malik,

Editorial, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), h. 5. 13

(21)

Indonesia. Begitu berani penulisan dan gaya bahasa yang digunakan oleh Media Indonesia, khususnya pada rubrik editorial, sehingga tidak jarang menuai kontroversi dari berbagai kalangan.

Berangkat dari latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk menyajikan sebuah skripsi yang berjudul “Analisis Wacana Bahasa Rubrik Editorial Media Indonesia Edisi Desember 2000.”

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Agar pembahasan lebih terarah dan fokus, maka peneliti memberi batasan penelitian terhadap bahasa jurnalistik Editorial Media Indonesia

edisi Desember 2000. Peneliti meneliti Editorial Media Indonesia pada setiap minggunya di bulan Desember 2000, terdapat lima editorial yang dijadikan sebagai data utama penelitian. Alasan peneliti memilih kelima sampel tersebut adalah dilihat dari segi isi, sejauhmana bahasa yang dikemas dengan sangat lugas, berani dan menarik oleh editorial dalam menuliskan sosok Abdurrahman Wahid.

(22)

10

diambil pada edisi Rabu, 20 Desember 2000. Terakhir, minggu kelima diambil pada edisi Sabtu, 30 Desember 2000.

Sejauh mana penggunaan dan penempatan kaidah bahasa jurnalistik pada sebuah produk jurnalistik non berita, pada penelitian ini adalah Editorial Media Indonesia.

Titik perhatian besar penelitian ini lebih menelusuri bagian judul editorial dan isi editorial dari aspek kebahasaan, yaitu bahasa jurnalistik. Selain itu agar penelitian ini mendapatkan hasil yang optimal dan akurat, peneliti menggunakan analisis wacana model Norman Fairclough. Fairclough mengaitkan analisis level teks (tingkat analisis mikro) dengan analisis level discourse practice (tingkat analisis messo) yang menjelaskan kaitan tentang produksi teks dan konsumsi teks. Peneliti tidak memasuki wilayah sociocultural practice (tingkat analisis makro) yang ada pada wilayah analisis Norman Fairclough secara utuh atau oleh Fairclough disebut ”dimensi wacana”.

Pada tingkat mikro (teks), peneliti akan meneliti pemakaian bahasa pada kelima Editorial Media Indonesia edisi Desember 2000. Penelitian pada level teks dilihat secara keseluruhan, yaitu judul dan isi ( pendahuluan, pembahasan, dan penutup) editorial Media Indonesia.

(23)

Media Indonesia yang juga sebagai Dewan Redaksi Media Group,

Djadjat Sudradjat. Wawancara dilakukan sebagai salah satu bentuk penelusuran data dan fakta. Sedangkan pada level konsumsi teks, peneliti melakukan wawancara dengan seorang informan yang dipilih berdasarkan teknik sampling purposive. Lebih spesifik lagi, informan bernama Edy A Effendi dipilih sesuai dengan ketepatan relasi antara judul penelitian dengan kredibilitas serta kapabilitas informan itu sendiri.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka timbul rumusan masalah yang akan dibahas antara lain:

a. Bagaimana proses pemilihan tema Editorial Media Indonesia? Bagaimana pula alur produksi teks pada Editorial Media Indonesia?

(24)

12

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Tujuan Akademis: penelitian ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar strata 1 (S-1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

b. Tujuan Praktis: untuk mengetahui penulisan editorial dan mengetahui bagaimana penerapan bahasa jurnalistik di Media Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan institusi media massa dalam menyeleksi suatu isu yang berkaitan dengan penulisan non berita (opini redaksi). Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara teks dan konteks dalam penulisan Editorial Media Indonesia dan menelusuri adakah pesan yang tersembunyi (latent).

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis: Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah referensi bagi ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan pada bidang jurnalistik.

(25)

Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi dan evaluasi bagi institusi media khususnya Media Indonesia, terkait dengan isu-isu sensitif yang berhubungan dengan personalitas tokoh politik

D. Tinjauan Kepustakaan

Peneliti melakukan observasi ke beberapa perpustakaan, di antaranya adalah Perpustakaan Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan IISIP Jakarta. Di perpustakaan tersebut peneliti mendapatkan penulisan skripsi yang meneliti bahasa jurnalistik, Abdurrahman Wahid, dan Media Indonesia.

Penelitian sebelumnya dilakukan oleh beberapa peneliti yang meneliti penggunaan bahasa jurnalistik, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Irvan, Mahasiswa IISIP Jurusan Jurnalistik. Skripsinya berjudul Konstruksi Realitas Pemberitaan Presiden Abdurrahman Wahid Dalam Wacana Surat Kabar

Republika Edisi 7 Mei 2000-3 Februari 2001 (Analisis Wacana Kasus BULOG).

Penelitian lainnya dilakukan oleh Santi Irawati, Mahasiswi IISIP Jurusan Jurnalistik. Skripsinya berjudul Penggunaan Kaidah Bahasa Jurnalistik Indonesia Dilihat Dari Kata Mubazir, Kata Asing, dan Kerancuan Pada Headline Surat

Kabar Harian Media Indonesia Edisi Januari-Februari 2009.

(26)

14

Republika. Walaupun meneliti subjek yang sama (Abdurrahman Wahid), tetapi objek yang diteliti berbeda yaitu memfokuskan pada satu kasus (BULOG) tahun 2000-2001. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan memilih Media Indonesia

dan instrumen penelitiannya adalah editorial edisi Desember 2000.

Perbedaan dengan peneliti kedua terdapat pada fokus objek penelitian. Pada peneliti kedua objek penelitiannya adalah headline, sedangkan objek penelitian yang peneliti pilih adalah editorial. Peneliti kedua tidak menggunakan spesifikasi analisis, berbeda dengan peneliti yang menggandeng analisis wacana Norman Fairclough.

