• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KARAKTER HADHANAH PADA PUTUSAN

C. Sebab-sebab Timbulnya Hadhanah dan Akibatnya

Pada prinsipnya masalah hadhanah tidak dipermasalahkan jik kedua orang tua melaksanakan tanggung jawabnya dengan kerjasama dan jika terjadi

perceraian tidak mempermasalahkan pada siapa anak tinggal, Kedua orang tua bertanggung jawab atas pemeliharaan anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah.

Akan tetapi suatu ketika, sebagai manusia mempunyai berbagai permasalahan dan keterbatasan sehingga terjadi persoalan dalam masalah

hadhanah. Adapun sebab timbulnya masalah hadhanah adalah :

1. Apabila kedua orang tuanya tidak mampu menunaikan kewajiban pemeliharaan terhadap anaknya atau kedua orang tua meninggal dunia.

Hal ini dapat diketahui dari isyarat yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 ayat (3) yang berbunyi :

“Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu”.82

Pasal ini memberikan pengertian, bahwa salah satu penyebab timbulnya masalah hadhanah adalah karena kedua orang tua si anak tidak mampu menjalankan kewajibannya dalam memelihara anak yang lahir dalam perkawinan.

Menurut Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa kekuasaan orang tua dapat dicabut atau dialihkan apabila ada alasan-alasan

82

yang berikut :

2) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal :

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya. b. la berkelakuan buruk sekali

3) Meskipun orang tua dicabut kekuasaanya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

Ketentuan yang mengatur tentang kuasa asuh orang tua terhadap anaknya juga terdapat dalam pasal 10 Undang-Undang klesejahteraan Anak nomor 4 tahun 1979 yang menyebutkan :83

1) Orang tua yang terbukti melalaikan tanggung jawabnya dalam mewujudkan kesejahteraan anak baik secara jasmani , rohani maupun sosial sehingga mengabaikan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasanya sebagai orang tua terhadap anaknya. Dalam hal ini ditunjuk orang atau badan sebagai walinya.

2) Pencabutan kuasa asuh dalam ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban orang tua yang bersangkutan untuk membiayai sesuai dengan kemampuan Penghidupannya dalam pemeliharaan dan pendidikan anaknya.

3) Pencabutan dan pengembalian kuasa asuh orang tua ditetapkan dengan keputusan hakim.

4) pelaksanaan ketentuan ayat (1), (2), (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah

M.Yahya Harahap menjelaskan bahwa orang tua yang melalaikan kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidakbecusan si orang tua itu atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan karena

83

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan waktu lama, sakit udzur atau gila dan bepergian dalam suatu jangka waktu yang tidak

diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah laku yang tidak senonoh sebagai seorang pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan contoh yang baik.84

Jika diperhatikan secara teliti, ketentuan dalam Kompilasi memang lebih tegas daripada dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, karena dalam Kompilasi Hukum Islam konsennya adalah bagi orang Islam, maka penunjukkan Pengadilan Agama dalam penyelesaian masalah yang timbal akibat dari perwalian adalah dalam rangka kepastian hukum.

Contohnya seorang orang tua yang tidak pernah memberikan anaknya nafkah dan kehidupan yang layak yang dikarenakan orang tua tersebut berada di dalam penjara atau tidak pernah diketahui keberadaannya.

Kendati demikian, bukan berarti tidak ada kaitan antara hadhanah dengan perwalian. Dalam kasus seorang anak yang tidak lagi memiliki orang tua, atau memiliki orang tua namun dipandang tidak cakap untuk merawat anak, maka keberadaan perwalian menjadi sebuah keniscayaan.

Oleh sebab itu di dalam KHI dijelaskan bahwa, perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tuanya dan masih hidup tetapi tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

Dan keterangan tersebut dapat diketahui bahwa urutan pemeliharaan yang pertama sekali adalah pihak ibu, dari pihak ibu (nenek) dst ke atas. Diberikan hak prioritas kepada ibu karena ia yang melahirkan dan menyusukan serta ia

84

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : CV. Rajawali, 1986), hal. 216

lebih cakap dalam hal mengasuh dan merawat anak. Ibu lebih sabar dan dapat menahan hati dalam merawat anak, dibandingkan dengan bapak tidak. Oleh karena itu maka didahulukan ibu daripada bapak dalam urusan mengasuh dan merawat anak, untuk kebaikan masa depan anak.

