commit to user
i
HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI DENGAN TINGKAT ADOPSI PETANI DALAM SEKOLAH LAPANG IKLIM (SLI)
DI KABUPATEN BLORA
SKRIPSI
Disusun Oleh :
NURUL DWI NOVIKARUMSARI H 0407053
Dosen Pembimbing: 1. Dr.Ir. Eny Lestari, MSi 2. D. Padmaningrum, SP, Msi
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
ii
HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI DENGAN TINGKAT ADOPSI PETANI DALAM SEKOLAH LAPANG IKLIM (SLI)
DI KABUPATEN BLORA
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana Pertanian
di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta Jurusan/ Program Studi Penyuluhan Dan Komunikasi Pertanian
Disusun Oleh :
NURUL DWI NOVIKARUMSARI H 0407053
Dosen Pembimbing: 1. Dr.Ir. Eny Lestari, MSi 2. D. Padmaningrum, SP, MSi
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
commit to user
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
Rahmat, Hidayah, dan Nikmat kesehatan yang diberikan sehingga penulis dapat
melaksanakan dan menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul ”Hubungan Karakteristik Petani dengan Tingkat Adposi Petani dalam Sekolah Lapang Iklim (SLI) di Kabupaten Blora.” Terselesaikannya penulisan skripsi ini juga tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua penulis, Bapak Arif Sukarmo, SPd dan Alm.Ibu Jumiati, SPd
terima kasih atas segala kasih sayang, doa, dan nasehatnya dalam situasi
apapun yang ada.
2. Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, MS, selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Dr.Ir. Eny Lestari, MSi, selaku pembimbing utama yang telah membimbing dan
mengarahkan penulis dalam penyusunan skipsi ini.
4. Dwiningtyas Padmaningrum, SP, MSi selaku Ketua Jurusan Penyuluhan dan
Komunikasi Pertanian, selaku pembimbing pendamping sekaligus pembimbing
Akademik yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam
penyusunan skripsi.
5. Seluruh karyawan Jurusan/Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi
Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta atas
kemudahan dalam menyelesaikan administrasi penulisan skripsi.
6. Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan, Perkebunan dan Perikanan yang telah
memberikan batuan dalam pengumpulan data.
7. Teman-teman PKP 2007 dan teman-teman kost, yang selalu memberikan
keceriaan dan telah bersedia membantu serta memberi dukungan kepada
penulis.
commit to user
v
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan,
untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat dan menambah pengetahuan baru bagi yang memerlukan.
Surakarta, November 2011
commit to user
vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
RINGKASAN ... x
SUMMARY ... xi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 3
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Kegunaan Penelitian ... 5
II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 6
B. Kerangka Berfikir ... 22
C. Hipotesis Penelitian ... 24
D. Pembatasan Masalah ... 24
E. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 25
III.METODE PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian ... 29
B. Penentuan Lokasi ... 29
C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 30
D. Jenis dan Sumber Data ... 31
E. Teknik Pengumpulan Data ... 32
commit to user
vii
IV.KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
A. Keadaan Alam ... 35
B. Keadaan Penduduk ... 36
C. Keadaan Pertanian ... 42
D. Sarana Perekonomian ... 44
V.HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identitas Responden ... 45
B. Tingkat Adopsi Petani dalam SLI... 47
C. Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Karakteristik Petani dari Kategori Adopsi Komponen SLI ... 54
D. Analisis Hubungan Antara Karakteristik Petani dengan Tingkat Adopsi Petani dalam SLI ... 75
VI.KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 84
B. Saran ... 85
DAFTAR PUSTAKA ... 86
commit to user
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Populasi ... 30
Tabel 3.2 Petani Sampel... 30
Tabel 3.3 Jenis dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian ... 32
Tabel 4.1 Luas dan Ketinggian Tanah menurut Kecamatan di Kabupaten
Blora Tahun 2009 ... 36
Tabel 4.2 Penduduk Kabupaten Blora Menurut Kelompok Umur
dan Jenis Kelamin Tahun 2010 ... 38
Tabel 4.3 Keadaan Penduduk menurut Tingkat Pendidikan di Kabupaten
Blora ... 41
Tabel 4.4 Komoditas Utama di Kabupaten Blora Tahun 2007... . 42
Tabel 4.5 Luas Penggunaan Lahan Pertanian di Kabupaten Blora
Tahun 2010... ... 43
Tabel 4.6 Sarana Perekonomian di Kabupaten Blora
Tahun 2010 ... 44
Tabel5.1 Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Jenis kelamin ... 45
Tabel 5.2 Distribusi Jumlah Responden Menurut Usia Responden ... 46
Tabel 5.3 Distribusi Jumlah Responden Menurut Jumlah
Anggota Keluarga ... 47
Tabel 5.4 Distribusi Karakteristik Petani pada Masing-masing Komponen
Adopsi dalam SLI ... 48
Tabel 5.5 Distribusi Responden dalam Komponen Pengetahuan Tentang
Iklim... 49
Tabel 5.6 Distribusi Responden dalam Komponen Penetapan Pola Tanam.. 50
Tabel 5.7 Distribusi Responden dalam Komponen Pengenalan dan
penggunaan agen hayati ... 51
Tabel 5.8 Distribusi Responden dalam Komponen Pengengelolaan dan
pengembangan tanaman (padi) ... 52
Tabel 5.9 Hubungan Antara Karakteristik Petani dengan Tingkat
commit to user
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir ... 23
commit to user
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Kuisioner Penelitian ... 90
Lampiran 2: Identitas Responden ... 102
Lampiran 3: Karakteristik Petani dalam SLI ... 106
Lampiran 4: Adopsi Petani dalam SLI ... 112
Lampiran 5: Distribusi Frekuensi ... 116
Lampiran 6: Analisis Pendapatan ... 125
Lampiran 7: Biaya Tenaga Kerja... 140
Lampiran 8: NonparametricCorrelations ... 146
Lampiran 9: Peta Kabupaten Blora ... 148
commit to user
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan pertanian di Indonesia saat ini mempunyai peranan yang
sangat penting bagi kehidupan masyarakat, terutama untuk usaha pertanian
yang meliputi pangan dan holtikultura, perkebunan, peternakan serta
perikanan. Dalam hal ini pembangunan pertanian bertujuan untuk selalu
memperbaiki mutu hidup dan kesejateraan manusia terutama petani, baik
perorangan maupun masyarakat pada umumnya (Mardikanto, 1993).
Perbaikan mutu hidup dan kesejahteraan petani dilakukan dengan
peningkatan produktivitas usahatani untuk mewujudkan ketahanan pangan,
meningkatkan kebutuhan pangan dan meningkatkan pendapatan petani.
Dewasa ini pemanasan global (global warming) telah mengubah kondisi iklim global, regional, dan lokal temasuk Indonesia. Mengingat iklim adalah unsur
utama yang berpengaruh dalam sistem metabolisme dan fisiologi tanaman,
maka perubahan iklim global akan berdampak buruk dalam keberlanjutan
ketahanan pangan. Perubahan iklim yang mengakibatkan banjir dan
kekeringan di lahan usahatani akan mengancam ketahanan pangan
(Departemen Pertanian, 2009).
Dampak fenomena iklim meliputi banjir dan kekeringan. Banjir adalah
tergenangnya lahan pertanian selama periode genangan dengan kedalaman
tertentu, sehingga menurunkan produksi pertanian sedangkan kekeringan
adalah tidak terpenuhinya kebutuhan air mendukung proses produksi pertanian
secara optimal, sehingga menurunkan produksi pertanian. Banjir dan
kekeringan baik intensitas, frekuensi, durasi dan dampak yang ditimbulkan
terus meningkat sebagai perbandingan, pada tahun 1997 lahan sawah yang
terkena banjir seluas 58.197 ha, sementara tahun 2006 meningkat seluas
322.476 ha (554%), sedangkan untuk kekeringan, luas sawah yang terkena
pada tahun 1998 seluas 161.601 ha dan meningkat tajam pada tahun 2006
dengan luas sawah yang terkena mencapai 267.088 ha (60%). Tahun 1997
commit to user
lahan sawah yang terkena kekeringan mencapai 517.614 ha
(www.deptan.go.id).
