• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi bertahan jemaat ahmadiyah di Pondok Udik, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi bertahan jemaat ahmadiyah di Pondok Udik, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI BERTAHAN JEMAAT AHMADIYAH DI

PONDOK UDIK, KECAMATAN KEMANG,

KABUPATEN BOGOR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Disusun oleh:

Ahmad Fahmi Yahya Abdillah

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

STRATEGI BERTAHAN JEMAAT AHMADIYAH DI

PONDOK UDIK, KECAMATAN KEMANG,

KABUPATEN BOGOR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Dibawah Bimbingan:

Ahmad Abrori, M.Si

NIP.19760225 200501 1 005

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Skripsi ini berusaha mendeskripsikan strategi bertahan Jemaat Ahmadiyah di Pondok Udik, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor dalam menghadapi tekanan.Sebagaimana diketahui Ahmadiyah telah mendpat banyak tekanan dari berbagai pihak karena doktrin-doktrin teologi ajaran Ahmadiyah yang dianggap menyimpang dari Islam mainstream di Indonesia. Bahkan MUI juga menjatuhkan vonis bahwa Ahmadiyah sebagai aliran sesat, dan berada di luar Islam.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif untuk memberikan gambaran yang komprehensif dan mendalam terhadap fenomena yang diteliti. Kemudian teknik pengumpulan data yang digunakan berupastudi kepustakaan dan studi lapangan melalui wawancara mendalam dengan key informan yang terkait dengan penelitian ini.

Hasil penelitian ini menyatakan, Jemaat Ahmadiyah melakukan tindakan resistensi dengan tujuan untuk mengurangi dampak buruk dari perlakuan persuasi koersif dari pihak dominan. Tindakan resistensi ini peneliti kategorikan menjadi dua, yaitu; resistensi tertutup, dan resistensi semi-terbuka. Contoh resistensi tertutup yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah Bogor adalah penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan, dan membicarakan keburukan pihak lain di area domestik. Sedangkan contoh dari resistensi semi-terbuka yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah adalah membangun jaringan dan kerjasama dengan pihak lain, dan member penjelasan dalam bentuk tulisan dan lisan.

(6)

KATA PENGANTAR

Assalamu „alaikum Wr. Wb

Segala puji dan syukur dipersembahkan kepada Allah. yang telah memberikan Karunia dan Rahmat-Nya serta limpahan kekuatan dan kasih sayang-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan, meskipun banyak hambatan dan tantangan.

Penulisan skripsi ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa mendapat bantuan dari banyak pihak, baik secara kelembagaan maupun perorangan, oleh karenanya penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. Bpk. Prof. Dr. Bachtiar Effendy, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bpk. Prof. Dr. Zulkifly, MA., Selaku Ketua Program Studi Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ibu Iim Halimatussaidiyah, M.Si., selaku Sekretaris Program Studi Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bpk. Prof. Yusron Razak, MA., dan Ibu Dra. Ida Rosyidah MA., selaku penguji skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini.

(7)

5. Segenap dosen civitas akademika Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Khususnya Program Studi Sosiologi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas segala ilmu dan pengetahuan selama penulis menempuh studi di kampus tercinta ini, baik di dalam maupun di luar perkuliahan.

6. Ayahanda dan Ibunda penulis tercinta yang selalu memotivasi serta mendukung baik secara moril maupun materil selama ini sehingga dapat menyelesaikan studi ini. Semoga Allah Swt senantiasa memberikan rahmat, keselamatan dan kesehatan.

7. Kakak-kakak dan adik penulis tersayang yang telah mencurahkan perhatian serta dukungannya di tengah kesibukkannya selama ini. Semoga Tuhan selalu memberkati kalian.

8. Segenap pengurus dan mubaligh Jemaat Ahmadiyah di Pondok Udik, atas kesediaannya menerima penulis dengan ramah, memberikan informasi, bantuan, dan menemani penulis selama penelitian. Jazakumullah Khairan Katsiran.

9. Gus Zuhairi Mizrawi, selaku mediator yang telah menghubungkan penulis dengan informan. Syukron Katsiran

10.Kawan-kawan Sosiologi angkatan 2009, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Pengalaman selama bersama kalian akan selalu ada.

(8)

12.Kawan-kawan Persatuan Pergerakan Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang bersedia untuk berbagi dan bertukar pikiran.

13.Komunitas Sepeda UIN yang selalu setia untuk berbagi keceriaan selama ini.

14.Untuk semua pihak yang telah memberikan bantuan, motivasi, doa, dan dukungan kepada penulis. Semoga Allah SWT membalas kebaikan anda semua.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangannya. Oleh karenanya, penulis mohon maaf atas kekurangan dan kesalahan tersebut. Penulis juga sangat menantikan kritik dan saran dari para pembaca. Semoga karya ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang bersangkutan serta menjadi semangat untuk penelitian selanjutnya.

Wassalamu „alaikum Wr. Wb

Ciputat, 8 Juli 2014

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR……….. ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A.Pernyataan Masalah ... 1

B.Pertanyaan Penelitian ... 4

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

D.Tinjauan Pustaka... 6

E. Kerangka Teoretis ... 11

1. Tipe-tipe Organisasi Keagamaan ... 11

2. Strategi Bertahan ... 15

3. Teori Resistensi ……… 19

F. Metodologi Penelitian... 22

G.Sistematika Penulisan ... 28

BAB II GAMBARAN UMUM A. Profil Kabupaten Bogor ... 30

B. Profil Jemaat Ahmadiyah ... 36

C. Ahmadiyah Sebagai Organisasi Keagamaan ... 41

(10)

BAB III HASIL TEMUAN DAN ANALISIS

A. Strategi Bertahan Jemaat Ahmadiyah ... 50

1. Strategi Bertahan Internal ... 50

2. Strategi Bertahan Eksternal ... 59

B. Analisis………. 67

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... vii

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Penelitian ini mengkaji tentang strategi bertahan Jemaat Ahmadiyah di Pondok Udik, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor dalam mempertahankan eksistensinya. Ahmadiyah merupakan suatu gerakan keagamaan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1891 di India. Sementara eksistensi Ahmadiyah sendiri di Indonesia sudah berlangsung sejak tahun 1925. Ahmadiyah mempunyai dasar pemikiran dan penafsiran berdasarkan ajaran Islam, namun ada beberapa hal yang membuat mereka berbeda dari umat Islam pada umumnya. Beberapa hal yang membedakannya adalah penafsiran mengenai kenabian, konsep tentang wahyu, dan kedatangan Nabi Isa yang kedua (Lubis, 1994: 13).

Bagi Jemaat Ahmadiyah, nabi Muhammad bukanlah nabi terakhir, karena bagi mereka pintu kenabian akan terus terbuka sepanjang masa. Namun demikian, mereka tetap mempercayai Nabi Muhammad SAW sebagai khatam al-nabiyyin, yakni sebagai nabi yang paling sempurna dan nabi terakhir pembawa syariat (Novianti, 2006: 3).

(12)

Ahmadiyah sebagai aliran yang sesat dan menyesatkan.

Sejauh ini MUI telah mengeluarkan dua fatwa tentang Ahmadiyah. Pertama, pada Juni 1980. Kedua, pada Juli 2005. Dalam dua fatwa itu, MUI menegaskan bahwa “Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan”. Pada fatwa pertama, MUI tidak secara jelas menyebutkan konsekuensi pemberian status sesat itu. Dalam fatwa berikutnya, konsekuensi itu jelas disebutkan, yakni mengajak kaum muslim untuk menyikapi persoalan tersebut secara tegas. Atas dasar fatwa tersebut, dan berpayung pada UU No. 1/PNPS/1965 tentang pasal penodaan dan penistaan agama, MUI kemudian mendesak pemerintah untuk sesegera mungkin membubarkan Ahmadiyah.

Beragam respon lahir dalam menyikapi fatwa tersebut. Tidak sedikit yang menyikapinya dengan wajar, tetapi banyak pula yang bereaksi keras bahkan sampai melakukan tindakan anarkis. Tercatat pada tahun 1993, terjadi perusakan di Sukawening, Garut. Tahun 2001 terjadi tragedi Sambi Elen, Lombok yang menewaskan 1 orang anggota Ahmadiyah.Tahun 2002, terjadi kerusuhan di beberapa pusat Ahmadiyahdi Pancor, Majenang, Kuningan. Tahun 2003 juga terjadi kerusuhan di Tolenjeng, Garut. Kemudian pada tahun 2004 tercatat terjadi kerusuhan di Manislor, Arjasari, dan Parigi.Puncaknya pada tahun 2005, tercatat 12 kasus kekerasan menimpa Jemaat Ahmadiyah di beberapa tempat. Fatwa MUI seakan menjadi peneguh atas diperkenankannya kebencian kepada Ahmadiyah (Munawar, 2013: 272).

