• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hubungan Antara Karakteristik Petani dengan Tingkat

Sekolah Lapang Iklim (SLI) meliputi empat komponen yaitu: pengetahuan tentang iklim, penetapan pola tanam, pengenalan dan cara penggunaan agen hayati serta pengelolaan dan pengembangan tanaman. Hubungan antara karakteristik petani dengan tingkat adopsi dalam SLI yakni, pendidikan formal, tingkat pendapatan, luas usahatani, keberanian mengambil resiko, tingkat partisipasi dalam kelompok tani, kekosmopolitan, sumber informasi yang dimanfaatkan tersaji pada tabel berikut:

Tabel 5.9 Hubungan Antara Karakteristik Petani dengan Tingkat Adopsi dalam SLI

Karakteristik Petani (X) Tingkat Adopsi (Y)

rS t hitung Keterangan X1 -0,163 -1.083 NS X2 0,800* 8.74 S X3 0.125 0.826 NS X4 0.350 1.506 NS X5 0.894** 13.083 SS X6 0.305* 2.100 S X7 0.883** 12.336 SS

Sumber : Analisis Data Primer Tahun 2011 Keterangan :

** : Sangat signifikan pada α= 0,01 (T tabel = 1,303)

* : Signifikan pada α= 0,05 (Ttabel= 2,031)

rS : Korelasi rank Spearman XI : Pendidikan Formal X2 : Tingkat Pendapatan X3 : Luas Usahatani

X4 : Keberanian Mengambil Resiko

X5 : Tingkat Partisipasi dalam Kelompok Tani

X6 : Kekosmopolitan

X7 : Sumber Informasi yang dimanfaatkan

NS : Non Signifikan (Tidak Signifikan) SS : Sangat Signifikan S : Signifikan

1. Hubungan Antara Pendidikan Formal Dengan Tingkat Adopsi Petani dalam SLI

Berdasarkan tabel 5.9 menunjukkan bahwa nilai rS yaitu sebesar -0,163, pada a = 0,05, dengan thitung sebesar(-1,083) < ttabel (2,031) maka

commit to user

Ho diterima, yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan formal dengan tingkat adopsi SLI.

Menurut Madigan (1962) dalam Cruz (1987), petani yang mencapai pendidikan lebih tinggi mempunyai tingkat adopsi yang lebih tinggi daripada mereka yang mencapai tingkat pendidikan yang rendah. Berdasarkan analisis data di lapang, diketahui bahwa pendidikan petani berkisar SD, SLTP, SLTA, PT. Dengan kondisi pendidikan formal yang sedemikian rupa, semua petani responden memiliki kemampuan baca tulis.

Sekolah Lapang Iklim merupakan sebuah program dan dalam pelaksanaannya petani di mengenai pemanfaatan sudah diberi petunjuk pelaksanaan cara-cara budidaya yang benar. Jadi, pendidikan formal petani responden merupakan suatu aspek pendukung dalam SLI. Dengan latar belakang pendidikan formal yang berbeda sebenarnya hanya membentuk karakter yang berbeda antara petani yang satu dengan petani yang lain. Sehingga jika dalam pendidikan formal yang ditempuh tidak pernah menyinggung tentang komponen dalam SLI meliputi pengetahuan tentang iklim, penetapan pola tanam, pengenalan dan penggunaan agen hayati, serta pengelolaan dan pengembangan tanaman maka pendidikan formal yang ditempuh tidak akan mempunyai peran dalam adopsi.

Pendidikan formal akan lebih terlihat perannya jika didukung dengan pendidikan non formal seperti pelatihan yang lebih mengarah pada pengetahuan yang lebih spesifik (budidaya padi). Melalui ini penilaian petani terhadap suatu inovasi akan timbul nantinya akan memunculkan perilaku yang berbeda pada kegiatan usahantani mereka. Jadi, rendah atau tingginya pendidikan formal yang ditempuh petani tidak berhubungan nyata dengan tingkat adopsi SLI.

