• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Analisis Karakteristik Selulosa

2. Analisis Fourier Transform Infrared Spectrophotometer (FT-IR) 48

Analisis ini merupakan analisis kualitatif untuk melihat perbedaan gugus fungsional selulosa bakteri tanpa penambahan kitosan dengan adanya penambahan kitosan. Secara teori dilihat dari struktur molekulnya, kitosan memiliki gugus fungsi seperti amino (-NH2) dan hidroksil (-OH). Selain itu dengan menggunakan pengujian FT-IR, dapat dilakukan pengukuran derajat deasetilasi kitosan dengan melakukan pendekatan terhadap absorbansi –NH2 dan –OH pada spektra yang muncul. Untuk membuktikannya maka serbuk kitosan yang digunakan dalam penelitian ini dianalisis secara FT-IR dan didapatkan hasil pada Gambar 14.

Gambar 14. Spektra inframerah serbuk kitosan

Hasil spektra infamerah tersebut disesuikan dengan tabel korelasi (Tabel V) sehingga dapat diketahui pada bilangan gelombang 3448,72 cm-1 menunjukkan adanya –OH dari unit beta-glukosamin dan gugus –NH2 dari gugus glukosamin yang saling tumpang tindih. Pada daerah 1658,78 cm-1 menunjukkan adanya ikatan amida pada serbuk kitosan yang tumpang tindih dengan amida dan daerah 1600 cm-1 menunjukkan adanya deformasi N-H. Kemudian pada daerah 1060 cm -1 terlihat adanya kemunculan spektra yang menandakan adanya ikatan C-O.

Pada hasil pengujian tersebut, juga dilakukan pengukuran derajat deasetilasi dengan menggunakan rumus yang dilakukan Struszczyk (1987) pada penelitiannya. Hasil yang didapat pada pengukuran derajat deasetilasi, diketahui bahwa kitosan yang digunakan memiliki derajat deasetilasi 73,78%. Derajat deasetilasi yang didapatkan sesuai dengan teori bahwa kitin disebut kitosan jika memiliki derajat deasetilasi lebih dari 50%.

Tabel V.Tabel korelasi gugus serapan inframerah

Serapan (cm-1) Referensi Gugus

3400 Pearson, Marcheessault, Liang (2003) O-H 2900 Asimetrik CH2 2850 C-H stretching 1650 Ikatan Amida 1550 Ikatan Amida II 1410 C-H bending 1069 C-O stretching 1029 C-O stretching

Pembuktian adanya intensitas kuat pada gugus -NH2 dan –OH pada serbuk kitosan seharusnya dengan penambahan kitosan pada selulosa bakteri maka akan terjadi peningkatan serapan pada 3400 cm-1. Jika dibandingkan dengan selulosa yang tidak diberi kitosan, seharusnya selulosa tanpa kitosan tidak akan terjadi pelebaran spektra. Selain itu interaksi antara selulosa dengan kitosan memungkinkan timbulnya interaksi lain yang terbaca oleh infra merah. Gambar 15 menunjukkan perbedaan 3 macam selulosa dalam spektra overlay (tumpang tindih) yang dibandingkan dan hasil pembacaan spektra disesuaikan dengan tabel korelasi (Tabel V) untuk mengetahui keberadaaan masing-masing gugus.

Gambar 15. Spektra overlay(tumpang tindih) antara selulosa yang ditambah dengan kitosan (hijau), selulosa kontrol tanpa gliserol (hitam), dan selulosa kontrol dengan

Gambar 15 menunjukkan bahwa terjadi pelebaran spektra pada daerah 3400 ketika selulosa ditambahkan dengan kitosan. Hal ini menunjukkan dengan penambahan kitosan akan meningkatkan pembacaan gugus pada bilangan gelombang 3400 cm-1 akibat gugusan –NH2 antara kitosan dengan –OH selulosa akan saling tumpang tindih.

Ketiga spektra masih terlihat adanya puncak pada daerah sekitar bilangan gelombang 1570 cm-1 yang menunjukkan adanya cincin aromatik pada selulosa kontrol namun pada kitosan terdapat 1558,48 cm-1 yaitu vibrasi gugusan amino yang merupakan karakteristik dari kitosan sesuai penelitian Anicuta, et al. (2010). Serapan karakteristik ini diduga tumpang tindih dengan serapan cincin aromatik pada bilangan gelombang 1570 cm-1, karena secara teori selulosa dan kitosan memiliki cincin aromatik. Pada kedua kontrol tidak ada kemunculan spektra pada daerah 1635 cm-1

. Spektra ini menunjukkan keberadaan gugus C=O. Selulosa sudah memiliki gugus C=O pada ujung gula pereduksi, dengan adanya penambahan kitosan yang memiliki gugus C=O sisa kitin yang tidak terdeasetilasi maka serapan pada 1635 cm-1 akan ditingkatkan. Kemudian pada kontrol tidak terlihat adanya serapan pada daerah 1334,74 cm-1 seperti pada kitosan. Kemunculan spektra tersebut sesuai dengan penelitian Anicuta, et al. (2010) yang mengatakan bahwa daerah tersebut merupakan karakteristik kitosan berupa vibrasi gugus C-H.

