• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V Analisis Dan Pembahasan

V.2 Analisis Hasil Simulasi

Walaupun skenario dasar menunjukkan peningkatan pendapatan per kapita US$ 13.683 pada tahun 2030 dan US$ 63.421 pada tahun 2050, hal ini tidak ditopang

1

Dalam ketiga simulasi di atas, Gambar 5.5, menunjukkan bahwa asumsi KOR konstan diimbangi oleh hasil simulasi yang menunjukkan variabel K_per_Y relatif konstan sepanjang jalannya simulasi. Variabel K_per_Y=KOR=kapital output ratio.

69

oleh peningkatan persentasi investasi (persentase investasi terhadap PDB dalam jangka panjang menurun) dan fungsi produksi (potential output) hanya meningkat relatif sedikit. Jika terjadi peningkatan permintaan dikhawatirkan suplai dalam negeri berkurang, akibat kemampuan produksi yang relatif rendah. Ini bisa menimbulkan overheating economy, situasi dimana suplai tersendat pada saat demand meningkat.

Causal loop yang dapat menyatakan pentingnya investasi sebagai leading

pertumbuhan ekonomi dapat kiranya dinyatakan dalam Gambar 5.12 di bawah ini.

Loop positif (loop 1 di atas) menunjukkan bahwa peningkatan investasi (yang

berasal dari tabungan dalam negeri) bersifat pengganda bagi peningkatan PDB dan pendapatan. Sebaliknya loop negatif (loop 2 di atas) menunjukkan bahwa konsumsi merupakan faktor pelemah bagi peningkatan PDB dan pendapatan.

Gambar 5.12 Peranan Investasi sebagai leading pertumbuhan ekonomi

Ini menandai pentingnya kita untuk meningkatkan peran investasi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ibaratnya, konsumsi adalah gerbong dan investasi adalah lokomotif, “ terlalu banyak gerbong, lokomotif tidak dapat menarik gerbong yang terlalu banyak, sebaliknya lokomotif yang lebih banyak memungkinkan peningkatan jumlah gerbong yang dapat ditarik”. Pernyataan ini sejalan dengan sejarah pertumbuhan Macan Asia Timur yang mampu meningkatkan pendapatan per kapitanya 7% per tahun (dengan meningkatkan peran investasi dalam pertumbuhan ekonomi) pada saat pendapatan per kapita Amerika Serikat (anggota G-8) hanya tumbuh 2% per tahun.

Pendapatan Konsumsi Investasi PDB + + + Kapital + + + - - 1 2

70

Dalam skenario 2 dan 3, simulasi menghasilkan output dan pendapatan per kapita yang relatif sama. Namun perbedaan yang terpenting adalah, pada skenario 3 perekonomian mampu meningkatkan besaran fungsi produksi (PTY-potential

output) dengan laju eksponensial. Ini membawa implikasi penting, karena

peningkatan kemampuan produksi (PTY-potential output) akan meningkatkan kemampuan suatu negara untuk meningkatkan standar hidupnya (Mankiew dalam Partowidago, 2003).

Selain itu, melalui Gambar 5.8 kita dapat melihat perubahan pertumbuhan dengan mengandalkan investasi sebagai faktor penting pertumbuhan dan skenario ke arah sektor industri padat modal menunjukkan bahwa price level relatif konstan pada ketiga skenario. Peningkatan modal sebagai peran utama tidak menyebabkan kita terjerumus pada inflasi yang tinggi.

Simulasi juga menunjukkan bahwa grand scenario ke arah industri padat modal sama sekali tidak menunjukkan penurunan lapangan kerja tapi justru akan meningkatkan kesediaan lapangan kerja jika kita mampu mencapai tingkat investasi sesuai sasaran investasi (sesuai Gambar 5.9 dan Gambar 5.10).