2. Hubungan Antara Tingkat Pendapatan dengan Adopsi Petani dalam SLI Berdasarkan Tabel 5.9 menunjukkan bahwa nilai rS yaitu sebesar 0,800, pada a = 0,05, thitung sebesar(8,74) > ttabel (2,031) maka Ho ditolak,

commit to user

yang artinya terdapat hubungan yang signifikan dengan arah positif antara pendapatan dengan tingkat adopsi petani dalam SLI.

Menurut Gustaman (2004), rendahnya tingkat pendapatan di sektor pertanian salah satunya disebabkan oleh tingkat kepemilikan lahan pertanian yang sempit akibat jumlah penduduk yang semakin bertambah dari waktu ke waktu, sehingga ketersediaan lahan pertanian semakin berkurang akibat dibangunnya pemukiman baru di pedesaan. Selanjutnya menurut Hernanto (1984), secara umum pendapatan petani memang rendah pada usahatani tanaman pangan dan tanaman tahunan, untuk petani di Jawa ataupun di luar Jawa dan transmigran, pendapatan mereka relatif rendah.

Analisis di lapangan menunjukkan bahwa kepemilikan lahan pertanian di Kabupaten Blora merupakan sempit, hal ini ditunjukkan oleh penggunaan tanah untuk sawah di Kabupaten Blora hanya seluas 46.078,236 Ha atau seluas 25,31 persen. Penggunaan tanah untuk hutan mencapai 9.410,39 Ha atau 49,66 persen. Keadaan ini sejalan dengan pernyataan Gustaman (2004), bahwa ketersediaan lahan pertanian semakin sempit akibat berkembangnya pemukiman baru. Selanjutnya, dilihat dari segi pendapatan, petani responden di Kabupaten Blora berada dalam kategori rendah, yaitu berkisar antara Rp 579.600,00-Rp 4.768.504,00. dalam satu musim, dengan rata-rata pendapatan dalam satu musim tanam sebesar Rp 3,874.778,90.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat adopsi petani dalam SLI ternyata ditentukan oleh pendapatan petani. Petani menerapkan komponen SLI dengan memperhatikan kondisi pendapatannya tinggi atau rendah. Temuan ini menegaskan bahwa tinggi rendahnya tingkat pendapatan petani serta-merta membuat mereka menerapkan komponen SLI. Dengan demikian, faktor tingkat pendapatan dalam mempengaruhi adopsi inovasi yang dikemukakan oleh Van den Ban dan Hawkins telah mendapat konfirmasi empirik dalam penelitian ini.

commit to user

Pendapatan yang tergolong rendah ini akan mempengaruhi tingkat adopsi petani terhadap inovasi yang ada. Petani dengan pendapatan tinggi akan lebih cepat mengadopsi inovasi dibandingkan dengan petani yang berpendapatan rendah. Hal ini dapat terjadi karena dengan pendapatan tinggi, keadaan ekonomi seseorang akan lebih baik dan cenderung mencoba hal-hal baru yang ada di sekitar mereka.

3. Hubungan Antara Luas Usahatani dengan Tingkat Adopsi Petani dalam SLI

Berdasarkan Tabel 5.9 menunjukkan bahwa nilai rS yaitu sebesar 0,125, pada a = 0,05, thitung sebesar (0,826) < ttabel (2,031) maka Ho diterima, yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara luas usahatani dengan tingkat adopsi petani dalam SLI.

Menurut Hanafi (1987), ciri–ciri sosial ekonomi anggota sistem yang lebih inovatif yaitu memiliki luas usahatani yang luas, serta lebih berorientasi pada ekonomi komersial, dimana produk-produk yang dihasilkan ditujukan untuk dijual bukan semata-mata untuk konsumsi sendiri. Untuk itu mereka yang mengadopsi inovasi lebih meningkatkan produksi. Analisis data di lapangan menunjukkan bahwa luas usahatani tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan tingkat adopsi petani dalam SLI di Kabupaten Blora.

