• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia

Pada Gambar 5.2 tampak bahwa sebaran data inflasi dan pengangguran yang diplotkan tidak membentuk suatu pola yang jelas seperti yang pernah diplotkan oleh A.W. Phillips untuk menganalisis hubungan inflasi dan pengangguran di Inggris untuk tahun 1861-1957 yang menunjukkan adanya korelasi negatif antara pengangguran dan inflasi. Gambar 5.2 menunjukkan bahwa antara inflasi dan pengangguran di Indonesia pada periode 1985-2008 tidak terdapat hubungan yang signifikan seperti juga yang ditunjukkan oleh hasil regresi pada Tabel 5.1.

Gambar 5.2. Sebaran Hubungan Inflasi dan Penganggguran di Indonesia 1985- 2008

Kritik terhadap teori kurva Phillips dimulai dengan tanggapan Milton Friedman pada tahun 1976 yang mengatakan bahwa teori dasar dari kurva Phillips ini hanya terjadi pada jangka pendek, tetapi tidak dalam jangka panjang, karena pada jangka pendek masih berlaku harga kaku (sticky price), sedangkan pada jangka panjang berlaku harga fleksibel. Dengan kata lain, tingkat pengangguran bagaimanapun juga akan kembali pada tingkat alamiahnya, sehingga hubungan yang terjadi antara inflasi dan pengangguran ini menjadi positif. Tanggapan ini juga dikenal dengan Natural Rate Hypothesis atau Accelerationist Hypothesis (Samuelson, 1985).

Penerapan teori kurva Phillips ini ternyata bisa berubah jika periode penelitiannya juga berubah. Hal ini juga tampak pada hasil penelitian Banthumnavin (2002) yang mengaplikasikan kurva Phillips di Thailand. Hasilnya

0 5 10 15 20 1 3 5 7 9 11

menunjukkan bahwa pada periode sebelum krisis 1997 hubungan inflasi dan pengangguran di Thailand adalah positif, namun setelah terjadi krisis 1997 ternyata hubungannya adalah negatif.

Dua (2006) juga menemukan fenomena yang menarik dalam menganalisis kurva Phillips di negara-negara Asia. Hubungan positif namun tidak signifikan antara inflasi dan pengangguran ditemukan di negara Philipina, China, India, dan Thailand. Hubungan positif ini terutama terjadi pada negara-negara dengan pertumbuhan populasi yang tinggi. Hal ini karena pertumbuhan populasi yang tinggi dapat mengakibatkan pertumbuhan yang tinggi pula terhadap angkatan kerja, sehingga jika lapangan kerja tidak mampu menyerap semua perubahan tersebut, pengangguran akan meningkat.

Hubungan inflasi dan pengangguran yang positif dalam kurva Phillips ini bisa saja menunjukkan bahwa fenomena inflasi lebih cenderung merupakan fenomena cost push inflation atau dorongan penawaran. Inflasi dari sisi penawaran terjadi apabila terdapat penurunan penawaran terhadap barang-barang dan jasa karena adanya kenaikan dalam biaya produksi yang diakibatkan oleh keinginan meningkatnya tingkat upah riil pekerja karena adanya ekspektasi inflasi dimasa depan akan meningkat. Peningkatan upah ini akan membuat produsen untuk menurunkan tingkat produksinya dibawah tingkat produksi optimal sehingga akan meningkatkan harga dan akan meningkatkan tingkat pengangguran. Namun, jika kita mengamati fenomena di Indonesia, kondisi upah di Indonesia cenderung sulit untuk meningkat, sehingga inflasi tidak berpengaruh signifikan pada kenaikan upah. Sulitnya upah untuk naik juga dapat disebabkan

oleh masih relatif lemahnya serikat buruh di Indonesia, sehingga negosiasi upah pekerja terhadap perusahaan juga masih relatif lemah.