Dilakukan juga perhitungan intensitas pada spektra inframerah dengan menggunakan metode baseline Brugnerotto, Lizardi, Goycoolea, Arguella-Monal, Desbrieres, dan Rinaudo (2001). Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel VI.

Tabel VI. Intensitas serapan inframerah

Serapan Gugus S Intensitas SG SGK

3400 -OH 0,360 0,320 0,329

1635 -NH - - 0,116

Keterangan: S = Selulosa; SG= Selulosa gliserol; SGK= Selulosa gliserol kitosan

Terlihat bahwa pada kontrol selulosa dengan kontrol yang ditambahkan gliserol akan terjadi penurunan intensitas. Penyebab hal tersebut dikarenakan terjadi ikatan hidrogen antara gliserol dengan selulosa mengakibatkan pelebaran serapan, akibatnya intensitas serapan akan menurun, sedangkan jika kita membandingkan antara selulosa kontrol dengan selulosa yang ditambahkan gliserol dan kitosan maka akan terlihat juga penurunan intensitas. Hal yang sama terjadi yaitu ikatan hidrogen terbentuk antara kitosan dengan selulosa mengakibatkan penurunan intensitas. Selain dapat juga disebabkan adanya –NH2

kitosan dengan –OH yang saling tumpang tindih yang mengakibatkan pelebaran spektra.

3. Analisis tensile strength dan elongasi

Analisis ini merupakan analisis kuantitatif untuk melihat perbedaan kemampuan selulosa dalam menahan beban dan tarikan. Analisis ini dilakukan terhadap 3 macam selulosa, yaitu selulosa kontrol tanpa gliserol, selulosa kontrol dengan gliserol untuk melihat efek adanya pemlastis, dan selulosa yang ditambahkan kitosan dan gliserol untuk melihat efek adanya kitosan. Uji ini dilakukan 5x terhadap masing-masing sampel sesuai dengan acuan ASTM (American Standart Testing Material) D638. Hasil pengujian yang tidak homogen memang wajar karena polimer alam yang dibentuk oleh bakteri tidak dapat

dikontrol pembentukan rantai-rantai molekulernya. Ada satu sisi pembentukan rantai polimer yang panjang, namun ada juga satu sisi pembentukan rantai polimer yang pendek. Tentu saja perbedaan panjang rantai polimer beserta ikatan intermolekular yang dibentuk akan menghasilkan hasil uji tensile strength dan elongasi yang berbeda. Hasil yang didapat dari uji ini dapat dilihat di Tabel VII.

Tabel VII. Hasil uji sifat mekanik selulosa bakteri, selulosa bakteri gliserol, dan selulosa bakteri gliserol ditambah kitosan

Parameter S SG SGK

Tensile strength (MPa) 22,48 ± 2,34a 15,60 ± 3,68b 17,01 ± 2,53b

Elongasi (%) 22,18 ± 4,51a 28,12 ± 6,51a 8,01 ± 3,60b

Keterangan: S = Selulosa; SG= Selulosa gliserol; SGK= Selulosa gliserol kitosan

* Jika ada 2 nilai atau lebih diikuti dengan huruf yang sama berarti kelompok-kelompok tersebut p>0,05 atau berbeda tidak bermakna

Hasil tersebut menunjukkan perbedaan tensile strength dan elongasi dari tiap-tiap selulosa. Selulosa kontrol tanpa gliserol (S) memiliki tensile strength

yaitu 22,48 MPa, sedangkan pada selulosa kontrol yang ditambah gliserol (SG) memiliki tensile strength yaitu 15,60 MPa. Penurunan tensile strength ini dikarenakan sifat gliserol sebagai plasticizer yang membuat rigiditas dari bahan menurun sesuai penelitian Zhong dan Xia (2008). Akibat dari penurunan rigiditas bahan ini memang menurunkan tensile strength namun memiliki kelebihan yaitu elongasinya menjadi lebih tinggi. Secara statistik nilai tensile strength kontrol tanpa gliserol dengan selulosa kontrol yang ditambah gliserol berbeda bermakna (p<0,05).

Persentase keelastisan bahan (Strain at Fmax) yang diberi dengan gliserol lebih tinggi yaitu 28,12 % sedangkan pada kontrol selulosa tanpa pemberian gliserol hanya 22,18 %. Hal ini membuktikan bahwa dengan penambahan gliserol sebagai plasticizer akan menurunkan tensile strength namun meningkatkan

elongasi. Hasil tersebut sudah sesuai dengan teori, selain itu banyak penelitian seperti Zhong dan Xia (2008) yang menguji sifat fisika kimia suatu film yang ditambahkan dengan gliserol sebagai pemlastis dan penelitian oleh Zhang, Deng, Yang, Min, Yang, dan Zhu (2011) yang menguji penambahan gliserol terhadap sifat tensile dari Bombyx mori film. Kedua penelitian itu menyatakan bahwa penambahan gliserol dapat menyebabkan penurunan tensile strength. Penurunan ini disebabkan berkurangnya interaksi intermolekuler ikatan polimer kemudian digantikan dengan interaksi dengan gliserol mengakibatkan sifat dari polimer menjadi lebih elastis namun rapuh. Secara statistik nilai elongasi kontrol tanpa gliserol dengan selulosa kontrol yang ditambah gliserol berbeda tidak bermakna (p>0,05).

