• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KARAKTER HADHANAH PADA PUTUSAN

D. Analisis Eksekutabel Putusan Hadhanah pada Pengadilan

mempunyai kekuatan hukum yang tetap, oleh karenanya hubungan hukum itu harus ditaati dan dipenuhi oleh pihak yang dihukum (pihak tergugat).

Cara menaati dan memenuhi hubungan hukum yang ditetapkan dalam amar putusan itu dapat dilakukan secara “sukarela” oleh pihak tergugat dan jika

tidak dilaksanakan dengan sukarela maka harus dilaksanakan “dengan paksa” dengan jalan bantuan kekuatan hukum.

Eksekusi baru berfungsi sebagai tindakan hukum yang sah dan memaksa terhitung sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan pihak tergugat (yang kalah) tidak mau menaati dan memenuhi putusan secara sukarela.

Putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang bersifat kondemnator

yaitu yang amar putusannya mengandung unsur “penghukuman”, putusan yang amar/diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman, tidak dapat dieksekusi atau non-eksekutabel.

Tidak semua putusan yang sudah berkekuatan hukum pasti harus dijalankan karena yang perlu dilaksanakan hanyalah putusan-putusan yang bersifat condemnatoir, yaitu yang mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. Pada putusan yang bersifat declaratoir, amar atau diktum putusan, hanya mengandung pernyataan hukum, tanpa dibarengi dengan penghukuman.

Jika dilihat berdasarkan bentuk putusan hadhanah yang telah inkrach dari tahun 2010-2012 dapat dilihat bahwa amar putusan hadhanah oleh hakim ada yang berbentuk condemnatoir, dan ada yang berbentuk declaratoir.

Seperti pada putusan Nomor 1531/Pdt.G/2010/PA-Medan yang diputuskan pada tanggal 1 Juni 2011 dan pada putusan Nomor 1790/Pdt.G/2011/PA Medan yang diputuskan pada tanggal 18 Desember 2012. Putusan ini berbentuk deklaratoir karena penggugat hanya mengajukan permohonan kepada hakim sebagai pemegang hadhanah tanpa da bantahan dari

pihak tergugat. Hal ini disebabkan pihak tergugat sendiri sebagai ayah tidak pernah memperdulikan anaknya setelah perceraian dan penetapan ini dimohonkan penggugat untuk keperluan anak dimasa yang akan datang. Dalam putusan ini tidak ada eksekusi karena anak dalam pemeliharaan penggugat dan tergugat sendiri tidak merasa berkepentingan akan putusan ini, karena tidak ada perebutan hadhanah.

Sedangkan pada putusan Nomor 1032/Pdt.G/2011/PA-Medan yang diputuskan pada tanggal 22 Agustus 2011 dan putusan Nomor 1591/Pdt.G/2011/PA Medan yang diputuskan pada tanggal 6 Maret 2011 bersifat

condemnatoir karena dalam amar putusannya menghukum tergugat untuk menyerahkan anak kepada Pihak Penggugat dan Sita Jaminan. Terhadap biaya

hadhanah yang ditetapkan, kedua putusan ini dapat dieksekusi (eksekutabel) oleh pihak penggugat dengan bantuan hukum apabila tergugat tidak melaksanakan putusan hakim. Terhadap putusan yang menghukum untuk menyerahkan anak- anaknya kepada penggugat diputuskan hakim karena anak-anak dalam kondisi terlantar dan diasuh oleh orang lain. Jadi sudah pasti demi kemaslahatan anak, eksekusi harus dijalankan apabila tergugat tidak melaksanakan putusan dan dalam putusan yang ada sita jaminannya eksekusi dapat dijalankan apabila tergugat tidak membayar biaya hadhanah yang ditetapkan kepada anak-anaknya, maka dengan bantuan hukum, harta yang dimiliki tergugat dapat dieksekusi (eksekutabel).

Dalam putusan Nomor 1431/Pdt.G/2010/PA-Medan yang diputuskan tanggal 9 Desember 2010, putusan Nomor 1327/Pdt.G/2011/PA Medan yang diputuskan tanggal 30 November 2011 juga merupakan putusan yang bersifat

condemnatoir tetapi tidak mengandung unsur kondemnator. Karena amarnya hanya penetapan. Hal ini juga sering terjadi, namun dieksekusi apabila tergugat tidak mematuhinya dengan eksekusi riil yaitu penyerahan anak dengan cara sukarela. Lain halnya dengan putusan Nomor 34/Pdt.G/2011/PA Medan yang diputuskan pada tanggal 4 April 2011 bersifat condemnatoir karena selama proses pemeriksaan berlangsung secara contradictoir yaitu adanya saling sanggah menyanggah saja dan tidak perlu eksekusi jika pihak Tergugat tidak menjalankan putusan karena anak ada pada penggugat dan tergugat sendiri walau ada sanggahan tidak mempermasalahkan anak ada sama penggugat.