Peneliti yang ketiga adalah sama-sama berstatus sebagai mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, FIDKOM, Komunikasi dan Penyiaran Islam, Ruslan. Skripsinya berjudul Analisis Wacana Islam Liberal dalam Majalah

Syir’ah Edisi Oktober 2005.

Perbedaan yang pertama antara peneliti dengan peneliti ketiga ini adalah fokus penelitian yg dilakukannya pada Islam Liberal, sedangkan peneliti lebih kepada Editorial Media Indonesia. Perbedaan kedua, walaupun sama-sama menggunakan analisis wacana Norman Fairclough, tetapi pada peneliti ketiga tidak adanya penelitian di tingkat bahasa jurnalistik.

(27)

Perbedaan yang terlihat antara peneliti dengan peneliti keempat adalah subjek penelitiannya adalah surat kabar Republika edisi Desember 2008. Objek penelitiannya adalah berita utama surat kabar Republika edisi Desember 2008. Penelitiannya juga lebih memfokuskan pada ciri bahasa jurnalitik yang komunikatif, spesifik, hemat kata, jelas makna, dan tidak mubazir serta tidak klise.

Perbedaan terakhir masih pada salah satu mahasiswi dari universitas, fakultas dan jurusan yang sama dengan peneliti ketiga, yaitu Asih Amerti. Judul skripsinya adalah Analisis Wacana Editorial Koran Tempo tentang Serangan Israel ke Gaza (edisi 28 Desember 2008-18 Januari 2009).

Pada penelitiannya, subjek yang digunakan adalah serangan Israel ke Gaza. Objek penelitiannya adalah Editorial Koran Tempo yang memuat tentang serangan Israel ke Gaza edisi 27 Desember 2008-18 Januari 2009. Peneliti terakhir menggunakan pisau analisis wacana model Teun van Dijk dan teori konstruksi realitas Peter L Berger.

E. Metodologi Penelitian

1 Paradigma Penelitian

(28)

16

”Paradigma ilmu pengetahuan (komunikasi) terbagi menjadi tiga, (1) paradigma klasik (classical paradigm) yang terdiri dari positivist dan postpositivist, (2) paradigma kritis (critical paradigm) dan (3) paradigma konstruktivisme (constructivism paradigm).14

Karena penelitian ini menggunakan pisau Analisis Wacana, maka penelitian ini termasuk dalam kategori paradigma kritis. Paradigma kritis terhadap wacana sebagai tipe analisis yang terutama mempelajari bagaimana kekuasaan disalahgunakan, atau bagaimana dominasi serta ketidakadilan dijalankan dan direproduksi melalui teks dalam sebuah konteks sosial politik.

Salah satu kriteria yang berlaku bagi sebuah studi kritis adalah sifat holistik dan kontekstual. Kualitas suatu analisis wacana kritis akan selalu dinilai dari segi kemampuan untuk menempatkan teks dalam konteksnya yang utuh, holistik, melalui pertautan antara analisis pada jenjang teks dengan analisis terhadap konteks pada jenjang-jenjang yang lebih tinggi.

Mengambil pemikiran Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat wacana pada pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan, sebagai bentuk dari praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di

14

(29)

antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya.15

Fairclough menyempurnakan pengertian wacana secara komprehensif dari pandangan kritis. Menurutnya, wacana harus dipandang secara simultan.16 Fairclough juga mengemukakan pokok-pokok pikiran kritis yaitu setiap institusi sosial berisi “cara-cara berbicara” dan “cara-cara melihat” yang dalam terminologi Fairclough disebut “bentuk ideologis-diskursif” (BID). Biasanya hanya ada satu

BID yang dominan, sementara itu BID yang lain berada pada posisi tersubordinasi dan terhegemoni. Setiap institusi sosial memiliki norma-norma wacana yang dilekatkan dalam norma-norma ideologis dan disimbolkan oleh norma-norma ideologisnya. Subjek institusi dikonstruksikan menurut norma-norma sebuah BID dimana posisi subjek yang mendukung ideologi itu mungkin saja tidak sadar.17

Sedangkan paradigma kritis menurut Eriyanto, tidak dipahami semata sebagai studi bahasa. Pada akhirnya, analisis wacana memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis, tetapi bahasa yang dianalisis di sini agak berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Konteks di sini berarti bahasa itu

15

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 7.

16

Yoce Aliah Darma, Analisis Wacana Kritis (Bandung: Yrama Widya, 2009), h. 69.

17

(30)

18

dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan.18

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di masyarakat. Objek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna dari gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai kategorisasi tertentu.19

Pendekatan kualitatif tidak menggunakan prosedur statistik dalam pendekatannya, melainkan dengan berbagai macam sarana. Sarana tersebut antara lain dengan wawancara, pengamatan, atau dapat juga melalui dokumen, naskah, buku, dan lain-lain.20 Seperti yang diungkapkan Crasswell;

“Beberapa asumsi dalam pendekatan kualitatif yaitu pertama,

peneliti kualitatif lebih memerhatikan proses daripada hasil.

Kedua, peneliti kualitatif lebih memerhatikan interpretasi.