Tingkat inflasi yang tidak berpengaruh terhadap tingkat pengangguran diduga juga dapat disebabkan oleh pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi dan adanya kekakuan harga dan upah. Jumlah lapangan kerja yang dibutuhkan lebih besar dari lapangan kerja yang tersedia setiap tahunnya. Hasil regresi model menunjukkan bahwa tingkat inflasi tidak berpengaruh, sedangkan jumlah angkatan kerja dan jumlah pengangguran tahun sebelumnya berpengaruh terhadap tingkat pengangguran.

Pada Tabel 5.1. ditemukan hubungan yang positif dan signifikan dari jumlah angkatan kerja. Hubungan ini disebabkan oleh pertambahan angkatan tidak terserap seluruhnya oleh lapangan kerja yang ada, sehingga sisa angkatan kerja baru yang tidak tertampung tersebut menjadi tambahan pengangguran yang baru. Jika lapangan kerja yang tersedia tidak mampu menyerap seluruh angkatan kerja, maka sebagian pengangguran tahun lalu akan kembali menjadi pengangguran tahun sekarang.

Uji kausalitas Granger ini menunjukkan bahwa parameter yang diperoleh tidak signifikan. Kesimpulan yang diperoleh adalah inflasi tidak berpengaruh terhadap tingkat pengangguran. Hal ini sesuai dengan gambaran tingkat pengangguran dan inflasi di Indonesia dimana ada kalanya pengangguran meningkat saat inflasi rendah seperti tahun 2001 ke tahun 2003 dan ada kalanya pengangguran turun saat inflasi turun seperti tahun 2005 ke tahun 2007.

Berdasarkan hasil Chow Breakpoint Test pada Tabel 5.7 dapat disimpulkan bahwa krisis ekonomi 1997-1998 tidak berpengaruh pada tingkat pengangguran. Tren tingkat pengangguran yang meningkat pada kedua periode diduga menyebabkan tidak ada perubahan parameter dari periode 1985-1996 ke periode 1997-2008 yang signifikan secara statistik. Perbedaan tingkat pengangguran pada kedua periode terlihat pada periode 1985-1996 tingkat pengangguran stabil di bawah 4 persen sedangkan pada periode 1997-2005 tingkat pengangguran berada di kisaran 8 persen dan terus meningkat hingga lebih dari 10 persen pada tahun 2005 dan tahun 2006, namun kembali turun menjadi 9 persen hingga 8 persen pada tahun 2007 dan 2008.

Sebuah hasil studi BPS dan UNDP (1999) dalam Irawan, et. al. (2000) menunjukkan bahwa selama periode 1997-1998 sektor pertanian menyerap banyak tenaga kerja dan menyangga tekanan tenaga kerja sebagai akibat kontraksi ekonomi yang menuju kepada rasionalisasi tenaga kerja di sektor non-pertanian. Hal tersebut memberikan dugaan bahwa pada tahun 1997 dan 1998 tingkat pengangguran tidak meningkat tajam karena adanya peranan sektor pertanian yang tumbuh pada saat krisis ekonomi dan mampu menyerap angkatan kerja.

Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Priyono (2002) yang menyatakan bahwa krisis ekonomi 1997 tidak berimplikasi pada tingkat pengangguran, namun berpengaruh terhadap turunnya pendapatan riil terutama bagi mereka yang berstatus sebagai karyawan, yang merupakan akibat tingginya inflasi. Tingkat pengangguran yang tidak meningkat secara drastis ini juga diduga sebagai akibat adanya sektor informal sebagai buffer perekonomian.

Adanya sektor informal juga berperan menyediakan lapangan pekerjaan bagi para pengangguran yang beralih dari sektor formal akibat krisis 1997-1998. Sehingga tingkat pengangguran tidak meningkat terlalu tajam, tapi juga tidak turun walaupun tingkat inflasi meningkat hingga mencapai lebih dari 50 persen pada tahun 1998. Hal ini juga menguatkan argumen bahwa tingginya inflasi tidak menyebabkan tingkat pengangguran turun, sehingga hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran seperti yang diungkapkan oleh A.W.Phillips (1958) tidak berlaku di Indonesia.

