• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA DAN PEMBAHASAN

1. Analisis Framing Majalah Tempo Edisi 14-20 Februari 2011

Edisi ini merupakan edisi perdana pemberitaan Tempo yang mengangkat tragedi penyerangan Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Meskipun edisi pertama, namun Tempo

menempatkan langsung berita kasus ini dalam rubrik laporan utama. Dari pemilihan penempatan berita di dalam rubrik Laporan Utama memberikan pesan secara tidak langsung kepada pembaca bahwa isu yang dilaporkan merupakan sebuah masalah yang besar dan layak mendapatkan perhatian lebih. Selain ditempatkan di dalam rubrik Laporan Utama, kasus Ahmadiyah ini juga diangkat di rubrik Opini. Demikian pentingnya kasus Ahmadiyah ini di ‘mata’ Tempo.

Berita dimulai dengan penggambaran kedatangan dua petugas Kepolisian Resor Pandeglang ke rumah Ismail Suparman-ketua Ahmadiyah Pandeglang. Awalnya petugas kepolisian tersebut menyatakan pemanggilan ini berkaitan dengan kasus imigrasi isteri Suparman, Haina Toang Aquino. Namun salah satu anggota tim kuasa hukum Ahmadiyah Muhammad Isnur, mengatakan penangkapan tersebut sebagai upaya evakuasi karena ada ancaman.

Selanjutnya Tempo mengusut asal mula penyerangan Ahmadiyah, memaparkan penyebar pertama pesan pendek berisi seruan pembubaran Ahmadiyah. Seterusnya dilanjutkan dengan pemaparan kronologi penyerangan. Dalam judul berita selanjutnya, Tempo mengangkat dialog yang dilakukan pemerintah terkait kasus ini.

Untuk lebih jelasnya bagaimana Tempo membingkai kasus ini berikut akan dibahas bagaimana analisisnya.

Problem Identification. Tempo melihat kasus ini sebagai masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini terlihat mulai dari lead (kepala) berita yang ditampilkan Tempo dalam Laporan Utama ini hingga isi beritanya. Dalam kepala berita ini Tempo memberikan penegasan kepada pembaca bahwa tragedi di Cikeusik adalah pembantaian terorganisir dan terencana. Pembantaian massa adalah salah satu jenis pelanggaran HAM.

“Ribuan orang menyerbu rumah juru dakwah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang. Tiga orang dibunuh secara sadistis. Massa bergerak terencana dan terorganisasi. Pesan berantai beredar sebelum penyerangan.”

Dalam lead ini banyak kata-kata yang mengarah kepada pelanggaran HAM. Misalnya seperti kata “dibunuh,” yang berarti sengaja dibunuh atau kata “penyerangan” yang mengandung makna sengaja menyerang.

Selanjutnya dalam isi berita, Tempo juga menggunakan kata-kata menyiksa,

penyerangan, pembunuhan, penyerangan, perusakan dalam memaparkan kronologi kerusuhan massa di Cikeusik. Penggunaan kata-kata seperti ini merupakan bagian framing yang dilakukan

Tempo untuk memperkuat identifikasi masalah yang telah dipilihnya.

“Dalam rekaman yang sebagian sekuelnya sempat diunggah di situs YouTube itu, terlihat dengan jelas tokoh-tokoh garis depan yang melakukan penyerangan, termasuk menyiksa anggota Ahmadiyah yang tengah meregang nyawa. Dalam rekaman itu tampak juga bagaimana petugas kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia membiarkan massa melakukan pembunuhan dan perusakan.

Bentrokan tak seimbang meletup. Sekitar 1.500 orang terus merengsek menuju rumah Suparman. Mereka melempari dan menghancurkan rumah. Anak muda Ahmadiyah yang sempat melakukan perlawanan lari tunggang langgang. Tidak semuanya bisa selamat. Tiga anggota rombongan Deden, yaitu Warsono, Chandra, dan Roni, tewas. Adapun Deden berhasil menyelamatkan diri, dengan pergelangan tangan kanannya nyaris putus.”

Tabel 3. Daftar Berita Tempo Edisi 14-20 Februari 2011

Judul Berita Isi Berita/Wawancara Sumber Berita Pesan Pendek

Sebelum

Angkara Murka

Kronologi tragedi Cikeusik. Tempo

melihat Jamaah Ahmadiyah sebagai korban pelanggaran HAM. Aktor dibalik ‘pembantaian’ tersebut diarahkan kepada orgasnisasi massa Islam, terutama Front Pembela Islam (FPI).

