• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA

K. Analisis Karakteristik Polimer

1. Analisis gugus fungsi dengan Fourier Transform Infrared Spectrophotometer

(FT-IR)

Infrared merupakan salah satu hal yang penting dalam teknik analisis. Sistem infrared didasarkan atas vibrasi atom-atom sebuah molekul. Spektra infrared biasanya didapatkan dengan melewatkan radiasi elektromagnetik infrared

melewati sampel yang menyebabkan induksi dipol momen dan mendeterminasi fraksi yang terabsorpsi oleh energi tertentu. Energi dari tiap puncak dalam spektra absorpsi memiliki hubungan dengan frekuensi vibrasi dari bagian molekul tertentu, sehingga dapat dilakukan identifikasi kualitatif tipe ikatan molekul tersebut dalam sampel. Spektrofotometer IR biasanya merekam energi radiasi

elektromagnetik yang ditransimisikan melewati sampel dalam bentuk panjang gelombang atau frekuensi (Stuart, 2004).

Total spektrum dianalisis melalui suatu proses matematika yang dikonversikan menjadi sebuah panjang gelombang atau frekuensi yang dikenal dengan Fourier Transform. Fourier Transform Infrared meningkatkan kualitas dari spektra infrared dan meminimalis waktu untuk mendapatkan data. FT-IR dikembangkan melalui dasar pemikiran Jean Baptiste Josesph Fourier. Tidak semua ikatan dalam molekul dapat menyerap energi inframerah meskipun mempunyai frekuensi radiasi sesuai dengan gerakan ikatan, hanya ikatan yang mempunyai momen dipol yang dapat menyerap radiasi inframerah (Smith, 2011).

Salah satu contoh hasil dari inframerah pada yang pernah dilakukan akan menghasilkan spektra seperti Gambar 5.

(a)

(b)

Gambar 5. Spektra FT-IR (a).Selulosa bakteri (b).Film kitosan(Anicuta, Dobre, Stroesca, Jipa, 2010)

Karakteristik dari selulosa bakteri adalah adanya gugus fungsi –OH dari selulosa bakteri pada bilangan gelombang 3350,71 cm-1 dan 2916,81 cm-1 sebagai C-H

stretching. Karakteristik inframerah dari film kitosan terlihat pada 1559,17 cm-1 yang menunjukkan vibrasi dari gugusan amino kitosan dan 1333,5 yang merupakan vibrasi C-H. (Anicuta, et al., 2010).

2. Pengamatan permukaan dengan Scanning Electron Microscope (SEM)

SEM merupakan mikroskop elektron yang menampilkan gambar permukaan sampel (Gambar 6). Elektron berinteraksi dengan tiap bagian permukaan sampel, elektron tersebut diemisikan dan dideteksi. Gambar yang terbentuk sama dengan jumlah elektron yang berinteraksi dengan sampel. Untuk meningkatkan resolusi dari gambar dapat dilakukan dengan cara mengecilkan diamater sumber cahaya. Diameter cahaya yang kecil akan mentransmisikan elektron pada permukaan sampel tertentu. Diameter cahaya lebar, maka interaksi yang terjadi dengan banyak objek dalam waktu yang sama makin tinggi (Allen, 2008).

(a) (b)

Gambar 6. Foto permukaan SEM (a). Selulosa bakteri dengan perbesaran 5000x (b). Film kitosan murni dengan perbesaran 6000x (Goh, Rosman,

Kaur, Fazilah, Karim, dan Bhat, 2012; Bhuvaneshwari, Sruthi, Sivasubramanian, Kalyani, dan Sugunabai, 2011)

Dalam preparasi sampel yang digunakan, besar sampel biasanya disesuaikan dengan chamber alat. Jika chamber besar maka dapat dimasukkan bahan dengan ukuran yang besar. Namun, pada umumnya bahan SEM yang digunakan berukuran sangat kecil, karena sampel akan diletakkan pada tube yang berdiameter 5 mm. Bahan yang diukur dengan SEM sebaiknya bahan yang kering dan bukan bahan yang basah, karena akan menyebabkan masalah saat pengukuran. Selain itu, sampel yang akan dibaca juga sebaiknya bersih, karena pengotor-pengotor kecil dapat terbaca oleh SEM. Sampel SEM harus bersifat konduktif, sehingga elektron dapat dipantulkan menuju detektor. Jika sampel bersifat non konduktif terbaca oleh SEM, hasil pembacaan tidak merata, terang pada satu sisi dan gelap pada satu sisi atau terjadi pengumpulan energi pada sampel sehingga terjadi pengaburan gambar. Oleh karena itu perlu pada sampel-sampel yang non konduktif perlu dilapisi dengan suatu bahan yang memiliki sifat konduktif seperti emas. (Echlin, 2009; Rice, 2012).

3. Analisis sifat mekanik dengan Tensile Tester

Salah satu metode untuk mengetahui karakteristik mekanik dari sebuah polimer adalah dengan mengidentifikasi kemampuan tegangan. Biasanya polimer diujikan dengan menahan kedua ujungnya, lalu diberikan suatu gaya secara konstan. Data yang didapat berupa elongasi dan tensile strength (Tabel III).

