PENGARUH PEMBERIAN SEDIAAN BIOMATERIAL SELULOSA BAKTERI Acetobacter xylinum DARI LIMBAH AIR CUCIAN BERAS DENGAN PENAMBAHAN KITOSAN SEBAGAI MATERIAL PENUTUP
LUKA PADA TIKUS GALUR WISTAR JANTAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi Farmasi
Oleh:
David Chandra Putra
NIM: 098114098
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
i
PENGARUH PEMBERIAN SEDIAAN BIOMATERIAL SELULOSA BAKTERI Acetobacter xylinum DARI LIMBAH AIR CUCIAN BERAS DENGAN PENAMBAHAN KITOSAN SEBAGAI MATERIAL PENUTUP
LUKA PADA TIKUS GALUR WISTAR JANTAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi Farmasi
Oleh:
David Chandra Putra
NIM: 098114098
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini untuk Tuhan Yesus, orang tuaku, dan sahabat-sahabatku
Philippians 4:13
vii PRAKATA
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan
kasih rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Pengaruh Pemberian Sediaan Biomaterial Selulosa Bakteri Acetobacter xylinum
dari Limbah Air Cucian Beras dengan Penambahan Kitosan sebagai Material
Penutup Luka pada Tikus Galur Wistar Jantan”. Penelitian ini termasuk dalam
penelitian payung yang dilakukan oleh Dr. Eli Rohaeti dengan judul
“Pemanfaatan Biomaterial Selulosa Bakteri dari Limbah Rumah Tangga dengan
Penambahan Kitosan dan Bahan Pemlastis sebagai Material Penutup Luka”.
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan pendidikan untuk
memperoleh gelar Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan berkat bantuan dan dorongan
dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada :
1. Ibu Dr.Eli Rohaeti selaku dosen pembimbing I yang telah memberi
bimbingan dan arahannya selama penelitian maupun penyusunan skripsi.
2. Ibu Phebe Hendra, Ph.D., Apt., selaku dosen pembimbing II yang
memberikan banyak masukan dan solusi selama penelitian ini berlangsung.
3. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Sanata Dharma
4. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si., selaku penguji atas masukan, kritik, dan
viii
5. Ibu Dr.Sri Hartati Yuliani, Apt., selaku penguji atas masukan, kritik, dan
sarannya.
6. Dra. Maria Margaretha Yetty Tjandrawati, M.Si. selaku dosen pembimbing
akademik yang banyak memberikan nasehat.
7. Pihak-pihak laboratorium Fakultas Farmasi Sanata Dharma yang turut
membantu dalam penelitian, Pak Mukmin, Mas Ratijo, Mas Wagiran, Mas
Sigit, Mas Parlan, Mas Parjiman, Mas Heru, Mas Kayat, dan Drh.Ari.
8. Laboratorium Kimia Organik Fakultas Matermatika dan Ilmu Pengetahuan
Alam UGM, Laboratorium Bioteknologi Fakultas Teknik Pertanian UGM,
Laboratorium XRD Fakultas Teknik Geologi UGM, Laboratorium Akademi
Teknik Kulit Yogyakarta, dan Laboratorium SEM Balai Konservasi
Borobudur yang membantu dalam proses analisis.
9. Anugerah Adhi Laksana dan Michael Raharja Gani selaku teman
seperjuangan penelitian ini.
10. Jenny Marina, Lani Agustina, dan Nanda Chris Nurcahyanti atas
bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini.
11. Agnes Mutiara Kurniawan yang selalu memberikan dukungan selama
proses penelitian hingga penyelesaian skripsi.
12. Teman-teman FST dan FKK 2009 atas segala dukungan dan semangat yang
yang diberikan.
Akhir kata, penulisan skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan dan
ix
diperlukan. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangsih yang bermanfaat
bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Yogyakarta, 23 April 2013
x DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v
xii
K. Analisis Karakteristik Polimer ... 19
1. Analisis gugus fungsi dengan Fourier Transform Infrared Spectrophotometer (FT-IR) ... 19
2. Pengamatan permukaan dengan Scanning Electron Microscope (SEM) ... 21
3. Analisis sifat mekanik dengan Tensile Tester ... 22
4. Analisis kestabilan termal dengan alat Thermogravimetric Analysis (TGA) ... 23
5. Analisis sifat termal dengan Differential Thermal Analysis (DTA) ... 24
6. Analisis kristalinitas dengan X-Ray Diffraction (XRD) ... 25
xiii
3. Pembuatan biomaterial selulosa bakteri ... 32
4. Pembuatan biomaterial selulosa gliserol ... 33
5. Pembuatan biomaterial selulosa kitosan gliserol ... 33
6. Pembuatan biomaterial kitosan sebagai kontrol positif ... 34
7. Analisis karakteristik biomaterial ... 35
a. Analisis gugus fungsi dengan alat FT-IR ... 35
xiv
c. Analisis sifat mekanik berupa tensile strength dan elongasi 35
d. Analisis kestabilan termal dengan DTA/TGA ... 36
e. Analisis kristalinitas dengan XRD ... 36
8. Sterilisasi produk ... 36
9. Pengelompokkan hewan uji ... 37
10. Pembuatan luka pada hewan uji ... 37
11. Pembuatan kontrol positif, kontrol negatif, dan perlakuan ... 38
12. Pengamatan penutupan luka secara makroskopis ... 38
F. Analisis Data ... 39
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40
A. Pembuatan Biomaterial Selulosa ... 40
B. Analisis Karakteristik Selulosa ... 46
1. Pengamatan permukaan dengan Scanning Electron Microscope (SEM) ... 46
2. Analisis Fourier Transform Infrared Spectrophotometer (FT-IR) 48 3. Analisis tensile strength dan elongasi ... 52
4. Analisis kestabilan termal dengan TGA dan DTA ... 56
5. Analisis kristalinitas dengan teknik XRD ... 60
C. Pengaruh Pemberian Biomaterial Selulosa Bakteri ... 61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71
A. Kesimpulan ... 71
B. Saran ... 71
xv
LAMPIRAN ... 80
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel I. Komposisi kimia dalam 100 gram beras ... 10
Tabel II. Karakteristik penutup luka yang baik... 19
Tabel III. Hasil tensile strength dan elongasi film kitosan dalam berbagai macam pelarut ... 23
Tabel IV. Beberapa parameter membran selulosa yang dihasilkan ... 45
Tabel V. Tabel korelasi gugus serapan inframerah ... 50
Tabel VI. Intensitas serapan inframerah ... 52
Tabel VII. Hasil uji sifat mekanik selulosa bakteri, selulosa bakteri gliserol, dan selulosa bakteri gliserol ditambah kitosan ... 53
Tabel VIII. Pengamatan kualitatif makroskopis ketiga kelompok pada Periode perlakuan 1, 3, 5, dan 7 hari ... 62
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Selulosa dengan ikatan β-1,4-glikosidik ... 7
Gambar 2. Struktur kimia dari kitin dan kitosan serta alur produksi kitosan 8 Gambar 3. Struktur kulit ... 14
a. Selulosa bakteri dengan perbesaran 5000x ... 21
b. Film kitosan murni dengan perbesaran 6000x ... 21
Gambar 7. Termogram TGA ... 24
a. Selulosa bakteri dan kombinasi selulosa bakteri/PEO .... 24
xviii
a. Beras yang ditebarkan ... 41
b. Limbah air cucian beras yang ditambahkan iodine ... 41
c. Pengamatan amilum beras secara mikroskopik Perbesaran 1000x ... 41
Gambar 12. Topografi permukaan selulosa bakteri perbesaran 500x ... 46
a. Ditambah dengan kitosan ... 46
b. Kontrol yang tidak ditambah dengan kitosan ... 46
Gambar 13. Topografi permukaan melintang selulosa bakteri ... 47
a. Ditambah dengan kitosan perbesaran 100x ... 47
b. Kontrol yang tidak ditambah dengan kitosan perbesaran 100x ... 47
c. Ditambah dengan kitosan perbesaran 500x ... 47
d. Kontrol yang tidak ditambah dengan kitosan perbesaran 500x ... 47
Gambar 14. Spektra inframerah serbuk kitosan ... 49
Gambar 15. Spektra overlay(tumpang tindih) antara selulosa yang ditambah dengan kitosan (hijau), selulosa kontrol tanpa gliserol (hitam), dan selulosa kontrol dengan gliserol (merah) ... 50
Gambar 16. Grafik TGA antara selulosa bakteri (kuning), selulosa bakteri gliserol (hijau), dan selulosa bakteri gliserol ditambah kitosan (merah) ... 57
Gambar 17. Grafik persentase kehilangan massa terhadap suhu ... 58
xix
suhu ... 59
Gambar 19. Grafik DTA antara selulosa bakteri (kuning), selulosa bakteri gliserol (hijau), dan selulosa bakteri gliserol ditambah kitosan (merah) ... 60
Gambar 20. Difraktogram XRD ... 61
a. Selulosa ... 61
b. Selulosa gliserol kitosan ... 61
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Perbedaan bahan komposisi pembentukan selulosa ... 80
Lampiran 2. Perbandingan berat basah selulosa dengan berat kering selulosa ... 80