Pencapaian skenario 2 dan 3 ini jelas memerlukan kerja keras, karena membutuhkan tingkat investasi yang memadai, yang didukung oleh peningkatan penguasaan teknologi dan situasi dalam negeri kondusif sejalan dengan dukungan pemerintah bagi pengembangan industri.

Kita juga dapat menyimpulkan bahwa skenario dasar tidak mampu membawa kita menuju visi 2030 (pendapatan per kapita US$ 18.000 per tahun) tapi mampu membawa kita menuju impian E-7 (Emerging-Seven versi The Price WaterHouse

Coopers) atau N-11 (Next-Eleven versi Goldman Sachs).

Goldman Sachs (2007) dan PriceWater House Coopers (2006) menempatkan

Indonesia sebagai negara dengan kekuatan ekonomi nomor 7 (Goldman Sachs) atau 6 (PriceWater House Coopers) dengan besaran PDB US$ 10.000 milyar atau pendapatan per kapita US$ 30.000 pada tahun 2050. Apakah prediksi itu memiliki alasan kuat ?

Simulasi (sesuai skenario 2) menunjukkan bahwa pencapaian besaran PDB per kapita tersebut dapat dicapai sebelum tahun 2050 yaitu pada tahun 2040. Ini

71

menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan potensi besar untuk menjadi negara dengan pendapatan per kapita pada kisaran US$ 146.000 pada tahun 2050.

Goldman Sachs memperkirakan bahwa pada tahun 2025 Indonesia mencapai

pendapatan per kapita US$ 5.100. Simulasi menunjukkan bahwa pencapaian pada tahun yang sama dapat mencapai US$ 8.000 jika ada peningkatan peranan investasi dalam perekonomian Indonesia.

Dalam model, terjadi peningkatan nilai variabel (variabel mengecil) yang menunjukkan perubahan menuju industri padat modal. Yang perlu ditekankan dalam perubahan menuju industri padat modal ialah pengembangan industri yang dapat mengurangi ketergantungan pada produk impor dan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat (lihat Tabel 5.1). Sehingga diperoleh efek ganda, yaitu peningkatan pendapatan masyarakat dan kemandirian perekonomian.

Tabel 5.1 Persentase Impor Indonesia menurut golongan barang

URAIAN 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

TOTAL 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% BARANG KONSUMSI 8% 7% 8% 9% 8% 8% 8% 9% BAHAN BAKU PENOLONG 78% 77% 77% 78% 78% 78% 77% 76% BARANG MODAL 14% 16% 14% 13% 14% 14% 15% 15%

Perubahan industri ke arah padat modal banyak memberi keuntungan diantaranya: peningkatan fungsi produksi yang tinggi dibandingkan dengan fungsi produksi sesuai skenario 1 dan 2;

peningkatan output (PDB) yang tajam;

peningkatan peranan investasi sebagai motor pembangunan; dan

mempunyai potensi peningkatan lapangan kerja jika sasaran investasinya terpenuhi (tingkat desired investment-nya tercapai);

Karena fungsi produksinya lebih tinggi, maka kebergantungan impor atas

consumer good, barang modal dan bahan baku penolong dapat dikurangi.

Keseluruhan hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan input kapital dan manusia (tenaga kerja) yang tidak disertai penguasaaan teknologi akan

72

menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih lambat dibandingkan jika kita meningkatkan tiga input secara bersamaan yaitu input kapital, tenaga kerja dan penguasaan teknologi (ditunjukkan dengan peningkatan nilai ). Ini sejalan dengan pandangan Robert M. Solow yang menyatakan hanya teknologi-lah penjamin pertumbuhan ekonomi berkelanjutan (Mankiew, 2003).