(13)

Bogor, Ketua DPRD Bogor, Dandim 0621, Kepala Kejaksaaan Negeri Cibinong, Kapolres Bogor, Ketua PN Bogor, DANLANUD ARS, Departemen Agama dan MUI Bogor, serta disusul Peraturan Gubernur tentang Pelarangan yang serupa sehingga membuat Jemaat Ahmadiyah hanya diperbolehkan menjalankan keyakinannya masing-masing, namun dilarang untuk berdakwah. Keluarnya rentetan fatwa tersebut mendapat respon yang beragam dari masyarakat, bahkan sebagian mengarah ke tindakan anarkis. Jemaat Ahmadiyah di lokasi tersebut tercatat telah mendapat dua kali serangan oleh kelompok Anti-Ahmadiyah, yakni pada 9 dan 15 Juli 2005. Akibat dari serangan tersebut beberapa bangunan di kompleks kantor pusat Jemaat Ahmadiyah mengalami rusak parah dan ratusan jemaat terkepung oleh massa yang anti Ahmadiyah. Meski akhirnya berhasil dievakuasi dan dibawa ke Pemda Kabupaten Bogor, namun banyak dari mereka yang mengalami trauma. Terlepas dari setuju atau tidak mengenai Ahmadiyah, secara empiris dan objektif kehadiran Jemaat Ahmadiyah tetap survive sampai saat ini, bahkan terlihat semakin kokoh dan solid meski mendapat tantangan dari berbagai pihak seperti beberapa ulama dan organisasi-organisasi keagamaan lain (Zulkarnain, 2005: 315).

(14)

sosiologis. Peneliti berharap dengan pendekatan sosiologis ini mampu menunjukkan sisi lain jemaat Ahmadiyah sebagai subjek yang aktif dalam mempertahankan dirinya.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana strategi bertahan Jemaat Ahmadiyahdi Pondok Udik, Kemang, Bogor untuk mempertahankan eksistensinya?

2. Bagaimana bentuk-bentuk tindakan resistensi yang dilakukan Jemaat Ahmadiyah untuk mengurangi dampak buruk dari perlakuan persuasi koersif dari pihak dominan?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah

1.Untuk mendeskripsikan bagaimana strategi bertahan Jemaat Ahmadiyahdi Pondok Udik, Kemang, Bogor. Dalam penelitian ini, strategi bertahan yang dimaksud berkaitan dengan strategi atau cara bertahan Jemaat Ahmadiyahdi Pondok Udik, Kemang, Bogor dalam menghadapi tekanan. 2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk tindakan resistensi yang dilakukan

Jemaat Ahmadiyah untuk mengurangi dampak buruk dari perlakuan persuasi koersif dari pihak dominan.

(15)

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperkaya ilmu pengetahuan sosial, terutama bidang Sosiologi Agama.

2. Manfaat Praktis

a.Bagi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan tambahan koleksi sehingga memberikan wawasan dan pengetahuan yang lebih luas tentang studi kajian Sosiologi yang ada dalam kehidupan masyarakat.

b.Bagi Mahasiswa

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa dan mampu memberikan informasi, pengetahuan, serta pemahaman yang lebih mendalam tentang realitas yang ada di dalam masyarakat, sehingga dapat menumbuhkan pemikiran-pemikiran yang kritis yang berujung pada solusi-solusi atas permasalahan yang timbul.

c.Bagi Peneliti

(16)

d.Bagi Masyarakat Umum

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman terhadap masyarakat pada umumnya agar lebih peka terhadap masalah-masalah yang timbul, sehingga mampu menelaah lebih dalam atas situasi yang terjadi dan tidak terprovokasi maupun bertindak provokatif atas apa yang belum jelas.

e.Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini dapat menjadi gambaran nyata mengenai kelompok minoritas serta dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam membuat suatu kebijakan yang bersentuhan langsung dengan hal sensitif seperti keyakianan beragama.

f. Bagi Tokoh Agama

Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi refrensi bagi tokoh agama dalam rangka memahami Jemaat Ahmadiyah sehingga dapat menghasilkan sikap terbuka terhadap perbedaan serta kedewasaan dalam beragama hingga pada gilirannya tercipta kehidupan yang harmonis.

D. Tinjauan Pustaka

(17)

Sosial Ahmadiyah di Kampung Cisalada, Kabupaten Bogor. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan yang bersifat kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Penggalian data menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif.

Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa Imajinasi outgroup terhadap identitas sosial Ahmadiyah tidak sama dengan imajinasi ahmadi terhadap identitas sosialnya. Pada kondisi aman untuk mempertahankan eksistensi identitas sosialnya ahmadi menerapkan strategi kreatifitas sosial, sedangkan jika kondisi tidak aman maka ahmadi menerapkan strategi kompetisi sosial. Strategi tersebut dapat dilakukan oleh setiap ahmadi di mana pun mereka berada, bahkan sebagai pengingat yang mantap strategi tersebut tertuang dalam kalender Ahmadiyah.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Arif Nur Fauzi, (2010). Penelitian yang berjudul “Strategi Rekrutmen Anggota Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) Kota Yogyakarta Tahun 2005-2009” ini tujuannya untuk mendeskripsikan strategi rekrutmen anggota Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI).

(18)

strategi dan langkah-langkah rekrutmen anggota Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). Sedangkan data sekunder diambil dari beberapa refrensi buku, modul, dan brosur yang dikeluarkan oleh pengurus Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) maupun tulisan dari luar pengurus. Pengambilan data menggunakan metode obserfasi dijadikan sebagai penguat dari hasil data wawancara dan kumpulan data dokumentasi dengan langsung menjadi partisipan dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI).

Hasil penelitian selama kurang lebih satu Tahun di lembaga Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) Kota Yogyakarta adalah GAI dalam melakukan rekrutmen anggota menggunakan strategi kultural; hubungan personal, seperti keluarga, saudara, dan tetangga terdekat. Dan strategi natural; ikatan kerja, dan kedinasan. Dengan tahapan dan langkah-langkah menggunakan media dakwah untuk mendapatkan pengikut atau kader baru.

Selain itu juga terdapat penelitian yang dilakukan oleh Dewi Nurrul Maliki yang berjudul “Resistensi Kelompok Minoritas Keagamaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia”. Penelitian ini mengkaji kontestasi antara kelompok

(19)

kelompok intelektual untuk mewakili mereka, menciptakan ruang (sphere) yang cenderung bebas dari hegemoni kelompok dominan ditengah-tengah dunia akademis, serta membentuk jaringan bersama-sama dengan kelompok-kelompok lain yang independen. Berbagai jaringan dan kerjasama serta upaya meng-counter klaim-klaim kelompok mayoritas-dominan meliputi: 1) Membangun jaringan dengan berbagai kelompok/lembaga seperti Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai (AJI Damai), Institut DIAN/Interfidei, Impulse (Institute for Multicultural dan Pluralism Studies), dan FPUB; 2) membangun jaringan dan kerjasama dengan kampus seperti UIN Sunan Kalijaga dan UGM; 3) Memanfaatkan media mulai dari media elektronik, cetak, penerbitan buku-buku (termasuk bekerjasama dengan pihak penerbit), dan lain-lain.

Adapun buku “Gerakan Ahmadiyah di Indonesia”, buku yang merupakan thesis karya Iskandar Zulkarnain, yang diterbitkan oleh LkiS Yogyakarta ini mencoba memotret peran Ahmadiyah Indonesia dalam mengisi dan mengembangkan gerakan pemikiran Islam di Indonesia. Di dalamnya juga dibahas mengenai peta penyebaran Ahmadiyah di Nusantara.

(20)

Penelitian relevan terakhir adalah jurnal ilmu sosial dan ilmu politik yang dibuat oleh Ishomuddin (2012) yang berjudul “Problem Kohesivitas Kehidupan Sosial Ahmadiyah dengan Muslim Meanstream di Jawa Timur”. Kajian ini ingin mengungkapkan tingkat kohesivitas sosial antara pengikut Ahmadiyah dengan komunitas Muslim arus utama di pedesaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan wawancara mendalam sebagai instrumen untuk mendapatkan data. Penelitian ini dilakukan di pedesaan di Kediri.

Tulisan ini didasarkan pada hasil penelitian tentang kohesivitas kehidupan sosial Ahmadiyah dengan muslim arus utama (mainstream) yang berpaham (Ahlus-Sunnah wal Jamaah). Selain di Indonesia, Ahmadiyah memiliki basis keanggotaan yang tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia dan Eropa. Bagi masyarakat muslim mainstream seperti Muhammadiyah, NU, dan Persis, Ahmadiyah dipandang sebagai kelompok keagamaan yang cacat secara aqidah melarang keberadaan dan perkembangan Ahmadiyah di Indonesia. Untuk merespon hal itu, sejak 1980 Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan Ahmadiyah Qadian sebagai aliran yang sesat dan berada di luar Islam. Kesesatan Ahmadiyah kian dipertegas oleh MUI pada tahun 2005, bahkan tidak hanya Ahmadiyah Qadian, tetapi juga Ahmadiyah Lahore.