Ketiga, peneliti kualitatif merupakan alat utama dalam mengumpulkan data dan analisis data serta peneliti kualitatif harus terjun langsung ke lapangan, melakukan observasi partisipasi di lapangan. Keempat, peneliti kualitatif menggambarkan bahwa peneliti terlibat dalam proses

18

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 7. 19

Ibid., h. 302. 20

(31)

penelitian, interpretasi data, dan pencapaian pemahaman melalui kata atau gambar.21

Dalam analisisnya, analisis wacana lebih bersifat kualitatif, karena analisis wacana lebih menekankan pemaknaan teks daripada unit penjumlahan kategori seperti pada analisi isi kuantitatif. Unsur penting dalam analisis wacana adalah kepaduan (coherence) dan kesatuan (unity) serta penafsiran peneliti.22

3. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek yang diteliti adalah Media Indonesia. Sedangkan objek penelitiannya adalah Editorial Media Indonesia Edisi Desember 2000, spesifikasi terhadap bahasa jurnalistik editorial beserta gaya penulisan editorial terhadap personalitas Abdurrahman Wahid.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti yaitu data primer dan sekunder. Data primer merupakan sasaran utama dalam analisis, sedangkan data sekunder diperlukan guna mempertajam analisis data primer sekaligus dapat dijadikan bahan pendukung ataupun pembanding.

a. Data primer (Primary-Sources), yaitu data tekstual yang diperoleh berupa berkas Editorial Media Indonesia Edisi Desember 2000.

21Ibid., h. 303.

22

(32)

20

b. Data sekunder (Secondary-Sources), yaitu dengan mencari referensi berupa buku-buku, makalah, jurnal dan tulisan lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Pada penelitian ini yang menjadi data sekunder adalah buku terbitan LP3ES dengan judul Politik Editorial Media Indonesia, Analisis Tajuk Rencana1998-2000.

c. Observasi, untuk mendapatkan data primer pada penelitian, peneliti melakukan observasi sebagai bukti suatu pengujian. Observasi ini dilakukan guna menjadi salah satu teknik pengumpulan data yang menjadi bahan pijakan, yaitu mengumpulkan dan menyeleksi penulisan Editorial Media Indonesia edisi Desember 2000.

d. Studi Pustaka, peneliti juga melakukan pencarian ke beberapa sumber-sumber referensi yang terkait dengan studi kasus penelitian ini, baik berupa buku, penelitian ilmiah maupun data dari internet.

e. Wawancara, teknik ini dilakukan untuk menambah data dan menyinergikan data, dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan kepada dewan redaksi atau wartawan yang mengelola Editorial Media Indonesia. Wawancara dilakukan kepada narasumber terpercaya yakni Djadjat Sudradjat sebagai salah satu Tim Penulis Editorial Media Indonesia, kini sebagai Dewan Redaksi Media Group.

5. Teknik Analisis Data

(33)

Indonesia mengemas sebuah produk jurnalistik non-berita (opini redaksi). Analisis wacana tidak hanya mengetahui bagaimana pesan disampaikan melalui kata, frasa, kalimat, metafora macam apa suatu berita disampaikan. Analisis wacana lebih melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, Analisis Wacana juga lebih melihat pada makna yang tersembunyi dari suatu teks.

Pendekatan yang akan digunakan dalam Analisis Wacana ini menggunakan model Norman Fairclough. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Model Analisis Wacana ini dibagi ke dalam tiga struktur besar, yakni: teks,

discourse practice dan sociocultural practice.23

Discourse practice merupakan struktur yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Teks diproduksi dengan cara spesifik dengan rutinitas dan pola kerja yang terstruktur.24

Dalam penelitian ini analisis discourse practice dilakukan dengan: pertama, produksi teks dilakukan melalui wawancara mendalam dengan Dewan Redaksi Media Group yaitu Djadjat Sudradjat. Kedua, konsumsi teks dilihat dari bagaimana publik merespon penulisan opini institusi dalam Editorial Media Indonesia Edisi Desember 2000. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap seorang informan

23

Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: Rosdakarya, 2001), h. 161.

24

(34)

22

mantan Penulis Editorial dari unsur wartawan Media Indonesia, kini sebagai Pemimpin Redaksi Tabloid Kabar Lain dan Portal Berita On line http://kabarlain.com, Edy A Effendi.25

F. Pedoman Penulisan

Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku ”Pedoman Penulisan Karya

Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)” yang ditulis oleh Hamid Nasuhi, Ismatu Ropi, Oman Fathurahman, M. Syairozi Dimyati, Netty Hartati dan Syopiansyah Jaya Putra. diterbitkan oleh CeQDA ( Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. buku ini merupakan cetakan pertama pada Januari 2007.

G. Sistematika Penulisan

BAB I diawali dengan latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II berisi tentang tinjauan kepustakaan mengenai analisis wacana model Norman Fairclough, ruang lingkup bahasa jurnalistik, pengertian rubrik, ruang lingkup editorial atau tajuk rencana.

25

(35)

BAB III membahas sejarah Media Indonesia, visi dan misi, struktur keredaksian, profil pembaca dan profil Editorial.

BAB IV membahas tentang temuan Analisis Wacana Editorial Media Indonesia Edisi Desember 2000, dan lebih dominan memberitakan mengenai personalitas Abdurrahman Wahid. Temuan data dianalisis dengan menggunakan Analisis Wacana model Norman Fairclough dan akan dibuat hasil penelitian yang mengkritisi penulisan Editorial Media Indonesia.

(36)

24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Analisis Wacana

1. Pengertian Analisis Wacana

Análisis wacana merupakan bentuk análisis relatif baru yang berkembang terutama sejak tahun 1970-an, seiring dengan studi mengenai struktur, fungsi, dan proses dari suatu teks.1

Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasi yang besar dari berbagai definisi, titik singgungnya adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa.