Tabel 5.2 Perbandingan Hasil Simulasi

Indikator Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3

Pendapatan per kapita (US$ ) US$ 13.683 (2030) US$ 63.421 (2050) US$ 22.386 (2030) US$ 146.886 (2050) US$23.275 (2030) US$ 148.977 (2050) PDB (Rp) Rp 8 Milyar (2030) Rp 30,5 Milyar (2050) Rp 12,9 Milyar (2030) Rp 70,6 Milyar (2050) Rp 13 Milyar (2030) Rp 71,7 Milyar (2050) Fungsi Produksi (PTY-Potential Output)

Relatif lebih rendah pada tahun 2030 dan

2050

Relatif lebih tinggi pada tahun 2030 dan

2050

Sangat tinggi baik tahun 2030 dan 2050

Price Level (P) Relatif tidak berbeda jauh

Relatif tidak berbeda jauh

Relatif tidak berbeda jauh

Investasi Membutuhkan investasi yang rendah

Membutuhkan investasi yang relatif lebih tinggi

Membutuhkan investasi yang relatif sangat

tinggi Karakter

Industri

Masih Padat Karya; meningkat dari 0,24

ke 0,249

Relatif lebih padat modal; meningkat

menjadi 0,251

Sangat padat modal; meningkat menjadi

0,54 Kemungkinan peningkatan investasi untuk mendukung intervensi kebijakan dapat disimak dari Tabel 5.3 yang menampilkan data investasi dan dana pihak ketiga (DPK).

Tabel 5.3 Dana Pihak Ketiga Yang Terhimpun di Perbankan Indonesia (Milyar)

Uraian 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Dana Pihak Ketiga

(triliun) 699.100 797.400 835.800 888.600 963.100 1.127.900 1.287.00 Investasi 275.881 323.875 353.967 392.789 515.381 657.625 800.083

Diagram alir (Gambar 5.13 di halaman berikut) menggambarkan hubungan antara tingkat investasi tersedia dengan tingkat tabungan dan dana perbankan yang tersedia, dimana fraksi investasi=50% per tahun dan tingkat pertumbuhan FDI (Foreign Direct Investment=Investasi Asing Langsung) 10% per tahun. Hasil simulasi (Gambar 5.14 di halaman berikut) menunjukkan bahwa dana investasi

73

yang tersedia lebih besar dari tingkat investasi aktual yang dibutuhkan untuk skenario 2 dan 3.

Tabel 5.4 Realisasi FDI

Tahun Rp (Juta) 2000 90.872.080 2001 32.286.480 2002 28.439.040 2003 50.145.520 2004 42.341.160 2005 82.014.320 2006 54.988.400 2007 78.608.480 Rata-Rata

Pertumbuhan 10% per tahun3

PY C Tingkat_Tabungan Dana_Perbankan fraksi_investasi Investasi_Tersedia_dlm_Negeri FDI dana_investasi_tersedia

Gambar 5.13 Diagram Flow yang menjelaskan hubungan tingkat investasi

Time Investasi_aktual 1 dana_investasi_tersedia 2 2.000 2.010 2.020 2.030 2.040 2.050 0 5e15 1e16 2e16 2e16 3e16 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

Gambar 5.14 Tingkat Investasi yang Tersedia

3

74

V.3 Perbandingan Pertumbuhan Output dan Tingkat Pengangguran

Jika kita sandingkan data tingkat pengangguran dan pertumbuhan ekonomi (Tabel 5.5) terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi tidak sejalan dengan penyediaan tenaga kerja. Ini dapat disebabkan peranan tingkat konsumsi yang sangat dominan4 terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia (Zen dkk 2005). Dengan kata lain jika peningkatan produksi tidak diimbangi peningkatan peran investasi maka pertumbuhan ekonomi tidak akan disertai peningkatan kesempatan kerja.