Apabila urutan pihak ibu tidak ada atau tidak memungkinkan, maka pemeliharaan itu beralih kepada pihak bapaknya dan seterusnya sampai ke atas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat urutan-urutan sebagai berikut :85

1) Ibu anak tersebut.

2) Nenek dari pihak ibu dan terus ke atas 3) Nenek dari pihak ayah

4) Saudara kandung anak perempuan tersebut 5) Saudara perempuan seibu

6) Saudara perempuan seayah

7) Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung 8) Anak perempuan dari saudara perempuan seayah 9) Saudara perempuan ibu yang sekandung dengannya 10) Saudara perempuan ibu yang seibu dengannya (bibi) 11) Saudara perempuan ibu yang seayah dengannya (bibi) 12) Anak perempuan dari saudara perempuan seayah. 13) Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu. 14) Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu. 15) Anak perempuan dari saudara laki-laki seayah. 16) Bibi yang sekandung dengan ayah.

17) Bibi yang seibu dengan ayah. 18) Bibi yang seayah dengan ayah. 19) Bibinya lbu dari pihak ibunya. 20) Bibinya ayah dari pihak ibunya. 21) Bibinya ibu dari pihak ayahnya 22) Bibinya ibu dari pihak ayah.

Jika anak tersebut mempunyai kerabat perempuan dari kalangan mahram diatas, atau ada tetapi tidak dapat mengasuhnya, maka pengasuh anak itu beralih kepada kerabat laki-laki yang masih mahramnya atau memilih hubungan darah (nasab) dengannya sesuai dengan urutan masing-masing

85

Syeikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta Timur : Darat-Tauji wa An-Nashr Al- Islamiya, 1999), hal.395

dalam persoalan waris. Dan pengasuhan anak itu beralih kepada :86 1) Ayah kandung anak itu.

2) Kakek dari pihak ayah dan terus keatas. 3) Saudara laki-laki sekandung

5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung. 4) Saudara laki-laki seayah.

6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah. 7) Paman yang sekandung dengan ayah. 8) Paman yang seayah dengan ayah 9) Pamanya ayah yang sekandung

10) Pamannya ayah yang seayah dengan ayah.

Jika tidak ada seorangpun kerabat dari mahram laki-laki tersebut, atau ada tetapi bisa mengasuh anak, maka hak pengasuhan anak itu beralih kepada mahram-mahramnya yang laki-laki selain kerabat dekat

1) Saudara laki-laki seibu

Ayah ibu (kakek) yaitu:

2) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu. 3) Paman yang seibu dengan ayah

4) Paman yang sekandung dengan ibu.

Selanjutnya jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat sama sekali, maka hakim yang akan menunjuk seorang wanita yang sanggup dan patut mengasuh serta mendidiknya.

5) Paman yang seayah dengan ibu.

87

Penunjukan wali dilakukan sebisa mungkin berasal dari keluarga anak dibawah umur tersebut, yang oleh Undang-Undang ditetapkan wali tersebut haruslah telah dewasa, berpikiran sehat, berkelakuan adil, jujur dan bertindak baik.88

Akan tetapi meskipan demikian wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua

86

Ibid, hal.396

87

Ibid, hal. 395

88

yang menjalankan kekuasaan orang tua, yang dilakukan sebelum orang tua si anak tersebut meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.89

Setelah ditunjuk, wali akan mempunyai kewajiban untuk mengurus anak yang di bawah penguasaannya beserta harta benda anak dibawah umur yang berada dalam pengasuhannya tersebut dengan sebaik-baiknya dan dengan menghormati agama serta kepercayaan anak tersebut.90 Terhadap harta kekayaan si anak yang berada dibawah kekuaasaannya, wali mempunyai kewajiban untuk:91

1. Membuat daftar harta benda anak tersebut secara jelas dan rinci.

2. Mencatat semua perubahan yang terjadi atas harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya.

3. Mempertanggung jawabkan segala perhitungan dan kegiatan akibat dan kelalaian dan kesalahan wali

4. Dilarang memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak yang berada dibawah kekuasaan wali, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Selama melaksanakan kekuasaannya, wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak tersebut, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.92 Jika terjadi kerugian yang ditimbulkan akibat kelalaian dan kesalahannya, maka wali dapat dituntut untuk bertanggung jawab terhadap harta si anak yang berada di bawah perwaliannya tersebut.93