Hubungan inflasi dan pengangguran yang tidak signifikan serta krisis 1997-1998 yang tidak bepengaruh pada tingkat pengangguran ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, terutama mengenai struktul pasar tenaga kerja di Indonesia yang relatif khas. Rahman (2008) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pengangguran di Indonesia termasuk kategori disequilibrium persistent unemployment without self correcting mechanism, yaitu pengangguran yang bersifat persisten dan tidak dapat melakukan perbaikan sendiri ke arah keseimbangan atau cenderung meningkat setiap waktunya atau dengan kata lain tingkat pengangguran lebih tinggi daripada tingkat partisipasi kerja.

Persistensi pengangguran tersebut dapat disebabkan oleh:

a) Kekakuan upah nominal, yang dapat disebabkan oleh adanya kebijakan upah minimum dan sulitnya penyesuaian upah terhadap inflasi.

b) Kekakuan upah riil, yang dapat disebabkan olej kegagalan upah riil menyesuaikan dengan Marginal Productivity of Labour (MPL).

c) Sumber persistensi lain: waktu pencarian pekerja oleh perusahaan yang memenuhi kriteria tertentu, pergeseran sektoral, ketidaksempurnaan informasi lowongan kerja, mobilitas geografis, peran serikat pekerja, dan aturan pemerintah. Aturan pemerintah ini di antaranya mengenai adanya jamsostek, pesangon, upah skorsing, serta kebebasan tenaga kerja luar negeri untuk bekerja di Indonesia (Amarullah, 2008).

Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan salah satu bentuk anticipated inflation. Ketika target inflasi tahun depan diumumkan, adanya penetapan inflasi ini seharusnya dapat diantisipasi oleh para pengguna tenaga kerja dengan cara menaikkan upah nominal sehingga upah riil tetap. Namun pada kenyataannya adanya pengumuman tingkat inflasi dari ITF tidak serta merta diantisipasi oleh pelaku ekonomi di Indonesia. Namun, fenomena yang terjadi di Indonesia adalah sulitnya upah nominal untuk naik, sehingga adanya peningkatan inflasi mengakibatkan upah riil turun.

Sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2009, Pemerintah telah menetapkan sasaran-sasaran indikatif penurunan tingkat pengangguran menjadi 7 persen hingga 8 persen. Untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan, menempuh beberapa kebijakan yaitu: Pertama, menciptakan lapangan kerja formal seluasluasnya, mengingat lapangan kerja formal lebih produktif dan lebih memberikan perlindungan sosial kepada pekerja dibandingkan sektor informal. Kedua, mendorong perpindahan pekerja dari pekerjaan yang berproduktivitas rendah ke pekerjaan yang memiliki produktivitas tinggi dengan meningkatkan kualitas dan kompetensi pekerja. Ketiga, mendorong sektor informal melalui

fasilitas kredit UMKM sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan para pekerja informal.

Salah satu kebijakan operasional yang digunakan adalah adanya rencana Stimulus Fiskal 2009 senilai Rp. 73, 3 triliun. Muatan alokasi anggarannya adalah untuk proyek infrastruktur (belanja pemerintah) dan target terbukanya 2,4 juta lapangan kerja baru.

Hasil penelitian yang menunjukkan tidak adanya hubungan negatif antara pengangguran dan inflasi dapat memberikan pengertian bahwa kebijakan Inflation Targeting Framework dan RAPBN 2009 yang masing-masing untuk mencapai inflasi pengangguran yang rendah dalam jangka panjang dapat dilaksanakan secara bersamaan. Agar hasilnya efektif, tentunya diperlukan koordinasi yang baik antara pemerintah dan Bank Indonesia baik dalam hal pelaksaanaan maupun pengawasannya.

Dokumen terkait