Tabel 5.5 Tingkat Pengangguran vs Pertumbuhan PDB

Tahun Tingkat Pengangguran Laju PDB riil 2000 6,1% 4,9 % 2001 8,1 % 3,8 % 2002 9,1% 4,4 % 2003 9,5% 4,9 % 2004 9,8% 4,9 % 2005 10,2% 5,6 % 2006 9,8% 5,6 %

Menurut Tabel 5.6 dibawah ini, terjadi konstanitas persentase investasi atas PDB Indonesia, namun yang menjadi pertanyaan mengapa tingkat pengangguran tidak turun ? Pertanyaan di atas disebabkan karena tersedianya investasi belum tentu memberi solusi kesulitan sektor produksi untuk memperbaiki efisiensi dan daya saing sektor produksi khususnya akibat tekanan biaya yang muncul dari kegiatan non produksi.

Tabel 5.6 Persentasi Investasi Terhadap PDB

Uraian 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Investasi Total (%) 19,9 20,4 20,4 19,7 21,4 22,3 21,9

Sepanjang perbaikan efisiensi pembiayaan investasi sulit dilakukan maka ekspansi usaha tidak akan ekonomis. Dengan demikian pengusaha akan lebih memilih mempertahankan tingkat produksi kini dan sebagai akibatnya enggan meningkatkan jumlah tenaga kerja akibat tidak tertarik meningkatkan produksi. Bank Dunia telah menerbitkan laporan yang menilai kemudahan bisnis di Indonesia (Bank Dunia, 2008). Dalam laporan itu beberapa penyebab

4

Pertumbuhan konsumsi yang dominan dapat dilihat pada Tabel 4.3 (hal. 47). Dari tahun 2000- 2006 tabel menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi lebih dominan dibanding pertumbuhan investasi.

75

pengembangan investasi adalah semakin sulitnya akses mendapat kredit, investor merasa kurang terlindungi, aplikasi sistem perpajakan, dan lalu lintas perdagangan yang kurang mendukung. Buruknya indikator-indikator tersebut telah melemahkan fondasi sektor produksi untuk mampu bertahan dan ekspansi. Yang juga perlu ditingkatkan ialah perlindungan terhadap investor yang melakukan usaha di Indonesia relatif tidak banyak berubah. Indikator lain yang melemahkan daya tarik berbisnis di Indonesia adalah sistem perpajakan yang dianggap belum memudahkan investor.

Indikator lain yang masih harus diperbaiki adalah kendala bea cukai dan perizinan usaha yang kurang business friendly akan meningkatkan opportunity cost dalam berbisnis.

Gambar 5.15 Indikator Kemudahan Berinvestasi di Indonesia Sumber: Laporan Bank Dunia – April 2008

Yang juga perlu diperhatikan dalam mengurangi jumlah pengangguran ialah peningkatan kompetensi tenaga kerja. Menurut Suparno (2008) minimnya kompetensi tenaga kerja Indonesia terlihat dari tidak terpenuhinya 30% lowongan kerja yang ada di bursa kerja walaupun peminat kerja di bursa lowongan kerja meningkat. Disini terlihat diperlukan kerjasama antara institusi pendidikan dan dunia industri dalam memenuhi permintaan dunia kerja dengan menciptakan

76

tenaga kerja yang kompetensinya sesuai dengan kompetensi yang diinginkan oleh dunia industri.

V.4 Fungsi Intermediasi Perbankan

Data perbankan di Indonesia, sesuai tabel 5.6, menunjukkan lemahnya fungsi intermediasi perbankan. Dalam tabel terlihat bahwa rasio CAR (current asset

ratio) berada pada kisaran 20%, jauh lebih tinggi daripada CAR5 minimum yang dipersyaratkan Bank Indonesia (8%). Ini menunjukkan bahwa perbankan di Indonesia kelebihan likuiditas. Pengalaman krisis moneter (tahun 1997) yang menghancurkan perbankan Indonesia kemungkinan masih membayangi peran perbankan dalam penyediaan investasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

Tabel 5.7 Data Perkembangan Perbankan Indonesia

Indikator 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

LDR (%) 44,9 45,8 45 49,1 53,7 61,8 64,7 64,7 69,2

CAR (%) -8,1 12,7 20,5 22,5 19,4 19,4 19,5 20,5 19,2

Sumber Bank Indonesia

V.5 Struktur Industri dan Kemampuan Iptek Indonesia

Menurut Buntoro (Buntoro, 2004) sebagian besar sifat industri di Indonesia cenderung tidak inovatif karena mempunyai kategori sebagai berikut:

o Usaha turun-temurun;

o Peluang yang diciptakan (proyek pemerintah);

o Previlege (hak-hak istimewa); o Kekuatan Permodalan.

