ANALISIS HUBUNGAN INFLASI DAN PENGANGGURAN
DI INDONESIA PERIODE 1985-2008:
PENDEKATAN KURVA PHILIPS
Oleh: SRI MULYATI
H14050975
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
RINGKASAN
SRI MULYATI. Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia Periode 1985-2008: Pendekatan Kurva Phillips (dibimbing oleh TANTI NOVIANTI)
Teori kurva Phillips menunjukkan hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran. Penerapan teori kurva Phillips ini di Indonesia diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai hubungan inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia. Namun, adanya penerapan inflation targeting dengan tujuan mencapai tingkat inflasi yang rendah dalam jangka panjang ternyata dihadapkan pada kebijakan RAPBN 2009 yang salah satu tujuannya adalah mengurangi tingkat pengangguran.
Tingkat pengangguran Indonesia rata-rata sebelum krisis selama periode tahun 1985-1996 adalah 3,3 persen, kemudian selama pasca krisis periode tahun 1997-2008 tingkat pengangguran naik menjadi 8,09 persen. Dengan demikian, antara periode sebelum dan sesudah krisis 1997 telah terjadi perubahan rata-rata tingkat pengangguran lebih dari dua kali lipatnya. Rata-rata tingkat inflasi Indonesia sebelum krisis dari tahun 1985-1996 relatif rendah yaitu masih berkisar satu digit sebesar 7,9 persen per tahun. Namun, ketika terjadi krisis, tahun 1998 tingkat inflasi mencapai 58,3 persen dan setelah tahun 1998 tingkat inflasi mencapai dua digit sekitar 10 persen.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh inflasi terhadap pengangguran di Indonesia melalui pendekatan kurva Phillips mulai dari tahun 1985 hingga tahun 2008. Penelitian ini menggunakan metode regresi berganda Ordinary Least Square (OLS) dan Granger Causality Test. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat pengaruh krisis ekonomi 1997-1998 dengan menggunakan Chow Breakpoint Test.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa tingkat inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengangguran. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien inflasi yang positif dan tidak signifikan. Jumlah angkatan kerja signifikan berpengaruh terhadap tingkat pengangguran. Peningkatan angkatan kerja sebesar 1 persen menyebabkan tingkat pengangguran meningkat sebesar 7.79 persen dari jumlah pengangguran sebelumnya, asumsi ceteris paribus. Tingkat pengangguran tahun sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengangguran saat ini. Jika tingkat pengangguran tahun lalu meningkat sebesar 1 persen, maka tingkat pengangguran tahun sekarang bertambah 0.57 persen dari jumlah tahun sebelumnya, asumsi ceteris paribus.
pertanian dan sektor informal yang menyerap tenaga kerja saat krisis membuat tingkat pengangguran tidak meningkat tajam setajam peningkatan inflasi.
Pengangguran dan inflasi yang tidak memiliki hubungan kausalitas ini memberikan kesimpulan bahwa pelaksanaan inflation targeting tidak memberikan trade off pada RAPBN 2009. Selain itu, pemerintah perlu memperlambat laju pertumbuhan penduduk salah satunya dengan cara menggalakkan kembali program Keluarga Berencana (KB) karena hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan jumlah angkatan kerja berpengaruh terhadap naiknya tingkat pengangguran. Peningkatan sektor-sektor potensial seperti misalnya sektor pertanian dan peningkatan infrastruktur yang bersifat padat karya perlu dikembangkan karena mampu mengurangi jumlah pengangguran.
ANALISIS HUBUNGAN INFLASI DAN PENGANGGURAN
DI INDONESIA PERIODE 1985-2008:
PENDEKATAN KURVA PHILLIPS
Oleh: SRI MULYATI
H14050975
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Sri Mulyati
Nomor Registrasi Pokok : H14050975 Departemen/Mayor : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia Periode 1985-2008: Pendekatan Kurva Phillips
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Tanti Novianti, SP, M.Si. NIP. 19721117 199802 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 19641023 198903 2 002
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Sri Mulyati lahir pada tanggal 9 Januari 1988 di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan H. Nanda Suwanda, SE dan Hj. Rahayu Ningsih. Penulis memulai sekolah pendidikan di SDN Balonggandu 3 pada tahun 1993. Pendidikan formal kemudian dilanjutkan ke SMP Negeri 1 Jatisari dan SMA Negeri 1 Cikampek. Kemudian, penulis melanjutkan studi pada tahun 2005 di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Selama kuliah penulis memperoleh berbagai prestasi baik di bidang akademis maupun non akademis. Beberapa prestasi akademis yang pernah diraih adalah menjadi peringkat 3 Mahasiswa Berprestasi Departemen Ilmu Ekonomi tahun 2008, peringkat 1 Young Economist Icon Hipotex-R 2008, dan merupakan
Untuk seorang Ayah pekerja keras…
Untuk seorang Ibu penuh kasih sayang…
Menyertakan setiap ketulusan dan kebanggaan…
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul skripsi ini
adalah “Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia Periode
1985 – 2008 : Pendekatan Kurva Phillips”. Skripsi ini merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada:
1. Tanti Novianti, SP, MSi sebagai Dosen Pembimbing yang telah dengan sabar dan baik memberikan bimbingan baik secara materi maupun moril.
2. M.P. Hutagaol, Ph.D sebagai Dosen Penguji Utama, serta Jaenal Effendi, MA sebagai Dosen Penguji Komdik yang telah memberikan berbagai masukan dan saran dalam perbaikan skripsi ini.
3. H. Nanda Suwanda, SE dan Hj. Rahayu Ningsih sebagai orang tua serta seluruh keluarga penulis atas kesabaran, perhatian dan kasih sayang yang tak terhingga bagi penulis.
4. Kakak kelas dan semua staf Dept. Ilmu Ekonomi: teh Dian V., teh Heni, Teh Diyaniati, Teh Lea, A Dado, dan A Irwan, A Heri, Bu Astrid, Bu Tini, Mbak Ati, Mas Anto, Mas Dede, Mas Ryan, dan Mas Anwar.
5. Keluarga „kedua‟: Rizki Wijaya, Tia, Sahata, Erwin, Yuda, Ilham, Wahyu, Maria, Aji, Ema, Rini, Tami, Tanjung, Merlynda, Ristia, Rian, Niar, Salam dan semua sahabat IE 42, Hipotesa 2008 dan FEMous Theatre.
Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2009
DAFTAR ISI
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 8
2.1. Pengangguran ... 8
2.2. Inflasi ... 9
2.3. Kurva Phillips ... 12
2.4. Inflation Targeting Framework ... 14
2.5. Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ... 16
2.6. Penelitian Terdahulu ... 18
3.2.3. Uji Stabilitas Parameter ... 29
3.2.4. Uji Kausalitas Granger ... 30
IV. GAMBARAN UMUM PENGANGGURAN DAN INFLASI DI INDONESIA ... 32
4.1. Gambaran Pengangguran di Indonesia ... 32
ANALISIS HUBUNGAN INFLASI DAN PENGANGGURAN
DI INDONESIA PERIODE 1985-2008:
PENDEKATAN KURVA PHILIPS
Oleh: SRI MULYATI
H14050975
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
RINGKASAN
SRI MULYATI. Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia Periode 1985-2008: Pendekatan Kurva Phillips (dibimbing oleh TANTI NOVIANTI)
Teori kurva Phillips menunjukkan hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran. Penerapan teori kurva Phillips ini di Indonesia diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai hubungan inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia. Namun, adanya penerapan inflation targeting dengan tujuan mencapai tingkat inflasi yang rendah dalam jangka panjang ternyata dihadapkan pada kebijakan RAPBN 2009 yang salah satu tujuannya adalah mengurangi tingkat pengangguran.