Dalam analisis wacana yang menjadi sorotan utama adalah representasi, bagaimana seseorang atau segala sesuatu itu tidak tampil sendiri, tetapi ditampilkan melalui mediasi bahasa. Baik tertulis, suara, maupun gambar. Bahasa di sini tidak dimaknai sebagai sesuatu yang netral yang bisa mentransmisikan dan menghadirkan realitas seperti keadaan aslinya. Bahasa di sini bukan dimaknai sebagai sesuatu yang netral, tetapi sudah tercelup oleh ideologi yang membawa muatan kekuasaan tertentu. Bahasa adalah suatu praktik sosial, melalui mana seseorang atau kelompok

1

(37)

ditampilkan dan didefinisikan. Lewat bahasa, seseorang ditampilkan secara baik dan buruk untuk ditampilkan kepada masyarakat.2

Analisis wacana berbeda dengan apa yang dilakukan oleh análisis isi kuantitatif. 3 Dasar dari analisis wacana adalah interpretasi, karena analisis wacana merupakan bagian dari metode interpretatif yang mengandalkan interpretasi dan penafsiran peneliti. Oleh karena itu, dalam proses kerjanya, analisis wacana tidak memerlukan lembar koding yang mengambil beberapa ítem atau turunan dari konsep tertentu. Meskipun ada panduan apa yang bisa dilihat dan diamati dari suatu teks, pada prinsipnya semua tergantung pada interpretasi peneliti. Isi dipandang bukan sesuatu yang mempunyai arti yang tepat, di mana peneliti dan khalayak mempunyai penafsiran yang sama atas suatu teks. Justru yang terjadi sebaliknya, setiap teks pada dasarnya bisa dimaknai secara berbeda, dapat ditafsirkan secara beraneka ragam. Perbedaan ini terutama didasarkan pada yang satu merupakan bagian dari tradisi penelitian empiris, sedangkan yang satu interpretatif.

Kedua, analisis wacana justru berpretensi memfokuskan pada pesan yang tersembunyi (laten). Banyak sekali teks komunikasi disampaikan secara implisit. Makna suatu pesan dengan demikian tidak dapat hanya ditafsirkan sebagai apa yang tampak nyata dalam teks, tetapi harus dianalis

2

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 343 3Ibid.

(38)

26

dari makna yang tersembunyi. Pretensi analisis wacana adalah pada muatan, nuansa, dan makna yang laten dalam teks media. 4

Ketiga, analisis wacana bukan hanya bergerak dalam level makro (isi dari suatu teks) tetapi juga pada level mikro yang menyusun suatu teks, seperti kata, kalimat, ekspresi, dan retoris. Dalam analisis wacana, bukan hanya kata atau aspek isinya yangg dapat dikodekan tetapi struktur wacana yang kompleks pun dapat dianalisis pada berbagai tingkatan deskripsi. Bahkan makna kalimat dan relasi koheren antarkalimat pun dapat dipelajari. Dalam pendekatan ini, pengandaian yang digunakan untuk memeriksa makna yang tersembunyi yang dimiliki wacana juga dapat dipelajari dan dibedah. Kita juga dapat melihat bagaimana suatu peristiwa dapat digambarkan dengan sedikit atau banyak detil dalam teks. Intinya, semua elemen yang membentuk teks baik yang terlihat secara eksplisit maupun tersamar dapat dibedakan dengan analisis wacana. Keempat, analisis wacana tidak berpretensi melakukan generalisasi dengan beberapa asumsi.5

Foucault mengatakan wacana sebagai bidang dari semua pernyataan (statement), kadang sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang-kadang sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan (Mills, 1997: 8). Sementara Eriyanto (2005: 5) mendefinisikan

4Peter Carsen, “Textual Analysis of Fictional Media Content”

, dalam Klaus Bruhn Jensen dan Michael Jankoviscki, A Handbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication Research (London and New York: Routledge, 1993), h. 123.

5

(39)

análisis wacana sebagai suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Wacana merupakan praktik sosial (mengonstruksi realitas) yang menyebabkan sebuah hubungan dialektis antara peristiwa yang diwacanakan dengan konteks sosial,budaya, ideologi tertentu. Di sini bahasa dipandang sebagai faktor penting untuk merepresentasikan maksud si pembuat wacana.6

Dalam analisisnya, analisis wacana lebih bersifat kualitatif, karena analisis wacana lebih menekankan pemaknaan teks daripada unit penjumlahan kategori seperti pada analisi isi kuantitatif. Unsur penting dalam analisis wacana adalah kepaduan (coherence) dan kesatuan (unity) serta penafsiran peneliti.7

2. Kerangka Analisis Wacana Model Norman Fairclough

Pendekatan yang akan digunakan dalam analisis wacana ini menggunakan model Norman Fairclough, dengan melihat berbagai perbandingan antar model pada analisis wacana. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Model analisis wacana ini dibagi ke dalam tiga struktur besar, yakni: teks,

discourse practice dan sociocultural practice. Dalam model Fairclough, teks yang dianalisis secara linguistik dengan melihat kosakata semantik

6

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cetekan ketiga, 2008), h. 260.

7

(40)

28

dan tata kalimat. Termasuk di dalamnya koherensi dan kohesivitas, bagaimana antarkata atau antarkalimat tersebut digabung sehingga membentuk sebuah pengertian.8 Intinya adalah teks bukan hanya menunjukkan bagaimana suatu objek digambarkan tetapi juga bagaimana hubungan antarobjek didefinisikan. Di sini dilakukan analisis linguistik pada struktur teks untuk menjelaskan teks tersebut, yang meliputi kosa kata, kalimat, proposisi, makna kalimat dan lainnya, untuk mempermudah analisis bisa digunakan metode analisis pembingkaian.9

Discourse practice merupakan struktur yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Teks diproduksi dengan cara spesifik dengan rutinitas dan pola kerja yang terstruktur.10 Praktik wacana merupakan dimensi yang berkaitan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Sebuah teks pada dasarnya dihasilkan lewat proses produksi, seperti pola kerja, bagan kerja, dan rutinitas dalam menghasilkan teks. Demikian pula dengan konsumsi teks dapat berbeda dalam konteks yang berbeda. Konsumsi dapat dihasilkan secara personal atau kolektif.11

Pada struktur sociocultural practice didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada di luar media mempengaruhi bagaimana wacana yang muncul dalam media. Sociocultural practice ini memang tidak berhubungan langsung dengan produksi teks, tetapi ia menentukan

8

Alex Sobur, Analisi Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: Rosdakarya, 2001), h. 161.