Salah satu metode untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
petani dalam pemahaman unsur-unsur iklim adalah Sekolah Lapangan Iklim
(SLI) yang merupakan modifikasi dari kegiatan SLI dengan memfokuskan
pembelajaran melalui kegiatan praktek langsung di lapangan tentang
pengelolaan agroekosistem dari aspek iklim. Sekolah Lapang Iklim (SLI)
adalah sekolah lapang yang dilaksanakan di alam terbuka dengan
memberdayakan petani agar mampu membaca kondisi iklim serta kearifan
lokal untuk melaksanakan budidaya pertanian spesifik lokasi agar dapat
meminimalisir penurunan produksi pertanian akibat dampak fenomena iklim
(banjir dan kekeringan) (Departemen Pertanian, 2009).
Pada tahap perencanaan dirancang kegiatan Sekolah Lapangan Iklim
(SLI) sebanyak 200 unit, yang tersebar di 27 provinsi, 186 kabupaten,
termasuk Kabupaten Blora yang dilaksanakan pada tahun 2009 dan 2010.
Kegiatan SLI yang dilaksanakan di Kabupaten Blora bertujuan meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan petani menganalisis serta memanfaatkan data
dan informasi iklim dalam proses usahataninya (Dinas Pertanian Kabupaten
Blora, 2010). Informasi iklim bermanfaat dalam memprediksi musim sesuai
gejala alam yang berada di lingkungan petani itu sendiri sehingga petani
mampu menetapkan varietas dan waktu tanam sesuai dengan spesifikasi
mesing-masing daerah serta mengendalikan hama dan penyakit menggunakan
agen hayati. Melalui pelaksanaan program SLI, diharapkan petani dapat
meningkatkan kemampuan petani dalam mengindikasi perubahan iklim,
mengembangkan prinsip dalam mengambil keputusan dalam pengelolaan
sumber daya lokal dan membangun kembali kearifan lokal serta nilai
kemandirian masyarakat. Pelaksanaan SLI di Kabupaten Blora diharapkan
petani dapat memutuskan mengadopsi komponen-komponen meliputi
peningkatkan pengetahuan petani tentang iklim, penetapan pola tanam,
pengenalan dan cara penggunaan agen hayati, serta pengelolaan dan
commit to user
petani dalam menerapkan setiap komponen dalam SLI berbeda-beda
sebagaimana proses keputusan adopsi menurut Rogers dan Shoemaker (1971)
dalam Hanafi (1981), bahwa proses keputusan menerapkan suatu inovasi meliputi pengenalan, persuasi, keputusan, dan konfirmasi. Seseorang yang
telah memutuskan untuk menerima inovasi (pada tahap keputusan) ada
kemungkinan untuk meneruskan atau menghentikan penggunaannya.
Diskontuinasi (tidak meneruskan penggunaan inovasi) itu terjadi mungkin
karena seseorang menemukan ide lain yang lebih baru atau bisa jadi karena
kecewa terhadap hasil inovasi. Mungkin pula pada tahap keputusan seseorang
menolak inovasi tetapi beberapa waktu kemudian mengadopsi karena
pandangannya terhadap inovasi telah berubah. Seseorang biasanya mencari
informasi lebih lanjut pada tahap konfirmasi, karena ia ingin mencari penguat
bagi keputusannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian yang lebih
mendalam mengenai hubungan karakteristik petani dengan tingkat adopsi SLI
di Kabupaten Blora.
B. Perumusan Masalah
Sekolah Lapang Iklim (SLI) di Kabupaten Blora meliputi
komponen-komponen peningkatkan pengetahuan petani tentang iklim, menetapkan pola
tanam, pengenalan dan cara penggunaan agen hayati, serta pengelolaan dan
pengembangan tanaman. Sebagai suatu kegiatan pelatihan, maka melalui SLI
diharapakan petani peserta mau menerapkan adopsi karena adopsi dalam
proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses
perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan (psychomotor) pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan oleh penyuluh. Penerimaan disini
mengandung arti tidak sekedar tahu, tetapi sampai benar-benar melaksanakan
ataupun menerapkan dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan
penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung oleh
orang lain, sebagai cerminan adanya perubahan sikap, pengetahuan dan
keterampilan (Mardikanto, 2007). Melalui pelaksanaan SLI petani mampu
commit to user
mewujudkan ketahanan pangan, meningkatkan kebutuhan pangan dan
meningkatkan pendapatan petani.
Menurut Rogers dalam Mardikanto (1996), penerimaan suatu inovasi pada kenyataannnya tidak sama bagi setiap petani, ada petani yang cepat
menerima dan ada yang lambat. Untuk mengadopsi suatu inovasi
memerlukan jangka waktu tertentu serta hal ini dipengaruhi oleh banyak
faktor yang mempengaruhinya, dilihat dari karakteristik sasaran seperti luas
usahatani, tingkat pendapatan, keberanian mengambil resiko, umur, tingkat
partisipasinya dalam kelompok/organisasi di luar lingkungannya sendiri,
aktivitas mencari ide-ide baru dan sumber informasi yang dimanfaatkan.
Penerapan komponen SLI dipengaruhi oleh karakteristik petani,
sehingga pemahaman mengenai karakteristik petani dengan tingkat hubungan
antara adopsi SLI memberikan manfaat antara lain bisa dilaksanakan suatu
program untuk meningkatkan adopsi petani terhadap SLI dengan
memperhatikan faktor karakteristik tersebut. Adapun pemahaman mengenai
tingkat adopsi petani terhadap komponen SLI akan memberikan gambaran
mengenai bagaimana pemahaman penerapan komponen SLI oleh petani di
lahan masing-masing. Dari informasi ini akan dimanfaatkan sebagai sarana
evaluasi bagaimana penerapan inovasi dalam Sekolah Lapang Iklim (SLI) di
Blora Kabupaten Blora yang meliputi peningkatkan pengetahuan petani
tentang iklim, penetapan pola tanam, pengenalan dan cara penggunaan agen
hayati, serta pengelolaan dan pengembangan tanaman. Berdasarkan uraian
tersebut, muncul permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah karakteristik petani peserta SLI di Kabupaten Blora?
2. Bagaimana tingkat adopsi petani SLI dalam komponen-komponen SLI di
Kabupaten Blora?
3. Bagaimana hubungan antara karakteristik petani dengan tingkat adopsi
commit to user
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah disampaikan, maka tujuan
dari penelitian yang ingin dicapai adalah:
1. Mengkaji karakteristik petani yang mempengaruhi tingkat adopsi SLI di
Kabupaten Blora.
2. Mengkaji tingkat adopsi SLI dalam komponen-komponen SLI di
Kabupaten Blora.
3. Mengkaji hubungan antara karakteristik petani dengan tingkat adopsi
petani SLI dalam komponen-komponen SLI di Kabupaten Blora.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan bagian dari proses belajar yang
harus ditempuh untuk mendapatkan banyak pengetahuan mengenai
hubungan karakteristik petani dengan tingkat adopsi dalam Sekolah lapang
iklim (SLI) dan syarat untuk memperoleh gelar sarjana pertanian di
Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bagi pemerintah dan instansi terkait, diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam menentukan kebijakan selanjutnya, khususnya dalam
pengembangan pertanian.
3. Bagi peneliti lain, dapat dijadikan bahan informasi dan pertimbangan
untuk penelitian selanjutnya.
4. Bagi petani, dapat memberikan pengetahuan sejauhmana hubungan
karakteristik petani dengan tingkat adopsi petani Sekolah Lapang Iklim
commit to user
6
II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Pembangunan Pertanian
Paradigma pembangunan pertanian yang baru adalah sebuah
paradigma yang melihat bahwa pembangunan suatu negara mencerminkan
kesejahteraan dari mayoritas penduduk. Pertanian baru harus bertujuan
untuk lebih secara mandiri dan berkelanjutan menjamin keamanan pangan
baik secara nasional, maupun masing-masing keluarga dari penduduk
suatu negara yang bersangkutan (Soetrisno, 1998).
Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari
pembangunan ekonomi dan pembangunan masyarakat secara umum.
Pembangunan pertanian merupakan produk masyarakat dan memberikan
sumbangan kepadanya serta menjamin bahwa pembangunan menyeluruh
itu (overall development) akan benar-benar bersifat umum, dan mencakup penduduk yang hidup dari bertani, yang jumlahnya besar dan untuk
tahun-tahun mendatang ini di berbagai negara akan terus hidup dari bertani.