Lampiran 3. Perhitungan % yield yang didapatkan masing-masing selulosa ... 80
Lampiran 4. Hasil uji tensile Strength dan elongasi kontrol selulosa bakteri tanpa penambahan gliserol ... 80
Lampiran 5. Hasil uji tensile strength dan elongasi kontrol selulosa bakteri dengan penambahan gliserol ... 81
Lampiran 6. Hasil uji tensile strength dan elongasi selulosa bakteri dengan penambahan gliserol dan kitosan ... 81
Lampiran 7. Uji statistik karakteristik polimer dengan SPSS ... 81
a. Uji normalitas ... 81
b. Levene test ... 81
c. Anova test ... 82
d. Kesimpulan ... 82
e. Grafik batang tensile strength dan elongasi ... 83
Lampiran 8. Perhitungan persentase luas kristalinitas menggunakan XRD 83 Lampiran 9. Perhitungan derajat deasetilasi kitosan ... 84
xxi
a. Bilangan gelombang 3400 ... 85
b. Bilangan gelombang 1600 ... 85
Lampitan 11. Perbandingan kenaikan temperatur dengan persentase massa
tersisa ... 86
Lampiran 12. Pengaruh pemberian biomaterial terhadap penutupan
luka terbuka ... 86
Lampiran 13. Uji statistik pengaruh pemberian biomaterial
penutupan luka dengan SPSS ... 87 f. Kesimpulan pengaruh pemberian biomaterial terhadap
penurunan luas luka ... 88 Lampiran 14. Persentase penurunan diameter luka tikus galur Wistar jantan
a. Perlakuan (SGK) ... 90
b. Kontrol positif ... 91
c. Kontrol negatif ... 92
Lampiran 15. Uji statistik pengaruh pemberian biomaterial penutupan
luka antar hari masing-masing kelompok dengan SPSS ... 93
a. Kelompok perlakuan (SGK) ... 93
xxii
Lampiran 16. Gambar pembuatan membran selulosa ... 96
Lampiran 17. Gambar alat yang digunakan dalam analisis karakteristik
polimer ... 96
a. Alat untuk analisis tensile strength dan elongasi ... 96
b.Alat untuk analisis SEM ... 96
c. Alat untuk analisis XRD ... 97
d.Alat untuk analisis TGA/DTA ... 97
Lampiran 18. Gambar spektra IR selulosa, selulosa gliserol, dan selulosa
gliserol kitosan ... 98
xxiii
gliserol kitosan ... 99
Lampiran 20. Termogram DTA selulosa, selulosa gliserol, dan selulosa
gliserol kitosan ... 100
Lampiran 21. Difraktogram XRD selulosa dan selulosa gliserol kitosan ... 102
Lampiran 22. Foto pengamatan makroskopis luka eksisi ... 103
xxiv INTISARI
Tujuan dari penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui karakteristik dan pengaruh pemberian biomaterial selulosa bakteri Acetobacter xylinum dari limbah air cucian beras dengan penambahan kitosan sebagai material penutup luka pada tikus galur wistar jantan. Karakteristik biomaterial dilakukan terhadap gugus fungsi senyawa, foto permukaan polimer, uji kristalinitas, dan uji mekanik sedangkan dalam pengamatan pengaruh pemberian yang diamati adalah penurunan diameter luka untuk melihat regenerasi sel kulit.
Pembuatan biomaterial selulosa bakteri dilakukan dengan menyiapkan limbah cucian air beras yang kemudian ditambahkan gula, urea, dan gliserol. Campuran tersebut difermentasikan selama 7 hari dengan menggunakan kultur
Acetobacter xylinum. Hasil yang didapatkan kemudian ditambahkan kitosan dengan merendam selulosa dalam larutan kitosan 2%. Larutan kitosan dibiarkan mengering dan selulosa dikeringkan dalam oven pada suhu 40oC. Selulosa yang
sudah kering diuji karakteristik sifat mekaniknya dengan menggunakan tensile tester, foto permukaan polimer dilihat dengan Scanning Electron Microscope
(SEM), persentase kristalinitas dengan X-Ray Diffaction (XRD), ketahanan termal dengan Thermogravimetric Analysis/Differential Thermal Analysis (TGA/DTA), pengamatan gugus fungsi dengan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FT-IR), dan pengujian penutupan luka dilakukan dengan uji farmakologi. Uji farmakologi yang dilakukan adalah melukai kulit tikus pada hari pertama, luka ditutup dengan biomaterial yang dibuat, dan pada hari 1, 3, 5, dan 7 setelah pemberian, diamati diameter penutupan luka lalu dihitung persentase luas penutupan luka.
Hasil yang didapat dari uji karakteristik selulosa dengan penambahan kitosan akan mengakibatkan terjadinya perlebaran spektra pada 3400 cm-1 yang
menunjukkan peningkatan gugus OH dan 1650 cm-1 yang menunjukkan
peningkatan gugus NH2, tensile strength menjadi 17,01 ± 2,53, ketahanan termal
lebih tinggi, namun derajat kristalinitas menjadi 50,15% dan elastisitas menjadi
8,01 ± 3,60. Biomaterial selulosa bakteri dari limbah air cucian beras dengan penambahan kitosan tidak menunjukkan regenerasi sel kulit yang lebih baik dari pengamatan makroskopis dan persentase penurunan luas permukaan.
xxv ABSTRACT
The objective of this study was to determine the characteristics and influence of biomaterial bacterial cellulose Acetobacter xylinum from waste water of washing rice with addition of chitosan as a wound dressing material to male rats. The characteristics of biomaterial involved functional groups, polymer surface photos, crystallinity test, and mechanical test, while the effectiveness of biomaterial on regeneration skin cells observed as decrease in wound diameter.
Bacterial cellulose made from waste water of washing rice, glucose, urea, dan glycerol. The mixture fermentated for 7 days with addition of Acetobacter xylinum. After 7 days, cellulose soaked with chitosan solution 2% and let the chitosan solution dry out. Then cellulose dried on the oven at 40oC.
Characteristics of the mechanical properties tested using tensile tester, polymer surface photos seen with Scanning Electron Microscopy (SEM), percentage of crystallinity tested using X-Ray Diffaction (XRD), thermal resistance using
Thermogravimetric Analysis/Differential Thermal Analysis (TGA/DTA), observation of functional groups with Fourier Transform Infrared Spectroscopy
(FT-IR), and wound closure test perfomed with study pharmacological. The pharmacological tested with cut the rat skins on the first day, then the wound was covered with a biomaterial, and on 1, 3, 5, dan 7 days after administration, the wound diameter was observed and vast percentage calculated.
The result of the characteristics test shows that in the presence of chitosan on cellulose there are wide spectra occured at 3400 cm-1 that increased OH group and 1650 cm-1 that increased NH
2 group, tensile strength become 17.01 ± 2.53,
higher thermal stability, but the degree of crystallinity reduce to 50.15% and elasticity become 8.01 ± 3.60. Biomaterials bacterial cellulose from waste water of washing rice with addition of chitosan didn’t show better regeneration of skin cells by macroscopic obervations and percentage vast of the wound.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut penelitian yang pernah dilakukan mahasiswa Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, air cucian beras
mengandung kandungan nutrisi yang melimpah diantaranya karbohidrat berupa
pati (85-90%), protein glutein, selulosa, hemiselulosa, gula dan vitamin yang
tinggi. Namun, sebagian besar penduduk Indonesia belum menyadari manfaat air
cucian beras, sehingga air cucian beras hanya menjadi limbah yang terbuang
sia-sia. Kandungan air cucian beras ini sebenarnya dapat dimanfaatkan. Ada yang
menggunakan sebagai masker penutup wajah karena kandungan vitaminnya, ada
yang menggunakan sebagai pupuk (Ruslan, 2011). Selain itu kandungan yang
terdapat dalam limbah ini terutama karbohidrat dapat dimanfaatkan sebagai
medium pertumbuhan Acetobacter xylinum dalam proses fermentasi pembuatan selulosa bakteri.
Acetobacter xylinum dapat memproduksi selulosa bakteri dengan adanya oksigen dan karbohidrat. Kandungan karbohidrat pada air cucian beras tersebut
yang akan digunakan dalam pembentukan selulosa bakeri. Selulosa bakteri yang
dihasilkan memiliki kesamaan dengan selulosa pada tumbuhan, hanya secara
fisika-kimia keduanya berbeda, salah satunya yaitu pori. Selulosa bakteri yang
100 kali lebih tipis dari selulosa tanaman memiliki pori yang lebar sehingga
and Singhal, 2009). Polimer ini biasa digunakan sebagai biomaterial penyembuh
luka dengan memberikan lingkungan lembab pada permukaan kulit dan menutup
dari gangguan luar baik secara fisik maupun kimia (Ciechańska, 2004).