(21)

bertahan eksternal serta resistensi yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah dalam mempertahankan eksistensinya. Maka, dianggap perlu adanya sebuah karya ilmiah yang membahas tentang hal tersebut.

E. Kerangka Teoretis

1. Tipe-Tipe Organisasi Keagamaan

Agama tidak bisa dilepaskan dari sebuah kelompok kepercayaan atau disebut pula umat beragama. Namun, ada beragam cara bagaimana kelompok keagamaan tersebut tersusun atau terorganisir. Secara umum organisasi keagamaan bisa dibagi menjadi tiga tipe yaitu; gereja, sekte, dan denominasi.

Tipe yang pertama adalah Gereja, walaupun sangat berakar pada tradisi Kristen tetapi memiliki pengertian sebagai satu kelompok religius yang menerima lingkungan sosial di mana ia berada. Yang perlu ditekankan di sini adalah, gereja tidak menarik diri dari dunia dan juga tidak memeranginya. Gereja yang ideal bisa hidup selaras dengan lingkungannya, bahkan nyaris tidak dapat dibedakan dari keadaan di sekitarnya (Johnson, 1963: 542). Hal ini dapat terjadi manakala sebuah Gereja lokal melebur dengan satu identitas etnis seperti yang terjadi di Tanah Batak yang Protestan dan Flores yang Katolik.

(22)

Sekte muncul sebagai akibat dari konflik antara prinsip dan nilai agama Kristen dengan lembaga-lembaga masyarakat yang telah mapan. Terjadinya persinggungan berupa konflik antara nilai agama yang mapan dengan lingkungan sekitar memunculkan sekte yang bersifat “menolak dunia” atau

mungkin juga “berkompromi dengan dunia”. Munculnya sekte juga diduga merupakan dampak kontak agama dengan dunia sekitar. Sekte terkadang dapat menyesuaikan diri menjadi “sekte yang mapan”. Terlepas dari

perubahan yang ada di dalam diri dan situasinya, mereka itu tetap ada, meskipun generasi pendiri mereka telah berlalu, menarik diri atau bertentangan dengan masyarakat umum (O’dea, 1992: 118).

Secara etimologi, sekte dapat dihubungkan dengan dengan istilah latin sequi yang berarti mengikuti (Eliade, 1972: 154). Dalam Sosiologi Agama, sekte berarti suatu kelompok religius yang relatif kecil dibandingkan dengan kelompok religius lainnya dalam suatu masyarakat. Sedangkan secara Psikologis, sekte berarti sekelompok individu yang mengikuti praktek-praktek tertentu atau mempertahankan dan biasanya mengungkapkan ide-ide tertentu yang membedakan mereka dengan masyarakat luas (Waryono, 1998: 147).

(23)

menyelamatkan dunia. Keyakinan mereka, bahwa dengan kelompoknya itu, kehidupan manusia akan selamat. (Wilson, 1996: 181-182).

Berdasarkan beberapa definisi tersebut ada sesuatu yang menjadi ciri khas dari sekte, yaitu; berkelompok dan mempunyai paham atau praktek yang berbeda dengan masyarakat secara umum. Definisi tersebut memberi beberapa pengertian bahwa; sekte lahir dan muncul dari dalam „organisasi keagamaan’.

Spilka (dalam Waryono ,1998: 142) menyebutkan bahwa sekte tumbuh dan berkembang sebagai bagian inheren dari agama, yang ingin memisahkan diri dari hegemoni kelompok mapan, dan sekte memisahkan diri karena memiliki paham atau pengalaman yang berbeda dari yang selama ini dipraktekkan oleh mayoritas. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa sekte adalah komunitas dalam komunitas atau komunitas kecil yang berada dalam komunitas yang besar.

(24)

cenderung tidak peduli terhadap keselamatan dunia sekitar, akan tetapi mereka mengklaim bahwa mereka memiliki ilmu khusus yang biasanya dirahasiakan dari orang luar, seperti aliran kebatinan dengan amalan-amalan khusus dan sistem bai'at. Kelima, Thaumaturgical, yakni gerakan sekte yang mengembangkan sistem pengobatan, pengembangan tenaga dalam atau penguasaan alam gaib. Keenam, tipe reformis, yakni gerakan yang melihat usaha reformasi sosial sebagai kewajiban esensial agama, dan ketujuh tipe Utopian, yakni suatu gerakan komunitas ideal sebagai teladan untuk masyarakat luas (dalam Nunu B, 2010: 504).

Tipe ketiga, Denominasi. Kelompok ini relatif stabil, ukuran dan kompleksitasnya seringkali besar (Nottingham, Elizabeth, 1994: 165). Denominasi berasal dari sebuah sekte yang berubah menjadi badan yang terlembagakan dan tidak lagi berbicara lantang tentang protes keagamaan sebagaimana ciri khas sekte. Sebuah sekte yang survive, dalam perjalanan sejarahnya biasanya berubah menjadi denominasi. Dalam sejarah Kristen misalnya, ditemukan sekte seperti Calvinisme dan Metodis yang pada awalnya merupakan sekte, namun belakangan telah berubah menjadi denominasi. Dalam hal status sosial, denominasi sedikit banyak mendapatkan pengakuan dari gereja atau kelompok keagamaan mapan dan selalu menjaga sikap kooperatif dengan pihak gereja (Giddens, 1997: 8).

(25)

sendiri. Semua anggota sudah tidak sama lagi, bibit hirarki internal sudah ditanam. Dengan demikian bekas sekte tersebut sudah mulai menjadi semacam Gereja sendiri dan lahirlah gerakan sekte baru, sebagai reaksi yang berusaha menghidupkan semangat asli, kemudian berkembang menjadi denominasi dan demikianlah seterusnya.

Selama ini, di negeri kita, pemahaman agama yang berada dengan tradisi agama mainstream selalu dilabeli sesat dan karena itu sah untuk dimusuhi. Parahnya lagi, dalam menyikapi gejala tersebut, negara justru tampil sebagai kekuatan fasis yang memaksakan tafsir formal tertentu atas pemahaman keagamaan. Alih-alih memberi tempat bagi keragaman keyakinan, negara justru menjadi kekuatan penghancur aneka-ragam keyakinan. Tipologi organisasi keagamaan yang kedua relevan untuk membaca organisasi keagamaan Ahmadiyah di Indonesia. Karena beberapa ajarannya yang berbeda dengan mainstream, maka mereka dilabeli sesat dan dimusuhi banyak pihak.

2. Strategi bertahan

(26)

a. Strategi Bertahan Internal

Strategi internal yang perlu diterapkan oleh sekte untuk mempertahankan eksistensinya adalah:

1. Loyalitas kepada pemimpin

Pada fase pertama suatu gerakan keagamaan biasanya dipengaruhi oleh kepribadian pendirinya.Menurut Weber, otoritas karismatik hanya akan ada dalam tahap awal gerakan keagamaan. Permasalahan muncul ketika sang pendiri (sosok karismatik) meninggal. Oleh karena itu, gerakan keagamaan harus diarahkan pada bentuk yang lebih stabil(Nottingham, Elizabeth, 1994: 158).

2. Pernikahan dengan sesama anggota

Kelompok tertentu berupaya untuk mempertahankan kemurnian garis keturunan dan eksklusivitas kelompok mereka.Misalnya, melalui pernikahan hanya di kalangan anggotadan menghindari pernikahan campuran.

3. Internalisasi nilai-nilai keagamaan

Apabila organisasi (keagamaan) ingin berhasil dalam mempengaruhi masyarakat sesuai dengan arah tujuannya maka organisasi tersebut harus menanamkan nilai-nilai keagamaan serta menertibkan kebiasaan-kebiasaan para anggotanya sesuai dengan cita-cita yang ingin dicapai (Nottingham, Elizabeth, 1994: 145).

4. Konsolidasi internal

(27)

terjalin dan organisasi akan terus berjalan (Hamim M, 2012: 102). 5. Finansial

Kebutuhan finansial merupakan faktor yang mempengaruhi dalam melakukan sebuah kegiatan baik kegiatan rutin, maupun kegiatan besar/umum. Untuk memenuhi kebutuhan finansial, pada umumnya organisasi mendirikan badan usaha ekonomi seperti usaha koperasi, maupun bentuk badan usaha lainnya (Fransiskus Randa, 2011: 72).

b. Strategi Bertahan Eksternal

Di samping pendekatan internal, Strategi eksternal yang perlu diterapkan oleh sekte untuk mempertahankan eksistensinya adalah:

1. Merekrut orang-orang yang berpengaruh

Apabila sekte ingin mempengaruhi masyarakat secara luas, mereka harus mengembangkan organisasi dan memperbesar pengaruhnya yang potensial dengan cara memasukkan orang-orang yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan di luar lingkungan mereka (Nottingham, Elizabeth, 1994: 145).