Supaya pembangunan pertanian itu terlaksana, pengetahuan dan
ketrampilan petani haruslah terus ditingkatkan dan berubah. Karena petani
terus menerus menerima metoda baru, cara berpikir mereka pun berubah.
Mereka mengembangkan sikap baru yang berbeda terhadap pertanian,
terhadap alam sekitar, dan terhadap diri mereka sendiri (Mosher, 1991).
Pembangunan pertanian juga memiliki makna perubahan dalam
teknik produksi pertanian dan sistem usahatani menuju ke situasi yang
diinginkan, biasanya situasi yang memungkinkan petani dapat
memanfaatkan hasil-hasil penelitian pertanian dan berkurangnya pertanian
pokok dan lebih berorientasi pasar. Tujuan utama kebijakan pembangunan
pertanian di kebanyakan negara adalah meningkatkan produksi pangan
dalam jumlah yang sama dengan permintaan akan bahan pangan yang
semakin meningkat, dengan harga yang bersaing di pasar dunia melalui
commit to user
Pembangunan sektor pertanian di masa datang dihadapkan pada dua
tantangan pokok yaitu tantangan internal yang berasal dari domestik,
dimana pembangunan pertanian tidak saja dituntut untuk mengatasi
masalah-masalah yang sudah ada, namun dihadapkan pula pada tuntutan
demokratisasi yang terjadi di Indonesia, sedangkan tantangan kedua adalah
tantangan eksternal, dimana pembangunan sektor pertanian diharapkan
mampu untuk mengatasi era globalisasi dunia. Kedua tantangan tersebut
sulit dihindari karena merupakan kesepakatan nasional yang telah
dirumuskan sebagai arah kebijakan pembangunan nasional di Indonesia
(Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, 2005).
Menurut Mardikanto (2009), salah satu tolak ukur keberhasilan
pembangunan pertanian adalah tercapainya peningkatan pendapatan
masyarakat (petani) yang hidup dipedesaan. Dengan adanya kenaikan
pendapatan itu, jumlah dan ragam serta mutu konsumsi masyarakat terus
bertambah, baik konsumsi bahan pokok (khususnya pangan) maupun
konsumsi terhadap barang-banrang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor
non pertanian. Tetapi kenyataannya juga menunjukkan bahwa,
keberhasilan pembangunan pertanian tidak selalu dapat menciptakan
perluasan lapangan kerja dan kesempatan kerja, terutama bagi angkatan
kerja baru di pedesaan. Oleh sebab itu, keberhasilan pembangunan
pertanian tidak cukup dijadikan andalan bagi pertumbuhan ekonomi
nasional. Berkaitan dengan itu, diperlukan pertumbuhan sektor-sektor lain
yang memerlukan dukungan dari sektor pertanian, terutama menyangkut
kebutuhan modal (untuk investasi maupun modal kerja), kebutuhan tenaga
kerja (yang murah), serta tersedianya bahan mentah dan bahan baku yang
dihasilkan oleh sektor pertanian.
2. Ketahanan Pangan
Pangan merupakan komoditi yang penting dan strategis, karena
pangan adalah kebutuhan pokok manusia yang hakiki, yang setiap saat
haru dapat dipenuhi. Oleh karenanya kebutuhan pangan perlu diupayakan
commit to user
dikonsumsi, dan tersedia dimana-mana dengan harga yang terjangkau oleh
seluruh lapisan masyarakat (Husodo, 2004).
Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik
dalam jumlah maupun mutunya aman, merata, dan terjangkau, dengan
pengertian tersebut, terwujudnya ketahanan pangan dapat diartikan lebih
lanjut sebagai berikut:
a. Terpenuhinya pangan yang cukup, bukan hanya beras tetapi mencakup
pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi
kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral yang
bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia.
b. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari
cemaran biologis, kimia dan benda/zat lain yang dapat mengganggu,
merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman dari
kaidah agama.
c. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, dapat diartikan
pangan harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air.
d. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang terjangkau, diartikan pangan
mudah diperoleh setiap rumah tangga dengan harga yang terjangkau
(Suryana, 2003).
Konsep ketahan pangan mengandung tiga dimensi yang saling
berkait yaitu: ketersediaan pangan, aksesibilitas terhadap pangan dan
stabilitas harga pangan. Sesuatu yang diyakini para ahli apabila salah satu
dimensi tersebut belum terpenuhi, suatu Negara belum bisa dikatakan
mempunyai ketahanan pangan yang baik (Arifin, 2007).
Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI
No.7 Tahun 1996, yang mengadopsi definisi FAO , ada 4 komponen yang
harus dipenuhi untuk mencapai kondisi katahan pangan yaitu: kecukupan
ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan
pangan tanpa fluktuasi dari tahun ke tahun, aksesibilitas/keterjangkauan
commit to user
Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan
pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan mengakses (termasuk
membeli) pangan, keamanan pangan (terkait keterjaminan kualitas) dan
tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun. Hal ini,
petani mempunyai kedudukan strategis dalam ketahanan pangan. Petani
adalah produsen pangan sekaligus kelompok konsumen terbesar yang
sebagian masih miskin dan berdaya beli rendah. Petani harus memiliki
kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga pendapatan yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka (Krisnamurthi, 2005).
Rahman Sutanto dalam Francis Wahono (2008) mengemukakan bahwa ketahanan pangan dari sudut pandang petani Indonesia, khususnya
Jawa bukan hanya kegagalan dalam retribusi tanah yang luas kepada
pemilik tanah yang kecil, tetapi juga tentang kurangnya tanah yang subur,
sistem irigasi, kerja yang layak di sektor pertanian dan di luar sektor
pertanian baik untuk laki-laki ataupun perempuan, kebutuhan-kebutuhan
dasar untuk keluarga, kelestarian lingkungan, pemilihan bibit atau benih,
memilih dan menggunakan pupuk buatan, insektisida, pestisida, herbisida,
kredit dan teknologis.
Upaya mewujudkan pengamanan produksi tanaman pangan dan
peningkatan daya saing produk tanaman, perlindungan tanaman pangan
merupakan bagian penting yang berperan dalam menjaga kuantitas,
kualitas, dan kontinyuitas hasil yang berkaitan erat dengan penanganan
gangguan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) dan DPI (Dampak
Perubahan Iklim) yang merupakan dua aspek kegiatan utama. Oleh karena
itu, perlindungan tanaman pangan menjadi salah satu kunci keberhasilan
dalam peningkatan produktivitas dan produksi tanaman pangan baik di
tingkat on farm maupun off farm. Kebijakan, strategi, program dan kegiatan serta langkah-langkah operasional yang telah ditetapkan
diharapkan dapat mendukung upaya pengamanan produksi tanaman
pangan tahun 2010 salah satunya dengan pelaksanaan Sekolah Lapang
commit to user 3. Adopsi Inovasi
a) Pengertian Inovasi
Inovasi adalah gagasan, tindakan atau teknologi, termasuk
barang yang dianggap baru oleh seseorang. Tidak menjadi
permasalahan, sejauh dihubungkan dengan tingkah laku manusia,
apakah ide itu betul-betul baru atau jika diukur dengan selang waktu
sejak digunakannya atau ditemukannya pertama kali. Jadi suatu ide
dianggap baru oleh seseorang maka ide itu adalah inovasi bagi orang
tersebut (Levis, 1996).
Rogers dan Shoemaker (1971), dalam Mardikanto (1992), mengartikan bahwa inovasi sebagai praktek, ide atau obyek yang
dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh seseorang (individu).
Sedangkan Lionberger dan Gwin (1982) dalam Mardikanto (1992), mengartikan inovasi tidak sekedar sebagai sesuatu yang baru yang
dirasakan oleh seseorang atau individu saja, tetapi lebih luas daripada
itu, yakni sesuatu yang dinilai baru oleh sekelompok masyarakat atau
sesuatu yang baru menurut lokalitas tertentu.
Menurut Hanafi (1987), kebaruan suatu inovasi itu diukur secara
subyektif, menurut pandangan individu yang menangkapnya. Jika
suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi (bagi
orang itu). “Baru” dalam ide yang inovatif tidak berarti harus baru
sama sekali, suatu inovasi mungkin telah lama diketahui oleh
seseorang beberapa waktu yang lalu (yaitu ketika ia “mengenal” ide
tersebut) tetapi ia belum mengembangkan sikap suka terhadapnya,
apakah seseorang tersebut akan menerima atau menolaknya.
b) Pengertian Adopsi
Adopsi adalah proses sejak pertama kali seseorang mendengar
hal yang baru sampai orang tersebut mengadopsi hal baru tersebut.