9

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, h. 263.

10

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 287.

11

(41)

bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Fairclough membuat tiga level analisis pada sociocultural practice: level situasional, institusional dan sosial. 12 Praktik sosial budaya melihat bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat, di mana dimensi ini melihat konteks di luar teks, antara lain sosial, budaya, atau situasi saat wacana itu dibuat.13

B. Ruang Lingkup Bahasa Jurnalistik

Penggunaan bahasa jurnalistik dalam surat kabar, tabloid, buletin, majalah, radio, televisi, atau media on line, tidak bisa bersifat tiba-tiba atau hadir begitu saja. Bahasa jurnalistik suatu media dipilih melalui proses perencanaan dan bahkan hasil kajian yang sangat panjang. Setiap media biasanya memiliki buku pedoman atau panduan masing-masing dalam penetapan bahasa jurnalistik. Buku pedoman tersebut harus berpijak pada empat faktor: filosofi media, visi media, misi media dan kebijakan redaksional.14

1. Pengertian Bahasa Jurnalistik

a.Bahasa yang tunduk kepada kaidah dan unsur-unsur pokok yang terdapat dan melekat dalam definisi jurnalistik. Susunan kalimat

12Ibid

., h. 320-322. 13

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, h. 263.

14

(42)

30

jurnalistik yang baik akan menggunakan kata-kata yang pas untuk menggambarkan suasana serta isi pesannya.15

b.Bahasa yang digunakan oleh wartawan dinamakan bahasa pers atau bahasa jurnalistik. Bahasa pers ialah salah satu ragam bahasa yang memiliki sifat-sifat khas yaitu: singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan menarik16

Dengan berpijak pada uraian di atas, pengertian bahasa jurnalistik dapat didefinisikan sebagai bahasa yang digunakan oleh wartawan, redaktur, atau pengelola media massa dalam menyusun dan menyajikan, memuat, menyiarkan dan menayangkan berita serta laporan peristiwa atau pernyataan yang benar, aktual, penting dan menarik dengan tujuan agar mudah dipahami isinya dan cepat ditangkap maknanya.

2. Fungsi Bahasa Jurnalistik

Karena sifat khalayak anonim dan heterogen, maka bahasa jurnalistik yang dipilih tentu harus memenuhi asas anonim heterogenitas.

Dasar dan motif pertumbuhan bahasa itu dalam garis besarnya adalah: a. Alat untuk menyatakan ekspresi, bahasa menyatakan secara terbuka

segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita.

15

AM. Dewabrata, Kalimat Jurnalistik, Panduan Mencermati Penulisan Berita (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), h. 23.

16

(43)

b. Alat komunikasi, dengan komunikasi kita dapat menyampaikan semua yang kita rasakan, pikirkan, dan kita ketahui kepada orang lain.

c. Alat mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, bahasa memungkinkan manusia untuk memanfaatkan pengalaman, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang lain.

d. Alat mengadakan kontrol sosial, semua kegiatan sosial akan berjalan dengan baik karena dapat diatur dengan mempergunakan bahasa.17

e. Fungsi pemersatu, menghubungkan semua penutur berbagai dialek bahasa, dan mempersatukan mereka menjadi satu masyarakat bahasa, serta meningkatkan proses identifikasi penutur dengan masyarakat itu.

f. Fungsi pemberi kekhasan, bahasa baku memperkuat perasaan kepribadian nasional masyarakat bahasa yang bersangkutan. Yang jelas bahasa Indonesia berbeda dari bahasa Melayu.

g. Fungsi pembawa kewibawaan, pemilikan bahasa baku membawa serta wibawa atau prestise. Fungsi pembawa wibawa bersangkutan dengan usaha orang mencapai kesederajatan dengan peradaban lain yang dikagumi lewat perolehan bahasa baku sendiri.

17

(44)

32

h. Fungsi sebagai kerangka acuan, bagi pemakaian bahasa dengan adanya norma dan kaidah (yang dikodifikasikan) yang jelas. Norma dan kaidah itu menjadi tolok ukur bagi benar tidaknya pemakaian bahasa seorang atau golongan.18

i. Fungsi instrumental, menggunakan bahasa untuk memperoleh sesuatu.

j. Fungsi regulatori, menggunakan bahasa untuk mengontrol perilaku orang lain.

k. Fungsi interaksional, menggunakan bahasa untuk menciptakan interaksi dengan orang lain.

l. Fungsi personal, menggunakan bahasa untuk mengungkapkan perasaan dan makna.

m.Fungsi heuristik, menggunakan bahasa untuk belajar dan menemukan makna.

n. Fungsi imajinatif, menggunakan bahasa untuk menciptakan dunia imajinasi.

o. Fungsi representasional, menggunakan bahasa untuk menyampaikan informasi.19

Sebagai pegangan pokok, bahasa jurnalistik hanyalah salah satu ragam bahasa, bahasa jurnalistik merujuk dan tunduk kepada kaidah bahasa baku,

18

Hasan Alwi, Soedjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, Anton M Moeliono, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), h. 14-16.