Pemilihan selulosa bakteri ini dikarenakan sifat dari selulosa yang ramah
lingkungan, toksisitas dan sifat pirogenik selulosa bakteri sangat rendah hingga
dapat dikatakan non-pyrogenic dan non-toxic. Jika dibandingkan dengan selulosa sintetik, selulosa sintetik cenderung lebih mahal, dan tidak ramah lingkungan
karena lebih banyak menggunakan bahan-bahan kimia, namun selulosa sintetik
memiliki keuntungan yaitu dapat disintesis sesuai dengan keinginan, baik dari
segi elastisitas, porositas, hingga penambahan senyawa aktif secara langsung pada
polimer (Subyakto, Hermiati, Yanto, Fitria, Budiman, Ismadi, dkk., 2009).
Selulosa bakteri memiliki kekurangan yaitu tidak adanya daya
antimikroba, sehingga aplikasi penggunaan biomaterial kurang efektif dalam
penggunaan sebagai polimer penutup luka maka diperlukan adanya bahan
tambahan lain yang mendukung efektivitas kerja selulosa bakteri (Maneerung,
Tokura, and Rujiravanit, 2008). Untuk mendukung efektivitas selulosa bakteri
tersebut maka dapat dilakukan dengan penambahan kitosan.
Kitosan merupakan biopolimer alami glukosamin dan N-asetil
glukosamin. Kitosan bersifat polikationik, biokompatibel, toksisitas rendah, dan
biodegradabel. Kitosan memiliki gugus fungsi yang dapat dimodifikasi dengan
beragam ligan. Sifat unik tersebut menyebabkan kitosan memiliki potensi yang
cukup luas dalam aplikasi medis termasuk dalam perbaikan jaringan (Abbas,
larutan natrium hidroksida konsentrasi tinggi pada suhu tinggi. Kitin ini
merupakan limbah yang berasal dari kerangka luar Crustacea filum Arhtropoda
seperti cangkang kepiting dan udang. Hampir 40% limbah cangkang ini dibuang
dan menyebabkan masalah pada lingkungan. Untuk mengatasi masalah
lingkungan ini kitin diproses menjadi kitosan yang lebih bermanfaat
(Satyanarayana, Johri, dan Prakash, 2012).
Di Indonesia, kitosan masih jarang digunakan, terlebih dalam penggunaan
di bidang medis. Di negara Barat, penggunaan kitosan dalam aplikasi medis sudah
banyak dimanfaatkan antara lain sebagai basis hidrogel penyembuh luka,
pembawa obat anti-kanker, dan sistem penghantaran obat nanoteknologi pada
terapi jaringan mata. Selain itu telah diketahui bahwa kitosan memiliki sifat
bakteriostatik, fungistatik, menstimulasi proliferasi sel, merangsang makrofag,
agen hemostatik dan membantu penyembuhan luka secara cepat (Paul dan
Sharma, 2004; Sarmento, 2012; Yamazaki, 2007). Dengan kitosan yang memiliki
efek biomedis seperti selulosa bakteri yaitu efek mempercepat penyembuhan luka,
diharapkan selulosa bakteri akan meningkatkan biokompatibilitas dan bioaktivitas
kitosan. Interaksi kitosan yang masuk ke dalam rantai selulosa akan menghasilkan
bentuk dan sifat yang sesuai dengan pembuluh darah alami (Ciechanska,
Wietecha, Kazmierczak, dan Kazimiercak, 2010 ).
Luka dalam kasus ini adalah luka terbuka, terjadi pembukaan pada
lapisan luar kulit sehingga terjadi perdarahan (external bleeding). Luka ini bisa disebabkan goresan, tekanan, atau benda tajam. Waktu untuk proses
proliferasi 3-24 hari dan tahap maturasi 24-365 hari (Australian Wound Management Association, 2008). Proses penutupan luka terbuka ini cukup lama, maka perlu dilakukan proses untuk mempercepat penutupan luka, salah satunya
dengan biomaterial penutup luka. Penutup luka yang baik harus dapat melindungi
luka dari kondisi lingkungan luar, memiliki daya tahan cukup lama, tahan
terhadap tekanan, lentur, elastis (Mercier, Zambelli, dan Kurz, 2002; Yamazaki,
2007).
Dalam aplikasinya, material penutup luka harus mudah dilekatkan pada
kulit dan mudah dilepaskan tanpa memberikan kerusakan jaringan apapun.
Dengan demikian, sifat mekanik dari polimer penutup luka sangat penting dan
kritis. Untuk meningkatkan kemampuan mekaniknya, polimer ditambahkan
dengan gliserol sebagai pemlastis. Gliserol akan mengubah sifat mekaniknya
menjadi lebih fleksibel sehingga polimer diharapkan mampu menyesuaikan
topografi luka. Namun, kitosan yang ditambahkan sebagai antibakteri memiliki
sifat amorf. Sifat amorf pada kitosan diketahui menimbulkan degradasi yang cepat
dan menurunkan kemampuan menanggung beban, sedangkan selulosa yang
terbentuk dari bakteri memiliki kristalinitas yang tinggi. Penambahan sifat amorf
dari kitosan ke dalam selulosa bakteri yang kristalinitasnya tinggi tentu akan
mengubah karakteristik dari polimer yang terbentuk menjadi lebih amorf.
(Mercier, Zambelli, dan Kurz, 2002; Ren, 2010; Yamazaki, 2007). Karakterisitik
polimer dengan penambahan kitosan dan gliserol diharapkan sebaiknya mampu
untuk menanggung tekanan yang diberikan oleh berbagai bagian tubuh yang
polimer mampu mengurangi rasa sakit, menjamin dekontaminasi, dan mencegah
masuknya bakteri ke dalam luka (Khan, Peh, dan Ch’ng, 2000).
Oleh karena itu penelitian dilakukan pembuatan polimer yang berasal dari
limbah air cucian beras ditambah dengan penambahan gliserol dan kitosan, lalu
dilakukan uji karakterisasi yang meliputi sifat mekanik, ketahanan thermal,
kristalinitas, pengamatan permukaan dan kemampuan melekat pada kulit. Selain
itu untuk melihat pengaruh pemberian biomaterial penutup luka dari limbah air
cucian beras yang ditambah kitosan terhadap proses regenerasi sel kulit dilakukan
uji terhadap tikus jantan galur Wistar.
1. Rumusan Masalah
a. Bagaimana karakteristik biomaterial selulosa bakteri dari limbah air cucian
beras dengan penambahan kitosan?
b. Bagaimana pengaruh pemberian biomaterial selulosa bakteri dari limbah air
cucian beras dengan penambahan kitosan terhadap regenerasi sel kulit pada
tikus jantan galur Wistar?
2. Keaslian Penelitian
Sejauh yang peneliti ketahui belum ada penelitian mengenai pembuatan
selulosa bakteri kitosan dengan memanfaatkan limbah air cucian beras.
Penelitian serupa yang dilakukan Ciechanska, et al. (2010) yaitu pembuatan polimer bakteri selulosa kitosan memiliki perbedaan yaitu penelitian yang
marmot dan dilakukan uji efek post-implant dengan hispatologi in vivo, sedangkan pada penelitian ini dilakukan pembuatan polimer selulosa kitosan
gliserol dari limbah air cucian beras dengan menggunakan metode celup dan
pengujian yang dilakukan sebagai wound dressing.
3. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis : Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu
pengetahuan tentang pembuatan biomaterial selulosa bakteri dari limbah
rumah tangga.
b. Manfaat metodologis. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu
metode pengembangan selulosa bakteri sebagai penutup luka dari
limbah-limbah yang tidak digunakan.
c. Manfaat praktis. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi alternatif penutup
luka yang dibuat dari limbah yang bersifat ramah lingkungan.
B. Tujuan
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik biomaterial selulosa
bakteri dari limbah air cucian beras dengan penambahan kitosan ditinjau dari
gugus fungsi, ketahanan termal, topografi permukaan polimer, kristalinitas dan
sifat mekanik.
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian biomaterial
selulosa bakteri dari limbah air cucian beras dengan penambahan kitosan
7
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A.Selulosa
Selulosa pertama kali ditemukan oleh Anselme Payen pada tahun 1838
yang didiskripsikan sebagai fibrosa padat yang berasal dari jaringan tumbuhan.
Secara alami selulosa memiliki rantai ikatan β-1,4-glikosidik (Gambar 1) untuk membentuk suatu struktur yang semi-kuat seperti kristal. Selulosa yang dapat
terbentuk ini dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain dengan adanya
perlakuan secara kimia maupun secara fisika (Brown, 2007).