Alasan lain dari penunjukkan wali, termasuk wewenangnya untuk mengalihkan barang kekayaan anak yang berada dalam perwaliannya, hanya

89

Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahim 1974 tentang Perkawinan

90

Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

91

Pasal 51 ayat (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

92

Pasal 52 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

93

diperbolehkan jika kepentingan anak menghendakinya (Pasal 48 jo.Pasal 52 UU Nomor 1 Tahun 1974). Apabila dalam, kenyataannya, wali yang ditunjuk tidak melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik atau dengan indikasi-indikasi tertentu kelihatan beritikad tidak baik, maka hak perwaliannya dapat dicabut. Prosedur dan tatacaranya dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan atau Pengdilan Agama untuk mencabutnya. Menurut Pasal 53 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 :

(1) Wali dapat dicabut kekuasaanya, dalam hal-hal yang tersebut di dalam Pasal 49 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. (2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Perkawinan Nomor I Tahun 1974 dikuatkan dalam Pasal 109 yang menyebutkan bahwa Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.

Jika terjadi pencabutan kekuasaan seorang wali karena ia melalaikan kewajibannya atau ia berkelakuan tidak baik, hakim dengan keputusannya dapat menunjuk orang lain menjadi wali atas anak yang berada di bawah perwaliannya. Hal ini dilakukan Hakim apabila si anak tidak lagi mempunyai keluarga yang lain atau apabila Hakim memandang keluarga si anak tidak layak menjadi seorang wali karena alasan-alasan tersebut.

Seorang yang ditunjuk oleh Pengadilan Agama untuk menjadi wali dan ia menerima penunjukan tersebut wajib menjalankan kekuasaan perwaliannya untuk kepentingan si anak dengan sebaik-baiknya.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perwalian ini

mempunyai beberapa asas. Pertama asas tidak dapat dibagi-bagi, kedua asas persetujuan dari keluarga, ketiga orang-orang yang dipanggil menjadi wali atau yang diangkat menjadi wali.94

2.Perceraian antara Ayah dan Ibu Anak

Perceraian yang menjadi sentral kajian dalam tulisan ini adalah cerai hidup yang terjadi antara suami isteri, sebab keduanya baik syah maupun ibu dari si anak merasa lebih berhak dan lebih pantas memelihara anaknya.

Hal ini disebabkan karena masing-masing pihak merasa lebih sayang kepada anaknya, dan masing-masing pihak merasa tidak percaya kepada pihak lainnya, atau masing-masing pihak merasa dialah yang lebih mampu memberikan kebutuhan kehidupan si anak, maka masing-masing pihak mempertahankan alasannya agar dipandang lebih berhak untuk melaksanakan

hadhanah atas anak yang mereka miliki.

Apabila terjadi perceraian antara suami isteri, baik dengan jalan talaq, khulu’ atau fasakh sedang keduanya mempunyai anak, laki-laki atau perempuan yang masih berumur kurang dari tujuh tahun, maka anak itu dipelihara dan diasuh oleh ibunya karena dialah yang penyayang dan sesuai untuk mengasuh anak. Dan kemudian itu ibu dari ibu dan demikian itulah

94

R.Subekti dalam Soedharyo Soimin, Hukum orang dan Keluarga, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), hal 55.

seterusnya sampai ke atas.95

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memang tidak secara tegas menyebutkan siapa yang harus memelihara anak apabila terjadi perceraian antara suami istri. Di dalam Pasal 41 Undang-Undang tersebut hanya dijelaskan kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak. Apabila terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, keputusan akan ditetapkan oleh pengadilan. Tidak ditetapkan suatu ketegasan mengenai siapa yang seharusnya memelihara anak setelah terjadinya perceraian dapat menyebabkan timbulnya perselisihan antara bekas suami istri mengenai pemeliharaan anak sehingga anak akan menjadi objek rebutan antara kedua orang tua.

Sesuai dengan makna dan rumusan Undang-Undang, bahwa untuk nenentukan hak perwalian, hak pemeliharaan anak yang harus diperhatikan adalah demi kepentingan hukum anaknya. Jadi hakim harus benar-benar memperhatikan kepentingan anak apabila anak tersebut dipelihara oleh ibunya atau bapaknya harus mempunyai jaminan kehidupan sosial dan kesejahteraan yang lebih baik untuk kehidupan dimasa yang akan datang.96

Dokumen terkait