19

Furqanul Azies dan A Chaedar Alwasiah, Pengajaran Bahasa Komunikatif , Teori dan Praktek

(45)

dan bahasa jurnalistik tidak dimaksudkan sebagai suatu bentuk bahasa baru yang sifatnya berbeda apalagi menggantikan bahasa-bahasa yang lain, termasuk dan terutama bahasa nasional, bahasa Indonesia. Jika dikatakan dan disimpulkan fungsi bahasa seluas samudera, maka seluas itu juga fungsi yang diemban bahasa jurnalistik.

C. Kebijakan

1. Pengertian

Kebijakan secara umum diartikan sebagai kearifan mengelola. Dalam ilmu-ilmu sosial, kebijakan diartikan sebagai dasar-dasar haluan untuk menentukan langkah-langkah atau tindakan-tindakan dalam mencapai suatu tujuan.20

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kebijakan adalah rangkaian proses dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan dan cara dalam bertindak; pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen usaha untuk mencapai sasaran. Ada tiga kategori latar pembuatan kebijakan, yaitu:21

a. Isu-isu kebijakan pokok dihubungkan dengan masalah sosial, masa kini, masa lalu, kecenderungan masalah itu di masa yang akan datang.

20

Gunawan Wirardi, Ensiklopedia Nasional Indonesia (Jakarta: PT. Cipta Adi Pusaka, 1990), h. 260.

21

(46)

34

b. Proses bagaimana pembuatan kebijakan dilakukan terutama yang berkenaan dengan identifikasi isu-isu kebijakan. Proses pembuatan kebijakan melibatkan beberapa elemen itu.22

c. Proses saluran komunikasi dalam proses penyampaian informasi mengenai isu-isu kebijakan, baik vertikal, horizontal, maupun diagonal.

d. Gerbang-gerbang kritis dan titik pusat keputusan dimana isu-isu berproses.

e. Mekanisme kebijakan secara tipikal dalam hubungannya dengan isu kebijakan.

f. Sifat-sifat isu kebijakan.

g. Kecenderungan-kecenderungan kontinuasi dan dekontinuasi produk kebijakan yang menjadi isu utama.

2. Proses Perumusan Kebijakan

Dalam proses perumusan kebijakan ada beberapa tahap yang dilakukan yaitu:

a. Identifikasi dan formulasi kebijakan

b.Penentuan alternatif kebijakan untuk pemecahan masalah

c. Pengkajian atas analisis kelayakan masing-masing alternatif kebijakan

22

(47)

d. Pelaksanaan kebijakan dengan menentukan standar kinerja minimal

e. Evaluasi keberhasilan dengan ukuran-ukuran kuantitatif seperti: keefisienan, keuntungan dan lain-lain.23

Sudirman Tebba menjelaskan kebijakan redaksional juga merupakan sikap redaksi suatu media massa, terutama media cetak, terhadap masalah aktual yang sedang berkembang, yang biasanya dituangkan dalam bentuk tajuk rencana.

Kebijakan redaksional itu penting untuk menyikapi suatu peristiwa karena dalam dunia pemberitaan yang penting bukan saja peristiwa, tetapi juga sikap terhadap peristiwa itu sendiri. Kalau suatu media massa tidak memiliki kebijakan redaksi, maka dapat dipastikan beritanya tidak akan konsisten, karena ia tidak mempunyai pendirian seperti keranjang sampah.

Selain itu akan terlihat pada berita yang berubah-ubah, bahkan saling bertentangan dari hari ke hari. Misalnya hari ini ia menyiarkan pendapat yang mendukung kenaikan harga BBM, tetapi besoknya menyiarkan pendapat yang menolak kenaikan harga BBM, dan besoknya lagi menyiarkan pendapat yang tidak tegas tentang setuju atau menolak kenaikan harga BBM, dan seterusnya.

Media massa yang beritanya tidak konsisten itu tidak akan mendapat kredibilitas yang tinggi di mata khalayak. Padahal besar tidaknya pengaruh suatu media tidak semata-mata pada jumlah oplahnya atau banyaknya

23

(48)

36

pendengar atau penonton, tetapi juga kredibilitasnya. Selain itu peristiwanya menarik dan penting yang terjadi sehari-hari sangat banyak.

Sehingga tidak mungkin semuanya disiarkan. Karena itu, harus disaring dan untuk menyaringnya harus ada dasar pertimbangan yang ditetapkan bersama oleh pengelola media massa yang menyiarkan berita. Karena itu, disiarkan tidaknya suatu peristiwa atau pertanyaan, tetapi juga karena sesuai tidaknya dengan kebijakan redaksi suatu lembaga media massa yang menyiarkan peristiwa itu.

Dasar pertimbangan suatu lembaga media massa untuk menyiarkan atau tidaknya menyiarkan peristiwa pertama-tama ditentukan oleh sifatnya media massa yang bersangkutan. Media massa itu ada yang bersifat umum dan ada yang khusus. Media massa yang bersifat khusus misalnya, media massa ekonomi, hanya menyiarkan berita ekonomi dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah ekonomi, media massa politik hanya menyiarkan berita politik begitupun seterusnya.

Kemudian kalau media massa itu bersifat umum, maka ia pada prinsipnya dapat menyiarkan setiap peristiwa yang menarik dan panjang. Tetapi karena peristiwa yang menarik itu banyak, maka belum bisa menyiarkan semuanya sehingga harus ditentukan dasar pertimbangannya untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan suatu peristiwa.