Inovasi dapat berupa sesuatu yang benar-benar baru atau sudah lama
tetapi masih dianggap baru oleh petani. Keputusan menerima inovasi
commit to user
mengetahui suatu inovasi sampai menerima atau menolaknya dan
kemudian mengukuhkannya (Ibrahim et al, 2003).
Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Hanafi (1981) mengemukakan bahwa adopsi adalah keputusan untuk menggunakan
sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak paling baik. Lebih lanjut
adopsi didefinisikan dalam proses penyuluhan (pertanian) sebagai
proses penerimaan inovasi dan atau perubahan perilaku baik yang
berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psycho-motoric) pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan oleh penyuluh kepada masyarakat sasarannya.
Penerimaan inovasi disini mengandung arti tidak sekadar "tahu",
tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerapkannya
dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan
usahataninya (Mardikanto, 2007).
c) Proses Adopsi
Proses adopsi inovasi merupakan proses mental yang terjadi
pada petani, pada saat menghadapi suatu inovasi yaitu proses
penerapan suatu ide baru sejak diketahui sampai proses penerapan.
Pada proses adopsi akan terjadi perubahan perilaku sasaran dan
dipengaruhi oleh banyak faktor serta selalu terkait antara satu dengan
yang lainnya (Junaidi, 2007).
Menurut Rogers dalam Mardikanto (1996) proses adopsi melalui tahapan-tahapan sebelum masyarakat mau menerima atau menerapkan
dengan keyakinannya sendiri. Tahapan-tahapan adopsi itu adalah:
1)Awareness atau kesadaran, yaitu sasaran mulai sadar tentang adanya inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh.
2)Interest, atau tumbuhnya minat yang seringkali ditandai oleh keinginannya untuk bertanya atau untuk mengetahui lebih banyak
atau lebih jauh tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan
commit to user
3)Evaluation atau penilaian terhadap baik atau buruk atau manfaat inovasi yang telah diketahui informasinya secara lebih lengkap.
Pada penilaian ini, masyarakat sasaran tidak hanya melakukan
penilaian terhadap aspek teknisnya saja, tetapi juga aspek ekonomi,
maupun aspek sosial budaya, bahkan juga seringkali ditinjau dari
aspek politis atau kesesuainnya dengan kebijakan pembangunan
nasional dan regional.
4)Trial atau mencoba dalam skala kecil untuk lebih menyakinkan laiannya, sebelum menerapkan untuk skala yang lebih luas lagi.
5)Adoption atau menerima atau menerapkan dengan penuh keyakinan berdasarkan penilaian dan uji coba yang telah dilakukan atau
diamatinya sendiri.
d) Faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi
Kecepatan adopsi dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu sifat
inovasinya sendiri, baik sifat intrinsik (yang melekat pada inovasinya
sendiri) maupun sifat ekstrinsik (menurut/dipengaruhi oleh keadaan
lingkungannya. Sifat-sifat intrinsik inovasi itu mencakup: informasi
ilmiah yang melekat/dilekatkan pada inovasinya, nilai-nilai atau
keunggulan-keunggulan (teknis, ekonomis, sosial, budaya, dan politis)
yang melekat pada inovasinya, tingkat kerumitan inovasi,
kekomunikatifan, triabilty, dan observability. Sifat-sifat ekstrinsik
inovasi meliputi: kesesuaian inovasi dengan lingkungan setempat (baik
lingkungan fisik, sosial budaya, politik dan kemampuan ekonomis
masyarakatnya), tingkat keunggulan relatif dari inovasi yang
ditawarkan (keunggulan teknis, ekonomis, maupun dampak sosial
budaya dan politis yang ditimbulkan) (Mardikanto, 1996).
Dilihat dari karakteristik sasaran, Rogers (1971) dalam Mardikanto (1996) mengemukakan hipotesisnya bahwa setiap kelompok
masyarakat terbagi menjadi lima kelompok individu berdasarkan
tingkat kecepatannya mengadopsi inovasi, yaitu:
commit to user
2. 13,5 persen kelompok pelopor (early adopter)
3. 34,0 persen kelompok penganut dini (early majority)
4. 13,5 persen kelompok penganut lambat (late majority)
5. 2,5 persen kelompok orang-orang kolot (laggard).
Menurut Lionberger dalam Mardikanto (1996), beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang untuk mengadopsi inovasi meliputi:
1. Luas usahatani, semakin luas biasanya semakin cepat mengadopsi,
karena memiliki kemampuan ekonomi yang baik.
2. Tingkat pendapatan, seperti halnya tingkat luas usahatani, petani
dengan tingkat pendapatan semakin tinggi biasanya akan semakin
cepat mengadopsi inovasi.
3. Keberanian mengambil resiko, sebab pada tahap awal biasanya tidak
selalu berhasil seperti yang diharapkan karena itu individu yang
memiliki keberanian mengambil resiko biasanya lebih inovatif.
4. Umur, semakin tua (diatas 50 tahun), biasanya semakin lamban
mengadopsi inovasi, dan cenderung hanya melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan masyarakat setempat.
5. Tingkat partisipasinya dalam kelompok/organisasi di luar
lingkungannya sendiri. Partisipasi petani didefinisikan sebagai
ekspresi yang berwujud perilaku petani dalam menampilkan dirinya
pada kegiatan atau segala sesuatu yang berkaitan dengan
kepentingannya. Sebagai perilaku tentunya partisipasi itu timbul
karena adanya persepsi terhadap kegiatan tersebut, tertanam pada
setiap petani melalui proses sosialisasi dalam interaksi social yang
terjadi di masyarakat tersebut. Warga masyarakat yang suka
bergabung dengan orang-orang di luar sistem sosialnya sendiri,
umumnya lebih inovatif dibanding mereka yang hanya melakukan
kontak pribadi dengan masyarakat setempat.
6. Aktivitas mencari informasi atau ide-ide baru
7. Sumber informasi yang dimanfaatkan dapat berupa lembaga
commit to user
media massa, tokoh masyarakat petani setempat maupun dari luar,
maupun lembaga-lembaga komersial.
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses adopsi inovasi
menurut Soekartawi (1986) adalah :
1) Macam dan proses adopsi inovasi, meliputi macam adopsi, sifat
adopsi inovasi, saluran komunikasi, ciri sistem sosial, dan kegiatan
promosi yang dilakukan oleh penyuluh.
2) Interaksi individual dan kelompok
3) Sumber informasi
4) Faktor intern dari adopter, meliputi umur, pendidikan, keberanian
mengambil resiko, pola hubungan, sikap terhadap perubahan,
motivasi berkarya, aspirasi, fatalisme, sistem kepercayaan dan
karakteristik psikologi.
Selain itu Dixon (1982) dalam Mardikanto (2006) mengemukakan beberapa sifat individu sangat berperan dalam mempengaruhi kecepatan
adopsi inovasi, berupa:
1. Prasangka interpersonal
2. Pandangan terhadap kondisi lingkungannya yang terbatas
3. Sikap terhadap penguasa
4. Sikap kekeluargaan
5. Fatalisme
6. Kelemahan aspirasi
7. Hanya berpikir untuk hari ini
8. Kosmopolitnes
9. Kemampuan berpikir kritis, dalam arti kemampuan untuk menilai
sesuatu keadaan (baik/buruk, pantas/tidak pantas dan lain-lain).
10.Tingkat kemajuan peradabannya
Lionberger dan Paul H.Gwin dalam Mardikanto (1989) mengemukakan bahwa manakala seseorang akan memutuskan untuk
menerima atau menolak sesuatu inovasi atau ingin melakukan sesuatu
Variabel-commit to user
variabel itu mencakup: karakteristik individu, keadaan yang melingkupi
individu yang bersangkutan (termasuk di dalamnya
kenyataan-kenyataan dan khayalannya), beberapa bantuan dari pihak luar, bantuan
dari berbagai pihak asing yang tersedia baginya, serta berbagai
sumbernya yang mereka butuhkan. Demikian pula mencakup
harapan-harapan yang dimiliki oleh teman sejawatnya, apa yang akan dilakukan
oleh para sahabatnya jika ia hendak melakukan suatu perubahan,
berbagai strategi pendidikanyang akan dilakukan, bagaimana mereka
dikuasai oleh pihak-pihak lain yang mencoba mempengaruhi
perilakunya dan nilai-nilai yang akan mereka lekatkan di atas
perubahan-perubahan sebagai ciri terjadinya perubahan tersebut. Status
sosial ekonomi seseorang merupakan faktor internal petani.