2. Adaptasi

(28)

3. Badan hukum/legalitas

Aspek legalitas memegang peranan penting untuk kemajauan organisasi itu sendiri. Legalitas merupakan usaha yang terkait dengan kebijakan pemerintah dan aspek hukum.Ajaran maupun aktivitas keorganisasian tidak boleh bertentangan dengan kebijakan dan hukum yang berlaku. Tanpa dukungan legalitas, strategi yang direncanakan dikhawatirkan akan mendapat hambatan pada tahap implementasi rencana dan keberlanjutan usahanya terancam berhenti. Selain itu, legalitas sangat diperlukan apabila akan berhubungan dengan pihak lain (Hamim M, 2012: 159).

4. Membangun hubungan yang baik dengan pemerintah

Sekte perlu untuk membangun kedekatan dengan penguasa. Penguasa mampu memberikan keuntungan bagi sekte berupa materi dan perlindungan politik dari ancaman eksternal dari kelompok mainstream yang menolak kehadirannya (Hamim M, 2012: 6).

5. Perkawinan di luar anggota (hibridasi)

(29)

3. Teori Resistensi

Setiap hari manusia selalu berkutat dengan kegiatan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologisnya. Dengan kata lain, manusia selalu berusaha mengatasi hal-hal yang mengancam kelangsungan eksistensinya (existential anxiety). Berbagai bentuk cara digunakan individu maupun kelompok untuk melindungi diri agar tidak terkena pengaruh buruk dari suatu hal yang dianggap mengancam keberlangsungan eksistensinya, salah satunya adalah dengan melakukan resistensi.

Resistensi dalam studi James Scott yaitu fokus pada bentuk-bentuk perlawanan yang sebenarnya ada dan terjadi disekitar kita dalam kehidupan sehari-hari. Ia menggambarkan dengan jelas bagaimana bentuk perlawanan kaum minoritas. Menurut Scott, tujuan resistensi dimaksudkan untuk memperkecil atau menolak sama sekali klaim-klaim yang diajukan kelas-kelas dominan atau mengajukan klaim-klaim mereka sendiri dalam menghadapi kelas dominan (dalam Suriadi, 2008:54).

(30)

menghindari kerugian yang lebih besar yang dapat menimpa dirinya. Ketiga, resistensi terbuka merupakan bentuk resistensi yang terorganisir, sistematis, dan berprinsip. Resistensi terbuka ini mempunyai dampak-dampak yang revolusioner (yang mendukung perubahan mendadak, cepat, dan drastis). Tujuannya adalah berusaha meniadakan dasar dari dominasi itu sendiri. Manifestasi (wujud) dari bentuk resistensi ini adalah digunakannya cara-cara kekerasan (violent) seperti pemberontakan.

Scott dalam teorinya menyatakan bahwa kelompok lemah cenderung menggunakan cara yang samar dalam melakukan penentangan. Cara tersebut disebut Scott sebagai routine resistance (resistensi rutin). Karena samar dan halusnya teknik penentangan jenis ini, maka terkadang pihak ketiga baik itu target maupun pengamat seperti peneliti seringkali salah melihatnya sebagai suatu teknik bertahan hidup semata (dalam Ngatini, 2013:28). Sebagai tambahan bahwa antara perlawanan dan berusaha bertahan hidup adalah dua hal yang sulit dibedakan dan sulit dipisahkan karena dalam kenyataannya manusia melawan untuk bertahan hidup. Atau dengan kata lain, cara manusia bertahan hidup adalah dengan cara melakukan perlawanan. Perlawanan itu sendiri ada yang dilakukan dengan cara jelas seperti konfrontasi fisik, atau cara lain yang langsung diketahui sebagai perlawanan, dan ada juga yang dilakukan secara tersembunyi samar dan halus seperti yang digambarkan oleh Scott.

(31)

yang mengadopsi pemikiran negara yang menentang Ahmadiyah. Dengan alasan ini, peneliti berpendapat bahwa teori resistensi Scott ini dapat digunakan untuk menganalisa kasus Ahmadiyah di Bogor.

Alasan lain bahwa teori resistensi Scott akan mampu menjelaskan apa yang terjadi dengan Jemaat Ahmadiyah Bogor adalah karena adanya persamaan antara subjek penelitian Scott dengan Jemaat Ahmadiyah Bogor. Kesamaan pertama adalah bahwa masyarakat Sedaka dan Jemaat Ahmadiyah Bogor merupakan kelompok yang lemah dalam beberapa aspek seperti politik. Persamaan kedua adalah masyarakat ini sama-sama mengalami apa yang disebut Scott sebagai “routine repression” (represi yg hampir tidak tampak sebagai represi karena begitu samarnya). Lebih dari itu Jemaat Ahmadiyah juga mengalami apa yang tidak dialami oleh masyarakat Sedaka, yaitu jenis koersi yang disebut Scott dengan nama “exclusive coersion” yang meliputi kekerasan fisik yang mengambil harta dan nyawa mereka. Scott menyatakan bahwa seseorang yang sudah diciderai hak dan kebebasannya akan cenderung untuk melakukan penentangan sesuai dengan kondisi yang dimilikinya.

(32)

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Di dalam penelitian ini metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif, dimana metode penelitian kualitatif menurut Sugiyono (2006:9) adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat post positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.

Dalam penelitian ini, untuk mengolah dan menyajikan data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis kualitatif, di mana prosedur penelitian bersifat menjelaskan, mengelola, menggambarkan dan menafsirkan hasil penelitian dengan susunan kata dan kalimat sebagai jawaban atas permasalahan yang diteliti yang bertujuan menerangkan dan mengumpulkan fakta-fakta yang diteliti.

(33)

2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dimulai pada bulan Januari 2014 sampai dengan bulan Maret 2014. Lokasi penelitian ini di Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jl. Raya Parung-Bogor 27, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tempat tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian karena di sanalah pusat Jemaat Ahmadiyah berdiri .Selain itu, keluarnya rentetan fatwa tentang pelarangan Jemaat Ahmadiyah yang telah mendapat respon yang beragam dari masyarakat. Bahkan, Jemaat Ahmadiyah di lokasi tersebut tercatat telah mendapat dua kali serangan oleh kelompok Anti-Ahmadiyah, yakni pada 9 dan 15 Juli 2005.

3. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang berada di Desa Pondok Udik, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor.

4. Jenis Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada data primer dan sekunder.

a. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari studi lapangan atau penelitian empiris melalui wawancara dengan informan. Untuk memperoleh data guna kepentingan penelitian maka diperlukan informan kunci (key informant) yang memahami dan mempunyai kaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti (Miles dan Huberman, 1992 )

(34)

dokumentasi-dokumentasi, laporan-laporan maupun arsip-arsip, buku-buku, majalah, koran, internet dan sumber lainnya yang sesuai dengan kebutuhan.

Penggunaan data primer dan data sekunder secara bersama-sama dimaksudkan agar saling melengkapi yang disesuaikan dengan keperluan penelitian. Selain itu, hal ini dilakukan untuk perbandingan data yang diperoleh. Data Primer dan Sekunder yang telah dikumpulkan tidak langsung dianalisis, melainkan terlebih dahulu diperiksa atau dicek kembali, dengan tujuan agar data yang diperoleh tidak mengalami kekurangan dan kesalahan.

5.Teknik Pengumpulan Data

Dalam rangka memperoleh data dalam penelitian ini, digunakan prosedur pengumpulan data triangulasi untuk menjamin validitas dan reliabilitas informasi yang diperoleh. Alasan menggunakan metode triangulasi adalah untuk mendapatkan informasi yang tepat, lengkap dan dapat dipercaya dengan cara sebagai berikut:

1. Wawancara

(35)

mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara tidak terstruktur, artinya wawancara yang bebas di mana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan (Sugiyono, 2006:138).

Jumlah informan yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah sebanyak 10 informan, yang secara umum dapat dibagi menjadi dua, yakni; 7 orang dari pihak internal dan 3 orang pihak eksternal.

Informan dari pihak internal ini terdiri dari; Pengurus Majlis Lajnah Imaillah, Pengurus Majlis Khuddamul Ahmadiyah, Pengurus Majlis Ansharullah Ahmadiyah, Pengurus Jamiah Ahmadiyah, Pengurus MTA, serta Mubaligh Ahmadiyah. Sedangkan dari pihak eksternal terdiri dari warga dan stakeholder seperti Ketua RT serta Kepala Desa setempat.

(36)

mana keberhasilan pelaksanaan strategi tersebut. 2. Observasi

Observasi adalah salah satu teknik mendapatkan data atau informasi dengan cara mengamati secara langsung ataupun tidak langsung terhadap kegiatan yang dilaksanakan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Pondok Udik, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor.

3. Dokumentasi

Dokumentasi adalah tehnik pengumpulan data dengan menggunakan cara atau berdasarkan catatan-catatan yang terdokumentasi (otentik), berupa data statistik, kumpulan peraturan dan perundang-undangan, kepustakaan, gambar, selebaran, atau brosur yang terdapat atau dijumpai di lokasi penelitian yang berkaitan serta mendukung pelaksanaan penelitian.