Gambar 1. Selulosa dengan ikatan β-1,4-glikosidik (Klemm, Schmauder, dan Heinze)
Selulosa didapat dari berbagai macam sumber. Selulosa biasanya
didapatkan dari tumbuhan-tumbuhan seperti pohon di hutan, sintesis sel tumbuhan
melalui fotosintesis, uniseluler plankton dan algae di pantai melalui fikasasi dari
karbondioksida. Selain itu selulosa juga dapat berasal dari beberapa hewan
tertentu, fungi, dan bakteri yang tidak memiliki kemampuan fotosintesis
(Zugenmaier, 2008).
Dalam pemanfaatannya selulosa ini lebih banyak digunakan dalam bentuk
selulosa murni dan bentuk selulosa campuran lignin pada tumbuhan. Selulosa
tidak murni biasanya dijadikan furnitur rumah, papan, kursi, dan meja, sedangkan
penggunaan selulosa sendiri seperti kapas telah digunakan dari jaman dulu hingga
sekarang, terlebih dalam beberapa penggunaan aplikasi medis, material selulosa
tidak dapat digantikan dengan apapun. Hal ini disebabkan potensi dari selulosa
secara molekular yang memiliki kemampuan sebagai matrix bioaktif dan
biokompatibel (Kamide, 2005; Moore, Stanitski, dan Jurs, 2008; Elnashar, 2010).
B. Selulosa Bakteri
Dalam perkembangan selulosa, ditemukan biosintesis selulosa oleh bakteri
Acetobacter xylinum tahun 1886 oleh A.J. Brown, yang kemudian berkembang pembentukan selulosa oleh organisme sejenis. Selulosa bakteri memiliki struktur
dasar yang dikenal dengan mikrofibril, terdiri dari rantai glucan yang terikat oleh
ikatan hidrogen yang akan menstabilkan keseluruhan struktur. Selulosa sintesis
yang dilakukan oleh Acetobacter melibatkan sekompleks proses yang mencakup polimerisasi pembentukan β-1,4-glikosidik diperantai adanya selulosa sintase, sekresi ekstraseluler rantai linier, pembentukan dan kristalisasi rantai glukan
menjadi suatu pita. Sebagai hasilnya, maka akan terbentuk suatu bentuk tiga
dimensi dengan struktur bergelatin. Selulosa bakteri termasuk eksopolisakarida
yang merupakan rantai panjang polisakarida dengan rantai gula seperti glukosa,
ramnosa, dan galaktosa (Chawla, et al., 2009 ; Czaja, Young, Kawecki, dan Brown, 2006).
Selulosa bakteri memiliki karakteristik mekanik terkuat dan jauh lebih
murni dibandingkan selulosa tumbuhan, hal ini dikarenakan pada selulosa
selulosa bakteri juga dapat terurai, seratnya halus (berdiameter 0.1 ~m atau 300
kaIi lebih kecil dibanding serat kayu), kekuatan mekaniknya bagus, kapasitas
pengikatan airnya yang tinggi dan derajat kristalinitasnya yang tinggi.
Berdasarkan kelebihan selulosa bakteri dibandingkan selulosa tumbuhan,
mengakibatkan selulosa bakteri banyak dimanfaatkan dalam menghasilkan produk
berkualitas tinggi (Chawla, et al., 2009; Laily, Atariansah, Nurani, Istini, Susanti, dan Hartoto, 2004).
C.Acetobacter xylinum
Acetobacter xylinum termasuk dalam bakteri gram negatif. Pertumbuhannya dipengaruhi oleh tingkat keasaman medium, suhu fermentasi,
lama fermentasi, sumber nitrogen, sumber karbon, dan konsentrasi starter (bibit). Derajat keasaman yang dapat menghasilkan nata ada pada kisaran 3,5 – 7,5 dan
dengan kisaran temperatur 28o C – 32oC (Sutarminingsih, 2004).
Acetobacter xylinum dapat memproduksi selulosa murni. Hasil selulosa yang dihasilkan terbagi menjadi 2 bentuk yaitu selulosa I seperti pita dan selulosa
II yang secara termodinamika merupakan polimer yang lebih stabil. Yang
mempengaruhi pembentukan kedua selulosa ini adalah struktur mikrofibrilar
selulosa. Polimer ini dapat menyimpan kandungan air hingga 99%, air yang
disimpan tidak akan mudah menguap kecuali polimer dipanaskan pada suhu 85oC
– 140oC. Ini menunjukkan polimer ini sangat kuat terhadap panas. Polimer akan
Danielewicz, 2008 ; Wertz, Bedue, dan Mercier, 2010; Lina, Yue, Jin, dan Guang,
2011).
D.Beras
Komposisi kimia beras berbeda-beda tergantung varietas dan cara
pengolahannya. Selain sumber energi dan protein, beras juga mengandung
berbagai unsur mineral dan vitamin (Tabel I).
Tabel I.Komposisi kimia dalam 100 gram beras
Energi 365 kkal
Sebagian besar karbohidrat beras adalah pati (85-90%) yang terdiri
amilosa dan amilopektin, sebagian kecil pentosan, selulosa, hemiselulosa, dan
gula. Kemudian komponen besar kedua adalah protein. Tidak hanya beras, tetapi
Air cucian beras mengikis kandungan-kandungan yang berada pada beras,
kandungan yang ada dalam air cucian ini paling besar diperkirakan adalah pati,
kemudian dilanjutkan vitamin B. Vitamin B akan membantu pertumbuhan
Acetobacter xylinum di saat lingkungan tidak baik. Sumber glukosa dari limbah air cucian beras ini cukup untuk memfermentasikan bakteri hingga hari ke 14
(Rachmat dan Agustina, 2009).
E. Kitosan
Kitosan didapat dari derivat kitin. Kitin biasanya didapatkan dari
eksoskeleton crustacea seperti kepiting dan udang. Dalam pembentukan kitosan, kitin ini harus melewati proses deasetilasi terlebih dahulu. Kitosan ini ketika
dilarutkan cenderung membentuk lapisan film dan berserat, sehingga kitosan biasa
dimanfaatkan sebagai pembentuk basis gel, tetapi pH kitosan tidak larut dalam
larutan netral atau basa. Kitosan cenderung larut dalam asam (pH 5), karena
amino pada kitosan akan terprotonasi sehingga meningkatkan kelarutan kitosan
dalam air. Kitosan juga memiliki kelarutan yang baik dengan polimer lain dalam
pembentukan kompleks atau kelat (Niekraszewicz, 2005; Sarmento, 2012).
Pembentukan kitosan dari kitin terjadi penambahan gugus fungsi NH2
akibat deasetilasi (Gambar 2). Semakin tinggi tingkat deasetilasinya, maka
semakin murni kitosan yang dihasilkan. Jadi sebenarnya kitin dan kitosan
merupakan polimer yang sama, namun yang membedakan adalah derajat
deasetilasinya (DD). Secara umum, jika molekul polimer memiliki lebih dari 50%
N-asetilglukosamin maka disebut dengan kitin, sedangkan jika unit N-glukosamin
Gambar 2. Struktur kimia dari kitin dan kitosan serta alur produksi kitosan (Foudad, 2008)
Meskipun kitosan tidak ada di mamalia, namun beberapa mamalian enzym
seperti lisozim dapat menghidrolisis kitosan. Proses biodegradasi kitosan ini
tergantung dari 2 faktor utama yaitu derajat deasetilasi kitosan dan jumlah
N-asetilglukosamin. Biodegradasi kitosan akan berkurang jika derajat deasetilasi
lebih dari 70% dan kitosan dengan distribusi N-asetilglukosamin acak menjadi
kurang rentan terhadap degradasi enzim lisozim dibandingkan kitosan yang
memiliki tiga blok N-asetilglukosamin berurutan (Lee, Ha, dan Park, 1995 ; Aiba,
1992).
Kitosan dapat digunakan untuk membuat material dengan berbagai macam
sifat mekanik. Pori-pori kitosan sangat berpengaruh terhadap sifat mekanik
material tersebut. Pori kitosan akan mengurangi modulus elastisitas dan kekuatan
mekanik. Kitosan murni tanpa pori yang jelas menunjukkan elastisitas dari 5
terhadap sifat mekanik material kitosan. Contohnya dengan menyelimuti material
kitosan dengan asam hyaluronat akan meningkatkan kekuatan tarik material
kitosan (Liu, 2007).
F. Aplikasi Kitosan dalam Bidang Medis
Kitosan dalam bidang medis telah banyak digunakan sebagai anti
kolesterol, sediaan gel, fungistatik, bakteriostatik, dan pengobatan luka, hal ini
disebabkan karena kitosan memiliki sifat dapat menstimulasi fungsi makrofag,
proliferasi sel dan jaringan, sehingga kitosan mempercepat proses penyembuhan
luka. Pernah diteliti juga bahwa kitosan dalam pemakaian pada kulit menunjukkan
bahwa kitosan memfasilitasi re-epitelisasi dan regenerasi saraf pada dermis. Tidak
hanya itu, pernah dilakukan penelitian pada hewan bahwa proses penyembuhan
luka dengan kitosan juga meminimumkan terjadinya koreng. Kitosan yang
diaplikasikan pada kulit sebagai implan tidak memiliki efek samping, karena
kitosan telah lolos uji toksisitas dalam organisme baik uji toksisitas subakut, akut,
kronik, pirogen, hemolisis, dan mutagenik (Paul dan Sharma, 2004).