Karakteristik sosial ekonomi petani meliputi: umur, pendidikan dan
pendapatan keluarga (Hernanto, 1984). Sementara Hanafi (1987),
ciri–ciri sosial ekonomi anggota sistem yang lebih inovatif, antara lain
yaitu:
a. Lebih berpendidikan, termasuk lebih menguasai kemampuan baca
tulis.
b. Mempunyai status sosial ekonomi tinggi, status sosial ditandai
dengan pendapatan, tingkat kesehatan, kehidupan, prestise,
pekerjaan dan pengenalan diri.
c. Mempunyai tingkat mobilitas sosial ke atas yang lebih besar.
d. Mempunyai ladang yang lebih luas.
e. Lebih berorientasi pada ekonomi komersial, dimana produk-produk
yang dihasilkan ditujukan untuk dijual bukan semata-mata untuk
konsumsi sendiri. Karena itu mereka mengadopsi inovasi untuk lebih
meningkatkan produksi.
f. Memilii sikap yang lebih berkenan terhadap kredit
commit to user
Adopsi teknologi baru hanya dapat berkembang secara cepat
apabila masyarakat (petani) yang menerima memiliki dasar
pendidikan/pengetahuan dan keterampilan untuk menerapkannya.
(Mardikanto, 1994). Pendidikan meliputi mengajar dan mempelajari
pengetahuan, kelakuan yang pantas, dan kemampuan teknis. Semua itu
terpusat pada pengembangan ketrampilan, ketrampilan (kejuruan) atau
pekerjaan, maupun mental, moral dan estetika pertumbuhan(Schaefer
dan Robert, 1983). Menurut Madigan (1962) dalam Cruz (1987) petani yang mencapai pendidikan lebih tinggi mempunyai tingkat adopsi yang
lebih tinggi daripada mereka yang mencapai tingkat pendidikan yang
rendah. Seorang agen pembaharu dapat mendapatkan hasil yang terbaik
ketika berhadapan dengan orang yang tingkat pendidikannya lebih tinggi.
Menurut Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi (1981), dalam paradigma proses keputusan inovasi terdapat variabel antecedent terdiri
variabel penerima yang meliputi: sifat-sifat pribadi (sikap umum
terhadap perubahan), sifat-sifat sosial (Kekosmopolitan), kebutuhan
nyata terhadap inovasi dan sistem sosial ( norma-norma sistem, toleransi
terhadap penyimpangan, kesatuan komunikasi.
Kecepatan adopsi menurut Rogers (1995) adalah kecepatan relatif
pengadopsian inovasi oleh suatu sistem sosial yang diukur dari jumlah
individu yang mengadopsi pada periode waktu tertentu. Salah satu
variabel penjelas kecepatan adopsi suatu inovasi adalah sifat-sifat inovasi
itu sendiri. Tetapi selain sifat-sifat inovasi itu, hal-hal yang dapat
menjadi variabel penjelas kecapetan adopsi adalah tipe keputusan
inovasi, sifat saluran komunikasi yang digunakan untuk menyebarkan
inovasi dalam proses keputusan inovasi, ciri-ciri sistem sosial, dan
gencarnya usaha agen pembaharu dalam mempromosikan inovasi.
Kelima faktor tersebut dapat dijelaskan oleh Rogers dan
commit to user
Terdapat lima sifat inovasi yaitu keuntungan relatif,
kompabilitas, kompleksitas, triabilitas, dan observabilitas.
a) Keuntungan relatif adalah sejauhmana suatu inovasi dianggap lebih
baik daripada gagasan sebelumnya. Bisa diukur dengan tolok
ekonomi. Semakin besar keuntungan relatif suatu inovasi
diketahui, semakin cepat kemungkinan pengadopsiannya.
b)Kompatibilitas adalah sejauhmana suatu inovasi dipandang sejalan
dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman sebelumnya, dan
kebutuhan para calom pemakai.
c) Kompleksitas adalah sejauhmana suatu inovasi dipandang sulit
dipahami atau dipakainya.
d)Triabilitas adalah sejauhmana suatu inovasi dapat dicoba dalam
skala kecil.
e) Observabilitas adalah sejauhmana hasil suatu inovasi dapat diamati
oleh seseorang.
2) Tipe keputusan inovasi
Tipe keputusan inovasi mempengaruhi kecepatan adopsi. Ada
empat tipe keputusan inovasi, yaitu keputusan opsional, keputusan
kolektif, keputusan otoritas, dan keputusan kontingen. Inovasi yang
diputuskan secara otoritas akan diadopsi lebih cepat karena orang
yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan inovasi lebih
sedikit. Keputusan opsional biasanya lebih cepat daripada keputusan
kolektif, tetapi lebih lambat daripada keputusan otoritas. Sedangkan
yang paling lambat adalah keputusan kontingen karena harus
melibatkan dua urutan atau lebih keputusan inovasi.
3) Saluran komunikasi yang digunakan
Saluran komunikasi yaitu alat yang dipergunakan untuk
menyebarkan suatu inovasi dan kemungkinan memiliki pengaruh
terhadap kecepatan adopsi inovasi. Misalnya saluran komunikasi
commit to user
saluran komunikasi media massa, kecepatan adopsi akan lambat
karena penyebaran pengetahuan tidak berjalan cepat.
4) Ciri-ciri sistem sosial
Dalam suatu sistem sosial yang modern, tempo adopsi
mungkin lebih cepat karena kurang ada rintangan sikap diantara
penerima. Sedangkan dalam sistem sosial tradisional, mungkin tempo
adopsi akan lebih lambat.
5) Gencarnya usaha agen pembaharu dalam mempromosikan inovasi
Kecepatan adopsi juga dipengaruhi oleh gencarnya usaha agen
pembaharu. Hubungan antara kecepatan adopsi dengan usaha agen
pembaharu tidak langsung dan linear. Pada tahap-tahap tertentu, usaha
keras agen pembaharu mendatangkan hasil yang lebih besar.
4. Sekolah Lapang Iklim
Sekolah Lapang Iklim (SLI) adalah sekolah lapang yang
dilaksanakan di alam terbuka dengan memberdayakan petani agar mampu
membaca kondisi iklim serta kearifan lokal untuk melaksanakan budidaya
pertanian di Kabupaten Blora agar dapat meminimalisir penurunan
produksi pertanian akibat dampak fenomena iklim (banjir dan kekeringan).
SLI juga merupakan sekolah informal bagi para petani yang belajar
mengenai iklim secara mandiri melalui proses mengalami, berbagi
pendapat, menarik kesimpulan dan menentukan langkah aksi yang akan
melahirkan pengalaman baru yang ditularkan ke petani lain (Dinas
Pertanian Blora, 2009).
Sekolah Lapang Iklim (SLI) merupakan salah satu terobosan dalam
meminimalkan kehilangan hasil akibat terjadinya dampak fenomena iklim
agar petani mampu melakukan kegiatan budidaya pertanian sescara
spesifik lokal secara agribisnis. Pengaplikasian data/informasi iklim oleh
petani dapat ditingkaatkan untuk upaya mengantisipasi banjir dan
kekeringan serta sebagai bahan untuk penyusunan strategi tanam dan pola
commit to user
Pengembanan Sekolah Lapang Iklim (SLI) dengan pendekatan
pada pengelolaan kearifan lokal salah satunya adalah untuk membangun
pemahaman iklim dan perubahan nya dalam masyarakat, diharapkan
dapat: (a) meningkatkan kemampuan petani dalam mengidentifikasi
indikator anomali dan perubahan iklim, (b) mengembangkan sikap kritis
dalam mengambil keputusan dalam pengelolaan sumberdaya lokal, (c)
mengembangkan prinsip ilmu pengetahuan dalam pengelolaan
sumberdaya lokal, (d) membangun kembali kearifan lokal serta nilai
kemandirian masyarakat (Dinas Pertanian Blora, 2010).