Karakteristik petani responden di Kabupaten Blora adalah petani berlahan sempit, yaitu dengan luas rata-rata 0,37 Ha. Mayoritas luas usahatani yang dikerjakan oleh petani di Kabupaten Blora merupakan lahan yang sempit, mayoritas seluas 2500 m2. Meskipun orientasi petani untuk bertani mulai beralih menuju orientasi ekonomi, akan tetapi dengan melihat luas usahatani yang dikerjakan, membuat petani tidak optimal untuk mengarah kepada orientasi ekonomi.

Lionberger dalam Mardikanto (1996) menyebutkan bahwa semakin luas penguasaan lahan biasanya semakin cepat mengadopsi, karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik. Pernyataan tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian. Temuan ini menegaskan

commit to user

bahwa luas-sempitnya lahan yang digarap oleh petani tidak serta-merta membuat mereka menerapkan komponen SLI. Dengan demikian, faktor luas lahan dalam mempengaruhi adopsi inovasi belum mendapat konfirmasi empirik dalam penelitian ini. Tidak ada jaminan bahwa petani yang memiliki lahan yang luas akan mudah melakukan adopsi inovasi. Hubungan yang tidak signifikan dikarenakan penerapan komponen SLI tidak membutuhkan lahan yang luas.

4. Hubungan Antara Keberanian Mengambil Resiko dengan Tingkat Adopsi Petani dalam SLI

Berdasarkan Tabel 5.5 menunjukkan bahwa nilai rS yaitu sebesar 0,035, pada a = 0,05, thitung sebesar (1,506) < ttabel (2,031) maka Ho diterima, yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara keberanian mengambil resiko dengan tingkat adopsi petani dalam SLI.

Menurut Lionberger (1960) dalam Mardikanto (1993), individu yang memiliki keberanian menghadapi resiko biasanya lebih inovatif. Tingkat keberanian mengambil resiko petani di Kabupaten Blora termasuk dalam ketegori berani mengambil resiko, akan tetapi tidak dilihat adanya hubungan yang signifikan antara keberanian mengambil resiko dengan tingkat adopsi petani dalam SLI. Menurut Samsudin (1982), seseorang menerima sesuatu hal baru atau ide selalu melalui tahapan-tahapan. Tahapan ini dikenal dengan proses adopsi, pada tahap ini sebagai tahap akhir, petani sudah mempraktekkan hal-hal baru dengan keyakinan akan berhasil. Petani responden yang berani mengambil resiko pada umumnya belum tahu hasil dari inovasi yang akan diterapkan.

Komponen SLI terdiri dari berberapa komponen yang diadopsi, misalnya petani berani menggunakan pestisida organik, tetapi juga berani menggunakan pestisida kimia. Selanjutnya penggunaan pupuk yang diadopsi dari SLI yaitu petani responden berani menggunakan pupuk organik, akan tetapi tidak hanya pupuk kompos secara keseluruhan tetapi juga masih dibarengi menggunakan pupuk kimia. Hal ini tidak sesuai dengan teori, tinggi rendahnya keberanian mengambil resiko tidak

commit to user

berhubungan dengan adopsi komponen SLI karena petani yang memiliki keberanian mengambil resiko tetapi tidak menerapkan komponen SLI ataupun hanya sebagian menerapkan komponen SLI tidak secara keseluruhan (adopsi sedang).

5. Hubungan Antara Tingkat Partisipasi dalam Kelompok Tani dengan Tingkat Adopsi Petani dalam SLI

Berdasarkan Tabel 5.5 menunjukkan bahwa nilai rS yaitu sebesar 0,894, pada a = 0,05, thitung sebesar (13,083) > ttabel (2,031) maka Ho ditolak, yang artinya terdapat hubungan yang signifikan dengan arah yang positif antara tingkat partisipasi dalam kelompok tani dengan tingkat adopsi petani dalam SLI.