Belajar dari industri yang berkembang di negara-negara seperti Jepang, Taiwan dan Korea Selatan (yang juga kelompok Macan Asia), terlihat sekali bahwa seberapapun skalanya, industri pada awalnya dibangun oleh orang-orang yang memiliki kompetensi, terutama kompetensi dalam teknologi proses. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau ragam produk industrinya bisa sedemikian banyaknya (Buntoro, 2004).

Kalau kita cermati, industri-industri yang selama ini tumbuh di Indonesia, kebanyakan hanya mengandalkan keunggulan komparatif, baik komparatif

5

CAR=current asset ratio adalah perbandingan antara aset lancar (current asset) dengan utang lancar (current liabilities).

77

(permodalan, penguasaan berbagai resources) dengan industri-industri sejenis di dalam negeri maupun komparatif (upah buruh yang murah, proteksi pemerintah) terhadap pesaing di manca negara.

Pertumbuhan industri semacam itu secara alamiah akan terhenti karena keunggulan komparatif tidak bisa secara terus-menerus dieksploitasi (ada batasnya) dan cenderung menimbulkan kontroversi dan distorsi ekonomi. Karena itu kita harus membangun suatu industri yang berdasarkan proses pengembangan ilmu pengetahuan (Buntoro, 2004).

Dalam kaitan dengan pengembangan industri padat modal amatlah penting kita mengembangkan konsep sistem industri yang berkelanjutan bahkan Saswinadi Sasmodjo (2004) menekankan pentingya untuk membangun suatu kerangka institusi industri teknologi sebagai wadah pengembangan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan industri.

Keberhasilan Jepang dalam memajukan teknologi telah dikaji oleh Christopher Freeman dalam penelitiannya yang berjudul “Technology and Economics

Performance: Lessons from Japan” (Freeman, 1987 dalam LIPI (2006)).

Penelitian tersebut mengungkap bahwa pesatnya kemajuan iptek Jepang hingga menjadi adidaya di bidang teknologi tidak lain disebabkan adanya interaksi dan sinergi antara pemerintah dalam hal ini Ministry for International Trade and

Industry (MITI) dengan pelaku (aktor) iptek lainnya seperti industri (Keiretsu),

institusi litbang, dan pendidikan.Pemerintah Jepang (MITI) memainkan peran penting sebagai regulator sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang mendukung interaksi yang kondusif antar aktor di dalam memperkuat Sistem Inovasi Nasional (SIN)6.

Di Indonesia sendiri, penerapan SIN tidaklah jauh berbeda dengan negara-negara berkembang lainnya. Beberapa studi menyimpulkan bahwa SIN di Indonesia belum berjalan dengan baik (Aiman, Hakim, & Simamora 2004 dalam LIPI (2006)). Selain karena secara konseptual SIN masih merupakan hal yang baru

6

SIN adalah sebuah konsep tentang penataan jejaring yang kondusif di antara para pelaku (aktor lembaga) lembaga iptek dalam suatu sistem yang kolektif dalam penciptaan (creation), penyebaran (diffussion), dan penggunaan (utilization) ilmu pengetahuan (knowledge) untuk pencapai inovasi (Nelson, 1993, dalam LIPI (2006)).