Tingkat pengangguran Indonesia rata-rata sebelum krisis selama periode tahun 1985-1996 adalah 3,3 persen, kemudian selama pasca krisis periode tahun 1997-2008 tingkat pengangguran naik menjadi 8,09 persen. Dengan demikian, antara periode sebelum dan sesudah krisis 1997 telah terjadi perubahan rata-rata tingkat pengangguran lebih dari dua kali lipatnya. Rata-rata tingkat inflasi Indonesia sebelum krisis dari tahun 1985-1996 relatif rendah yaitu masih berkisar satu digit sebesar 7,9 persen per tahun. Namun, ketika terjadi krisis, tahun 1998 tingkat inflasi mencapai 58,3 persen dan setelah tahun 1998 tingkat inflasi mencapai dua digit sekitar 10 persen.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh inflasi terhadap pengangguran di Indonesia melalui pendekatan kurva Phillips mulai dari tahun 1985 hingga tahun 2008. Penelitian ini menggunakan metode regresi berganda Ordinary Least Square (OLS) dan Granger Causality Test. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat pengaruh krisis ekonomi 1997-1998 dengan menggunakan Chow Breakpoint Test.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa tingkat inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengangguran. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien inflasi yang positif dan tidak signifikan. Jumlah angkatan kerja signifikan berpengaruh terhadap tingkat pengangguran. Peningkatan angkatan kerja sebesar 1 persen menyebabkan tingkat pengangguran meningkat sebesar 7.79 persen dari jumlah pengangguran sebelumnya, asumsi ceteris paribus. Tingkat pengangguran tahun sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengangguran saat ini. Jika tingkat pengangguran tahun lalu meningkat sebesar 1 persen, maka tingkat pengangguran tahun sekarang bertambah 0.57 persen dari jumlah tahun sebelumnya, asumsi ceteris paribus.
pertanian dan sektor informal yang menyerap tenaga kerja saat krisis membuat tingkat pengangguran tidak meningkat tajam setajam peningkatan inflasi.
Pengangguran dan inflasi yang tidak memiliki hubungan kausalitas ini memberikan kesimpulan bahwa pelaksanaan inflation targeting tidak memberikan trade off pada RAPBN 2009. Selain itu, pemerintah perlu memperlambat laju pertumbuhan penduduk salah satunya dengan cara menggalakkan kembali program Keluarga Berencana (KB) karena hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan jumlah angkatan kerja berpengaruh terhadap naiknya tingkat pengangguran. Peningkatan sektor-sektor potensial seperti misalnya sektor pertanian dan peningkatan infrastruktur yang bersifat padat karya perlu dikembangkan karena mampu mengurangi jumlah pengangguran.
ANALISIS HUBUNGAN INFLASI DAN PENGANGGURAN
DI INDONESIA PERIODE 1985-2008:
PENDEKATAN KURVA PHILLIPS
Oleh: SRI MULYATI
H14050975
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Sri Mulyati
Nomor Registrasi Pokok : H14050975 Departemen/Mayor : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia Periode 1985-2008: Pendekatan Kurva Phillips
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Tanti Novianti, SP, M.Si. NIP. 19721117 199802 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 19641023 198903 2 002
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Sri Mulyati lahir pada tanggal 9 Januari 1988 di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan H. Nanda Suwanda, SE dan Hj. Rahayu Ningsih. Penulis memulai sekolah pendidikan di SDN Balonggandu 3 pada tahun 1993. Pendidikan formal kemudian dilanjutkan ke SMP Negeri 1 Jatisari dan SMA Negeri 1 Cikampek. Kemudian, penulis melanjutkan studi pada tahun 2005 di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Selama kuliah penulis memperoleh berbagai prestasi baik di bidang akademis maupun non akademis. Beberapa prestasi akademis yang pernah diraih adalah menjadi peringkat 3 Mahasiswa Berprestasi Departemen Ilmu Ekonomi tahun 2008, peringkat 1 Young Economist Icon Hipotex-R 2008, dan merupakan
Untuk seorang Ayah pekerja keras…
Untuk seorang Ibu penuh kasih sayang…
Menyertakan setiap ketulusan dan kebanggaan…
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul skripsi ini
adalah “Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia Periode
1985 – 2008 : Pendekatan Kurva Phillips”. Skripsi ini merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada:
1. Tanti Novianti, SP, MSi sebagai Dosen Pembimbing yang telah dengan sabar dan baik memberikan bimbingan baik secara materi maupun moril.
2. M.P. Hutagaol, Ph.D sebagai Dosen Penguji Utama, serta Jaenal Effendi, MA sebagai Dosen Penguji Komdik yang telah memberikan berbagai masukan dan saran dalam perbaikan skripsi ini.
3. H. Nanda Suwanda, SE dan Hj. Rahayu Ningsih sebagai orang tua serta seluruh keluarga penulis atas kesabaran, perhatian dan kasih sayang yang tak terhingga bagi penulis.
4. Kakak kelas dan semua staf Dept. Ilmu Ekonomi: teh Dian V., teh Heni, Teh Diyaniati, Teh Lea, A Dado, dan A Irwan, A Heri, Bu Astrid, Bu Tini, Mbak Ati, Mas Anto, Mas Dede, Mas Ryan, dan Mas Anwar.
5. Keluarga „kedua‟: Rizki Wijaya, Tia, Sahata, Erwin, Yuda, Ilham, Wahyu, Maria, Aji, Ema, Rini, Tami, Tanjung, Merlynda, Ristia, Rian, Niar, Salam dan semua sahabat IE 42, Hipotesa 2008 dan FEMous Theatre.
Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2009
DAFTAR ISI
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 8
2.1. Pengangguran ... 8
2.2. Inflasi ... 9
2.3. Kurva Phillips ... 12
2.4. Inflation Targeting Framework ... 14
2.5. Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ... 16
2.6. Penelitian Terdahulu ... 18
3.2.3. Uji Stabilitas Parameter ... 29
3.2.4. Uji Kausalitas Granger ... 30
IV. GAMBARAN UMUM PENGANGGURAN DAN INFLASI DI INDONESIA ... 32
4.1. Gambaran Pengangguran di Indonesia ... 32
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38
5.1.Uji Ekonometrika dengan OLS ... 38
5.1.1. Hasil Estimasi dan Pembahasan ... 36
5.1.2. Uji Asumsi OLS ... 39
5.1.3. Uji Stabilitas Parameter ... 43
5.1.4. Uji Kausalitas Granger (Granger Causality Test) ... 44
5.2. Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia ... 44
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 52
6.1. Kesimpulan ... 52
6.2. Saran ... 53
DAFTAR PUSTAKA ... 54
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
4.1. Pengangguran dan Rata-rata Pertumbuhan Periode Sebelum dan
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penggangguran merupakan masalah yang cukup fundamental dalam
perekonomian suatu negara, baik negara berkembang atau negara maju sekalipun.