Lionberger (1960) dalam Mardikanto (1996), Warga masyarakat yang suka bergaul dengan orang-orang di luar sistem sosialnya sendiri, umumya lebih inovatif dibanding mereka hanya melakukan kontak pribadi dengan masyarakat setempat. Hal ini juga dialami oleh petani di Kabupaten Blora yang memiliki tingkat partisipasi dalam kategori tinggi yakni petani responden rajin mengikuti pertemuan rutin selain SLI lebih dari 10 kali dalam satu musim tanam, karena agenda pertemuan telah disusun berdasarkan kesepakatan bersama antara petani dan penyuluh pertanian (PPL). Petani responden yang selalu mengikuti kegiatan kelompok tani baik berupa pertemuan rutin kelompok maupun agenda pertemuan lapang lainnya tidak akan ketinggalan informasi dalam setiap kegiatan yang dilakukan, misalnya: pada suatu pertemuan, penyuluh memperkenalkan inovasi baru yang langsung dilihat dan dipraktekkan oleh petani responden sehingga mereka akan lebih tertarik mengadopsinya dibandingkan jika mereka tidak ikut, sehingga semakin aktif partisipasi petani responden dalam kelompok tani maka penerapan komponen- komponen SLI juga semakin tinggi.

commit to user

6. Hubungan Antara Kekosmopolitan dengan Tingkat Adopsi Petani dalam SLI

Berdasarkan Tabel 5.5 menunjukkan bahwa nilai rS yaitu sebesar 0,305, pada a = 0,05, thitung sebesar(2,100) > ttabel (2,031) maka Ho ditolak, yang artinya terdapat hubungan yang signifikan dengan arah yang positif antara kekosmopolitan dengan tingkat adopsi petani dalam SLI. Tingkat kekosmopolitan merupakan karakteristik yang mempunyai hubungan dan pandangan yang luas dengan “dunia luar” diluar sistem sosialnya sendiri. Kekosmopolitan dicirikan oleh frekuensi pergi ke kota atau keluar kota kabupaten dan jarak tempuh perjalanan yang dilakukan.

Petani dengan tingkat kekosmopolitan yang tinggi biasanya lebih cepat menerapkan inovasi karena lebih cepat mendapatkan informasi dari luar sistem sosialnya sendiri. Informasi tentang pemanfaatan informasi iklim dalam budidaya padi. Penyuluhan yang dilakukan penyuluh dirasa masih kurang cukup memberikan informasi, sehingga beberapa petani masih harus keluar desa atau kota untuk mencari informasi yang berkaitan dengan SLI.

Petani responden melakukan kegiatan bepergian ke desa lain/kota sebanyak lebih dari 4 kali untuk mencari informasi pertanian dalam satu musim tanam. Selain itu juga petani responden mencari informasi secara interpersonal lebih dari 10 kali dalam satu musim tanam. Penggunaan media cetak yag diakses petani responden sebanyak 5 sampai dengan 9 kali dalam satu musim tanam, karena tidak banyak petani responden yang berlangganan majalah ataupun surat kabar, sedangkan penggunaan media elektronik yaitu berupa radio untuk memperoleh informasi pertanian. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Hanafi (1981), bahwa kekosmopolitan menjadikan relatif awal dalam mengadopsi inovasi baru, jadi semakin petani kosmopolit maka relatif awal dalam adopsi inovasi.

commit to user

7. Hubungan Antara Sumber Informasi yang dimanfaatkan dengan Tingkat Adopsi Petani dalam SLI

Berdasarkan Tabel 5.5 menunjukkan bahwa nilai rS yaitu sebesar 0,883, pada a = 0,05, thitung sebesar (12,336) > ttabel (2,031) maka Ho ditolak yang artinya terdapat hubungan yang signifikan dengan arah yang positif antara sumber informasi yang dimanfaatkan dengan tingkat adopsi petani dalam SLI.