78

(infancy stage), institusi yang bertanggung untuk mengembangkan dan mengkoordinasikan SIN juga belum teridentifikasi dengan baik. Ditambah lagi, kondisi dari iptek nasional sendiri yang masih dilingkupi permasalahan yang sangat kompleks, diantaranya adalah sebagai berikut: pertama, kurangnya komitmen pemerintah di dalam membangun/ memperkuat ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) nasional. Dalam konteks pembangunan nasional, iptek masih belum dianggap sebagai sektor prioritas dalam proses pembangunan negara. Menurut Amir (2003 dalam LIPI (2006)) masih terdapat discrepancies antara kebijakan ekonomi (economic policy) dengan kebijakan teknologi (technology

policy) sebagai dampak adanya perbedaan paradigma dalam orientasi kebijakan

publik. kedua, masih dominannya pemerintah dalam pendanaan dan kegiatan litbang iptek. Hampir 70 persen pembiayaan litbang di negara kita masih dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga litbang. Di negara lain seperti Singapura, Taiwan, dan Amerika Serikat kontribusi pemerintah untuk kegiatan litbang sekitar 40 persen. Bahkan beberapa negara seperti Korea dan Jepang tidak lebih dari 20 persen. ketiga, tidak adanya koordinasi dan sinergi di antara pelaku iptek yaitu perguruan tinggi, lembaga riset, dan industri.

Disisi sistem pengetahuan walaupun beberapa universitas kita, termasuk ITB dan UGM, telah mencanangkan diri sebagai “universitas berbasis riset”, tingkat penelitian yang mahasiswa dan dosen masih relatif jarang. Sementara itu, lembaga litbang, meskipun telah banyak menghasilkan penemuan dan inovasi, namun hasil-hasil tersebut masih bersifat ilmiah penelitian semata dan kurang berorientasi kepada penelitian yang dapat memenuhi kebutuhan industri. Padahal faktor utama pemicu ambruknya industri nasional di Indonesia pada saat krisis ekonomi pada tahun 1997 lampau karena ketergantungan yang tinggi terhadap teknologi dari luar dan sangat sedikitnya kegiatan inovasi baik yang teknik maupun manajerial dilakukan oleh industri (Buntoro, 2004). Lemahnya kegiatan litbang di Indonesia menyebabkan rendahnya kemampuan iptek kita yang tercermin dari rendahnya tingkat paten yang terdaftar (lihat tabel 5.8).

Ditinjau dari dana pengembangan iptek, Indonesia tergolong negara yang rendah kesediaan dana untuk melakukan riset. Pengembangan dana riset sangat penting, karena kemajuan atau kemakmuran suatu negara tidaklah mungkin tanpa ditopang

79

oleh aktivitas litbang Iptek (Zahar, 2007). Data dari LIPI (2006) menyatakan bahwa terjadi penurunan persentase dana riset terhadap PDB dari tahun ke tahun. Pada tahun 1980-an persentase dana riset berkisar 0,3 %-0,5% dari PDB, dan setelah era reformasi persentase dana riset turun dibawah 0.2% dari PDB (dana

riset yang memadai menurut UNESCO ialah 2% dari PDB –

www.uis.unesco.org). Lebih lanjut mengenai daya saing iptek lihat lampiran 5. Tabel 5.8 Jumlah Paten Indonesia dan Negara Tetangga

Dalam kerangka Sistem Inovasi Nasional pemerintah bisa merangsang para pengusaha untuk mau melakukan investasi dibidang riset dengan memberikan berbagai kemudahan insentif, seperti: insentif fiskal atau insentif perpajakan. Singkatnya untuk membangun suatu kerangka industri yang kokoh diperlukan sinergi diantara pemerintah (sistem otoritas), sistem pasar (penyedia jasa dan material) dan sistem pengetahuan (sumber-sumber ilmu pengetahuan) --- inilah sistem inovasi ideal.