Pelatihan Sekolah Lapang Iklim (SLI) menggunakan beberapa
metode yaitu: klasikal, kelompok kerja, dan praktek lapang. Di dalam
klasikal para peserta mendapatkan materi dari beberapa narasumber, antara
lain dari petugas penyuluh yang mendapatkan pelatihan Seolah Lapang
Iklim sebelumnya. Metode kelompok kerja mengelompokkan peserta
menjadi beberapa bagian, dan diberikan kajian serta diharapkan terjasinya
diskusi serta pembahasan dimana yang menjadi pengkaji adalah para
petani itu sendiri berdasarkan gejala alam dan keadaan yang dialami di
sekitar petani itu sendiri, yang tidak kalah penting adalah praktek lapang,
dimana petani mengamati perubahan yang ada di sekitar dengan
menggunakan beberapa parameter serta alat-alat bantu yang mungkin
tersedia di ruang lingkup petani sendiri (Dinas Pertanian Blora, 2009).
SLI meliputi komponen komponen:
a. Pengetahuan tentang iklim
Sebuah proses perubahan energi dan benda antara bumi dan
atmosfer dalam waktu lama disebut iklim. Iklim lebih dari rata-rata
sebuah statistik, iklim adalah sebuah kondisi dimana penambahan suhu,
kelembaban, dan gerakan udara (Howard J. Critchfield, 1979).
Iklim adalah sintesis atau kesimpulan dari perubahan nilai
unsur-unsur cuaca (hari demi hari dan bulan demi bulan) dalam jangka
panjang di suatu tempat atau pada suatu wilayah. Sintetis tersebut dapat
commit to user
minimum, frekuensi kejadian, atau peluang kejadian dan sebagainya.
Maka iklim sering dikatakan sebagai nilai statistik cuaca jangka
panjang di suatu tempatatau wilayah. (Handoko, 1995).
Iklim berkaitan dengan atmosfer dalam jangka waktu yang
panjang, iklim merupakan suatu konsep yang abstrak. Ini merupakan
suatu komposit dari keadaan cuaca hari ke hari dan elemen-elemen
atmosfer di dalam suatu kawasan tertentu dalam jangka waktu yang
panjang. Iklim lebih dari sekedar ”cuaca rata-rata”, karena tak ada
konsep iklim yang cukup memadai tanpa apresiasi atas perubahan
diurnal (harian) dan perubahan musiman serta suksesi episode cuaca
yang ditimbulkan oleh gangguan atmosfer yang bersifat ”mobil”
(Trewartha dan Horn, 1995).
Iklim mempengaruhi hasil panen, faktor di dalam iklim sangat
berpengaruh besar terhadap hasil panen. Dampak yang dihasilkan
masing-masing berbeda satu dan lainnya. Harian, musiman, ataupun
tiap waktu variasi beberapa atau semua bagian iklim sangat penting
untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman. Berdasarkan lingkungan
iklim elemen mikroklimat mempengaruhi bagian penting tumbuh
tanaman (Howard J. Critchfield, 1979).
b. Penetapan pola tanam
Penetapan pola tanam dengan menentukan awal musim tanam
berdasarkan:
1. Indikator pranoto mongso
Pranata mangsa (bahasa Jawa pranåtåmångså, berarti "ketentuan musim") adalah semacam penanggalan yang dikaitkan
dengan kegiatan usaha pertanian, khususnya untuk kepentingan
bercocok tanam atau penangkapan ikan. Pranata mangsa berbasis
peredaran matahari dan siklusnya (setahun) berumur 365 hari (atau
366 hari) serta memuat berbagai aspek fenologi dan gejala alam
lainnya yang dimanfaatkan sebagai pedoman dalam kegiatan usaha
commit to user
penyakit, serangan pengganggu tanaman, atau banjir) yang mungkin
timbul pada waktu-waktu tertentu (Wikipedia, 2011).
2. Indikator tanaman
Menggunakan cirri-ciri tanaman untuk menetapkan awal musim,
seperti: randu berbunga menandakan awal musim kemarau, randu
semi menandakan awal musim hujan dan sebagainya.
3. Indikator binatang
Aktifitas binatang untuk menetapkan awal musim, seperti: kodok
ngorek menandakan musim penghujan, burung branjangan terbang
sambil berkicau menandakan musim kemarau.
4. Indikator alam
Tanda-tanda dari alam untuk menetapkan awal musim, seperti:
adanya lintang luku dan mapak karang menunjukkan mangsa
labuhan, tahun baru londo dicirikan adanya hujan angin di bulan
Nopember menendakan mangsa rendengan (hujan).
(Effendy, 2009).
c. Pengenalan dan cara penggunaan agen hayati
Pengenalan faktor-faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup
suatu pertanaman. Pengenalan predator, musuh alami, hama, penyakit,
dan agen hayati. Pengelolaan tanaman dengan memperhatikan
unsur-unsur yang ada di sekitar lingkungan dengan tujuan terjadi
keseimbangan antara unsur biotik dan abiotik. Pengenalan agen hayati
metharizium dan cara penggunaannya di tingkat kelompok tani dan
petani (Dinas Pertanian Blora, 2009).
d. Pengelolaan dan pengembangan tanaman
Pengelolaan tanaman dengan memperhatikan beberapa
unsur-unsur yang ada dengan sekitar lingkungan:
1. Pengolahan tanah yang yang ideal, terkait dengan intensitas matahari
dan kandungan unsur hara yang ada di dalam tanaman. Beberapa
commit to user
2. Penggunaan benih tanaman yang bermutu, dengan harapan terjadi
peningkatan serta menghindari serangan hama dan penyakit yang
menyebabkan resistensi.
3. Penetapan jarak tanam terkait intensitas sinar matahari, kesuburan
tanah, ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit.
4. Penggunaan bahan-bahan organik yang bersifat ramah lingkungan.
(Dinas Pertanian Blora, 2009).
B. Kerangka Berpikir
Upaya untuk menjaga ketahanan pangan nasional dan juga upaya
meningkatkan kesejahteraan petani antara lain dapat dicapai melalui beberapa
cara. Salah satu usahanya dengan pelaksanaan Sekolah Lapang Iklim (SLI)
yang merupakan salah satu terobosan dalam meminimalkan kehilangan hasil
akibat terjadinya dampak fenomena iklim dengan membudidayakan petani
agar mampu melakukan kegiatan budidaya pertanian sescara spesifik lokal
secara agribisnis. SLI memberikan pemahaman mengenai pengaplikasian
data/informasi iklim oleh petani dapat ditingkatkan untuk upaya
mengantisipasi banjir dan kekeringan serta sebagai bahan untuk penyusunan
strategi tanam dan pola tanam.
SLI bertujuan untuk mencapai komponen-komponen di dalamnya
meliputi:pengetahuan tentang iklim, penetapan pola tanam, pengenalan dan
cara penggunaan agen hayati serta pengelolaan dan pengembangan tanaman.
Tingkat adopsi pada setiap petani berbeda satu sama lain, hal ini karena
adanya karakteristik petani yang mempengaruhi tingkat adopsi petani dalam
SLI, yaitu pendidikan formal, tingkat pendapatan, luas usahani, keberanian
mengambil resiko, tingkat partisipasi dalam kelompok tani, kekosmopolitan,
dan sumber informasi yang dimanfaatkan.
Berdasarkan uraian di atas, kerangka berpikir yang dapat dibangun
commit to user Keterangan : : Diteliti
: Tidak diteliti
Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir Hubungan Karakteristik Petani dengan Tingkat Adopsi Petani dalam Sekolah Lapang Iklim (SLI) di Kabupaten Blora.
Adopsi Komponen dalam SLI (variabel Y):
1) Pengetahuan tentang iklim 2) Penetapan pola tanam 3) Pengenalan dan cara
penggunaan agen hayati 4) Pengelolaan dan
pengembangan tanaman Karakteristik petani:
a. Pendidikan formal (X1) b. Tingkat pendapatan (X2) c. Luas usahatani(X3) d. Keberanian mengambil
resiko (X4)
e. Tingkat partisipasi dalam kelompok tani (X5) f. Kekosmopolitan (X6) g. Sumber informasi yang
dimanfaatkan (X7)
Sistem retribusi tanah
Ketahanan Pangan Ketersediaan pangan
Faktor iklim
Antisipasi perubahan iklim dengan cara:peningkatan produktivitas baik di tingkat on farm maupun off farm
Sekolah Lapang Iklim (SLI) Stabilitas harga pangan.
commit to user
C. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian, dan kerangka berpikir
yang telah diuraikan, maka peneliti menarik hipotesisnya sebagai berikut :
1. Diduga ada hubungan yang signifikan antara pendidikan formal dengan
tingkat adopsi petani dalam SLI.