6. Teknik Analisis Data

Untuk mengolah dan medeskripsikan agar data agar lebih bermakna dan mudah dipahami maka digunakan prosedur analisis data yang dikembangkan (dalam Moleong, 1989:190), adapun prosedur analisis data tersebut adalah sebagai berikut:

1. Reduksi data

(37)

perlu dan mengorganisasi data.

Reduksi data dari hasil wawancara dan dokumentasi misalnya, ada informan yang memberikan keterangan yang kita paham bertentangan dengan keadaan sebenarnya di lapangan, maka data semacam itu dapat direduksi.

2. Penyajian data

Penyajian data diartikan sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan, dengan melihat penyajian-penyajian peneliti dan dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan.

Kecendrungan kognitifnya akan menyederhanakan informasi yang kompleks ke dalam bentuk yang disederhanakan dan diseleksi atau konfigurasi yang mudah dipahami, polanya berupa matrik, jaringan, tabel maupun bagan. Pada proses ini adalah dengan menyiapkan data hasil wawancara dan dokumentasi secara rapih berdasarkan rentang waktu agar mudah untuk dipahami siapa saja yang melihat ataupun membaca data tersebut.

3. Verifikasi

(38)

Pada tahap ini, peneliti berusaha membandingkan data dari informan yang berbeda. Selain itu, peneliti juga membandingkan data primer dan data sekunder untuk mengetahui validitas serta untuk mencegah adanya data yang menyimpang sebelum diolah dan dianalisis.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini memuat empat bab yang di mulai dengan BAB I yang berisi penegasan judul untuk memberikan batasan-batasan istilah dalam melakukan penelitian, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam memahami judul ini. Selanjutnya dibahas tentang pernyataan masalah dan alasan penulis mengangkat judul ini sebagai sebuah penelitian, diteruskan dengan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan kajian pustaka. Setelah itu disajikan pula kerangka teoritik yang akan dijadikan sebagai pertimbangan dalam menganalisa hasil penelitian yang didapatkan. Bab pendahuluan ini kemudian diakhiri dengan penyajian metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi ini.

(39)

Kemudian pada BAB III skripsi menyajikan hasil penelitian berdasarkan temuan yang diperoleh dari lapangan, terutama yang berkaitan dengan strategi bertahan Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang terdiri dari strategi bertahan internal dan strategi bertahan eksternal. Pada bab ini juga menyajikan analisa yang berdasarkan hasil temuan yang penulis dapatkan dari lapangan menggunakan teori resistensi.

(40)

BAB II

GAMBARAN UMUM

A. Profil Kabupaten Bogor

Kabupaten Bogor adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia .Ibukotanya adalah Cibinong. Pusat Pemerintahan Bogor semula masih berada di wilayah Kota Bogor yaitu tepatnya di Panaragan, kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1982, Ibu Kota Kabupaten Bogor dipindahkan dan ditetapkan di Cibinong. Sejak tahun 1990 pusat kegiatan pemerintahan menempati Kantor Pemerintahan di Cibinong.

Dari sisi sejarah, Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang menjadi pusat kerajaan tertua di Indonesia. Catatan Dinasti Sung di Cina dan prasasti yang ditemukan di Tempuran sungai Ciaruteun dengan sungai Cisadane, memperlihatkan bahwa setidaknya pada paruh awal abad ke 5 M di wilayah ini telah ada sebuah bentuk pemerintahan.

Nama Bogor menurut berbagai pendapat bahwa kata Bogor berasal dari kata “Buitenzorg”, nama resmi dari Penjajah Belanda. Pendapat lain berasal dari kata “Bahai”, yang berarti Sapi yang kebetulan ada patung sapi di Kebun

(41)

pada tahun 1817. Asal mula adanya masyarakat Kabupaten Bogor cikal bakalnya adalah dari penggabungan sembilan kelompok permukiman oleh Gubernur Jendral Baron Van Inhof pada tahun 1745, sehingga menjadi kesatuan masyarakat yang berkembang menjadi besar di waktu kemudian. Kesatuan masyarakat itulah yang menjadi inti masyarakat Kabupaten Bogor (http://www.bogorkab.go.id/selayang-pandang/diunduh pada 2 mei 2014).

Banyak aspek yang melatarbelakangi dipilihnya Kabupaten Bogor sebagai lokasi Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), akan tetapi, peneliti hanya akan membahas tiga diantaranya, yakni; kondisi geografis, kondisi sosial demografis, dan kondisi keagamaan.

1. Kondisi Geografis Kabupaten Bogor

(42)

Kabupaten Bogor memiliki batas-batas strategis antara lain:

- Utara: Kota Depok - Barat: Kabupaten Lebak

- Barat Daya: Kabupaten Tangerang - Timur: Kabupaten Karawang - Timur Daya: Kabupaten Bekasi - Selatan: Kabupaten Sukabumi - Tenggara: Kabupaten Cianjur - Tengah: Kota Bogor

Untuk jarak tempuh Kabupaten Bogor dengan Pemerintahan Provinsi dan Pemerintah Pusat adalah sebagai berikut:

1. Ibukota propinsi Jawa Barat 120 km 2. Ibukota Negara Republik Indonesia 60 km

Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa Kabupaten Bogor memiliki jarak yang cukup dekat dengan kantor pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang terletak di Jalan Balikpapan 1 No. 10, Cideng, Jakarta Pusat. Sebelum didirikannya Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kabupaten Bogor, lokasi tersebut menjadi pusat kegiatan-kegiatan Jemaat Ahmadiyah yang berskala Nasional. Meski telah mengalami beberapa kali perluasan, namun tetap tidak mampu menampung banyaknya jemaat. Hal inilah yang mungkin melatarbelakangi dipilihnya Kabupaten Bogor sebagai lokasi Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

2. Kondisi Sosial Demografis

(43)

penduduk laki-laki 2,604,873 jiwa dan penduduk perempuan 2,472,337 jiwa. Jumlah penduduk tersebut telah mengalami kenaikan apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 2011 yang berjumlah 4,992,205 jiwa. Kondisi ini menyebabkan tingginya rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor, laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2012 sebesar 3.15%.

Data sex rasio penduduk Kabupaten Bogor adalah sebesar 106, artinya setiap 100 orang perempuan terdapat 106 orang laki-laki. Sex rasio yang di atas 100 tersebut menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak daripada jumlah penduduk perempuan di daerah tersebut. Pada tahun 2012, rata-rata tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Bogor yaitu sebanyak 1.873 jiwa per-km2.

Pada tahun 2012, Kabupaten Bogor memiliki 40 Kecamatan, 434 desa/kelurahan yang meliputi 17 kelurahan dan 417 desa. Jumlah Rukun Warga (RW) sebanyak 3.882 dan jumlah Rukun Tetangga (RT) sebanyak 15.561. Hampir sebagian besar desa pada Kabupaten Bogor sudah terklasifikasi sebagai desa Swakarya yakni 351 desa, lainnya 77 desa merupakan desa Swasembada, dan sudah tidak ada lagi yang tergolong desa Swadaya. Berdasarkan klasifikasi daerah, yang di lihat dari aspek potensi lapangan usaha, kepadatan penduduk dan sosial terdapat kategori desa perkotaan sebanyak 102 desa dan desa pedesaan sebanyak 332 desa. (Kabupaten Bogor Dalam Angka 2008: 11)

(44)

berbagai organisasi keagamaan seperti; NU, Muhammadiyah, Persis, LDII, Ahmadiyah, dan lainnya. Ajaran Ahmadiyah cenderung paralel dengan kepercayaan Sunda tradisional yang meyakini adanya Ratu Adil atau yang dikenal masyarakat Sunda tradisional dengan istilah Ratu Sunda.Hal tersebut terlihat dalam naskah-naskah kuno yang menceritakan masalah Imam Mahdi (Nina, 2010: 205). Sementara itu, di Kabupaten Bogor Ahmadiyah telah tersebar di beberapa Kecamatan seperti; Ciampea, Cibungbulang, Cigombong, Leuwiliang, dan Kemang.

3. Kondisi Keagamaan

Umat beragama di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sangat beragam. Mayoritas penduduk Kabupaten Bogor beragama Islam. Pada tahun 2007 di Kabupaten Bogor ada 3.144.724 penduduk yang beragama Islam, Katolik 24.446, Kristen (Protestan) 21.665, Hindu 11.932, dan Budha 21.209 orang. Sementara untuk tempat ibadah, Pada tahun yang sama terdapat sebanyak 2.762 masjid, 517 mushola, 29 gereja, 4 pura, dan 11 vihara (Kabupaten Bogor Dalam Angka 2008: 11).