V.6 Modal Sosial Pembangunan

Menurut Bank Dunia (Partowidagdo, 2003) modal pembangunan yang juga tidak kalah penting adalah modal sosial. Nilai-nilai nasionalisme (dalam arti luas) dan

80

semboyan membangun seperti yang ditunjukkan oleh rakyat Jepang (semangat bushido) atau semboyan membangun yang ditunjukkan rakyat Korea (Beat

Japanese Everywhere) juga penting dalam pembangunan suatu negara.

Dengan kata lain, masalah pembangunan bukan sekedar input kapital dan tenaga kerja (ataupun penguasaan teknologi) tapi juga merupakan budaya membangun. Yaitu timbulnya kesadaran bahwa membangun adalah untuk kepentingan bersama bangsa kita, kini dan masa datang.

Pencapaian cita-cita sebagai negara maju, harus pula ditambahkan dengan kalimat atau semboyan yang menantang atau yang membangkitkan rasa nasionalisme. Korea dalam membangun perekonomian-nya mempunyai semboyan “Beat

Japanese Everywhere” (kalahkan Jepang dimana saja). Sebaliknya Jepang, setelah

kekalahan yang menyakitkan dalam Perang Dunia II, membangun negerinya dengan semboyan pengabdian yang (semangat bushido) tinggi kepada kaisar. Bahwa Jepang boleh kalah perang, tapi jangan kalah dibidang lain dan bangsa Jepang adalah bangsa yang bisa maju. Sebagai perbandingan modal sosial dan peranan institusi penelitian diberbagai negara ditampilkan dalam tabel 5.9.

Tabel 5.9 Perbandingan modal sosial dan institusi penelitian

Indikator Korea Selatan (Macan Asia

Timur)

Jepang (G8) India (BRICs)7 Indonesia

Modal Sosial Beat Japanese Everywhere, cinta produk dlm negeri Semangat bushido (pengabdian kpd kaisar) Cenderung membeli produk dalam negeri Perlu membeli produk dlm negeri untuk mendukung industri nasional Institusi Penelitian Institusi penelitian yang dikembangkan sesuai kebutuhan industri (gabungan sistem pasar-science- otoritas). Dana riset yang memadai.

Institusi penelitian yang dikembangkan sesuai kebutuhan industri (gabungan sistem pasar-science-otoritas). Dana riset yang memadai. Institusi penelitian yang menggabungkan sistem pasar- science-otoritas. Dana riset yang memadai. Membangun institusi penelitian yang menggabungkan sistem pasar- science-otoritas. Peningkatan dana riset dan mendorong peningkatan swasta dalam litbang 7

BRICs singkatan dari Brazil, Rusia, India dan China. BRICs adalah kelompok negara yang pertumbuhan ekonominya akhir-akhir ini di kagumi oleh banyak pengamat ekonomi dunia.

81

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil simulasi dan analisisnya dapat kiranya penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

Peranan tenaga kerja Indonesia dalam perekonomian masih relatif besar (ditunjukkan oleh > ) dibanding peranan kapital terhadap perekonomian Indonesia. Simulasi juga menunjukkan perubahan industri ke arah padat modal justru mampu meningkatkan kemandirian dan mengkombinasikan pertumbuhan ekonomi dengan penyediaan lapangan kerja.

Pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak sejalan dengan penyediaan kesempatan kerja. Penanganan masalah pengangguran memerlukan kerjasama antara institusi pendidikan dan dunia industri agar tercipta tenaga kerja yang kompetensinya sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Pengurangan pengangguran juga memerlukan peningkatan peran investasi dalam perekonomian Indonesia.