2. Diduga ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendapatan dengan
tingkat adopsi petani dalam SLI.
3. Diduga ada hubungan yang signifikan antara luas kepemilikan lahan
dengan tingkat adopsi petani dalam SLI.
4. Diduga ada hubungan yang signifikan antara keberanian mengambil resiko
dengan tingkat adopsi petani dalam SLI.
5. Diduga ada hubungan yang signifikan antara tingkat partisipasi dalam
kelompok tani dengan tingkat adopsi petani dalam SLI.
6. Diduga ada hubungan yang signifikan antara kekosmopolitan dengan
tingkat adopsi petani dalam SLI.
7. Diduga ada hubungan yang signifikan antara sumber informasi yang
dimanfaatkan dengan tingkat adopsi petani dalam SLI.
D. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Karakteristik petani dengan tingkat adopsi petani dalam SLI, yaitu
pendidikan formal, tingkat pendapatan, luas usahatani, keberanian
mengambil resiko, tingkat partisipasi dalam kelompok tani,
kekosmopolitan, dan sumber informasi yang dimanfaatkan.
2. Kurun waktu penelitian dilakukan dari bulan Mei hingga bulan Juni 2011.
3. Data SLI yang digunakan yaitu data pelaksanaan SLI yang mulai
commit to user
E. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
1. Pendidikan formal
Pendidikan formal, adalah lamanya pendidikan (dalam tahun) yang
ditempuh oleh petani responden di bangku sekolah atau lembaga formal.
Pendidikan formal dikategorikan dalam 3 kategori yaitu:
· Tinggi (≥ 13 tahun)
· Sedang/Menengah (7-12 tahun)
· Rendah/Dasar (1-6 tahun)
2. Tingkat pendapatan, adalah pendapatan yang diperoleh petani baik melalui
kegiatan usahatani maupun non usahatani yang diperoleh petani dalam
satu musim tanam dan dinyatakan dalam Rupiah (Rp). Pendapatan
dikategorikan dalam 3 kategori yaitu:
· Tinggi (Rp 8.957.410,00- Rp 13.146312,00/rumah tangga/musim tanam)
· Sedang (Rp 4.768.505,00- Rp 8.957709,00/rumah tangga/musim tanam)
· Rendah (Rp 579.600,00-Rp 4.768.504,00/rumah tangga/musim tanam)
3. Luas usahatani, adalah luas lahan yang diusahakan petani responden baik
milik sendiri, menyewa, maupun menyakap yang dinyatakan dalam hektar
(Ha) dan dikategorikan dalam 3 kategori yaitu:
· Luas (0,74-1Ha)
· Sedang (0,46-0,73Ha)
· Sempit (0,18-0,45Ha)
4. Keberanian mengambil resiko, adalah keberanian petani responden
menghadapi resiko dalam mengadopsi inovasi dalam Sekolah Lapang
Iklim (SLI). Tingkat keberanian mengambil resiko diukur melalui 15
pernyataan yang menjadi indikator dengan tiga pilihan jawaban yang
memiliki skor 1 sampai dengan 3. Jumlah total skor masing-masing
responden dikategorikan dalam 3 kategori yaitu:
· Berani mengambil resiko (total skor 35-45)
· Kurang berani mengambil resiko (total skor 25-34,99)
commit to user
5. Tingkat partisipasi dalam kelompok tani adalah frekuensi petani responden
mengikuti kegiatan dalam kelompok tani. Tingkat partisipasi dalam
kelompok tani diukur melalui 3 pernyataan yang menjadi indikator dengan
tiga pilihan jawaban yang memiliki skor 1 sampai dengan 3. Jumlah total
skor masing-masing responden dikategorikan dalam 3 kategori yaitu:
· Tinggi ( total skor 7-9)
· Sedang (total skor 4,56-6,99)
· Rendah (total skor 3-4,55)
6. Kekosmopolitan adalah frekuensi hubungan petani dengan atau dari luar
sistem sosialnya sendiri, yang dilihat dari indikator-indikator frekuensi
bepergian ke luar desa dalam hubungannya dengan kegiatan pertanian
maupun non pertanian. Tingkat kekosmopolitan diukur melalui 6
pernyataan yang menjadi indikator dengan tiga pilihan jawaban yang
memiliki skor 1 sampai dengan 3. Jumlah total skor masing-masing
responden dikategorikan dalam 3 kategori yaitu:
· Kosmopolit (total skor 14-18)
· Cukup kosmopolit (total skor 10-13,99)
· Tidak kosmopolit (total skor 6-9,99)
7. Sumber informasi yang dimanfaatkan, adalah beragam sumber informasi
tentang SLI seperti: lembaga pendidikan, lembaga penelitian, dinas-dinas
terkait, media massa, tokoh-tokoh masyarakat maupun lembaga komersial
(misalnya pedagang). Pemanfaatan sumber informasi oleh responden
dikategorikan dalam 3 kategori yaitu:
· Beragam (memanfaatkan ≥5 sumber informasi)
· Cukup beragam (memanfaatkan 3-4 sumber informasi)
· Kurang beragam (memanfaatkan 1-2 sumber informasi)
8. Tingkat adopsi komponen dalam SLI merupakan tingkatan sejauhmana
petani responden menerapkan komponen kegiatan yang dilakukan dalam
SLI. Komponen-komponen SLI tersebut meliputi:
a) Pengetahuan tentang iklim, adalah tingkat pengetahuan petani
commit to user a. Pengetahuan tentang iklim
b. Pengetahuan tentang energi panas bumi
c. Pengetahuan tentang Suhu
d. Pengetahuan tentang Curah hujan
e. Pengetahuan tentang pengaruh tekanan terhadap pertunbuhan
tanaman
Tingkat pengetahuan petani responden diukur melalui 6 pernyataan
yang menjadi indikator dengan tiga pilihan jawaban yang memiliki
skor 1 sampai dengan 3. Jumlah total skor masing-masing responden
dikategorikan dalam 3 kategori kategori yaitu:
· Tahu ( total skor 14-18)
· Cukup Tahu ( total skor 10-13,99)
· Tidak Tahu ( total skor 6-9,99)
b) Penetapan pola tanam, tingkat penerapan pola tanam oleh petani
responden menggunakan informasi iklim untuk menetapkan pola
tanam, meliputi:
a. Menentukan awal musin tanam dengan indikator pranoto mongso
b. Menentukan awal musin tanam dengan indikator tanaman
c. Menentukan awal musin tanam dengan indikator binatang
d. Menentukan awal musin tanam dengan indikator alam
Penetapan pola tanam petani responden diukur melalui 4
pernyataan yang menjadi indikator dengan tiga pilihan jawaban yang
memiliki skor 1 sampai dengan 3. Jumlah total skor masing-masing
responden dikategorikan dalam 3 kategori kategori yaitu:
· Tinggi ( total skor 9,34-12)
· Sedang ( total skor 6,67-9,33)
· Rendah ( total skor 4-6,66)
c) Pengenalan dan cara penggunaan agen hayati, petani responden
mengenal dan menggunakan agen hayati yaitu metharizium.
pengenalandalam kelompok tani diukur melalui 3 pernyataan yang
commit to user
sampai dengan 3. Jumlah total skor masing-masing responden
dikategorikan dalam 3 kategori yaitu:
· Tinggi ( total skor 7-9)
· Sedang (total skor 4,56-6,99)
· Rendah (total skor 3-4,55)
d) Pengelolaan dan pengembangan tanaman, petani responden mengolah
tanah secara ideal, menggunakan benih yang bermutu, menetapkan
jarak tanam dan pestisida organik. Pengelolaan dan pengembangan
tanaman, petani responden diukur melalui 9 pernyataan yang menjadi
indikator dengan tiga pilihan jawaban yang memiliki skor 1 sampai
dengan 3. Jumlah total skor masing-masing responden dikategorikan
dalam 3 kategori kategori yaitu:
· Pengelolaan tepat/tinggi ( total skor 21-27)
· Pengelolaan kurang tepat/sedang ( total skor 15-20,99)
commit to user
29
III. METODE PENELITIAN
A. Metode Dasar Penelitian
Metode dasar penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian deskriptif kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah penelitian
yang melibatkan lima komponen informasi ilmiah yaitu teori, hipotesis,
observasi, generalisasi empiris dan penerimaan atau penolakan hipotesis.