Pengembangan kitosan ini sudah dibuat dalam berbagai jenis produk. Ada
yang dibuat dalam bentuk serbuk, suspensi, kapas untuk pengobatan infeksi
subkutan, spon untuk membantu operasi tumor, membran film untuk pengobatan
dermatitis dan luka, stik, tablet sebagai agen pengisi, kertas, kateter, dan sebagai
media gel. Aplikasi produk kitosan ini sudah biasa digunakan dalam terapi
penyembuhan luka dan operasi. Dengan pemberian kitosan sebagai biomaterial
pengobatan, memberikan kenyamanan proteksi, mengurangi rasa sakit, dan
menghindari penggunaan antibiotik (Shigemasa dan Minami, 1996).
Kitosan yang mudah berikatan dengan polimer membuat kitosan dapat
berikatan dengan selulosa bakteri. Selulosa bakteri yang memiliki pori lebih
banyak daripada selulosa pada tumbuhan membuat kitosan dapat menyisip dengan
mudah pada selulosa bakteri dan secara kimia terjadi ikatan antara selulosa
dengan kitosan. Dengan adanya penyisipan dan ikatan ini akan membuat selulosa
memiliki kitosan sebagai zat aktif. (Elnashar, 2010).
G. Struktur Kulit
Kulit adalah bagian tubuh terbesar dari seluruh anggota tubuh dan
menyimpan banyak manfaat. Kulit adalah sebuah jaringan kompleks yang bekerja
sama dalam membentuk suatu sistem kendali. Struktur kulit dibagi menjadi 3
bagian utama yaitu epidermis, dermis, dan hipodermis (Gambar 3).
Gambar 3. Struktur kulit (Farage,Miller, dan Maibach, 2010)
Kulit membantu mengontrol suhu tubuh, jika tubuh terlalu panas maka
akan mengecil untuk menjaga tubuh tetap hangat. Kulit juga merupakan organ
perasa. Saraf-saraf perasa berada pada kulit akan memberikan informasi pada
otak. Saraf dapat merasakan melalui sensor sentuh, tekanan, panas, dingin, dan
sakit. Selain itu, yang terpenting bahwa kulit merupakan organ proteksi masuknya
organisme langsung ke dalam tubuh. Jika organisme masuk melalui kulit maka
sistem imun dari sel Langerhans akan teraktivasi (Scott, 2010).
H. Luka
Luka pada kulit dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Luka tertutup
Luka tertutup adalah luka pada bagian dalam jaringan kulit tanpa merusak
kulit. Kerusakan ini dapat terjadi karena adanya tekanan yang kuat yang
melebihi kemampuan jaringan menahan tekanan sehingga bagian dalam kulit
mengalami kerusakan. Luka tertutup nampak dengan melihat terjadinya
perubahan warna pada kulit biasanya biru atau kehitaman dan terasa nyeri
ketika disentuh (Grafft dan Sarff, 2012).
2. Luka terbuka
Luka terbuka adalah luka yang terjadi karena rusaknya jaringan kulit
bagian luar hingga terjadi pendarahan luar. Luka terbuka memungkinkan
mikroorganisme untuk masuk ke dalam bagian dalam kulit melalui luka ini.
Luka terbuka ini dibagi menjadi beberapa macam dilihat dari penyebab
a. Abrasi
Abrasi terjadi karena goresan atau gosokan kasar pada kulit.
Biasanya menyakitkan tetapi darah yang dikeluarkan sedikit.
b. Laserasi
Laserasi terjadi karena suatu benda akibat tekanan yang
menyebabkan terpotong atau terlepasnya kulit. Potongan atau lepasnya
kulit halus, bergerigi, atau cukup dalam hingga melukai saraf.
c. Incisi
Disebabkan karena pisau, gunting atau benda tajam lainnya. Luka
cukup dalam dan pendarahan cukup tinggi.
d. Avulsi
Luka yang terjadi ketika sejumlah besar kulit atau jaringan yang
mendasari kulit robek. Jaringan itu robek dan terpisah dari kulit.
e. Pungtur
Luka yang terjadi karena benda masuk ke dalam jaringan. Benda
tersebut mungkin hanya menembus jaringan paling atas seperti serpihan
kaca, tetapi pungtur dalam dapat menembus hingga jaringan dalam.
(Grafft dan Sarff, 2012 )
I. Penutupan Luka
Proses penutupan luka secara normal terjadi pada selama 3 tahap:
1. Tahap Inflamasi: terjadi selama 0-3 hari, tubuh menghasilkan respon normal
ditunjukkan dengan terjadinya panas, sakit, dan kehilangan fungsi secara
normal.
2. Tahap Proliferasi: terjadi pada hari ke 3 sampai ke 24. Pada waktu ini, luka
mulai sembuh dan terjadi regenerasi pembuluh darah dan penutupan
permukaan pada luka. Hasilnya, luka menjadi lebih kecil dari sebelumnya.
3. Tahap Pematangan: terjadi pada hari ke 24 sampai ke 365. Tahap
penyembuhan akhir dari kulit (Australian Wound Management Association, 2008).
Ketika suatu kulit mengalami luka terbuka atau terjadi kerusakan jaringan,
maka kulit akan membentuk jaringan granulasi. Jaringan granulasi merupakan
fenomena perbaikan yang terdiri lengkung kepiler dan miofibroblast (Gambar 4).
Kerusakan jaringan Terbentuk jaringan granulasi
Pembentukan jaringan parut Proses organisasi
Gambar 4. Proses regenerasi luka terbuka (Sarjadi, 1999).
Sel endotel kapiler berproliferasi dan tumbuh ke dalam daerah yang akan
diperbaiki, sedangkan fibroblast akan terangsang untuk membelah diri dan
menghasilkan kolagen. Di samping menghasilkan anyaman kolagen, fibroblast
peranan penting dalam pengurangan volume jaringan untuk diperbaiki.
Miofibroblast yang berasal dari fibroblast akan melekatkan satu sel dengan sel yang lainnya sehingga secara keseluruhan terjadi pengkerutan dan pengurangan
volume luka (Sarjadi, 1999).
Proses selanjutnya adalah terjadinya organisasi yaitu perbaikan jaringan
khusus dengan pembentukan jaringan parut. Terjadi oleh produksi jaringan
granulasi dan pembuangan jaringan yang mati dengan fagositosis. Setelah
terbentuk jaringan granulasi, maka akan terjadi pembentukan jaringan ikat
fibrovaskuler. Pengkerutan luka terjadi dan sedikit demi sedikit kolagen
bertambah banyak membentuk jaringan parut. Proses terakhir adalah penutupan
permukaan dengan regenerasi epitel (Sarjadi, 1999).
J. Material Penutup Luka
Penutup luka sudah banyak dikembangkan selama bertahun-tahun baik
melalui tanaman herbal, jaringan hewan, dan madu untuk proses pembentukan
jaringan yang baru. Banyak tanaman tradisional yang digunakan karena memiliki
efek antibakteri dan anti-inflamasi, namun penutup luka tersebut mengandung
bahan lkain sehingga berpotensi menghambar pertumbuhan jaringan. Oleh
karerna itu material penutup luka memiliki syarat-syarat ideal, sehingga material
tersebut dapat digunakan. Banyak pertimbangan yang perlu dipikirkan untuk
memastikan bahwa penutup luka memiliki efek dalam proses penyembuhan luka.
Tabel II. Karakteristik penutup luka yang baik
Karakteristik yang ideal Efek pada luka
Wound cleansing Meningkatkan migrasi dari leukosit Memberikan kondisi
lembab Menghindari kematian sel, meningkatkan migrasi jaringan, angiogenesis, dan sistesis jaringan baru Memiliki efek absorpsi Adanya sisa eksudat yang menghambat proliferasi dari
sel dan memutus matriks esktraseluler, sehingga eksudat ini perlu dihilangkan
Memiliki permeabilitas
gas angiogenesis, sedangkan oksigen dalam jumlah besar Oksigen dalam jumlah sedikit menstimulasi menstimulasi epitalisasi
Menghindari infeksi (melindungi luka dari
invasi bakteri)
Infeksi akan memperpanjang fase inflamasi dan menghambat pembentukan kolagen
Menjaga suhu Suhu normal pada jaringan akan membantu peningkatan migrasi epidermis dan aliran darah Memiliki daya lekat
yang rendah dilepas dan mampu memberikan kerusakan jaringan Penutup luka yang melekat cukup kuat akan sukar (Boateng, Matthews, Stevens, dan Eccleston, 2007)
K. Analisis Karakteristik Polimer
1. Analisis gugus fungsi dengan Fourier Transform Infrared Spectrophotometer
(FT-IR)
Infrared merupakan salah satu hal yang penting dalam teknik analisis. Sistem infrared didasarkan atas vibrasi atom-atom sebuah molekul. Spektra infrared biasanya didapatkan dengan melewatkan radiasi elektromagnetik infrared
melewati sampel yang menyebabkan induksi dipol momen dan mendeterminasi
fraksi yang terabsorpsi oleh energi tertentu. Energi dari tiap puncak dalam spektra
absorpsi memiliki hubungan dengan frekuensi vibrasi dari bagian molekul
tertentu, sehingga dapat dilakukan identifikasi kualitatif tipe ikatan molekul
elektromagnetik yang ditransimisikan melewati sampel dalam bentuk panjang
gelombang atau frekuensi (Stuart, 2004).