Ketika krisis global yang melanda sejak awal 2008, negara adidaya seperti
Amerika Serikat menghadapi kesulitan dalam mengatasi pengangguran akibat
resesi ekonomi terutama dari sektor-sektor industri utama. Menurut data yang
diperoleh dari Bureau of Labor Statistics USA (2009), hingga Juli 2009
pengangguran di Amerika Serikat telah mencapai 14.5 juta jiwa dengan tingkat
pengangguran sebesar 9.4 persen dan diduga akan terus meningkat.
Pada saat terjadi depresi ekonomi Amerika Serikat tahun 1929, terjadi
inflasi yang tinggi dan diikuti dengan pengangguran yang tinggi pula.
Berdasarkan pada fakta itulah A.W. Phillips mengamati hubungan antara tingkat
inflasi dan tingkat pengangguran di Inggris. Dari hasil pengamatannya, ternyata
ada hubungan yang erat antara inflasi dengan tingkat pengangguran, dalam arti
jika inflasi tinggi, maka pengangguran akan rendah. Hasil pengamatan Phillips ini
dikenal dengan Kurva Phillips.
Penerapan teori kurva Phillips di Indonesia diharapkan dapat memberikan
penjelasan mengenai hubungan inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia.
Namun, adanya penerapan inflation targeting dengan tujuan mencapai tingkat
inflasi yang rendah dalam jangka panjang ternyata dihadapkan pada kebijakan
RAPBN 2009 yang salah satu tujuannya adalah mengurangi tingkat
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2009
memiliki tujuan salah satunya adalah meningkatkan penyerapan tenaga kerja atau
pengurangan tingkat pengangguran. Tingkat pengangguran Indonesia rata-rata
sebelum krisis selama periode tahun 1985-1996 adalah 3.32 persen, kemudian
selama pasca krisis periode tahun 1997-2008 tingkat pengangguran naik menjadi
8.09 persen (ILO, 2009). Dengan demikian, antara periode sebelum dan sesudah
krisis 1997 telah terjadi perubahan rata-rata tingkat pengangguran lebih dari dua
kali lipatnya.
Sumber: ILO, 2009 (diolah)
Gambar 1.1. Tingkat Pengangguran di Indonesia 1985-2008 (persen)
Sementara apabila dilihat dari jumlah pengangguran dan angkatan kerja,
jumlah pengangguran di Indonesia tahun 2008 mencapai 9.3 juta jiwa dari 112
juta jiwa angkatan kerja atau sekitar 8.3 persen dari total angkatan kerja. Selain
itu, angka pengangguran di Indonesia adalah terbesar di ASEAN, yakni
menyumbang 60 persen dari total pengangguran di ASEAN (Menkokesra, 2007) 0
2 4 6 8 10 12
Tingkat pengangguran yang cenderung meningkat sewajarnya perlu
mendapat perhatian yang lebih serius dari para pengambil kebijakan, karena
masalah pengangguran ini merupakan masalah fundamental yang cukup serius
bagi perekonomian baik dari segi makro maupun mikro. Terlebih lagi dengan
adanya krisis finansial global sejak awal 2008 yang dapat mengakibatkan
kenaikan jumlah pengangguran terutama di sektor industri manufaktur dan
perdagangan orientasi ekspor.
Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan sebuah kerangka
kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai
target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara
eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama
dari kebijakan moneter. Sesuai definisi di atas, sejak berlakunya UU No. 23/1999
Indonesia sebenarnya dapat dikategorikan sebagai "Inflation Targeting Lite
Countries".
Sumber: Depkeu, 2008
Pemerintah berkoordinasi dengan BI telah menetapkan dan
mengumumkan sasaran inflasi IHK untuk tahun 2006, 2007, dan 2008
masing-masing sebesar 8 persen, 6 persen, dan 5 persen dengan deviasi masing-masing-masing-masing
1 persen. Penetapan lintasan sasaran inflasi ini sejalan dengan keinginan untuk
mencapai sasaran inflasi jangka menengah panjang sebesar 3 persen agar
Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara Asia lainnya. Pemerintah dan
Bank Indonesia telah sepakat menetapkan sasaran inflasi 2008-2010 sebesar 5
persen untuk 2008; 4.5 persen (2009); dan 4 persen (2010) dengan deviasi 1
persen. Target inflasi 2008 yakni 5 persen dengan deviasi 1 persen tersebut sesuai
dengan target APBN 2008 yakni 6 persen.
Gambar 1.1. menunjukkan bahwa sejak awal ditetapkannya Inflation
Targeting Framework pada tahun 2005 sebesar 6 persen dengan deviasi 1
persen, inflation targeting baru dapat berjalan secara efektif pada kuartal IV
tahun 2006, yaitu sebesar 5.5 persen dengan deviasi 1 persen. Hal ini dibuktikan
bahwa pada bulan Oktober 2006 tingkat inflasi mencapai 6.29 persen dan
November 2006 mencapai 5.27 persen.
Dalam teori kurva Phillips, inflasi yang rendah ternyata berkontribusi
terhadap tingkat pengangguran yang tinggi, dan sebaliknya. Berdasarkan
pemaparan di atas, penelitian ini bermaksud untuk menganalisis hubungan antara
inflasi dengan tingkat pengangguran sesuai dengan pendekatan Kurva Phillips
serta bagaimana pengaruh krisis ekonomi 1997 terhadap tingkat pengangguran di
1.2. Perumusan Masalah
Penerapan teori kurva Phillips di Indonesia diharapkan dapat memberikan
penjelasan mengenai hubungan inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia.
Hal ini diperlukan karena adanya hubungan yang terjadi antara inflasi dan
pengangguran dapat berimplikasi terhadap kebijakan yang dapat dijalankan baik
oleh otoritas fiskal maupun moneter. Penerapan inflation targeting dengan tujuan
pencapaian tingkat inflasi yang rendah dalam jangka panjang ternyata dihadapkan
pada kebijakan RAPBN 2009 yang salah satu tujuannya adalah mengurangi
tingkat pengangguran. Jika hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran
yang dinyatakan dalam kurva Phillips memang terjadi, adanya hubungan negative
tersebut dapat menjadikan kedua kebijakan di atas tidak efektif, sehingga dampak
kebijakan yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Bhanthumnavin (2002) ternyata
menunjukkan bahwa hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran di
Thailand baru berlaku setelah terjadi krisis ekonomi 1997-1998. Kondisi
perekonomian Indonesia yang tidak jauh berbeda dengan Thailand pada masa
krisis ekonomi tersebut membuat kita perlu untuk meninjau ulang pemberlakuan
teori kurva Phillips di Indonesia. Dari Gambar 1.3. tampak bahwa ada kalanya
kenaikan inflasi tidak mengakibatkan penurunan tingkat pengangguran. Fluktuasi
Sumber: ILO (2009) dan IFS (2009), diolah
Gambar 1.3. Inflasi dan Tingkat Pengangguran di Indonesia (persen)
Dari pemaparan sebelumnya, maka dirumuskanlah beberapa permasalahan
yang akan diteliti, yaitu:
1) Apakah teori kurva Phillips memang berlaku di Indonesia dan bagaimana
pengaruh inflasi terhadap pengangguran di Indonesia?
