• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM

B. Analisis

Keberadaan JAI telah diakui secara legal oleh negara dengan pengesahan organisasi ini sebagai badan hukum melalui SK Menteri Kehakiman RI tanggal 13 Maret 1953 No.JA 5/23/13 dan Tambahan Berita Negara RI No.26 Tanggal 31 Maret 1953, terdaftar di Departemen Agama RI, Departemen Sosial, serta Departemen Dalam Negeri. Terbitnya fatwa-fatwa dari MUI serta berbagai peraturan baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memang telah mengerdilkan Ahmadiyah, yakni dengan membatasi hak-hak penganutnya untuk menjalankan keyakinan mereka yang dijamin oleh Undang-undang Dasar. Beragam respon lahir dalam menyikapi fatwa tersebut. Tidak sedikit yang menyikapinya dengan wajar, tetapi banyak pula yang bereaksi keras sehingga mengakibatkan Jemaat Ahmadiyah menjadi korban kekerasan. Sebagai badan hukum resmi, seharusnya Jemaat Ahmadiyah mendapatkan hak-hak yang sama dengan lembaga lain yang juga berbadan hukum, namun fatwa-fatwa dari MUI serta berbagai peraturan baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah jelas telah mengerdilkan dan memasung hak-hak Ahmadiyah dan warganya. Meski demikian bukan berarti tidak ada celah bagi mereka untuk „bersuara’. Walaupun secara kuantitas memang tidak begitu banyak, namun mereka tidak diam dan mencoba untuk memperkecil atau menolak sama sekali klaim-klaim yang diajukan kelompok dominan (anti-Ahmadiyah) serta mengajukan klaim-klaim mereka sendiri

dalam menghadapi kelompok dominan. Dengan kata lain Jemaat Ahmadiyah melakukan resistensi (perlawanan) terhadap kelompok tersebut. Tetapi yang penting untuk diketahui adalah resistensi yang ditunjukkan oleh Jemaat Ahmadiyah bukan merupakan resistensi yang dipahami secara umum, bukan resistensi seperti demonstrasi anarkis ataupun yang melibatkan kontak fisik.

Untuk mengurai bagaimana respon Jemat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dalam menghadapi berbagai tekanan, peneliti menggunakan pandangan James Scott, yang membagi resistensi menjadi 3 bentuk, yakni; resistensi tertutup, resistensi semi-terbuka, dan resistensi terbuka.

1. Resistensi Tertutup

Mengacu pada pembahasan Scott, resistensi tertutup adalah perlawanan yang dilakukan secara tersembunyi, samar dan halus. Resistensi jenis ini sulit untuk dikenali secara langsung sebagai tindakan resistensi oleh pihak ketiga. Karena samar dan halusnya teknik penentangan jenis ini, maka terkadang pihak ketiga baik itu target maupun pengamat seperti peneliti seringkali salah melihatnya sebagai suatu teknik bertahan semata. Dalam kasus Jemaat Ahmadiyah Bogor ini, peneliti menemukan beberapa bentuk resistensi tertutup, yakni;

a. Penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan

Pada tahun 1980, MUI mengeluarkan fatwa yang menyebutkan bahwa Ahmadiyah adalah organisasi di luar Islam dan sesat.Keputusan tersebut menimbulkan beragam respon dari masyarakat, bahkan sebagian mengarah ke tindakan anarkis.Tidak heran jika Jemaat Ahmadiyah menolak kategori-kategori yang

dipaksakan MUI tersebut, atau dengan kata lain Jemaat Ahmadiyah menolak dianggap sesat. Mereka mengeklaim bagian dari Islam dan sama dengan umat Islam pada umumnya. Sikap initerlihat saat wawancara, berikut petikan wawancara peneliti dengan salah satu informan:

“Secara umum (Ahmadiyah) tidak ada perbedaanya dengan umat Islam pada umumnya karena Ahmadiyah merupakan bagian dari islam dan yang mengikuti ajaran islam.”