Total spektrum dianalisis melalui suatu proses matematika yang
dikonversikan menjadi sebuah panjang gelombang atau frekuensi yang dikenal
dengan Fourier Transform. Fourier Transform Infrared meningkatkan kualitas dari spektra infrared dan meminimalis waktu untuk mendapatkan data. FT-IR dikembangkan melalui dasar pemikiran Jean Baptiste Josesph Fourier. Tidak
semua ikatan dalam molekul dapat menyerap energi inframerah meskipun
mempunyai frekuensi radiasi sesuai dengan gerakan ikatan, hanya ikatan yang
mempunyai momen dipol yang dapat menyerap radiasi inframerah (Smith, 2011).
Salah satu contoh hasil dari inframerah pada yang pernah dilakukan akan
menghasilkan spektra seperti Gambar 5.
(a)
(b)
Karakteristik dari selulosa bakteri adalah adanya gugus fungsi –OH dari selulosa
bakteri pada bilangan gelombang 3350,71 cm-1 dan 2916,81 cm-1 sebagai C-H
stretching. Karakteristik inframerah dari film kitosan terlihat pada 1559,17 cm-1 yang menunjukkan vibrasi dari gugusan amino kitosan dan 1333,5 yang
merupakan vibrasi C-H. (Anicuta, et al., 2010).
2. Pengamatan permukaan dengan Scanning Electron Microscope (SEM)
SEM merupakan mikroskop elektron yang menampilkan gambar permukaan
sampel (Gambar 6). Elektron berinteraksi dengan tiap bagian permukaan sampel,
elektron tersebut diemisikan dan dideteksi. Gambar yang terbentuk sama dengan
jumlah elektron yang berinteraksi dengan sampel. Untuk meningkatkan resolusi
dari gambar dapat dilakukan dengan cara mengecilkan diamater sumber cahaya.
Diameter cahaya yang kecil akan mentransmisikan elektron pada permukaan
sampel tertentu. Diameter cahaya lebar, maka interaksi yang terjadi dengan
banyak objek dalam waktu yang sama makin tinggi (Allen, 2008).
(a) (b)
Gambar 6. Foto permukaan SEM (a). Selulosa bakteri dengan perbesaran 5000x (b). Film kitosan murni dengan perbesaran 6000x (Goh, Rosman,
Dalam preparasi sampel yang digunakan, besar sampel biasanya disesuaikan
dengan chamber alat. Jika chamber besar maka dapat dimasukkan bahan dengan ukuran yang besar. Namun, pada umumnya bahan SEM yang digunakan
berukuran sangat kecil, karena sampel akan diletakkan pada tube yang berdiameter 5 mm. Bahan yang diukur dengan SEM sebaiknya bahan yang kering
dan bukan bahan yang basah, karena akan menyebabkan masalah saat
pengukuran. Selain itu, sampel yang akan dibaca juga sebaiknya bersih, karena
pengotor-pengotor kecil dapat terbaca oleh SEM. Sampel SEM harus bersifat
konduktif, sehingga elektron dapat dipantulkan menuju detektor. Jika sampel
bersifat non konduktif terbaca oleh SEM, hasil pembacaan tidak merata, terang
pada satu sisi dan gelap pada satu sisi atau terjadi pengumpulan energi pada
sampel sehingga terjadi pengaburan gambar. Oleh karena itu perlu pada
sampel-sampel yang non konduktif perlu dilapisi dengan suatu bahan yang memiliki sifat
konduktif seperti emas. (Echlin, 2009; Rice, 2012).
3. Analisis sifat mekanik dengan Tensile Tester
Salah satu metode untuk mengetahui karakteristik mekanik dari sebuah
polimer adalah dengan mengidentifikasi kemampuan tegangan. Biasanya polimer
diujikan dengan menahan kedua ujungnya, lalu diberikan suatu gaya secara
Tabel III. Hasil tensile strength dan elongasi film kitosan dalam berbagai macam pelarut
Keterangan:
CH-10, CH-30, CH-50 merupakan kitosan dengan viskositas 10, 30, dan 50 Cp(centipoise)
(Park, Marsh, dan Rhim, 2002)
Semakin tingginya massa molekul dari kitosan akan meningkatkan tensile strength dari film kitosan. Penambahan berbagai solven menunjukkan perbedaan hasil pengujian tensile strength. Pelarut dengan asam asetat menunjukkan tensile strength yang paling tinggi, hal ini disebabkan dikarenakan interaksi intermolekular antara pelarut dengan kitosan sangat kuat sehingga membentuk
suatu susunan yang rigid (Park, et al., 2002)
Selain itu akan didapatkan data berbentuk kurva. Kemiringan awal pada
kurva menunjukkan perbandingan tegangan tarik terhadap regangan tarik.
Tegangan tarik adalah gaya tarik per satuan luas, sedangkan regangan tarik adalah
fraksi perubahan panjang. Tensile strength adalah posisi tertinggi dari kurva. Hasil dari uji ini biasanya digunakan untuk melihat apakah suatu polimer yang
terbentuk bersifat amorf, glassy polymer, atau semi kristalin polimer (Robeson, 2007; Young dan Freedman, 2000).
4. Analisis kestabilan termal dengan alat Thermogravimetric Analysis (TGA) Analisis termogravimetri merupakan pengukuran perubahan berat suatu
material berdasarkan suhu dan waktu dalam suatu lingkungan terkontrol.
suatu bahan terhadap perubahan suhu. TGA secara umum digabungkan dengan
beberapa alat seperti kromatografi gas, inframerah atau dengan spektrofotometer
massa sehingga hasil dekomposisinya dapat diketahui secara detail. Hasil
pengukuran termogravimetri adalah suatu kurva termogram (Gambar 7). (Sepe,
1997).
(a) (b)
Gambar 7. Termogram TGA (a) selulosa bakteri dan kombinasi selulosa bakteri/PEO (b) membran film kitosan (Brown, 2007; Cardenas dan
Miranda, 2004)
Setiap bahan memiliki stabilitas suhu yang berbeda-beda, semakin banyak
garis kurva yang muncul menandakan komposisi bahan dalam material semakin
banyak pula. Kurva yang mengalami penurunan berat menandakan adanya
ketidakstabilan bahan terhadap suhu, sehingga dapat diketahui kestabilan bahan
terhadap suhu tertentu (Sepe, 1997).
5. Analisis sifat termal dengan Differential Thermal Analysis (DTA)
DTA merupakan suatu metode analisis suhu yang sederhana dan biasa
digunakan secara umum. Suatu sampel diletakkan pada tungku pembakar. Suhu
Kurva positif (melengkung ke atas) dibaca sebagai kurva exothermic, sedangkan kurva negatif (melengkung ke bawah) dibaca sebagai kurva endothermic (Gambar 8).
Gambar 8. Termogram DTA Epoksi (Aisah, 2003).
Dalam menganalisis polimer, DTA digunakan untuk melihat glass transition temperature. Glass transition didefinisikan sebagai fenomena perubahan suatu material dari bentuk keras dan relatif rapuh (amorf) menjadi semi-solid yang
bersifat reversibel. Kebanyakan polimer tidak mengkristal di bawah kondisi
normal atau semi kristal yang mengandung sejumlah bahan dalam bentuk amorf.
Bagian amorf pada polimer mengambil bagian penting perubahan fase glass transition. Perbedaan polimer amorf, semi kristal, dan kristal akan sangat terlihat jika dianalisis dari segi mekanik, suhu, dan sifat elektrik (Sepe,1997; Brown,
2001).
6. Analisis kristalinitas dengan X-Ray Diffraction (XRD)
XRD merupakan suatu teknik yang biasanya digunakan untuk melihat
struktur dari suatu material tertentu. Informasi yang didapatkan dari XRD berupa
kristalinitas bahan. Setiap komposisi kristal yang terdapat dalam bahan tersebut
berbentuk cincin difraksi atau peak (Gambar 9). Perbandingan antara kristalin dan amorf akan menunjukkan tingkat kristalinitas bahan tersebut (Mohammad, 2007;
Sawyer, Grubb, Meyers, 2008).