2) Bagaimana pengaruh krisis ekonomi 1997-1998 terhadap tingkat
pengangguran di Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
Dari rumusan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1) Menganalisis apakah teori kurva Phillips memang berlaku di Indonesia
dan bagaimana pengaruh inflasi terhadap pengangguran di Indonesia.
2) Menganalisis bagaimana pengaruh krisis ekonomi 1997-1998 terhadap
tingkat pengangguran di Indonesia 0
10 20 30 40 50 60
1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
inflasi
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini yaitu menambah pengetahuan
mengenai teori kurva Phillips lebih dalam, terutama penerapannya terhadap
Indonesia, serta pengaruh inflasi terhadap tingkat pengangguran di Indonesia.
Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah kajian ilmiah mengenai teori
kurva Phillips khususnya dan kajian teoritis lainnya. Selanjutnya, interpretasi dari
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pandangan tambahan mengenai
kebijakan makroekonomi Indonesia, terutama dalam menganalisis hubungan
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Bab ini akan mencoba memberikan uraian teori-teori yang berhubungan
dengan studi secara umum yang dapat memberikan pemahaman tentang
hubungan pengangguran dan inflasi di Indonesia. Selain itu, ditambahkan juga
beberapa kajian terdahulu, kerangka pemikiran konseptual serta hipotesis yang
berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini.
2.1. Pengangguran
Penduduk usia kerja adalah penduduk berusia di atas 15 tahun. Penduduk
usia kerja dibagi menjadi dua kelompok, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan
kerja. Tenaga kerja atau man power terdiri dari angkatan kerja dan bukan
angkatan kerja. Angkatan kerja atau labor force terdiri dari (1) golongan yang
bekerja, dan (2) golongan yang menganggur dan mencari pekerjaan (Belante,
1990).
Menurut Lipsey, et al. (1997), pengangguran dapat dibedakan menjadi
tiga macam yaitu pengangguran siklis, pengangguran friksional, dan
pengangguran struktural. Pengangguran siklis adalah penganggur yang terjadi
karena permintaan yang tidak memadai untuk membeli semua potensi output
ekonomi, sehingga mengakibatkan senjang resesi di mana output aktual lebih
kecil dari keluaran potensial. Kelompok penganggur ini juga dikatakan sebagai
orang yang menganggur dengan terpaksa, dengan kata lain mereka ingin bekerja
dengan tingkat upah yang berlaku tetapi pekerjaan yang mereka inginkan tidak
akibat ketidaksesuaian antar struktur angkatan kerja berdasarkan jenis
keterampilan, pekerjaan, industri atau lokasi geografis dan strutur permintaan
tenaga kerja.
Mankiw (2000) menyatakan bahwa pengangguran struktural merupakan
pengangguran yang disebabkan oleh kekakuan upah dan penjatahan pekerjaan.
Para pekerja yang tidak dipekerjakan bukan karena mereka aktif untuk mencari
pekerjaan yang cocok untuk mereka, namun pada tingkat upah yang berlaku,
penawaran tenaga kerja melebihi permintaannya. Sedangkan pengangguran
friksional diakibatkan oleh perputaran normal tenaga kerja. Sumber penting
pengangguran friksional adalah orang-orang muda yang memasuki angkatan kerja
dan mencari pekerjaan (Lipsey, et al., 1997).
Mankiw (2000) menyatakan bahwa pengangguran akan selalu muncul
dalam suatu perekonomian karena beberapa alasan. Alasan pertama adalah adanya
proses pencarian kerja, yaitu dibutuhkannya waktu untuk mencocokkan para
pekerja dan pekerjaan. Alasan kedua adalah adanya kekakuan upah. Kekakuan
upah ini dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya kebijakan upah minimum,
daya tawar kolektif dari serikat pekerja, dan upah efisiensi.
2.2. Inflasi
Menurut Lipsey, et al. (1997), inflasi adalah kenaikan rata-rata semua
tingkat harga. Kadang-kadang kenaikannya terus-menerus dan berkepanjangan.
Menurut Friedman dalam Mishkin (2001), inflasi adalah suatu fenomena moneter
Inflasi dapat terjadi melalui dua sisi yaitu dari sisi penawaran (cost-push
inflation) dan sisi permintaan (demand-pull inflation). Pada Gambar 2.1. tampak
bahwa inflasi dari sisi penawaran terjadi apabila terdapat penurunan penawaran
terhadap barang-barang dan jasa karena adanya kenaikan dalam biaya produksi
yang diakibatkan oleh keinginan meningkatnya tingkat upah riil pekerja karena
adanya ekspektasi inflasi dimasa depan akan meningkat. Peningkatan upah ini
akan membuat produsen untuk menurunkan tingkat produksinya dibawah tingkat
produksi optimal sehingga penawaran agregat menurun, maka tingkat harga dan
pengangguran akan meningkat.
Sumber: Lipsey, et al. (1997)
Gambar 2.1. Cost Push Inflation
Jika pemerintah memiliki target untuk menurunkan tingkat pengangguran
dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka kegiatan ekonomi diarahkan
untuk meningkatkan output sampai tingkat optimal (full employment) sehingga
harga, apabila proses tersebut terus menerus berlangsung dan akan mengakibatkan
kenaikan dalam tingkat harga tanpa mengubah output dalam jangka panjang,
maka kondisi ini disebut sebagai cost-push inflation.
Sementara itu, pada Gambar 2.2. tampak bahwa inflasi dari sisi
permintaan (demand-pull inflation) terjadi apabila secara agregat terjadi
peningkatan terhadap barang-barang dan jasa dalam memenuhi permintaan yang
mendorong produsen untuk menambah dana produksi dan menyebabkan
pergeseran kurva permintaan agregat. Kondisi ini secara langsung dapat
mengakibatkan inflasi karena menyebabkan naiknya harga output. Peristiwa ini
dinamakan demand-pull inflation (Lipsey, et al., 1997).
Sumber: Lipsey, et al. (1997)
Gambar 2.2. Demand Pull Inflation
Pengukuran inflasi dapat dilakukan melalui pendekatan Consumer Price
Index (CPI) atau dapat disebut juga Indeks Harga Konsumen (IHK). Menurut
yang biasanya dibeli rumah tangga. IHK paling banyak digunakan untuk
menghitung laju inflasi, termasuk Indonesia. IHK dapat digunakan untuk
menghitung laju inflasi bulanan, triwulan, semesteran dan tahunan. Perhitungan
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
IHK : Indeks Harga Konsumen pada tahun atau periode t, IHKt-1 : Indeks Harga Konsumen pada tahun atau periode t-1,
Ramakrishnan dan Vamvakidis (2002) dalam penelitiannya mengenai
peramalan inflasi di Indonesia, menyatakan bahwa fenomena inflasi lebih
cenderung merupakan fenomena moneter dan terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi inflasi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah
nilai tukar, inflasi luar negeri dan pertumbuhan money supply.