Jika membandingkan kontrol selulosa (S dan SG) dengan selulosa yang ditambahkan gliserol dan kitosan (SGK), hasilnya juga berbeda. Tensile strength

pada penambahan kitosan akan lebih rendah dibandingkan selulosa kontrol tanpa gliserol namun lebih tinggi dibandingkan dengan selulosa kontrol dengan gliserol. Penyebab penurunan tensile strength dari selulosa kontrol adalah karena kitosan memiliki sifat amorf yang tinggi, sedangkan selulosa kontrol memiliki kristalinitas yang tinggi. Menurut teori yang diungkapkan Gadag dan Shetty (2006), suatu bahan yang strukturnya kuat karena kristalinitas yang tinggi tentu memiliki daya tahan terhadap tekanan lebih tinggi, dibandingkan bahan yang strukturnya tidak beraturan dan memberikan banyak ruang disekitarnya. Penambahan sifat amorf ke dalam bahan yang memiliki kristalinitas yang tinggi akan membuat senyawa yang mulanya crystalline menjadi semi-crystalline

sehingga banyak ruang-ruang kosong yang muncul menyebabkan kekuatan terhadap tekanan menjadi berkurang.

Berbeda dengan peningkatan tensile strength dari kontrol yang hanya diberi gliserol tanpa kitosan. Peningkatan dari tensile strength di sini disebabkan karena kitosan yang ditambahkan menyebabkan terjadinya ikatan hidrogen antara NH2 pada kitosan dengan gugus –OH pada selulosa . Korelasi antara peningkatan

hydrogen bonding dengan tensile strength pernah dibuktikan oleh Liu, Gao, Dong, Ye, dan Gu (2009) dalam penelitiannya, selain itu secara in siliko melalui software 3D juga dibuktikan oleh Tien (2010) menggunakan ChemBio3D Ultra yang membuktikan bahwa semakin banyaknya ikatan hidrogen akan meningkatkan tensile strength. Kemungkinan lain disebabkan karena massa molekul selulosa mengalami peningkatan akibat penambahan kitosan. Smith, Lemstra, dan Pijpers (1982) membuktikan pada suatu plastik polietilen, persebaran massa molekul yang semakin tinggi menimbulkan peningkatan tensile strength. Pengukuran massa molekul dapat dilakukan dengan metode Gel Permeation Chromatography (GPC). Hal ini dapat menjadi suatu kemungkinan bahwa ketika kitosan ditambahkan, terjadi peningkatan massa molekul dalam selulosa sehingga tensile strength lebih tinggi dari kontrol selulosa dengan gliserol. Secara statistik, nilai tensile strength selulosa gliserol kitosan berbeda bermakna terhadap kontrol selulosa dan berbeda tidak bermakna terhadap kontrol selulosa gliserol.

Dengan penambahan kitosan ini terjadi penurunan elongasi yang sangat signifikan. Dari selulosa dengan gliserol yang mulanya 28,12 % dengan

penambahan kitosan menyebabkan penurunan elongasi menjadi 8,01 %. Rechia, Morona, Zepon, Soldi, dan Kanis (2010) melaporkan bahwa pada film menggunakan corn starch terjadi ikatan intermolekuler berupa ikatan hidrogen. Ikatan ini meningkatkan tensile strength namun menurunkan elongasi. Namun, tidak dituliskan mengapa ikatan hidrogen mampu menurun elongasi.

Kemungkinan penurunan elongasi ini karena ikatan hidrogen yang menyebabkan pembentukan suatu susunan polimer yang rigid dan kuat sehingga ke elastisan dari bahan akan menurun. Alasan ini didasarkan gliserol yang memberikan efek elongasi dengan menurunkan ikatan intermolekuler pada selulosa sehingga menghasilkan struktur yang kurang rigid. Sebaliknya, jika ikatan intermolekuler pada selulosa semakin banyak akibat penambahan kitosan, maka dapat dikatakan bahwa elongasi pada selulosa akan menurun. Secara statistik, nilai elongasi selulosa gliserol kitosan berbeda bermakna terhadap kedua kontrol. Penambahan kitosan ke dalam selulosa memberikan dampak penurunan elongasi yang tinggi, sedangkan yang diharapkan adalah kemampuan mekanik tidak menurun terlalu jauh, sehingga perlu adanya optimasi gliserol untuk mampu mempertahankan elongasi selulosa.

Dokumen terkait