Muhammad Isnur (Tim Kuasa Hukum Ahmadiyah), Munir bin Masri (Pengasuh Pesantren Darul Iftidha), Muhammad bin Syarif (Ketua Gerakan Muslim Cikeusik), Muhammad Djohar (Kepala Desa Umbulan), Azis (Warga Kampung Cibaliung), Alex Fauzi (Kepala Kepolisian Resor Pandeglang), Chairul Anam (Tim Kuasa Hukum Ahmadiyah), Mamat, Ali (saksi mata kejadian), Agus Setiawan (Anggota Tim Pembela Muslim Banten), Munarman (Jubir FPI) Ridha Saleh (Komnas HAM)

Dari Serangan Lalu Dialog

Tindak lanjut pemerintah terhadap tragedi Cikeusik. Presiden bersama Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan serta Jaksa Agung,

Surya Dharma Ali (Menteri Agama), Firdaus Mubarik (Staf Humas Ahmadiyah), Ulil Abshar Abdalla (Kadep Pengembangan

Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama mengadakan rapat mendadak membahas tragedi Cikeusik.

dan Strategi Partai)

Causal Interpretation. Atas identifikasi masalah tersebut, Tempo menempatkan Jamaah Ahmadiyah sebagai korban pelanggaran HAM. Sedangkan aktor di balik ‘pembantaian’ ini adalah Ormas Islam, terutama FPI. Lebih khusus Tempo memaparkan bahwa otak di balik rencana ini adalah Kiai Ujang Bengkung. Kiai yang bernama lengkap Ujang Arif bin Surya ini disebut-sebut sebagai orang yang paling vocal dalam menyuarakan pembubaran Ahmadiyah sekaligus orang pertama yang mengarahkan atau mengajak massa untuk membubarkan Ahmadiyah di Cikeusik.

“Setengah jam setelah Hasanuddin gagal membujuk Deden dan kawan-kawan, massa dari arah Cangkore berhamburan menuju rumah. Meneriakkan takbir, mereka bertindak beringas. Seseorang dari kelompok ini menuding Deden telah memprovokasi dan memamerkan kekebalan tubuhnya dengan menebas-nebaskan golok ke lengan.

Polisi juga menuding rombongan Deden yang memulaikeributan dengan melemparkan batu ke arah massa. Alfi Syafri, anggota Ahmadiyah, mengaku rombongannya melemparkan batu setelah melihat Deden hendak diterjang massa. Selepas hujan batu, massa dari dua sisi datang bak air bah menuju rumah Suparman.”

Moral Evaluation. Evaluasi moral yang diberikan adalah tindakan yang dilakukan anggota Ormas Islam kepada Jamaah Ahmadiyah merupakan tindakan yang melanggar HAM. Sedangkan evaluasi moral terhadap Ahmadiyah adalah Ahmadiyah juga punya hak dan kebebasan untuk memilih dan melaksanakan keyakinannya, tidak bisa dilarang ataupun diganggu sebab kebebasan ini merupakan hak setiap individu dan dijamin oleh undang-undang.

Treatment Recommendation. Dalam berita ini, rekomendasi yang diberikan Tempo

adalah Ahmadiyah harusnya dimasukkan dalam komunitas muslim Indonesia. Rekomendasi ini merupakan penguatan atas pilihan Ahmadiyah terhadap tawaran pemerintah.

“Di awal dialog putaran ketujuh, pemerintah menawarkan sejumlah pilihan dalam soal Ahmadiyah: pembubaran oleh pengadilan, dikategorikan non muslim, atau sebagai aliran dalam komunitas muslim Indonesia. Ahmadiyah memilih yang terakhir.”

Rekomendasi ini didasari berbagai alasan seperti yang dikutip Tempo dari Firdaus Mubarik selaku staf hubungan masyarakat Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

“Menjadikan Ahmadiyah sebagai agama baru, menurut Firdaus, justru memberi angin pada gerakan kekerasan terhadap Ahmadiyah. Masjid Ahmadiyah pasti akan jadi sasaran. “Mereka akan bilang: bukan Islam kok punya masjid. Kami shalat, mereka akan bilang: bukan Islam kok sholat!” Menurut Firdaus, persoalannya adalah bagaimana negara memberikan perlindungan kepada warga negaranya. Selama sepuluh tahun terakhir, sudah banyak penyerangan terhadap warga Ahmadiyah, tapi tak satu pun pelakunya dihukum.”

Tabel 4. Framing Berita Tempo Edisi 14-20 Februari 2011

Problem Identification Masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

Diagnoses Causes Ormas Islam diposisikan sebagai pelaku tindak pelanggaran HAM atas Jamaah Ahmadiyah.

Moral Evaluation Evaluasi moral yang diberikan adalah tindakan yang dilakukan anggota Ormas Islam kepada Jamaah Ahmadiyah merupakan tindakan yang melanggar HAM. Sedangkan evaluasi moral terhadap Ahmadiyah adalah Ahmadiyah juga punya hak dan kebebasan untuk memilih dan melaksanakan keyakinannya, tidak bisa dilarang ataupun

diganggu sebab kebebasan ini merupakan hak setiap individu dan dijamin oleh undang-undang.

Treatment Recommendation Ahmadiyah harusnya dimasukkan dalam komunitas muslim Indonesia