Gambar 9. Hasil XRD selulosa bakteri dan berbagai macam kitosan (Fernandes, Oliviera, Freire, Silvestres, Neto, Gandini, Desbrieres, 2009)
Secara umum, polimer memiliki struktur kristalin yang tinggi atau amorf
yang tinggi. Tingkat kristalinitas ini dapat diukur dengan menggunakan XRD.
Seperti pada Gambar 9, selulosa bakteri (BC) dan HCH (High Molecular Chitosan) keduanya memiliki kristalinitas yang tinggi ditunjukkan dengan peak-peak tajam dibandingkan LCH (Low Molecuar Chitosan) dan WSHCH (Water Soluble High Molecular Chitosan) yang cenderung datar (Mohammad, 2007; Fernandes, et al., 2009).
L. Landasan Teori
Air cucian beras merupakan limbah rumah tangga memiliki kandungan
pati cukup tinggi dan dapat digunakan sebagai sumber karbon dalam pertumbuhan
dengan adanya vitamin B dalam air cucian beras berfungsi menopang
pertumbuhan Acetobacter xylinum ketika kondisi untuk pertumbuhan tidak memungkinkan. Dengan kebutuhan sumber karbon yang ada, dan nutrisi
pendukung pertumbuhan mikroba pembentuk selulosa, maka kemungkinan untuk
menghasilkan selulosa yang baik cukup tinggi.
Selulosa bakteri yang memiliki pori lebih besar daripada selulosa pada
tumbuhan memberikan keuntungan bagi senyawa aktif kitosan yang ditambahkan
mampu mengisi rongga-rongga yang ada pada selulosa dan berinteraksi secara
kimia dengan selulosa bakteri, sehingga keberadaan kitosan akan membuat
selulosa bakteri memiliki daya antibakteri yang penting dalam proses
penyembuhan luka. Kemudian dari segi aktivitas kimiapun, selulosa bakteri akan
menjadi penutup luka yang lebih baik. Tidak hanya memberikan efek memberikan
suasana lembab saja pada luka terbuka yang mempercepat penyembuhan luka,
tetapi juga memberikan efektivitas biologi seperti mempercepat proliferasi sel.
Proliferasi sel kulit terjadi selama 3-24 hari. Waktu ini merupakan kurun waktu
yang cukup lama, sehingga hasil yang diharapkan adalah selulosa bakteri yang
ditambahkan kitosan dengan pemberian dalam kurun waktu yang relatif singkat
mampu meningkatkan kemampuan regenerasi sel kulit dalam proses penutupan
luka terbuka.
Namun, dari segi sifat mekaniknya, penambahan kitosan membuat polimer
menjadi kaku dan tidak elastis. Untuk memperbaiki sifat mekanik yang rendah,
polimer yang memiliki daya antibakteri sekaligus sifat mekanik yang baik sebagai
biomaterial penutup luka.
M. Hipotesis
Biomaterial selulosa bakteri dari limbah air cucian beras dengan
penambahan kitosan sebagai material penutup luka pada tikus jantan galur Wistar
mampu bertahan terhadap degradasi oleh suhu, memiliki sifat elastisitas dan
29
BAB III
METODE PENELITIAN
A.Jenis Penelitian
Penelitian dengan judul “ Pengaruh Pemberian Sediaan Biomaterial
Selulosa Bakteri Acetobacter xylinum dari Limbah Air Cucian Beras dengan Penambahan Kitosan sebagai Material Penutup Luka pada Tikus Galur Wistar
Jantan” merupakan jenis penelitian yang bersifat eksperimental murni sederhana
dengan rancangan acak lengkap pola searah.
B. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu variabel utama dan
variabel pengacau.
1. Variabel utama :
Variabel utama dalam penelitian ini meliputi :
a. Variabel bebas : Lama pemberian biomaterial selulosa bakteri dari
limbah air cucian beras dengan penambahan kitosan pada tikus jantan
galur Wistar
b. Variabel tergantung : Kemampuan biomaterial dalam meregenerasi
sel kulit yang terluka
2. Variabel pengacau :
a. Variabel pengacau terkendali : tempat tumbuh tanaman, usia tanaman,
waktu panen, cara panen, subjek hewan uji, umur subjek hewan uji,
dan berat subjek hewan uji.
b. Variabel pengacau tidak terkendali : suhu, kelembapan, cuaca, cahaya
matahari, kondisi patologis dan fisiologis tikus.
C. Definisi Operasional
1. Selulosa bakteri adalah polisakarida yang dihasilkan oleh bakteri (pada
penelitian ini Acetobacter xylinum pada proses fermentasi, memiliki struktur fleksibel dan transparan).
2. Air cucian beras adalah air yang keruh berwarna putih, yang didapatkan dari
proses pencucian beras varietas Rojolele.
3. Luka terbuka adalah terkelupasnya lapisan luar kulit sehingga terjadi
perdarahan luar. Terjadi akibat tekanan, goresan, atau benda tajam.
4. Lama pemberian adalah lama penempelan biomaterial selulosa bakteri pada
luka terbuka tikus yang dilekatkan pada hari pertama lalu dilepas setelah 1, 3,
5, dan 7 hari.
5. Kemampuan biomaterial adalah kemampuan biomaterial selulosa bakteri yang
ditambahkan kitosan dalam meningkatkan regenerasi sel kulit pada tingkat
proliferasi.
6. Biomaterial penutup luka merupakan polimer yang ditempelkan pada luka
terbuka untuk melindungi kulit dari kondisi lingkungan luar.
8. Sifat mekanik yang dimaksud adalah tensile strength dan elongasi.
9. Tensile strength adalah kemampuan bahan untuk menahan beban dibagi luas penampang permukaan.
10. Elongasi (Strain Fmax) adalah kemampuan bahan untuk bertambah panjang atau pertambahan panjang dibagi panjang awal bahan.
D. Alat dan Bahan 1. Alat
FT-IR model Shimadzu prestige 21,Universal Testing Machine Zwick
Z 0.5, Dumb Bell Ltd Japan Saitama Cutter SOL-100, Mitotuyo MT-365 dial
Thickness Gage 2046F, seperangkat alat bedah, nampan Lionstar®, kertas
koran, oven Memmert BE-500, autoklaf, alat-alat gelas, SEM Jeol JSM T300,
neraca digital Mettler Toledo BV, Fine Coat Ion Sputter model JGC 1100, pH
stik Merck®, kertas pembungkus, Magnetik stirer hot plate Heidolph MR 2002,
thermometer, sendok, magnetik stirer, X-Ray Diffraction Rigaku Multiflex 2 kw, Pyris TG-DTA High Temperature Diamond Perkin Elmer.
2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air limbah
cucian air beras, kitosan, urea teknis, asam asetat glasial, gliserol teknis, silika
gel, glukosa, karet, Hepafix®, aquades, sodium hidroksida p.a, asam klorida
E. Tata Cara Penelitian 1. Pemilihan bahan
Beras yang dipilih adalah beras yang diambil dari satu jenis merk
beras yaitu Rojolele®. Bahan ini diperoleh dari pembelian di supermarket
Pamella Yogyakarta.
2. Pembuatan limbah air cucian beras
Beras sebanyak 0,5 kg ditampung di baskom lalu diberi air 500 mL.
Beras diaduk-aduk hingga air menjadi keruh. Air yang keruh ini diambil dan
digunakan pada tahap selanjutnya.
3. Pembuatan biomaterial selulosa bakteri
Sebanyak 200 mL air limbah air cucian beras hasil penyaringan
dimasukkan ke dalam gelas beaker yang telah dilengkapi dengan magnetic stirrer, ditambahkan 20 gram gula pasir dan 1 gram urea, selanjutnya dipanaskan dan diaduk hingga larut. Campuran diasamkan dengan penambahan
asam asetat 2% hingga pH = 4.. Selanjutnya dituangkan dalam keadaan panas
kedalam wadah fermentasi yang telah disterilkan dan ditutup. Dibiarkan hingga
suhu kamar, lalu ditambahkan 20 mL Acetobacter xylinum.Wadah digoyang-goyang untuk meratakan gliserol dan bakteri. Difermentasi selama 7 hari pada
suhu kamar. Lapisan pelikel yang terbentuk dicuci dengan aquades panas,
dinetralkan dengan asam klorida 3% selama 10 menit, dan aquadest. Setelah
itu hasil pencucian dikeringkan dalam oven pada suhu 40oC.
4. Pembuatan biomaterial selulosa gliserol
Sebanyak 200 mL air limbah air cucian beras hasil penyaringan
dimasukkan ke dalam gelas beaker yang telah dilengkapi dengan magnetic stirrer, ditambahkan 20 gram gula pasir dan 1 gram urea, selanjutnya dipanaskan dan diaduk hingga larut. Campuran diasamkan dengan penambahan
asam asetat 2% hingga pH = 4.. Selanjutnya dituangkan dalam keadaan panas
kedalam wadah fermentasi yang telah disterilkan dan ditutup. Dibiarkan hingga
suhu kamar, lalu ditambahkan 20 mL Acetobacter xylinum dan 1 gram gliserol.Wadah digoyang-goyang untuk meratakan gliserol dan bakteri. Difermentasi selama 7 hari pada suhu kamar. Lapisan pelikel yang terbentuk
dicuci dengan aquades panas, sodium hidroksida 3% sebanyak 2 kali selama
masing-masing 24 jam lalu dinetralkan dengan asam klorida 3% selama 10
menit, dan aquadest. Setelah itu hasil pencucian dikeringkan dalam oven pada
suhu 40oC.