2.3. Kurva Phillips
Pada tahun 1958, ekonom A.W. Phillips menerbitkan sebuah artikel
berjudul “The Relationship between Unemployment and the Rate of Change of
Money Wages in United Kingdom, 1861-1957”. Pada artikel tersebut Phillips
memperlihatkan korelasi negatif antara tingkat pengangguran dan inflasi (tingkat
perubahan upah). Phillips memperlihatkan bahwa tahun-tahun dengan tingkat
tahun-tahun dengan tingkat pengangguran tinggi cenderung disertai dengan inflasi yang
rendah (Samuelson, 1985).
A.W. Phillips (1958) dalam Mankiw (2000) menggambarkan bagaimana
sebaran hubungan antara inflasi dengan tingkat pengangguran didasarkan pada
asumsi bahwa inflasi merupakan cerminan dari adanya kenaikan permintaan
agregat. Dengan naiknya permintaan agregat, maka sesuai dengan teori
permintaan yaitu jika permintaan naik maka harga akan naik.
Dengan tingginya harga (inflasi) maka untuk memenuhi permintaan
tersebut produsen meningkatkan kapasitas produksinya dengan menambah tenaga
kerja (tenaga kerja merupakan satu-satunya input yang dapat meningkatkan
output). Akibat dari peningkatan permintaan tenaga kerja maka dengan naiknya
harga-harga (inflasi) maka pengangguran berkurang.
Sumber: Mankiw, 2000
Gambar 2.3. Kurva Phillips
Tiga komponen pembentuk kurva Phillips adalah:
a) Ekspektasi inflasi ( e)
Pengangguran, U Inflasi,
Un n
b) Pengangguran siklis (U-Un)
c) Guncangan penawaran (v)
Persamaan kurva Phillips adalah:
=
e- (U-U
n) + v
………(2.1)Di mana adalah inflasi, e adalah ekspektasi inflasi, U adalah tingkat
pengangguran dan Un adalah tingkat pengangguran alamiah (NAIRU –
Non-Accelerating Inflation Rate of Unemployment). menunjukkan besarnya respon
tingkat inflasi terhadap perubahan tingkat pengangguran siklis. dapat
menunjukkan besarnya rasio pengorbanan (sacrifice ratio) yang terjadi. Tanda
negatif sebelum parameter menunjukkan hubungan negatif antara inflasi dengan
tingkat pengangguran.
2.4. Inflation Targeting Framework
Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan kerangka kerja kebijkan
moneter Bank Indonesia yang tercermin pada penetapan dan pengumuman sasaran
inflasi sebagai tujuan utama kebijakan moneter, penjelasan periodik kepada
masyarakat mengenai pelaksanaan kebijkan moneter yang ditempuh, maupun
pemberian independensi kepada Bank Indonesia dalam merumuskan dan
melaksanakan kebijakan moneter. Secara umum, kerangka kerja ini diyakini dapat
membantu bank sentral untuk mencapai dan memelihara kestabilan harga dengan
Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan sebuah kerangka
kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai
target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara
eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama
dari kebijakan moneter. Sesuai definisi di atas, sejak berlakunya UU No. 23/1999
Indonesia sebenarnya dapat dikategorikan sebagai "Inflation Targeting Lite
Countries". Kebijakan ini dipilih dengan beberapa alasan yaitu (BI, 2008) :
1. Pemilihan kerangka kerja kebijakan moneter Inflation Targeting
didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut :
a. Memenuhi prinsip-prinsip kebijakan moneter yang sehat.
b. Sesuai dengan amanat UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3/2004.
c. Hasil riset menunjukkan semakin sulit pengendalian besaran
moneter.
d. Pengalaman empiris negara lain menunjukkan bahwa negara yang
menerapkan ITF berhasil menurunkan inflasi tanpa meningkatkan
volatilitas output.
e. Dapat meningkatkan kredibilitas BI sebagai pengendali inflasi
melalui komitmen pencapaian target.
2. Penerapan ITF bukan berarti bahwa bank sentral hanya menaruh perhatian
pada inflasi saja dan tidak lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi
maupun kebijakan dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan. ITF
menyeluruh (framework) untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan
moneter. Fokus terhadap inflasi tidak berarti membawa perekonomian
kepada kondisi yang sama sekali tanpa inflasi (zero inflation).
3. Inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang justru akan mendukung
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (suistanable growth).
Penyebabnya karena tingkat inflasi berkorelasi positif dengan
fluktuasinya. Manakala inflasi tinggi, fluktuasinya juga meningkat,
sehingga masyarakat merasa tidak pasti dengan laju inflasi yang akan
terjadi di masa mendatang. Akibatnya suku bunga jangka panjang akan
meningkat karena tingginya premi resiko akibat inflasi. Perencanaan usaha
menjadi lebih sulit dan minat investasi pun menurun. Ketidakpastian
inflasi ini cenderung membuat investor lebih memilih investasi aset
keuangan jangka pendek ketimbang investasi riil jangka panjang. Itulah
sebabnya otoritas moneter seringkali berargumentasi bahwa kebijakan
yang anti inflasi sebenarnya adalah justru kebijakan yang pro growth.
2.5. Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN)
Sejalan dengan tema pembangunan nasional yaitu “Peningkatan
Kesejahteraan Rakyat dan Pengurangan Kemiskinan”, kebijakan alokasi anggaran
belanja pemerintah pusat dalam tahun 2009 diarahkan kepada upaya mendukung
kegiatan ekonomi nasional dalam memacu pertumbuhan, menciptakan dan
memperluas lapangan kerja, meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat
Sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2009, Pemerintah telah
menetapkan sasaran-sasaran indikatif penurunan tingkat pengangguran menjadi 7
persen hingga 8 persen. Tantangan yang dihadapi pada tahun 2009 dalam
memecahkan masalah ketenagakerjaan meliputi hal-hal sebagai berikut. Pertama,
penciptaan kesempatan kerja terutama lapangan kerja formal seluas-luasnya.
Tantangan ini tidak mudah untuk diatasi karena beberapa tahun terakhir ini,
lapangan kerja informal masih dominan dalam menyerap tenaga kerja yang
jumlahnya terus meningkat. Kedua, perpindahan pekerja dari pekerjaan yang
memiliki tingkat produktivitas rendah ke pekerjaan yang memiliki produktivitas
tinggi. Ketiga, peningkatan kesejahteraan para pekerja informal yang mencakup
70 persen dari seluruh pekerja (Depkeu, 2009)
Untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan tersebut, Pemerintah
menempuh beberapa kebijakan sebagai berikut. Pertama, menciptakan lapangan
kerja formal seluasluasnya, mengingat lapangan kerja formal lebih produktif dan
lebih memberikan perlindungan social kepada pekerja dibandingkan sektor
informal. Dengan kualifikasi angkatan kerja yang tersedia, lapangan kerja formal
yang diciptakan didorong ke arah industri padat karya, industri menengah dan
kecil, serta industri yang berorientasi ekspor. Kedua, mendorong perpindahan
pekerja dari pekerjaan yang berproduktivitas rendah ke pekerjaan yang memiliki
produktivitas tinggi dengan meningkatkan kualitas dan kompetensi pekerja.