Perekonomian Indonesia sejauh ini masih tergantung pada produk impor untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Ini menunjukkan bahwa sejumlah sektor industri di Indonesia belum mempunyai kombinasi industri hulu dan hilir yang padu.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tidak sejalan dengan daya saing iptek Indonesia. Ini tercermin dari rendahnya dana riset yang bernilai kurang dari 2% (dari nilai total PDB) dan jumlah paten peneliti Indonesia yang relatif rendah dibandingkan negara-negara lain. Jika hal ini tidak diatasi dapat menghambat arah kebijakan menuju industri padat modal. Peran konsumsi lebih dominan dibandingkan peran investasi dalam perekonomian Indonesia. Ini menunjukkan kecenderungan overheating

82

ekonomi. Keterbatasan pasokan energi listrik, transportasi dan akses kredit seperti yang dilaporkan Bank Dunia (2008) membuat investasi belum tumbuh, sehingga kegiatan produksi semata-mata hanya memanfaatkan kapasitas terpasang yang ada.

Sesungguhnya Indonesia mempunyai peluang untuk maju ditinjau dari aspek populasi dan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang semakin baik. Namun pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap membutuhkan intervensi- intervensi kebijakan untuk menghasilkan pertumbuhan yang lebih bermanfaat. Intervensi kebijakan yang dapat membawa Indonesia untuk mencapai visi 2030 adalah peningkatan peran investasi dalam pertumbuhan ekonomi yang diimbangi dengan peningkatan peran iptek dalam proses pembangunan ekonomi di Indonesia. Peningkatan peran investasi dan iptek (sesuai skenario 3) menunjukkan potensi Indonesia untuk mencapai visi 2030 (pendapatan per kapita US$ 18.000 per tahun) yang diimbangi oleh peningkatan kemandirian perekonomian.

Peningkatan peran investasi dan daya saing iptek memerlukan kerjasama erat antara pemerintah, swasta dan dunia pendidikan. Dengan kerjasama antara ketiga unsur ini diharapkan dapat dicapai pertumbuhan ekonomi yang searah dengan peningkatan daya saing iptek sehingga pertumbuhan ekonomi di imbangi dengan peningkatan fungsi produksi yang makin tinggi.

VI.2 Saran

Untuk menghasilkan pertumbuhan yang lebih bermanfaat, kita harus melakukan hal-hal sebagai berikut:

Keberhasilan perekonomian yang telah dicapai, seperti: kestabilan nilai tukar, pengendalian inflasi dan pengurangan rasio utang atas PDB tidak cukup, tapi perlu ditindaklanjuti dengan mengarahkan pembangunan Indonesia ke arah yang lebih produktif, yaitu dengan mengubah struktur perekonomian yang mengarah pada peningkatan peran investasi dan daya saing iptek.

83

Meningkatkan peran investasi sebagai leading sector bagi pertumbuhan ekonomi, sehingga mampu menghasilkan pertumbuhan yang lebih bermanfaat. Investasi sebaiknya ditujukan untuk membangun struktur industri hilir ke hulu yang padu, sehingga kebergantungan kita pada bahan baku impor dapat berkurang. Keterpaduan industri hilir dan hulu dapat meningkatkan kestabilan makroekonomi Indonesia.

Peningkatan sumber daya iptek nasional, meliputi peningkatan dana riset, peningkatan integrasi antara litbang, dunia industri dan institusi pendidikan. Peningkatan integrasi antara ketiga unsur di atas agar dapat tercipta tenaga kerja yang kompetensinya diakui oleh dunia kerja. Peningkatan dana riset diperlukan karena pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan iptek tidak saja penting sebagai sumber pertumbuhan dan daya saing ekonomi, tetapi juga sumber terbentuknya iklim inovasi dan menjadi landasan bagi tumbuhnya kreativitas sumberdaya manusia. Selain itu iptek menentukan tingkat efektivitas dan efisiensi proses transformasi sumberdaya menjadi sumberdaya baru yang lebih bernilai. Dengan demikian peningkatan kemampuan iptek sangat diperlukan untuk meningkatkan standar kehidupan bangsa dan negara. Peningkatan dana riset dapat dilakukan dengan mendorong peranan swasta dalam kegiatan riset (litbang).

Sesungguhnya pembangunan ekonomi tidak mencakup masalah kapital

Dokumen terkait