(49)

politis dan bisnis. Pertimbangan ideologis suatu media massa biasanya ditentukan oleh latar belakang agama maupun nilai-nilai yang dihayati.24

D. Rubrik

Pengertian Rubrik terbagi ke dalam beberapa definisi, yaitu:

a. Kepala karangan (ruangan tetap) dalam surat kabar, majalah, dan sebagainya.25

b. Ruangan untuk karangan dalam surat kabar atau majalah.26

E. Editorial

1. Pengertian Editorial

Mengutip pengertian editorial yang ditulis AS Haris Sumadiria dalam bukunya” Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis Profesional, editorial adalah opini berisi pendapat dan sikap resmi suatu media sebagai institusi penerbitan terhadap persoalan aktual, fenomenal, dan atau kontroversial yang berkembang dalam masyarakat.27

William L. Rivers, Byrce Mc Intryre dan Alison Work mengatakan “editorial adalah pikiran sebuah institusi yang diuji di depan sidang pendapat

24

Ibid.,h. 150-152.

25

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1186.

26

Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern (Jakarta: Pustaka Amani), h. 365.

27

(50)

38

umum. Editorial juga adalah penyajian fakta dan opini yang menafsirkan berita-berita yang penting dan mempengaruhi pendapat umum.28

Menurut Lyle Spencer, “tajuk rencana merupakan pernyataan

mengenai fakta dan opini secara singkat, logis, menarik ditinjau dari segi penulisan dan bertujuan untuk memengaruhi pendapat atau memberikan interpretasi terhadap suatu berita yang menonjol sebegitu rupa sehingga kebanyakan pembaca surat kabar akan menyimak pentingnya arti berita yang ditajukkan tadi.”29

Pendapat lain yang dkemukakan oleh Jacob Oetama, tajuk rencana diartikan sebagai suara lembaga koran tersebut, maka sebenarnya tajuk rencana mestilah tidak bersifat “personal” melainkan “institusional”.

Diusahakan agar tajuk rencana itu mengungkapkan fakta, baru kemudian komentar atas fakta tersebut. Ada dimensi etis, ada dimensi kemanusiaan. Tidak sekadar semua asal dibicarakan, tetapi antar dibicarakan dan juga dilaksanakan.”30

Karena merupakan suara lembaga maka tajuk rencana tidak ditulis dengan menyantumkan nama penulisnya, seperti halnya menulis berita atau features. Idealnya tajuk rencana adalah pekerjaan, dan hasil dari pemikiran kolektif dari segenap awak media. Jadi proses sebelum penulisan tajuk rencana, terlebih dahulu diadakan rapat redaksi yang dihadiri oleh pemimpin redaksi, redaktur pelaksana serta segenap jajaran redaktur yang berkompeten,

28

William L Rivers, Bryce Mc Intyre, dan Alison Work, Penyunting Dedy Djamaluddin Malik,

Editorial (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), h. 5.

29

Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), h. 78. 30

(51)

untuk menentukan sikap bersama terhadap suatu permasalahan krusial yang sedang berkembang di masyarakat atau dalam kebijakan pemerintahan.

Maka setelah tercapai pokok- pokok pikiran, dituangkanlah dalam sikap yang kemudian dirangkum oleh awak redaksi yang telah ditunjuk dalam rapat. Dalam Koran harian bisanya tajuk rencana ditulis secara bergantian, namun semangat isinya tetap mecerminkan suara bersama setiap jajaran redakturnya. Dalam proses ini reporter amat jarang dilibatkan, karena dinilai dari segi pengalaman serta tanggung jawabnya yang terbatas.

2. Fungsi Editorial

Untuk memperjelas terhadap suatu peristiwa dengan cara menggunakan latar belakangnya. Tajuk rencana ini merupakan tempat pembaca dapat mengharapkan opini dari redaksi, juga dimana pembaca merasa sadar bahwa mereka sedang membaca apa yang menjadi pendapat daripada surat kabar terhadap suatu peristiwa.31

Adapun fungsi lain dari editorial adalah sebagai berikut:

a. Memberikan fungsi

Seringkali begitu banyak fakta yang diperoleh seorang wartawan atau redaktur, namun fakta tersebut tidak bisa dimasukkan ke dalam berita karena keterbatasan halaman, karena bertentangan dengan objektivitas berita, karena itu dimasukkan ke dalam tajuk rencana.

31

(52)

40

b. Menerangkan

Apabila suatu informasi begitu sulit untuk diterangkan tanpa memasukkan interpretasi dan opini, maka untuk menerangkan sebuah gejala atau kecenderungan bisa dipakai tajuk rencana.

c. Menafsirkan sebuah kejadian

Mungkin melalui tajuk rencana sebuah kecenderungan bisa diramalkan bagaimana terjadi di masa mendatang. Ulasan editor yang tajam tentang hal ini akan membantu pembaca. Umpanya paket deregulasi. Bisa diterangkan kemungkinan-kemungkinannya dalam tajuk rencana, pembaca dapat memahaminya.

d. Membujuk masyarakat

Seringkali dalam tajuk rencana, editor berkeinginan agar pembacanya bersikap setuju atau pro terhadap suatu hal, atau bersikap sealiran dengan surat kabar tersebut.

e. Mendebat atau menentang suatu hal

(53)

Menurut William Pinkerton dari Harvard University, Amerika Serikat, mencakup empat hal:

a. Menjelaskan berita

Tajuk rencana menjelaskan kejadian-kejadian penting kepada para pembaca. Tajuk rencana berfungsi sebagai guru, menerangkan bagaimana suatu kejadian tertentu berlangsung. Faktor-faktor apa yang diperhitungkan untuk menghasilkan perubahan dalam kebijakan pemerintah, dengan cara bagaimana kebijakan baru akan memengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi suatu masyarakat.