Peningkatan kualifikasi dan kompetensi pekerja dapat dilaksanakan antara
lain dengan pelatihan berbasis kompetensi dan pelatihan melalui pemagangan di
disempurnakan agar peralihan tersebut dapat terjadi. Ketiga, mendorong sektor
informal melalui fasilitas kredit UMKM sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan para pekerja informal. Peningkatan ini dimaksudkan untuk
memperkecil kesenjangan tingkat kesejahteraan antara pekerja informal dengan
bekerja formal.
2.6. Penelitian Terdahulu
Bhanthumnavin (2002) menganalisis kurva Phillips untuk negara Thailand
dengan metode OLS menggunakan dua definisi inflasi (kuartalan dan tahunan).
Estimasinya menyatakan bahwa teori Kurva Phillips di Thailand baru berlaku
setelah Krisis Asia tahun 1997. Dalam penelitiannya menunjukkan bahwa
sebelum terjadinya krisis ekonomi 1997 tidak terdapat hubungan antara inflasi dan
pengangguran seperti yang diungkapkan dalam Kurva Phillips. Hubungan ini
negative antara inflasi dan pengangguran ini baru tejadi setelah terjadinya krisis
ekonomi 1997 yang telah memberikan guncangan struktural yang kuat terhadap
kapasitas perekonomian dan sektor finansial.
Amir (2003) menganalisis pengaruh inflasi dan pertumbuhan ekonomi
terhadap pengangguran di Indonesia pada periode 1980-2005 dengan mengunakan
analisis grafis dan metode ANOVA. Variabel dependennya adalah tingkat
pengangguran dan variabel independennya adalah inflasi. Hasilnya adalah
terdapat hubungan negatif namun tidak signifikan antara inflasi dan pertumbuhan
ekonomi terhadap pengangguran baik secara statistik maupun grafis. Hal ini
kenaikan biaya produksi, seperti misalnya kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM),
bukan karena kenaikan permintaan.
Simamare (2006) menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap
pengangguran menggunakan aplikasi Hukum Okun. Metode yang digunakan
adalah metode OLS untuk estimasi kuantitatifnya dengan pengangguran sebagai
variabel dependen, pertumbuhan ekonomi dan angkatan kerja serta jumlah
pengangguran periode sebelumnya sebagai variabel independen. Hasilnya
menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi
dengan pengangguran sesuai dengan Hukum Okun.
Model yang digunakan Simamare (2006) kemudian digunakan untuk
mengestimasi hubungan inflasi dan pengangguran di Indonesia dengan mengganti
variabel pertumbuhan ekonomi dengan inflasi, mengubah jumlah pengangguran
sebagai persentase, serta mengubah jumlah angkatan kerja sebagai bentuk
logaritma naturalnya. Selain itu, penulis juga menggunakan analisis uji kausalitas
Granger untuk melihat hubungan kausalitas antara inflasi dan pengangguran.
2.7. Kerangka Pemikiran
Adanya kebijakan inflation targeting dengan tujuan pencapaian tingkat
inflasi rendahdan RAPBN 2009 yang salah satunya bertujuan untuk mengurangi
tingkat pengangguran menjadi latar belakang permasalahan penelitian ini.
Penerapan teori kurva Phillips digunakan untuk menganalisis hubungan inflasi
telah dilakukan banyak peneliti untuk berbagai negara. Persentase peningkatan
pada inflasi seharusnya mampu mengurangi tingkat pengangguran.
Analisis yang dilakukan untuk Indonesia berdasarkan pada teori kurva
Phillips dan permasalahan penelitian, yaitu bagaimana pengaruh inflasi terhadap
tingkat pengangguran di Indonesia. Pengujian secara kuantitatif dilakukan dengan
menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dan uji kausalitas Granger,
dengan asumsi-asumsi tertentu. Tingkat pengangguran diperlakukan sebagai
variabel dependen dan inflasi sebagai variabel independen. Gambar 2.4.
merupakan bagan kerangka pemikiran sebagai gambaran penelitian.
2.8. Hipotesis Penelitian
Dari tinjauan teori dan penelitian terdahulu di atas disusunlah
beberapa hipotesis sementara, yaitu:
1) Sesuai dengan teori kurva Phillips, terdapat hubungan yang negatif antara
pengangguran dan inflasi
2) Krisis ekonomi 1997 berpengaruh signifikan pada tingkat pengangguran.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari berbagai sumber, yaitu data tingkat pengangguran (UN) dan
Angkatan Kerja (AK) yang berasal dari ILO (International Labor Organization),
serta data inflasi (INF) yang diperoleh dari IFS (IMF, International Financial
Statistic). Data yang digunakan adalah data time series tahunan dari tahun 1985
sampai tahun 2008. Semua data yang diestimasi adalah dalam bentuk logaritma
natural kecuali data yang sudah dalam bentuk persen.
3.2. Metode Analisis data
Tahap pengolahan data dilakukan dengan alat bantu perangkat lunak atau
software untuk membantu proses penelitian. Software KILM 5th Edition
digunakan untuk pencarian data dari ILO, software IFS-CD room untuk pencarian
data inflasi dari IMF, serta untuk pengolahan datanya dengan menggunakan
Microsoft Excel 2007 dan Eviews 5.1. Metode analisis yang digunakan adalah
dengan Ordinary Least Square (OLS) dan Granger Causality Test.
3.2.1. Ordinary Least Square (OLS)
Metode OLS digunakan untuk memperoleh estimasi parameter dalam
menganalisis pengaruh variabel-variabel independen terhadap variabel dependen.
Penelitian ini menggunakan OLS untuk memperoleh estimasi pengaruh tingkat
merupakan salah satu metode sederhana dengan analisis regresi yang kuat dan
populer, dengan asumsi-asumsi tertentu (Gujarati, 1997). Model yang digunakan
merupakan hasil modifikasi dari model yang digunakan oleh Simamare (2006)
dengan mengganti variabel pertumbuhan ekonomi dengan inflasi, mengubah
jumlah pengangguran sebagai persentase, serta mengubah jumlah angkatan kerja
sebagai bentuk logaritma naturalnya.
Jumlah pengangguran tahun tertentu merupakan jumlah dari
pengangguran tahun sebelumnya dan angkatan kerja baru yang menjadi
pengangguran. Kedua variabel tersebut diduga berpengaruh positif terhadap
tingkat pengangguran, sehingga digunakan dalam model sebagai variabel
independen. Karena UN
t-1 merupakan lag dari UNt maka jumlah observasi dalam OLS berkurang satu, dari 24 untuk periode 1985-2008 menjadi 23 untuk periode
1986-2008.
Seberapa baik garis regresi mencocokkan data (Goodness of fit) dapat
diukur melalui koefisien determinasi R 2
. Jika seluruh data berada pada garis
regresi, maka terjadi kecocokan sempurna dan R 2
nilai R2, maka semakin baik variabel-variabel independen dalam menjelaskan
variabel dependen.