5. Pembuatan biomaterial selulosa kitosan gliserol
Sebanyak 200 mL air limbah air cucian beras hasil penyaringan
asam asetat 2% hingga pH = 4.. Selanjutnya dituangkan dalam keadaan panas
kedalam wadah fermentasi yang telah disterilkan dan ditutup. Dibiarkan hingga
suhu kamar, lalu ditambahkan 20 mL Acetobacter xylinum dan 1 gram gliserol.Wadah digoyang-goyang untuk meratakan gliserol dan bakteri. Difermentasi selama 7 hari pada suhu kamar. Lapisan pelikel yang terbentuk
dicuci dengan aquades panas, sodium hidroksida 3% sebanyak 2 kali selama
masing-masing 24 jam lalu dinetralkan dengan asam klorida 3% selama 10
menit, dan aquadest. Hasil pencucian kemudian direndam dalam larutan
kitosan 2 gram dalam 100 mL asam asetat 2%. Selulosa bersama larutan
kitosan dikeringkan dalam ruangan, kemudian ketika larutan kitosan sudah
kering , selulosa dapat dimasukkan oven pada suhu 40oC.
6. Pembuatan biomaterial kitosan sebagai kontrol positif
Sejumlah 2 gram kitosan dilarutkan dalam 100 mL asam asetat 2%,
kemudian ditambahkan 1 gram gliserol. Larutan kemudian disaring
menggunakan kain untuk menghilangkan partikel yang tidak terlarut. Pada
nampan bersih, larutan dituang dan diletakkan selama 48 jam untuk menjamin
penguapan solven secara sempurna. Kemudian membran dicuci dengan sodium
hidroksida 1 M, aquadest, dan dilanjutkan dengan pengeringan. Produk
7. Analisis karakteristik biomaterial
a. Analisis gugus fungsi dengan alat FT-IR
Material selulosa kitosan bakteri dijepit pada tempat sampel
kemudian diletakkan pada alat ke arah sinar Infra Red. Hasilnya akan
direkam ke dalam kertas berskala berupa alur kurva transmitan terhadap
bilangan gelombang.
b. Foto SEM
Material selulosa dipotong kecil kira-kira panjang 1 cm dan lebar 2
mm, kemudian ditempatkan di atas tempat sampel yang terbuat dari
kuningan. Sampel dilapisi dengan emas (coating) dengan alat Fine Coat Ion Sputter selama kurang lebih 5 menit. Selanjutnya sampel dimasukkan ke unit elektron gun melalui bilik pergantian sampel. Kemudian sampel diset sampai mendapatkan fokus yang tepat. Tombol utama pada posisi ON dan
sistem optik elektron pada acceleration voltage diset 20 kilo volt. c. Analisis sifat mekanik berupa tensile strength dan elongasi
Material selulosa dipotong dengan ukuran 11 cm x 2 cm. Potongan
tersebut dimasukkan ke dalam dumbbell untuk dilakukan pengepresan dan pencetakan bentuk. Kemudian akan terbentuk pola pada selulosa. Dilakukan
pemotongan sesuai pola yang terbentuk pada selulosa. Ketebalan hasil
pemotongan dan pengepresan diukur menggunakan mikrometer. Kemudian
kedua ujung hasil pemotongan ini masing-masing dikaitkan pada Universal
Posisi ON. Isikan data sampel sesuai ukuran standar. Lakukan pengujian
sampai selesai.
d. Analisis kestabilan termal dengan DTA/TGA
Material selulosa dipotong menjadi ukuran 1 x 1 cm, kemudian
dimasukkan ke dalam alat TGA/DTA. Suhu alat diatur dari 50-400oC.
Power dalam posisi ON dan biarkan hingga alat selesai mengukur. Data TGA akan muncul pada komputer dalam bentuk grafik massa yang tersisa
seiring peningkatan suhu, sedangkan untuk DTA akan muncul grafik ∆T
seiring peningkatan suhu.
e. Analisis kristalinitas dengan XRD
Material selulosa dipotong menjadi ukuran kecil 1 x 1 cm.
Kemudian material yang telah dipotong dimasukkan ke dalam alat XRD.
Pada kondisi tertutup, alat kemudian disinari dengan menggunakan sinar
yang dihasilkan dari tumbukan elektron. Sinar akan ditembakkan ke sampel
dan menghasilkan difraksi. Hasil difraksi akan terbaca dalam komputer
membentuk daerah kristalin.
8. Sterilisasi produk
Produk biomaterial yang sudah dikeringkan dibungkus dengan kertas
coklat, lalu diautoklaf pada suhu 1210 C selama 15 menit. Setelah disterilisasi,
produk biomaterial ini disimpan di dalam oven pada suhu 30-40oC hingga
9. Pengelompokkan hewan uji
Dua puluh lima hewan uji dikelompokkan secara acak menjadi 5
kelompok besar (yaitu kelompok perlakuan 1 hari, 3 hari, 5 hari, dan 7 hari).
Kemudian pada tiap – tiap hewan uji dibuat luka pada bagian punggung untuk
pengamatan sehingga pada setiap kelompok besar terdapat 5 replikasi dengan
tiga macam perlakuan (kontrol negatif, kontrol positif, dan selulosa kitosan
bakteri)
a b c
Gambar 10. Pemberian biomaterial pada tiap-tiap luka (a). Kontrol positif (b). Kontrol negatif (c). Perlakuan selulosa gliserol kitosan
10. Pembuatan luka pada hewan uji
Hewan uji diberi ketamine dan xylazine secara intraperitonial (i.p).
Dosis ketamin yang digunakan adalah 0,2 mL/250g BB dan dosis xylazine
yang digunakan adalah 0,075mL/250g BB. Dosis yang digunakan adalah dapat
menimbulkan efek sedasi pada hewan uji. Setelah hewan uji tertidur, lalu pada
bagian bulu bagian belakangnya ini dibersihkan dengan alat cukur steril.
Setelah bulunya dibersihkan maka dibuat sedikit sayatan menggunakan
seperangakat pisau bedah steril pada lapisan kulit hewan uji yang digunakan
11. Pembuatan kontrol positif, kontrol negatif dan perlakuan
Pada luka hewan uji yang digunakan sebagai kontrol positif, luka
tersebut diberi perlakuan dengan menutupnya menggunakan material kitosan
yang dibuat sebagai kontrol positif. Pada luka hewan uji yang digunakan
sebagai kontrol negatif, luka tersebut diberi perlakuan dengan menutupnya
menggunakan kasa steril sebagai kontrol negatif. Pada luka hewan uji yang
digunakan sebagai perlakuan lama pemberian, luka hewan uji tersebut ini
ditutup dengan biomaterial yang sebelumnya telah disterilisasi dan diberi
sedikit selotip untuk menjaga agar biomaterial ini tidak mudah lepas.
Penutupan luka pada kontrol positif, kontrol negatif dan perlakuan dilakukan
pada 5 tikus sesuai dengan 4 rentang waktu yang telah ditentukan sebelumnya
dengan replikasi sebanyak 5 kali.
12. Pengamatan penutupan luka secara makroskopis
Pengamatan ini dilakukan pada 5 tikus dengan 4 rentang waktu yang
telah ditentukan. Pada tiap-tiap waktu tersebut diamati perubahan yang terjadi
antara sebelum pemberian polimer dan sesudah pemberian polimer, kemudian
hasilnya dideskripsikan. Parameter yang diamati adaalah kelembaban, warna
dan munculnya keropeng, selain itu dilakukan perhitungan diameter luka
dihitung menggunakan rumus:
Keterangan: D1 = Diameter luka sehari setelah luka dibuat D2 = Diameter luka pada hari pengamatan
F. Analisis Data
1. Analisis karakteristik dari biomaterial yang terbentuk ini meliputi analisis
gugus fungsional, tensile strength, elongasi, sifat thermal, kristalinitas dan topografi permukaan dari biomaterial.
2. Analisis hasil untuk pengamatan makroskopis dilakukan dengan cara
pengamatan pengeringan luka dan penutupan luka setelah pemberian
biomaterial di sekitar bagian yang diberi biomaterial.
3. Analisis hasil untuk uji regenerasi sel dilakukan dengan pengamatan
makroskopis dan diameter luka untuk melihat pengaruh pemberian biomaterial
pada luka.
4. Analisis sifat mekanik dan diameter luka diuji dengan statistik One Way
Anova (distribusi normal dengan variasi sama) dan Kruskal Wallis (distribusi