b. Menjelaskan latar belakang

Untuk memperlihatkan kelanjutan suatu peristiwa penting tajuk rencana dapat menggambarkan kejadian tersebut dengan latar belakang sejarah, yaitu menghubungkannya dengan suatu yang telah terjadi sebelumnya. Dengan menganalisis sejarah sekarang, tajuk rencana dapat memperlihatkan keterkaitannya dengan masalah-masalah umum sekarang. Tajuk rencana dapat menunjukkan hubungan antara berbagai peristiwa yang terpisah yang meliputi politik, ekonomi atau sosial.

c. Meramalkan masa depan

(54)

42

d. Menyampaikan pertimbangan moral

Menurut tradisi lama, para penulis tajuk rencana bertugas mempertahankan kata hati masyarakat. Mereka diharapkan mempertahankan isu-isu moral dan mempertahankan posisi mereka. Jadi, para penulis tajuk rencana akan berurusan dengan pertimbangan moral yang biasa disebut dengan ”pertimbangan nilai.”32

Idealnya, fungsi tajuk adalah membentuk dan mengarahkan opini publik; menerjemahkan berita mutakhir kepada pembaca dan menjelaskan maknanya.33

3. Sifat Editorial

a. Krusial dan ditulis secara berkala, tergantung dari jenis terbitan medianya bisa harian (daily), atau mingguan (weekly), atau dua mingguan (biweekly) dan bulanan (monthly).

b. Isinya menyikapi situasi yang berkembang di masyarakat luas baik itu aspek sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, hukum, pemerintahan, atau olah raga bahkan entertainment, tergantung jenis liputan medianya. c. Memiliki karakter atu konsistensi yang teratur, kepada para

pembacanya terkait sikap dari media massa yang menulis tajuk rencana.

32

AS Haris Sumadiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis Profesional , h. 82-85.

(55)

d. Terkait erat dengan policy media atau kebijakan media yang bersangkutan. Karena setiap media mempunyai perbedaan iklim tumbuh dan berkembang dalam kepentingan yang beragam, yang menaungi media tersebut.34

4. Tipe-tipe Editorial

Editorial ini dapat ditulis dengan alasan yang telah terjadi, mengajak orang untuk berbuat sesuatu, atau mendukung perubahan dan mengajak pembaca mengikuti suatu sudut pandang. Beberapa tipe editorial ini, khususnya yang mengkritik atau mengidentifikasi problem, juga memuat satu atau beberapa usulan solusi. Pengetahuan tentang semua jenis editorial ini penting bagi penulis editorial. Kekuatan pers, seperti yang diekspresikan lewat editorial, dapat dipakai untuk mendukung atau mengkritik.

a. Editorial Advokasi

Editorial yang menginterprestasikan, menjelaskan, membujuk dan mendukung perubahan biasanya dihubungkan dengan suatu berita penting yang ada di dalam koran tersebut. Editorial ini akan memberitahu pembacanya mengapa kejadian-kejadian itu penting. Ia juga bisa menjelaskan signifikansi ide atau kondisi tertentu. Dalam beberapa kasus, editorial mendefinisikan term dan isu, mengidentifikasi sosok dan faktor dan menerangkan latar belakang, historis, kultural,

34

(56)

44

geografis, dan kondisi lainnya. Usaha penulis untuk membujuk pembaca menerima interpretasi tertentu atau kesimpulan tertentu bisa jadi dilakukan dengan halus dan terselubung.

Editorial yang menginterpretasikan, menjelaskan atau membujuk juga dapat mengkaji motif orang yang terkait dengan isu atau kejadian yang didiskusikan berdasarkan konsekuensi dari berbagai tindakan.

Melalui interpretasi berita atau penjelasan gagasan atau kondisi, staf koran membujuk pembaca agar setuju dengan pandangan staf tersebut. Editorial dapat mempromosikan atau mendukung perubahan. Fakta disajikan dengan jelas, dan alasannnya disamapaikan secara logis kepada pembaca agar editorial berhasil mencapai tujuannya. Editorial mungkin juga menawarkan solusi dan rekomendasi aksi. Akan tetapi, tidak semua nada editorial mesti positif atau berupa kritik komprehensif.

Editorial yang menginterpretasikan, menjelaskan, dan mengajak dinamakan editorial advokasi.

b. Editorial Pemecahan Masalah

Gambar

GAMBARAN UMUM
GAMBARAN UMUM HARIAN MEDIA INDONESIA

Referensi

Dokumen terkait

Asch (dalam Sarwono dan Meinarno, 2009: 25) menunjukkan bahwa seseorang yang melakukan persepsi terhadap sifat-sifat dalam hubungannya satu sama lain, sehingga sifat tersebut

Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “DIKSI DAN GAYA BAHASA PADA EDITORIAL MEDIA INDONESIA DAN

itulah yang menjadi indikator bahwa anak tidak memahami konsep atas menyebutkan lambang huruf. Hal tersebut diakibatkan oleh persepsi anak terhadap bentuk huruf

demi terselesaikannya tesis ini.. Kepala madrasah memiliki peran yang sangat penting terhadap peningkatanmutu madrasah. Tuntutan masyarakat terhadap adanya lembaga

Teks editorial 'Lupakan Perppu KPK' diawali dari pandangan penulis media 'Harian Kompas' yang mengangkat permasalahan tersebut. Artinya, dalam setiap teks

FM dan depresi jelas terkait pada perobaan dan tingkat pengukuran.+enilaian terhadap kuesioner depresi mengungkapkan berbagai item somatik pada pasien yang menderita

Asep Setiadi, lahir di Banjarnegara, 08 September 1990 anak dari ayah Hadi Sumarto dan Ibu Sumarni, SD sampai SMA di Banjarnegara, lulus SMA tahun 2008, kemudian

Pengayaan: Murid bekerja secara individu atau berpasangan untuk menghasilkan buku skrap digital mengenai jadual pengelasan haiwan dan pemakanan dalam MS Word dengan menggunakan