3.2.2. Uji Asumsi OLS
Tujuan dari analisis regresi bukan hanya mendapatkan parameter atau
penaksir, tetapi juga membuktikan apakah penaksir tersebut sesuai dengan nilai
sebenarnya. Dengan asumsi-asumsi dapat dilihat bahwa penaksir OLS adalah
penaksir tak bias linear terbaik. Manurung, Manurung, dan Saragih (2005) dalam
Simamare (2006) menyebutkan asumsi-asumsi yang digunakan yaitu:
1) Nilai rata-rata bersyarat dari unsur gangguan populasi e
t, tergantung kepada nilai-nilai tertentu variabel yang menjelaskan X
t adalah nol. Asumsi ini menyatakan bahwa tiap nilai variabel dependen Y
t yang berhubungan dengan suatu X
t tertentu didistribusikan di sekitar nilai rata-rata, sehingga nilai e
t yang berhubungan dengan setiap Xt, memiliki rata-rata nol. Asumsi ini merupakan salah satu sifat dari fungsi regresi dan
dapat diabaikan karena penyimpangan yang terjadi hanya berdampak
pada koefisien intersep yang bias.
2) Varians bersyarat dari e
t adalah konstan atau homoskedastik. Asumsi homoskedastisitas dari disturbance term error adalah selisih atau spread
(scedasticity) bernilai sama atau equal (homo). Heteroskedastisitas, yaitu
varians Y
yang semakin besar, yang sebenarnya tidak perlu, sehingga penaksir OLS
kurang efisien. Pendeteksian ada atau tidaknya heteroskedastisitas dapat
dilakukan dengan White’s General Heteroskedasticity Test (cross term).
Pengujian dilaksanakan dengan melihat nilai Probability (
Obs*R-squared) yang dihasilkan. Tolak H
0 maka regresi model tersebut mengalami gejala heteroskedastisitas. Begitu pula sebaliknya, jika terima
H
0 maka regresi model tidak tersebut mengalami gejala heteroskedastisitas.
Kriteria uji: Hipotesis nol H
0 : θi = 0 Hipotesis alternatif H
1 : θi ≠ 0 Kaidah menolak hipotesis nol:
Probability (Obs*R-squared) < taraf nyata (α)
3) Tidak ada autokorelasi dalam gangguan. Masalah autokorelasi yang
timbul juga tidak menunjukkan varians minimum walaupun BLUE
sehingga tidak efisien, selang keyakinan menjadi lebar secara tak perlu,
dan pengujian arti (signifikan) kurang kuat. Uji autokorelasi dilakukan
dengan melihat probability (Obs*R-squared) pada Breusch-Godfrey
(BG) Test. Apabila nilai probability (Obs*R-squared) lebih besar dari
taraf nyata tertentu, maka regresi model tidak mengalami autokorelasi.
Bila nilai probability (Obs*R-squared) lebih kecil dari taraf nyata
tertentu, maka regresi model mengalami autokorelasi.
Kriteria uji: Hipotesis nol H
Hipotesis alternatif H
1 : ρi ≠ 0 Kaidah menolak hipotesis nol:
Probability (Obs*R-squared) < taraf nyata (α)
4) Variabel yang menjelaskan adalah nonstokastik (yaitu, tetap dalam
penyampelan berulang) atau, jika stokastik, didistribusikan secara
independen dari gangguan e
t. Analisis regresi merupakan penaksiran nilai rata-rata satu variabel dependen atas dasar nilai yang tetap
variabel-variabel independen. Maka variabel-variabel-variabel-variabel yang menjelaskan ini
diasumsikan mempunyai nilai yang tetap atau nonstokastik. Sekalipun
variabel eksplanatoris mungkin sebenarnya stokastik, namun dapat
diasumsikan bahwa variabel yang menjelaskan tersebut adalah tertentu
dan hasil analisis regresi adalah tergantung pada nilai tertentu ini. Jika
variabel explanatory ini bersifat random, maka setidaknya didistribusikan
secara independen dari faktor gangguan e
t. Asumsi ini dapat dianggap terpenuhi karena salah satu sifat fungsi regresi menujukkan bahwa
residual tidak berkorelasi dengan variabel eksplanatoris.
5) Tidak ada multikolinearitas di antara variabel yang menjelaskan. Asumsi
ini mensyaratkan tidak ada hubungan linear di antara variabel yang
menjelaskan. Pelanggaran asumsi ini, adanya multikolinearitas sempurna,
koefisien regresi dari variabel eksplanatoris tidak dapat ditentukan dan
variansnya tak berhingga. Jika multikolinearitas kurang dari sempurna,
sehingga tidak dapat menaksir koefisien secara akurat. Pendeteksian
multikolinearitas, dilakukan mengikuti kaidah umum, yaitu:
a. Koefisien determinasi rendah dan probabilitas dari nilai statistik t
tinggi.
b. Koefisien korelasi antara variabel eksplanatoris tinggi, yaitu
│0.8│atau lebih.
6) e
t didistribusikan secara normal. Untuk ukuran sampel meningkat sampai tak terbatas, penaksir OLS didistribusikan secara normal, sehingga
penggunakan asumsi kenormalan tidak harus digunakan. Namun untuk
ukuran sampel kecil, asumsi kenormalan menjadi penting untuk maksud
pengujian hipotesis dan peramalan. Uji normalitas dapat dilakukan
dengan Jarque-Berra (JB) test. Jika probabilitas yang diperoleh lebih
besar dari taraf nyata (α), maka asumsi residual terdistribusi dengan
normal diterima. Jika probabilitas yang diperoleh lebih kecil dari taraf
nyata (α), maka asumsi residual terdistribusi dengan normal ditolak.
Kriteria uji: Hipotesis nol H
0 : residual terdistribusi normal Hipotesis alternatif H
1 : residual tidak terdistribusi normal
Kaidah menolak hipotesis nol: Probability (JB test) < taraf nyata (α)
7) Model regresi linear dalam parameter. Parameter yang digunakan yaitu
dalam bentuk pangkat satu.
8) Jumlah observasi N harus lebih besar dari jumlah parameter yang akan
ditaksir atau jumlah observasi N harus lebih besar dari jumlah variabel
9) Variabilitas dalam variabel eksplanatoris. Nilai variabel eksplanatoris
untuk sejumlah observasi N tidak sama.
10)Model regresi dispesifikasikan dengan benar. Penetuan model dalam
OLS lebih mengacu kepada landasan teori yang digunakan. Uji bias
spesifikasi model dapat dilakukan dengan Ramsey Regression
Specification Error Test (RAMSEY RESET). Jika probabilitas dari nilai
statistik F signifikan secara statistik pada tingkat signifikansi α, maka
kesimpulan yang diperoleh yaitu model mengalami kesalahan spesifikasi.
Sebaliknya, model regresi dispesifikasikan dengan benar jika probabilitas
dari nilai statistik F tidak signifikan secara statistik pada tingkat
signifikansi α.
Asumsi pertama dan keempat dianggap telah terpenuhi. Asumsi ketujuh,
kedelapan, dan kesembilan terpenuhi tanpa perlu menggunakan uji secara statistik.