Selain menolak untuk dianggap sesat, Jemaat Ahmadiyah juga membantah stigma 'eksklusif' yang selama ini disematkan ke Ahmadiyah, seperti apa yang disampaikan salah satu informan kepada peneliti yang menyatakan:

“Kami sangat terbuka kalau diajak kerja sama. Memang ada jugaoranganisasi lain yang "takut" atau mereka menghindar dari kita itu ada juga, karena merasa. kita "berbeda" (dari mereka). Tapi secara umum di tingkat pemerintahan, LSM kita bekerja sama dengan oranganisasi lain. Jadi yang disebut eksklusif itu kita bingung, dimana eksklusinya gitu, orang dengan berbagai organisasi kita bekerja sama. Kalau dikatakan mereka tidak mau mengundang, itu iya, karena mngkin mereka sudah alergi”.

Meski bentuk-bentuk resistensi tersebut tidak berpretensi mengubah sistem dominasi, namunpenolakan terhadapkategori-kategori yang dipaksakan MUI tersebut perlu untuk mengurangi pengaruh buruk dari pelabelan-pelabelan yang dapat mengancam keberlangsungan eksistensi mereka.

b. Membicarakan keburukan pihak lain di area domestik

Scott dalam teorinya menyatakan bahwa kelompok lemah cenderung menggunakan cara yang samar dalam melakukan

di area domestik. Bentuk perlawanan tersebut juga dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah. Sebagaimana yang disampaikan oleh salah satu informan yang menyebutkan bahwa:

“Kalau kita sudah biasa, itu hal yang wajar dan tak hanya Ahmadiyah saja yang menghadapi hal-hal negative.Jika ada yang berpikir negative tentang Ahmadiyah, mungkin saja mereka belum tahu benar tentang Ahmadiyah.Maka dari itu, kita menyelenggarakan pemahaman-pemahaman kepada mereka.Pendek kata, jika ada yang menganggap kami negative maka kami berpikir bahwa mereka belum tahu”.

Hal serupa juga diungkapkan oleh informan lain, yang mengatakan bahwa:

“Sejak zaman dahulu (nabi-nabi terdahulu), juga sering dihina dan diejek oleh orang-orang.Saya hanya berdoa kepada mereka, supaya dibukakan jalan pengetahuan bagi mereka”.

Pertentangan tersebut dilakukan bukan tanpa sebab, faktor seperti adanya frustasi atas kondisi yang mereka alami membuat mereka melakukan tindakan semacam itu. Teknik penentangan ini memang sangat samar dan halus, sehingga tidak nampak seperti sebuah perlawanan. Sikap ini diambil karena dirasa aman. Bentuk perlawanan seperti itu memang kurang efektif, tetapi karena ada satu alasan bagi mereka melakukannya yaitu mereka tidak ingin konfrontasi langsung. Terlepas apakah cara ini efektif atau tidak, Jemaat Ahmadiyah sangat berhati-hati dalam berkomunikasi, khususnya kepada orang luar. Hal itu terlihat pada pemilihan kata-kata yang mereka gunakan ketika wawancara dengan peniliti.

2. Resistensi Semi-Terbuka

Berbeda dengan jenis resistensi sebelumnya yang dilakukan secara tersembunyi dan samar, jenis resistensi ini dilakukan dengan cara yang lebih terbuka sehingga dapat diketahui langsung sebagai sebuah tindakan perlawanan. Dalam kasus Jemaat Ahmadiyah Bogor ini, peneliti menemukan beberapa bentuk resistensi semi-terbuka, yakni;

a. Membangun jaringan dan kerjasama dengan pihak lain

Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak sekali tekanan terhadap Jemaat Ahmadiyah yang datang dari berbagai pihak seperti MUI dan kelompok anti-Ahmadiyah. Hal tersebut mendorong Jemaat Ahmadiyah untuk menggalang dukungan dari pihak non-Ahmadiyah pemerhati isu-isu pluralisme ataupun HAM seperti; Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), Kontras (Komisi untuk Orang hilang dan Tidak Kekerasan), Wahid Institute, AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama), dan sebagainya.