Kabupaten Bogor merupakan basis daerah Religius, hal itu terindikasi dari semaraknya kegiatan-kegiatan keberagamaan seperti; pengajian, majelis ta’lim, peringatan hari-hari besar keagamaan, serta kuatnya dominasi

(45)

Tabel 5: Banyaknya Madrasah, Murid, dan Guru

No. Jenis Madrasah Jumlah Jumlah Murid Jumlah Guru

1 Diniyah 780 60.336 3.337

2 TPA 2.793 56.553 8.106

3 Ibtidaiyah 529 103.151 4.849

4 Tsanawiyah 220 57.932 4.447

5 Aliyah 80 9.939 1.505

Sumber: Diolah berdasarkan data BPS

(46)

berada di wilayah Jawa Barat dan sekitarnya, diantaranya; Garut, Sukabumi, Tasikmalaya, Bandung, Cirebon, dan Jakarta.

B. Profil Jemaat Ahmadiyah Indonesia

Jemaat Ahmadiyah telah berada di Indonesia sejak 1925, beriringan dengan organisasi keagamaan lainnya, seperti; Muhammadiyah (1916), dan Nahdatul Ulama (1926). Dengan demikian, hingga tahun 2014 ini, keberadaan Jemaat Ahmadiyah telah mencapai usia 89 tahun, suatu rentang usia yang panjang. Bagi sebuah organisasi masyarakat, usia tersebut dianggap sebagai ruang diterima oleh masyarakat terhadap organisasi tersebut, sehingga organisasi tersebut telah menyatu dengan masyarakat itu sendiri. Namun kenyataan tersebut tidak berlaku bagi Jemaat Ahmadiyah, justru memasuki ke 80 tahun keberadaan mereka digugat oleh masyarakat Indonesia.

1. Masuk dan Berkembangnya Ahmadiyah di Indonesia

Ahmadiyah masuk ke Indonesia bersamaan dengan datangnya mubaligh Ahmadiyah yang pertama kali diutus oleh Imam Jemaat Ahmadiyah, yang waktu itu dipegang oleh Khalifah al-Masih II, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad. Mubaligh tersebut ialah Maulana Rahmat Ali, yang bertolak dari Qadian pada Agustus 1925 dan tiba di Tapaktuan, Sumatera Utara pada tanggal 2 Oktober 1925. Tujuan diutusnya Maulana Rahmat Ali adalah untuk menyebarkan kabar gembira bahwa Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu telah datang di kawasan Hindia Timur (julukan Indonesia pada waktu itu) (Sholikhin, 2013: 77).

(47)

Khilafah al-Masih II, agar dapat mengirimkan mubalighnya ke Indonesia, yang dijawab bahwa Khalifah dari Dzulqarnain (sebutan Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad), akan memenuhi permintaan tersebut. Atas permintaan tersebut, Khalifah II, Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad menugaskan Maulana Rahmat Ali untuk datang ke Indonesia (Sholikhin, 2013: 78).

Sesampainya di Tapaktuan, Rahmat Ali tinggal di rumah Muhammad Samin, orang yang pernah belajar di Qadian. Masyarakat Tapaktuan sebelumnya telah mengenal kepercayaan akan datangnya Imam Mahdi. Para pelajar Indonesia di Qadian sering berkirim surat agar jika utusan dari Imam Mahdi datang supaya diterima sebaik-baiknya. Dalam waktu yang tidak lama, beberapa penduduk Tapaktuan sudah ada yang mengaku secara terang-terangan mengikuti Ahmadiyah (Zulkarnain, 2005:177).

(48)

Qadian. Nama Ahmadiyah telah diganti dari Ahmadiyah Qadian Departemen Indonesia (AQDI) menjadi Anjuman Ahmadiyah Departemen Indonesia (AADI) (Zulkarnain, 2005:194).

Pada bulan Desember 1949, diadakan Mukatamar di Jakarta. Selain menyetujui Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang baru, juga mengganti nama organisasi dari Anjuman Ahmadiyah Qadian Indonesia (AADI) menjadi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Dalam perkembangan selanjutnya, organisasi ini telah mendapat pengesahan dari Pemerintah Republik Indonesia sebagai badan hukum dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.J.A/5/23/13 tanggal 13 Maret 1953 dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 26 Tanggal 31 Maret 1953 (Zulkarnain, 2005:196).

2. Sejarah berdirinya Pusat Ahmadiyah di Pondok Udik, Kemang, Bogor

(49)

Sejak lama Hadrat Khalifatul Masih IIra menginginkan dan menganjurkan supaya Jemaat Ahmadiyah Indonesia memiliki sebuah Pusat yang cukup luas. Guna memenuhi keinginan Huzur tersebut pada tahun 1975 Maulana Imamuddin HA selaku Raisuttabligh telah membentuk sebuah Panitia, dan Ir. Pipip Sumantri ditunjuk sebagai Project Officer, untuk mengurus pembelian tanah seluas 10 hektar dan membangun Pusat Pendidikan di atasnya (Qoyum, 2010: 1).

Sejalan dengan rencana tersebut telah diusahakan pembelian tanah di daerah Pinang, Kabupaten Tangerang. Namun disebabkan oleh ketidakjujuran seorang oknum, usaha tersebut menjadi gagal, dan dibentuklah sebuah Panitia yang diketuai oleh Kol.TNI AD Surya Sudjana.Kasus “pembelian tanah” di daerah Pinang, Tangerang itu sendiri prosesya diteruskan ke Pengadilan sampai selesai (Qoyum, 2010: 1).

Pada tahun 1976 di dalam Majlis Musyawarah yang ke 27 di Jakarta, telah diambil keputusan bahwa lokasi Pusdik supaya dipindahkan dari Pinang, Tangerang ke Sindang Barang, Bogor. Kemudian dibentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Kol.TNI AD Hasan Muhammad. Sebuah Panitia lagi dibentuk yang diketuai oleh A, Qoyum Wahid guna mengurus pembelian tanah di Sindangbarang, Bogor (Qoyum, 2010: 2).

(50)

atas dasar bahwa masyarakat di sekeliling tanah itu tidak menyetujui adanya rencana pembangunan Pusat Jemaat Ahmadiyah di sana (Qoyum, 2010: 2).

Pada tanggal 12 Februari 1979, pihak Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengajukan appeal (permohonan) kepada Gubernur Jawa Barat, Mayjen TNI AD Solichin GP, dan pada tanggal 27 Juli 1980 kepada Menteri Dalam Negeri, Jenderal TNI Amir Mahmud, namun tidak ada jawaban. Untuk pembangunan Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia pada waktu itu telah direncanakan sejumlah angaran. Untuk pendirian Pusdik Mubarak di Sendangbarang, Bogor direncanakan anggarakan sebesar Rp. 500,000,000.- dan pembangunannya direncanakan akan selesai dalam tempo 10 tahun. Untuk itu akan disediakan anggaran Rp. 50,000,000.- per tahun. Sumbangan dari para anggota setiap tahun Rp. 26,000,000.- dan sisanya akan diterima dari penerimaan hak Pusat (Qoyum, 2010: 2).

(51)

Sebelum panitia Pembangunan Pusdik Mubarak membeli tanah di Desa Udik, Parung, Kemang, telah disebarkan pengumuman ke Cabang-cabang supaya melakukan shalat istikharah, namun jawaban hanya diterima dari seorang anggota Lajnah Imaillah yaitu Ny. Sri Wenda Thayyib (Ibu Entoy). Di dalam istikharahnya diisyaratkan bahwa tempat itu sangat baik. Semula direncanakan untuk membeli tanah di Desa Jampang Kcamatan Parung, sekarang Desa Pondok Udik, Kecamatan Kemang, seluas 7 hektar. Namun karena penjualan tanah di Pinang dan Sindangbarang mengalami banyak hambatan maka pihak Jemaat hanya dapat membeli 3 hektar saja, padahal yang 4 hektar keadaan permukaan tanahnya rata, namun tidak dapat dibeli karena tidak ada biaya (Qoyum, 2010: 4)

3. Ahmadiyah Sebagai Organisasi Keagamaan

Jemaat Ahmadiyah adalah organisasi keagamaan, bukan organisasi politik dan tidak memiliki tujuan-tujuan politik. Dalam mengembangkan dakwah rohaninya, Jemaat Ahmadiyah senantiasa loyal dan patuh kepada undang-undang negara serta kepada pemerintah yang berkuasa di manapun Jemaat Ahmadiyah berdiri.

(52)

Eksklusivitas Ahmadiyah tidak hanya mengesankan bahwa Ahmadiyah bersikap menutup diri dari komunitas luar, tetapi secara bersamaan juga menganggap salah kelompok yang lain. Implikasinya, benturan antara pengikut Ahmadiyah dengan kelompok Islam lain memang banyak ditemukan di berbagai daerah.

Sengaja atau tidak, eksklusivitas dan sikap menutup diri tersebut sebenarnya tidak muncul tanpa alasan dan landasan. Oleh karena itu, pertanyaan besarnya adalah, apakah sikap eksklusif tersebut muncul sebagai kekuatan sosiologis semata untuk mempertahankan kemurnian identitas, atau memang ada dasar atau landasan teologis dan doktrinalnya yang mampu menkonstruksi budaya-budaya eksklusif di tubuh Ahmadiyah?