Menurut Rogers (1983) menyatakan bahwa saluran komunikasi dalam keputusan inovasi adalah alat yang dipergunakan untuk menyebarluaskan suatu inovasi yang mungkin berpengaruh terhadap kecepatan pengambilan keputusan inovasi. Sumber informasi terbesar yang digunakan oleh petani responden adalah penyuluh dan petani lain, karena adanya pertemuan kelompok setiap dua minggu sekali dan terkadang penyuluh pertanian (PPL) menemui petani di lahan untuk keperluan tertentu, sebagai contoh adanya permasalahan meluasnya hama wereng yang menyerang tanaman padi, oleh karena itu petani sering berdiskusi dengan penyuluh pertanian (PPL). Sumber informasi mengenai SLI juga diperoleh dari petani lain yang sangat bermanfaat sebagai media tukar pikiran dan petani dapat memutuskan untuk mengadopsi komponen SLI.

Sumber informasi ini dianalisis berdasarkan jenis atau banyaknya sumber informasi yang diakses dan frekuensi mengakses sumber tersebut. Jenis sumber informasi yang diakses berasal dari sumber informasi inrtpersonal dan sumber informasi media massa. Sumber informasi interpersonal yang dimanfaatkan petani terdiri dari dinas pertanian, penyuluh, ketua kelompok tani, petani lain dan keluarga, sedangkan jenis sumber media massa yang dimungkinkan untuk bisa diakses oleh responden antara lain poster dan leaflet. Petani yang memanfaatkan banyak sumber informasi memiliki peluang untuk lebih besar mengadopsi komponen SLI.

commit to user

84

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang mengkaji hubungan karakteristik petani dengan tingkat adopsi petani dalam Sekolah Lapang Iklim (SLI) di Kabupaten Blora maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Distribusi karakteristik petani responden:

a. Sebagian besar (66,7 %) tingkat pendidikan responden termasuk dalam kategori sedang, yaitu selama 7 tahun sampai 12 tahun.

b. Mayoritas (71,1%) responden berpendapatan rendah, sebesar Rp 579.600,00-Rp 4.768.504,00 dalam satu musim tanam.

c. Mayoritas (73,4%) responden memiliki luas usahatani yang sempit, yaitu seluas 0,18 ha sampai 0,45 ha.

d. Keberanian mengambil resiko dari mayoritas (71%) responden termasuk dalam kategori berani mengambil resiko.

e. Tingkat Partisipasi dalam Kelompok Tani mayoritas ( 75%) responden termasuk dalam kategori tinggi.

f. Kekosmopolitan mayoritas ( 71,1%) responden termasuk dalam kategori cukup kosmopolit.

g. Sumber Informasi yang digunakan mayoritas (51,1%) responden termasuk dalam kategori cukup beragam meliputi Dinas Pertanian, penyuluh, ketua kelompok tani, dan keluarga.

2.Tingkat adopsi komponen SLI oleh petani responden :

a. Pengetahuan tentang iklim dari mayoritas ( 53,3%) responden termasuk dalam kategori sedang.

b. Penetapan pola tanam dari mayoritas (50,8%) responden berada dalam kategori sedang.

c. Pengenalan dan penggunaan agen hayati metharizium mayoritas (46,7%) responden termasuk kategori sedang,

d. Pengembangan dan pengelolaan tanaman mayoritas (51,1%) responden termasuk dalam kategori sedang.

commit to user

3.Terdapat hubungan yang signifikan dengan arah positif antara tingkat pendapatan, tingkat partisipasi dalam kelompok tani, kekosmopolitan, dan sumber informasi yang dimanfaatkan. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan formal, luas usahatani dan keberanian mengambil resiko.

Dokumen terkait