Dari sifat putusan hadhanah di atas, hakim menyatakan bahwa putusan

hadhanah di Pengadilan Agama Medan eksekutabel (eksekusinya dapat dijalankan) tetapi eksekusi dengan cara sukarela (eksekusi riil), tetapi dalam teorinya eksekutabel. Putusan hadhanah yang dilakukan dengan cara paksa, pernahjuga terjadi, hakim langsung turun tangan memerintahkan pihak berwajib untuk mengambil anak secara paksa akibat pihak tergugat tidak melaksanakan putusannya. Namun setelah hal itu terjadi maka hal itu sangat sulit dilakukan dalam putusan hadhanah karena anak bukanlah benda, tidak ada putusnya hubungan antara anak dengan orang tua setelah perceraian, apalagi jika hubungan kedua orang tua sama baiknya dengan anak-anaknya, maka anak juga tidak dapat memilih di antara kedua orang tuanya dan dalam hal ini, yang paling sulit untuk menetapkan suatu putusan jika keduanya memiliki kriteria yang sama baiknya sebagai pengasuh berbeda jika salah satu cacat hukum sehingga hakim menetapkan putusan hadhanah dengan melihat usia anak, dalam hal ini anak yang

belum mummayiz adalah hak ibunya dan penetapan biaya hadhanah jatuh pada ayahnya.

Dalam perkara hadhanah diatas terlihat bahwa putusan hakim telah membantu para pihak dalam menyelesaikan permasalahannya, namun sebenarnya yang paling utama adalah kedua belah pihak hendaknya tidak menjadikan masalah perceraian mereka menjadi masalah yang dihadapi anak-anaknya.

Peraturan yang khusus mengenai eksekusi hadhanah belum ada, hal ini yang menyebabkan eksekusi secara paksa tidak diterapkan hanya saja eksekusi secara rill (dengan sukarela) yang berdasarkan Pasal 200 ayat 11 HIR atau pasal 218 ayat 2 RBG, sehingga walaupun hakim memberikan penetapan hadhanah pada salah satu orang tua tetapi tidak melarang orang tua yang kalah untuk menjenguk atau juga memberikan kasih sayang kepada anaknya, berbeda dengan penetapan biaya hadhanah eksekusi dapat dilakukan secara paksa terhadap harta yang dijadikan sita jaminan karena yang dieksekusi itu adalah benda.

Dalam pandangan Islam, juga tidak mengenal eksekusi secara paksa terhadap anak karena perceraian dalam Islam dibenci oleh Allah tetapi diizinkan jika hal itu membawa kemaslahatan daripada bersama tetapi membawa kemudaratan, sehingga akibat perceraian itu hanya dikenal pihak yang berhak mengasuh anak (ibu) dan pihak yang bertanggung jawab segala hal biaya dalam pengasuhan anak tersebut yang artinya tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak adalah tanggung jawab bersama kedua orang tua walaupun terjadi perceraian, tetapi anak tidak merasakan kehilangan kasih sayang kedua orang tuanya.

Putusan yang telah inkrach dari tahun 2010-2012 secara teori eksekutabel karena telah memenuhi syarat idealnya putusan yaitu secara teoritis putusannya telah ilmiah, mencerminkan nilai Pancasila, sejalan dengan tujuan hukum nasional, mempunyai dasar hukum, memberi kepastian hukum, perlindungan hukum, memenuhi rasa keadilan dan kemanfaatan dan secara praktis putusannya tuntas dan final dapat dieksekusi.

Sengketa hadhanah merupakan putusan yang bersifat emosional karena yang menjadi sengketa adalah subjek manusia sehingga penyelesaiannya secara psikologis dengan sasaran terwujudnya perlindungan hukum dan kemanfaatan bagi anak, karenanya itu eksekusinya masih secara riil dan karena belum adanya peraturan khusus yang mengaturnya maka putusan hakim sepanjang tahun2010- 2012 telah memenuhi rasa keadilan dan sesuai dengan Undang-Undang Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang perkawinan nomor 1 Tahun 1974 dan Undang-Undang nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

Dokumen terkait