Dalam aspek doktrinal memang ada beberapa ajaran keagamaan Ahmadiyah yang mampu mendorong penganutnya untuk menjadi sangat eksklusif. Doktrin seperti; imamah, amir, dan bai’at, menjadi benteng dan pembentukan karakter eksklusif Ahmadiyah. Kekuatan doktrin ini jelas sekali pengaruhnya dalam menafikan kelompok-kelompok lain di luar kelompok mereka. Selain itu, adanya doktrin komunalisme yang mewujudkan komunalitas kelompok yang sangat eksklusif.

(53)

Ahmadiyah selalu mendapat tekanan hingga saat ini .Oleh karena itu, Mirza Ghulam Ahmad menganjurkan untuk menikah dengan sesama anggota Ahmadiyah, mendirikan masjid untuk beribadah berjamaah, dan melakukan hubungan secara intens dengan sesama anggota Ahmadiyah. Suatu ketika ijtihad tersebut mungkin akan dicabut apabila kondisi telah berubah (Munawar, 2013: 258). Oleh karena itu, tidak mengejutkan jika pada perkembangan selanjutnya terdapat perubahan sangat mendasar yang dilakukan oleh Ahmadiyah.

Dalam setiap tahunnya, banyak orang yang masuk ke dalam Ahmadiyah. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel: Jumlah penambahan pengikut Ahmadiyah dari tahun 1992-2011

No Tahun Anggota Baru

1 19921993 5.898

2 19931994 7.487

3 19941995 8.000

4 19951996 6.000

5 19961997 17.020

6 19971998 41.120

7 19981999 25.287

(54)

9 20002001 10.574

10 20012002 4.962

11 20022003 1.321

12 20032004 1.163

13 20042010 5.000

Data: Munawar, 2013: 246

Data di atas menunjukkan selama 19 tahun (19922011) telah masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah 154.586 orang. Hingga tahun 2011, Jemaat Ahmadiyah Indonesia memiliki 298 jemaat lokal (berada pada tingkat kecamatan) di berbagai daerah. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa Ahmadiyah cukup ekspansif dalam melakukan pertablighan karena tiap tahun banyak orang yang masuk ke dalam Ahmadiyah, yakni 12.465,5 orang pertahun atau 8,33% pertahun orang masuk ke dalam Ahmadiyah (Munawar, 2013: 247).

(55)

umatnya mengalami kemerosostan dalam kehidupan beragama (Zulkarnaen: 2005: 83).

Mengenai turunnya al-Masih, kaum muslimin pada umumnya berpendapat bahwa al-Masih yang akan datang pada akhir zaman itu ialah Ibnu Maryam a.s. sementara dalam pandangan Ahmadiyah, al-Masih yang dijanjikan kedatangannya bukanlah pribadi Nabi Isa a.s. melainkan salah seorang umat Nabi Muhammad yang mempunyai persamaan dengan Isa al-Masih a.s. Tidak disangkal bahwa Ahmadiyah mempunyai pandangan yang berbeda dengan umat Islam pada umumnya mengenai al-Masih. Dengan demikian, al-Masih dan al-Mahdi dalam pandangan Ahmadiyah itu satu pribadi, dan berbeda dengan apa yang diapahami orang pada umumnya (Zulkarnaen: 2005: 85).

4. Sistem Organisasi Ahmadiyah

Ahmadiyah merupakan gerakan dakwah Islam, visi dan misinya adalah dalam rangka tabligh al-Islam. Perbedaannya dengan organisasi Islam yang lain yakni, Ahmadiyah dikoordinir secara sistematis dan terpusat secara Internasional. Sementara itu, keorganisasian Jemaat Ahmadiyah Ahmadiyah di Pondok Udik, Kemang, Bogor yang menjadi markas pengurus besar ini terlihat sangat rapi. Amir merupakan jabatan tertinggi. Amir sebagai kepala eksekutif (administrasi), yang membawahi staf secara nasional. Dalam Ahmadiyah Internasional, Amir ini adalah Gubernur. Dalam hal ini Gubernur yang dimaksud adalah perwakilan pada setiap negara (Sholikhin, 2013: 87).

(56)

1. Majlis Ansharullah untuk pria usia di atas 40 tahun.

2. Majlis Khuddam al-Ahmadiyah untuk pemuda yang berumur antara 15 sampai 40 tahun.

3. Lajnah Imaillah untuk kaum perempuan usia 15 tahun ke atas 4. Majlis Athfal al-Ahmadiyah untuk anak laki-laki.

5. Majlis Banat al-Athfal untuk anak-anak perempuan.

Untuk masing-masing majlis dipimpin oleh seorang qaid/qaidah yang berada di bawah garis pertanggungjawaban Amir. Mereka memiliki garis otonom dalam roda organisasi, namun tetap bertanggungjawab terhadap struktur di atasnya. Gerakan-gerakan sosial, terutama Wikari Amal (semacam kerja bakti bersama) menjadi andalan kegiatan dakwahnya (Sholikhin, 2013: 90).

Selain lembaga-lembaga tersebut, di bawah Amir juga terdapat semacam departemen yang dapat dibagi ke dalam tiga kelompok; Tabligh, Tarbiyat, dan keuangan.

Untuk kelompok Tabligh sendiri menangani tujuh bidang, yaitu:

1. Bidang Tabligh, yang bertugas untuk menangani dakwah Ahmadiyah agar menjadi mubayyin ke dalam Ahmadiyah;

2. Bidang Umur Kharijah, yang bertugas untuk menangani hubungan dan urusan-urusan eksternal, atau semacam humas;

(57)

4. Audio-Video, yang bertugas untuk menangani dokumentasi dari keseluruhan kegiatan Ahmadiyah baik dari daerah maupun nasional ke dalam berbagai bentuk;

5. Dhiafat, yang bertugas untuk menangani acara-acara yang dapat diikuti Ahmadiyah, urusan tamu, rapat dan kunjungan-kunjungan;

6. Zira’at, yang bertugas untuk menangani masalah pertanian dan peternakan;

7. Sanat wa Tijarah, perekonomian dan perdagangan.

Sedangkan kelompok Tarbiyat menangani tujuh bidang juga, yaitu:

1. Bidang Tarbiyat, yang bertugas untuk menangani persoalan kependidikan dan regenerasi Ahmadiyah;

2. Bidang Ta’lim, yang bertugas untuk menangani persoalan sekolah resmi, madrasah, beasiswa, dan jami’ah.

3. Bidang Umur Ammah, yang bertugas untuk menangani kegiatan-kegiatan sosial, seperti bencana alam, sumbangan sosial, donor darah dan mata, wikari amal, dan kegiatan sosial lainnya;

4. Bidang Rishta Nata, yang bertugas untuk menangani urusan pernikahan, dan penyuluhan keluarga Ahmadi;

5. Bidang Wakfi Nou, yang bertugas untuk menangani bidang perwakafan anak untuk lembaga. Anak diwakafkan untuk kepentingan adakwah di jalan Allah;

6. Bidang al-Wasiyat, yang bertugas untuk menangani masalah wasiat harta benda untuk jemaat.

(58)

Sementara kelompok Keuangan membidangi lima bidang, yaitu:

1. Bidang Mal, yang bertugas untuk menyusun dan merealisasikan anggaran pemasukan dan pengeluaran;

2. Bidang Mal Tambahan, yang bertugas untuk menangani dan mengevaluasi pelaksanaan anggaran;

3. Bidang Amin/Bendahara, yang bertugassebagai kasir jemaat;

4. Bidang Jaidad, yang bertugas untuk menangani seputar pelaksanaan-pelaksanaan anggaran di lapangan;

5. Bidang Audit, yang bertugas untuk mengevaluasi dan mengaudit keuangan secara keseluruhan.

Berkantor pusat di Jl. Raya Parung-Bogor 27, Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia ini memiliki lembaga pendidikan yang bernama Jamiah Ahmadiyah. Lembaga tersebut merupakan Perguruan Tinggi Mubaligh Pusat di mana pelajar dari seluruh daerah di Indonesia, yang diresmikan langsung oleh Hadhrat Masih Ma’ud a.s. sendiri.. Lembaga tersebut dipimpin oleh seorang kepala sekolah. Administrasi lembaga ini berada pada Tahrik Jadid dan Wakilut Ta’lim merupakan wakil yang terkait. Sadr Anjuman Ahmadiyah dan Tahrik Jadid Anjuman Ahmadiyah memikul bersama pembiayaannya.

(59)

Di tengah-tengah kompleks seluas 3,5 hektar tersebut, berdiri sebuah masjid yang diberi nama masjid An-Nasr. Masjid yang berdiri di atas tanah seluas 1300 m2 tersebut mampu menampung hingga 2000 orang jamaah. Masjid dua lantai itu juga merangkap sebagai perkantoran. Lantai satu digunakan untuk administrasi, dan lantai dua untuk tempat beribadah jamaah.

(60)

BAB III

TEMUAN DAN ANALISIS

Bab ini akan menjelaskan hasil penelitian berdasarkan temuan dari lapangan, terutama yang berkaitan dengan strategi bertahan Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang terdiri dari strategi bertahan internal dan strategi bertahan eksternal serta bentuk-bentuk resistensi yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah.