Mengandalkan adanya populasi dan teknik penarikan sampel. Kemudian
menggunakan kuisioner untuk mengumpulkan datanya. Selanjutya
mengemukakan variabel penelitian dalam analisis datanya dan yang terakir
berusaha menghasilkan kesimpulan secara umum, baik yang berlaku untuk
populasi dan atau sampel yang diteliti (Singgih, 2006 dalam Suyanto dan Sutinah, 2007).
Teknik penelitian yang digunakan adalah teknik survei, yaitu teknik
penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan
kuesioner sebagai alat pengumpulan data dengan maksud menjelaskan
hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesis
(Singarimbun dan Effendi, 2006).
B. Metode Penentuan Lokasi
Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive yaitu pemilihan lokasi penelitian melalui pilihan-pilihan berdasarkan kesesuaian
karakteristik yang dimiliki calon sampel/responden dengan kriteria tertentu
yang ditetapkan/dikehendaki oleh peneliti, sesuai tujuan penelitian
(Mardikanto, 2001).
Penentuan lokasi penelitian ini di Kabupaten Blora, dengan
pertimbangan bahwa Kabupaten Blora merupakan salah satu kabupaten yang
baru melaksanakan SLI mulai tahun 2009 dan tahun 2010, akan tetapi belum
diketahui sejauhmana tingkat adopsi petani peserta SLI. Oleh karena itu,
peneliti memandang perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan
commit to user
C. Metode Penentuan Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang
ciri-cirinya akan diduga (Singarimbun dan Effendi, 2006). Populasi dalam
penelitian ini adalah semua petani peserta SLI di Kabupaten Blora
meliputi semua petani peserta SLI di Desa Tempuran Kecamatan Blora,
semua petani peserta SLI di Desa Wado Kecamatan Kedungtuban, dan
semua petani peserta SLI di Desa Jati Kecamatan Jati.
Tabel 3.1 Populasi
No. Tahun pelaksanaan SLI Tempat pelaksanaan
Desa Kecamatan
1. 2009 Desa Tempuran Blora
Desa Wado Kedungtuban
2. 2010 Desa Jati Jati
Sumber: Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Blora Tahun 2010
2. Sampel
Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah proportional random sampling yaitu pengambilan responden dengan menetapkan jumlah tergantung besar kecilnya sub populasi atau
keompok yang akan diwakilinya (Mardikanto, 2001).
Pengambilan jumlah sampel petani responden secara proporsional
digunakan rumus sebagai berikut :
ni =
N nk
x n
Dimana
ni : jumlah petani sampel masing-masing kelompok tani
nk : jumlah petani dari masing-masing kelompok tani yang memenuhi
syarat sebagai responden
N : jumlah petani dari seluruh populasi
commit to user
Berdasarkan rumus yang digunakan maka jumlah sampel petani responden
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 3.2 Petani Sampel
No. Desa Populasi Sampel
1. Desa Tempuran 25 15
2. Desa Wado 25 15
3. Desa Jati 25 15
Jumlah 75 45
Sumber: Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Blora Tahun 2010
Berdasarkan Tabel 3.2 dimana kseluruhan populasi berjumlah 75
petani responden, kemudian dari tiap sub populasi diperoleh
masing-masing 15 responden sehingga jumlah sampel sebanyak 45 petani
responden.
D. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dengan teknik
wawancara dengan menggunakan kuisioner.
2. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari instansi atau lembaga
yang berkaitan dengan penelitian, dengan cara mencatat langsung data
yang bersumber dari dokumentasi yang ada.
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data pokok dan
commit to user
Tabel 3.3 Jenis dan Sumber Data Yang Digunakan Dalam Penelitian
Data yang digunakan Sifat Data Sumber
Pr Sk Kn Kl
Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan
menggunakan teknik sebagai berikut :
1. Wawancara, yaitu pengumpulan data yang secara langsung melalui tanya
jawab dengan responden dengan menggunakan daftar pertanyaan yang
commit to user
2. Observasi langsung, yaitu dengan mengadakan pengamatan langsung
pada sasaran penelitian untuk mendapatkan data tertentu.
3. Dokumentasi, yaitu pengambilan data yang diperoleh melalui pencatatan.
F. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui distribusi antara karakteristik petani dengan tingkat
adopsi, meliputi pendidikan formal, luas usahatani, pendapatan,
keberanian mengambil resiko, kekosmopolitan, tingkat partisipasi
petani dalam kelompok, sumber-sumber informasi yang dimanfaatkan
dan tingkat adopsi petani SLI digunakan analisis melalui bentuk tabel
distribusi frekuensi.
2. Untuk mengetahui tingkat signifikansi hubungan antara karakteristik
petani dengan tingkat adopsi yang meliputi pendidikan formal, luas
lahan, pendapatan, keberanian mengambil resiko, kekosmopolitan,
tingkat partisipasi petani dalam kelompok, sumber-sumber informasi
yang dimanfaatkan dan tingkat adopsi petani SLI digunakan uji
korelasi jenjang Spearman (rank Spearman) dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Menurut Siegel (1994), rumus koefisien korelasi jenjang
sperman (rs) adalah :
r
s= 1 -
N N
di N
i
-å
= 3 1
2 6
Keterangan : rs = koefisien korelasi rank spearman
N = jumlah sampel petani
di = selisih ranking antara karakteristik petani dengan
commit to user
Untuk menguji tingkat signifikansi hubungan digunakan uji t karena
sampel yang diambil lebih dari 10 (N>10) dengan tingkat kepercayaan 95%
dengan rumus (Siegel, 1994) :
t= rs 2 ) ( 1
2 rs N
-Kesimpulan :
Kriteria pengambilan keputusan :
a)Apabila t hitung > t tabel (µ =0,05), maka Ho ditolak yang berarti ada
hubungan yang signifikan antara karakteristik petani dengan tingkat
adopsi petani dalam SLI di Kabupaten Blora.
b)Tetapi apabila t hitung ≤ t tabel (µ =0,05), maka Ho diterima yang berarti
tidak ada hubungan yang signifikan antara karakteristik petani dengan
commit to user
35
IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
A. Keadaan Geografis
Kabupaten Blora merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah.
Kabupaten Blora yang berslogan “Blora Mustika”, secara geografis terletak
antara 111016’ sampai dengan 1110338’ Bujur Timur di antara 60528’sampai
dengan 70248’ Lintang Selatan, jarak terjauh dari barat ke timur sepanjang 47
km dan utara ke selatan sejauh 58 km. Kabupaten Blora dengan luas
182.058,797 Ha terdiri atas lahan sawah sebesar 46.078,236 Ha (25,31 persen)
dan sisanya lahan bukan sawah sebesar 74,68 persen. Menurut luas
penggunaan lahan, lahan terbesar adalah hutan sebesar 49,66 persen, lahan
sawah sebesar 25,31 persen dan tegalan sebesar 14,41 persen. Secara
administratif Kabupaten Blora terletak di ujung paling timur Propinsi Jawa
Tengah bersama Kabupaten Rembang. Adapun secara rinci batas-batas
wilayahnya adalah sebagai berikut:
Sebelah utara : Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati, Propinsi Jawa
Tengah
Sebelah timur : Kabupataen Bojonegoro, Propinsi Jawa Timur
Sebelah selatan : Kabupaten Ngawi, Propinsi Jawa Timur
Sebelah barat : Kabupaten Grobogan, Propinsi Jawa Tengah
Kabupaten Blora terdiri dari 16 kecamatan, yaitu Jati, Randublatung,
Kradenan, Kedungtuban, Cepu, Sambong, Jiken, Bogorejo, Jepon, Blora,
Banjarejo, Tunjungan, Japah, Ngawen, Kunduran dan Todanan. Berdasarkan
Kantor Pertanahan, ketinggian tanah di Kabupaten Blora berada pada 25 mdpl
hingga 500 mdpl. Banyaknya hari dan curah hujan selama tahun 2009 relatif
sedikit dibanding dengan tahun sebelumnya. Selama tahun 2009, curah hujan
tertinggi di Kecamatan Kunduran sebanyak 2.087 mm, untuk hari hujan
terbanyak terdapat di Kecamatan Kedungtuban sebanyak 110 hari. Adapun