Selain menggalang dukungan dari pihak non-Ahmadiyah pemerhati isu-isu pluralisme ataupun HAM, Jemaat Ahmadiyah juga menjalin kerjasama dengan pihak luar yang lebih kuat misalnya bekerjasama dengan NU (Nahdlatul Ulama), sebagaimana yang dipaparkan oleh salah satu informan yang menyatakan bahwa:

“Jemaat Ahmadiyah melalui Badan Lajnah Immaillah secara kontinu turut ambil bagian dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan, terutama dalam memberikan bantuan pengobatan, dan lain-lain kepada

para korban bencana alam di berbagai daerah di Indonesia bekerja sama dengan lembaga dan kelompok masyarakat lainnya yang non-Ahmadiyah seperti Fatayat NU”

Tindakan-tindakan tersebut mengindikasikan bahwa Jemaat Ahmadiyah sebagai subjek yang aktif yang mencoba keluar dari tekanan yang melingkupi mereka.Bentuk-bentuk resistensi yang mereka terapkan bisa dibilang sangat baik, setidaknya agar Jemaat Ahmadiyah tidak terlalu tertekan dan tertindas. Selain itu, dengan membangun jaringan dan kerjasama dengan pihak lain juga dapat menyanggah stigma yang beredar di masyarakat bahwa Jemaat Ahmadiyah merupakan kelompok eksklusif.

b. Memberi penjelasan dalam bentuk tulisan dan lisan

Terlepas apakah banyak yang bersimpati atau tidak, Ahmadiyah dikenal sebagai komunitas yang damai karena doktrinnya mengajarkan perdamaian. Dakwah Ahmadiyah tidak pernah menyinggung apalagi menyerang madzhab lain, juga tidak melakukan serangan balik atas pengkritiknya. Hal tersebut sebagaimana dengan apa yang disampaikan oleh salah informan yang menyebutkan bahwa:

“Orang boleh memandang kami sebelah mata, tapi kami punya slogan "love for all, hated for none".Cinta kepada semua, tidak benci pada siapapun. Kami dilarang untuk membalas apa yang orang lain lakukan kepada kita (kekerasan). Kita tidak boleh berprasangka negatif juga kepada mereka.Jadi kita tetap berprasangka baik, kita doakan.Menurut kami, dimana bumi diinjak, disitu langit dijunjung.Jadi tidak pernah kita melakukan perlawanan-perlawanan.Demo saja tidak pernah.Diserang dimana-mana.SKB keluarpun kita tidak turun ke jalan, karena kita memang taat kepada pemerintah”.

Dalam menanggapi berbagai kritik yang ditujukan kepada mereka, Jemaat Ahmadiyah meresponnya dengan cara-cara yang damai seperti memberi penjelasan dalam bentuk tulisan dan lisan. Jemaat Ahmadiyah memanfaatkan setiap media untuk digunakan menyuarakan kepentingan dan hak-hak mereka. Untuk penjelasan dalam bentuk tulisan, sejauh ini sudah banyak buku-buku maupun leaflet yang telah diterbitkan oleh Jemaat Ahmadiyah melalui lembaga penerbitan miliknya sendiri. Dengan memiliki lembaga penerbitan sendiri, mereka lebih leluasa untuk menyuarakan hak-hak serta menjelaskan ajaran Ahmadiyah tanpa harus bergantung pada media lain. Selain itu, media lainnya seperti blog juga menjadi tempat untuk bersuara. Sedangkan untuk penjelasan berbentuk lisan, Jemaat Ahmadiyah memanfaatkan stasiun televisinya sendiri yang bernama MTA (Muslim Television Ahmadiyya International). Hal tersebut sebagaimana yang diutarakan oleh salah satu informan kepada peneliti, berikut kutipannya:

“Salah satu tujuan MTA adalah untuk memperkuat kedudukan Ahmadiyah di negara-negara dimana ajaran tersebut mengalami tekanan seperti Pakistan, Bangladesh dan Indonesia, para pengikut Ahmadiyah telah dibunuh dengan motif agama. Selain itu juga memberikan kesempatan kepada para pengikutnya dimanapun diseluruh dunia untuk berhubungan secara instan dengan khalifah.Selain itu tujuan didirikannya MTA juga untuk menyampaikan kebenaran Islam kepada dunia.”

Dokumen terkait