A.Strategi Bertahan Jemaat Ahmadiyah Pondok Udik Kemang

Banyak cara yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah Kampung Udik Kemang agar tetap survive dan mampu mempertahankan doktrin dan identitas keagamaan serta jati diri organisasinya. Cara atau strategi tersebut dapat dibagi menjadi dua, yakni strategi bertahan internal dan strategi bertahan eksternal.

1. Strategi bertahan Internal

(61)

a. Loyalitas terhadap pemimpin

Setelah Mirza Ghulam Ahmad wafat, maka sistem komando dan organisasi Ahmadiyah memakai pola Khilafat al-Masih (pengganti al-Masih) sehingga Khalifah menjadi jabatan tertinggi dalam organisasi Ahmadiyah, yang berpusat di Rabwah Pakistan, dan London sebagai pusat pengendalian organisasi. Khalifah memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan Amir. Amir adalah Gubernur, yang dimaksud Gubernur di sini adalah perwakilan pada setiap negara. Khalifah berfungsi sebagai Imam bagi seluruh jemaat Ahmadiyah di dunia. Khalifah ini diibaratkan sebagai induk ayam yang di bawah sayapnya bernaung jutaan jiwa yang menerima didikan dan perlindungannya.

Sistem organisasi dakwah yang bercorak sentralistik tersebut memiliki beberapa keuntungan. Hal ini memudahkan sistem komando dalam dakwah yang dilaksanakan. Tentu pengambilan label “jemaat” bagi organisasi ini memiliki kaitan filosofis dengan cita-cita dan rencana dakwah yang akan dilakukan oleh organisasi ini dalam jangka panjang. Dengan sistem organisasi sentralistik tersebut, maka efek perpecahan pada tahun 1914, kemudian dapat dinetralisir. Konsolidasi yang sentralistik dalam sistem dakwah agama, nampaknya memberikan kekuatan dan energi yang lebih positif dibanding sistem yang lain.

(62)

mengenai „keselamatan’ yang akan mereka peroleh nanti melalui imam jamaah, yang dimiliki oleh Khalifat al-Masih sebagai penerus Ghulam Ahmad, yang menyatakan sebagai juru selamat. Sebagaimana pernyataan Yaqub, yang mengungkapkan bahwa:

“Dengan adanya pemimpin tunggal untuk seluruh dunia yang dibarengi dengan semangat ketaatan kepada pemimpin, maka tidak akan melahirkan perpecahan dalam tubuh jamaah.Tertutup segala kemungkinan untuk berbeda.Suara Khalifah sangat ditaati dalam Ahmadiyah, sehingga mampu menyatukan semua.”(Wawancara pribadi dengan Yaqub, 17 Februari 2014).

Loyalitas atau ketaatann para jamaah ini juga nampaknya berkaitan dengan salah satu poin yang terdapat dalam syarat bai’at

yang disampaikan Yaqub ketika peneliti menanyakan seputar proses bai’at yang harus dijalani bagi calon anggota baru;

“Orang yang bai‟at berjanji dengan hati yang jujur bahwa; . . . akan mengikat tali persaudaraan dengan hamba ini (Imam Mahdi dan Al-Masih Mau'ud), semata-mata karena Allah swt dengan pengakuan taat dalam hal makruf (segala hal yang baik) dan akan berdiri di atas perjanjian ini hingga mautnya, dan menjunjung tinggi ikatan perjanjian ini melebihi ikatan duniawi, baik ikatan keluarga, ikatan persahabatan atau pun ikatan kerja.”(Wawancara pribadi dengan Yaqub, 17 Februari 2014).

Berdasarkan kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa syarat bai’at

(63)

b. Internalisasi nilai-nilai keagamaan

Strategi internal berikutnya yang dilakukan Jemaat Ahmadiyah dalam menghadapi tekanan adalah penguatan nilai-nilai yang bersumber dari Hazrat Mirza Ghulam.Menukil wawancara dengan Yaqub:

“Ahmadiyah sangat memperhatikan nilai-nilai kerohanian.Melalui berbagai peraturan maupun tradisi jemaat.Ahmadiyah memiliki seperangkat peraturan-peraturan maupun tradisi yang menjadi panduan bagi Ahmadi untuk menjalankan keahmadiyahaannya.Serta melalui tarbiyat yang dilakukan secara terus menerus.”(Wawancara pribadi dengan Yaqub, 17 Februari 2014).

Dalam rangka penguatan nilai-nilai keahmadiyahan, perempuan (ibu) memiliki peran yang sangat vital. Perempuan (ibu) bertugas untuk menanamkan nilai-nilai keahmadiyahan kepada anak-anaknya. Mengutip wawancara dengan Lilis, tokoh Lajnah Imaillah yang mengungkapkan bahwa:

“Perempuan (ibu) harus bisa menjadi contoh bagi anak-anaknya.Berlangsung secara alami maupun natural tanpa adanya paksaan.Maka tumbuhlah pemuda pemudi Ahmadi.”(Wawancara pribadi dengan Lilis, 28Januari 2014).

Hal tersebut menunjukkan bahwa Ahmadiyah sangat mengoptimalkan peran keluarga dalam hal internalisasi nilai-nilai yang mereka yakini. Oleh karena itu, keluarga juga mempunyai peran utama dalam proses regenerasi di tubuh organisasi Ahmadiyah.

(64)

“Ahmadiyah memiliki susunan pengurus yang memiliki fungsinya masing-masing. Pengurus-pengurus tersebutlah yang harus memastikan bahwa keadaan setiap anggota baik, dari segi kerohanian, keilmuan maupun kesejahteraan berjalan dengan baik” (Wawancara pribadi dengan Ahmad Amin, 17 Februari 2014)

Sementara kaum laki-laki yang berusia 40 tahun ke atas yang tergabung dalam Majlis Ansharullah juga memiliki tugas dalam penguatan nilai-nilai keahmadiyahan, sebagaimana apa yang disampaikan oleh Anwar, selaku pengurus Majlis Ansharullah yang mengungkapkan bahwa:

“Agenda utama Ansharullah adalah tarbiyat, selain kepada anggota juga kepada semua anggota badan lain (Khuddam dan Lajnah Immaillah) terutama yang ada dalam lingkup keluarganya.Anggota Majlis Ansharullah juga diberi tugas untuk manganjurkan dan mengajarkan kepada keturunannya untuk tetap setia kepada Khilafat. Karena itulah antara lain Ansharullah diposisikan sebagai Pengawas bagi badan-badan.” (Wawancara pribadi dengan Anwar, 23 Februari 2014)

Dengan demikian, berbagai elemen yang ada di dalam Ahmadiyah seperti keluarga dan pengurus mempunyai peran besar dalam penguatan nilai-nilai keahmadiyahan.

c. Konsolidasi Internal

Seperti yang sudah dijelaskan di muka, sistem organisasi yang dianut Jemaat Ahmadiyah bercorak sentralistik. Sistem tersebut nampaknya memberikan kekuatan dan energi pertahanan yang lebih baik dibandingkan dengan sistem yang lain. Ini menjadi kunci bagi soliditas organisasi, relatif aman dari kemungkinan perpecahan. Mengutip wawancara dengan Ahmad Amin yang menyebutkan bahwa:

Gambar

gambaran nyata
gambar, selebaran,
tabel maupun
GAMBARAN UMUM
+3

Referensi

Dokumen terkait

Perasaan saya setelah mendapat dukungan dari orang-orang sekitar dapat membuat saya merasa nyaman, aman, tidak stres lagi bahkan lebih tenang terus kami semua bisa

Faktor eksternal seperti: keluarga (orang tua menyerahkan segala keputusan untuk anak, dan berharap ketika lulus bisa langsung kerja, selain itu terdapat pula orang tua

Misalnya kawin dengan orang desa sini sendiri toh mereka bisa menyalurkan kebutuhan biologisnya.” (Wawancara pada tanggal 21 April 2005). Tujuan biologis pada dasarnya bukan

Diantaranya adalah orang yang berhak menerima harta hibah adalah siapa saja, baik dari kalangan calon ahli waris sendiri maupun diluar calon ahli waris tanpa di batasai besaran

Pada dasarnya guru harus berakhlak mulia, karena ia adalah seorang penasehat bagi peserta didik, bahkan bagi orang tua, meskipun mereka tidak memiliki latihan

Pendidikan Agama Islam harus bisa ditingkatkan terutama pendidik yang paling utama di dalam keluarga itu adalah orang tua, sesibuk apapun urusan orang tua

dengan adanya uapaya yang dilakukan orang tua dalam menanamkan akhlak anak sejak usia dini, maka diharapkan kepada masyarakat terutama orang tua lebih memperhatikan

strategi bertahan hidup petani adalah suatu tindakan atau cara petani kecil yang.. tergolong miskin untuk tetap bisa bertahan hidup di tengah