Tabel III. Hasil tensile strength dan elongasi film kitosan dalam berbagai macam pelarut

Keterangan:

CH-10, CH-30, CH-50 merupakan kitosan dengan viskositas 10, 30, dan 50 Cp(centipoise)

(Park, Marsh, dan Rhim, 2002) Semakin tingginya massa molekul dari kitosan akan meningkatkan tensile strength dari film kitosan. Penambahan berbagai solven menunjukkan perbedaan hasil pengujian tensile strength. Pelarut dengan asam asetat menunjukkan tensile strength yang paling tinggi, hal ini disebabkan dikarenakan interaksi intermolekular antara pelarut dengan kitosan sangat kuat sehingga membentuk suatu susunan yang rigid (Park, et al., 2002)

Selain itu akan didapatkan data berbentuk kurva. Kemiringan awal pada kurva menunjukkan perbandingan tegangan tarik terhadap regangan tarik. Tegangan tarik adalah gaya tarik per satuan luas, sedangkan regangan tarik adalah fraksi perubahan panjang. Tensile strength adalah posisi tertinggi dari kurva. Hasil dari uji ini biasanya digunakan untuk melihat apakah suatu polimer yang terbentuk bersifat amorf, glassy polymer, atau semi kristalin polimer (Robeson, 2007; Young dan Freedman, 2000).

4. Analisis kestabilan termal dengan alat Thermogravimetric Analysis (TGA) Analisis termogravimetri merupakan pengukuran perubahan berat suatu material berdasarkan suhu dan waktu dalam suatu lingkungan terkontrol. Pengukuran ini biasanya digunakan untuk menentukan komposisi dan stabilitas

suatu bahan terhadap perubahan suhu. TGA secara umum digabungkan dengan beberapa alat seperti kromatografi gas, inframerah atau dengan spektrofotometer massa sehingga hasil dekomposisinya dapat diketahui secara detail. Hasil pengukuran termogravimetri adalah suatu kurva termogram (Gambar 7). (Sepe, 1997).

(a) (b)

Gambar 7. Termogram TGA (a) selulosa bakteri dan kombinasi selulosa bakteri/PEO (b) membran film kitosan (Brown, 2007; Cardenas dan

Miranda, 2004)

Setiap bahan memiliki stabilitas suhu yang berbeda-beda, semakin banyak garis kurva yang muncul menandakan komposisi bahan dalam material semakin banyak pula. Kurva yang mengalami penurunan berat menandakan adanya ketidakstabilan bahan terhadap suhu, sehingga dapat diketahui kestabilan bahan terhadap suhu tertentu (Sepe, 1997).

5. Analisis sifat termal dengan Differential Thermal Analysis (DTA)

DTA merupakan suatu metode analisis suhu yang sederhana dan biasa digunakan secara umum. Suatu sampel diletakkan pada tungku pembakar. Suhu ditingkatkan dalam kurun waktu tertentu dan direkam dalam suatu bentuk kurva.

Kurva positif (melengkung ke atas) dibaca sebagai kurva exothermic, sedangkan kurva negatif (melengkung ke bawah) dibaca sebagai kurva endothermic (Gambar 8).

Gambar 8. Termogram DTA Epoksi (Aisah, 2003).

Dalam menganalisis polimer, DTA digunakan untuk melihat glass transition temperature. Glass transition didefinisikan sebagai fenomena perubahan suatu material dari bentuk keras dan relatif rapuh (amorf) menjadi semi-solid yang bersifat reversibel. Kebanyakan polimer tidak mengkristal di bawah kondisi normal atau semi kristal yang mengandung sejumlah bahan dalam bentuk amorf. Bagian amorf pada polimer mengambil bagian penting perubahan fase glass transition. Perbedaan polimer amorf, semi kristal, dan kristal akan sangat terlihat jika dianalisis dari segi mekanik, suhu, dan sifat elektrik (Sepe,1997; Brown, 2001).

6. Analisis kristalinitas dengan X-Ray Diffraction (XRD)

XRD merupakan suatu teknik yang biasanya digunakan untuk melihat struktur dari suatu material tertentu. Informasi yang didapatkan dari XRD berupa kristalinitas bahan. Setiap komposisi kristal yang terdapat dalam bahan tersebut akan terbaca dalam suatu pola. Pola kristal yang terbaca oleh XRD akan

berbentuk cincin difraksi atau peak (Gambar 9). Perbandingan antara kristalin dan amorf akan menunjukkan tingkat kristalinitas bahan tersebut (Mohammad, 2007; Sawyer, Grubb, Meyers, 2008).

Gambar 9. Hasil XRD selulosa bakteri dan berbagai macam kitosan (Fernandes, Oliviera, Freire, Silvestres, Neto, Gandini, Desbrieres, 2009)

Secara umum, polimer memiliki struktur kristalin yang tinggi atau amorf yang tinggi. Tingkat kristalinitas ini dapat diukur dengan menggunakan XRD. Seperti pada Gambar 9, selulosa bakteri (BC) dan HCH (High Molecular Chitosan) keduanya memiliki kristalinitas yang tinggi ditunjukkan dengan peak-peak tajam dibandingkan LCH (Low Molecuar Chitosan) dan WSHCH (Water Soluble High Molecular Chitosan) yang cenderung datar (Mohammad, 2007; Fernandes, et al., 2009).

Dokumen terkait