Parameter yang diestimasi (λ
1,2,3) berpangkat satu, jumlah observasi yang digunakan (N=23) lebih besar dari jumlah parameter yang diestimasi (λ
i=3), dan variabel independen (INF
t, LNAKt, UNt-1) memiliki variabilitas dalam data. Uji asumsi OLS secara statistik diterapkan terhadap lima asumsi lainnya, yaitu
homoskedastisitas, autokorelasi, multikolinearitas, normalitas, dan
3.2.3. Uji Stabilitas Parameter
Metode yang digunakan untuk menguji stabilitas parameter regresi
adalah chow breakpoint test (Gujarati, 1997). Dasar dari uji ini adalah untuk
melihat apakah terdapat perbedaan hasil regresi atau perubahan struktural dari dua
periode waktu, yaitu periode 1985-1996 dan periode 1997-2008. Langkah yang
dilakukan yaitu dengan menghitung statistik F dengan formula:
...(3.2) ditambah residual sum squares dari hasil regresi untuk periode 1997-2008,
Asumsi yang digunakan yaitu tidak ada perubahan struktural akibat krisis
ekonomi pada tahun 1997. Apabila nilai probabilitas dari statistik F lebih besar
dari tingkat signifikansi α, maka hipotesis nol yang menyatakan bahwa parameter
stabil diterima. Kelemahan dari metode ini adalah tidak diketahuinya letak
perbedaan dari hasil regresi pada kedua periode, apakah pada intersep atau pada
3.2.4. Uji Kausalitas Granger
Granger (1969) dalam Gujarati (1997) mempostulasikan bahwa suatu
variabel X dikatakan menyebabkan variabel lain, Y, apabila Y saat ini dapat
diprediksi lebih baik dengan menggunakan nilai-nilai masa lalu X. Uji ini secara
umum digunakan untuk menguji hubungan kausalitas antara 2 variabel.
Uji kausalitas Granger menyatakan bahwa jika nilai masa lalu dari
variabel Y secara signifikan memberikan pengaruh peramalan pada nilai variabel
lainnya; X
t+1, maka Y dikatakan Granger cause X dan begitu pula sebaliknya. Pengujian tersebut didasarkan pada regresi berikut ini:
………....………….. (3.3)
………..……. (3.4)
Di mana Y
t dan Xt adalah variabel yang akan diuji, dan ut dan vt adalah white noise errors yang tidak berkorelasi satu sama lain, dan t menunjukkan
periode waktu dan k an l adalah jumlah lag. Hipotesis nol (H
O) adalah αl = δl = 0 untuk seluruh l dengan hipotesis alternatif (H
1) adalah selain HO. Bila koefisien αl
secara statistik signifikan tetapi δl tidak signifikan, maka X menyebabkan Y dan
demikian sebaliknya. Tetapi bila αl dan δl keduanya signifikan maka terdapat
Dalam perkembangan analisis time series telah disarankan sejumlah
perbaikan dalam uji standar Granger. Salah satunya disebabkan karena kausalitas
Granger sangat sensitif pada dapat menjadi bias. Jika lag length yang dipilih lebih
besar, maka lag yang tidak relevan pada suatu persamaan dapat menyebabkan
IV. GAMBARAN UMUM PENGANGGURAN DAN INFLASI DI INDONESIA
4.1. Gambaran Pengangguran di Indonesia
Negara berkembang seperti Indonesia selalu dihadapkan oleh masalah
besarnya jumlah penduduk, terutama penduduk berusia muda. Hal ini menjadi
salah satu faktor utama besarnya jumlah angkatan kerja di Indonesia. Jumlah
angkatan kerja (labor force) di Indonesia setiap tahun bertambah seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk. Dumairy (1996) mengungkapkan bahwa
pertumbuhan angkatan kerja yang cepat akan membawa beban bagi
perekonomian, yakni penciptaan lapangan kerja. Jika lapangan pekerjaan baru
tidak dapat menampung angkatan kerja baru, maka sebagian angkatan baru yang
tidak tertampung tersebut menjadi pengangguran baru.
Jumlah pengangguran di Indonesia tahun 2008 mencapai 9.3 juta jiwa dari
112 juta jiwa angkatan kerja atau sekitar 8.3 persen dari total angkatan kerja (ILO,
2009). Selain itu, angka pengangguran di Indonesia adalah terbesar di ASEAN,
yakni menyumbang 60 persen dari total pengangguran di ASEAN (Menkokesra,
2007).
Tingkat pengangguran Indonesia rata-rata sebelum krisis selama periode
tahun 1985-1996 adalah 3.32 persen, kemudian selama pasca krisis periode tahun
1997-2008 tingkat pengangguran naik menjadi 8.09 persen (ILO, 2009). Dengan
demikian, antara periode sebelum dan sesudah krisis 1997 telah terjadi perubahan
rata-rata tingkat pengangguran lebih dari dua kali lipatnya. Selain itu, tingkat
Tabel 4.1. Pengangguran dan Rata-Rata Tingkat Pengangguran Periode Sebelum
Pengangguran di Indonesia menjadi masalah yang terus menerus
membesar. Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, tingkat pengangguran di
Indonesia pada umumnya di bawah 5 persen dan pada tahun 1997 sebesar 5.7
persen. Tingkat pengangguran sebesar 5.7 persen masih merupakan pengangguran
alamiah. Amir (2006) menyatakan bahwa tingkat pengangguran alamiah adalah
suatu tingkat pengangguran yang alamiah dan tak mungkin dihilangkan. Tingkat
pengangguran alamiah ini sekitar 5 hingga 6 persen atau kurang. Artinya jika
tingkat pengangguran paling tinggi 5 persen itu berarti bahwa perekonomian
dalam kondisi penggunaan tenaga kerja penuh (full employment).
Berdasarkan data BPS (2009), angkatan kerja Indonesia sebagian besar
perikanan yaitu sekitar lebih dari 40 persen dari jumlah pekerja keseluruhan.
Sektor kedua yang menyerap tenaga kerja terbesar adalah perdagangan, restoran
dan hotel yaitu sekitar 20 persen. Sedangkan, industri manufaktur yang
diharapkan dapat menyerap banyak tenaga kerja justru hanya menyerap tenaga
kerja sekitar 11 sampai 12 persen.
Sumber: BPS, 2009 (diolah)
Gambar 4.1. Pekerja Berdasarkan Sektor dalam Persen (2004-2008)
Selain itu, Rahman (2008) menyatakan bahwa karakteristik pengangguran
di Indonesia di antaranya adalah:
a) Tingkat pengangguran berpendidikan rendah lebih tinggi
b) Tingkat pengangguran laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan.
c) Tingkat pengangguran usia muda lebih tinggi.
Peningkatan angkatan kerja baru yang lebih besar dibandingkan dengan
lapangan kerja yang tersedia terus menunjukkan jurang (gap) yang terus
membesar. Kondisi tersebut semakin membesar setelah krisis ekonomi. Dengan
adanya krisis ekonomi terutama krisis global baru-baru ini tidak saja membuat
jurang antara peningkatan angkatan kerja baru dengan penyediaan lapangan kerja
yang rendah terus makin dalam, tetapi juga merangsang tingginya pemutusan
hubungan kerja (PHK), sehingga tingkat pengangguran di Indonesia dari tahun ke
tahun terus semakin tinggi.
4.2. Gambaran Inflasi di Indonesia
Perkembangan inflasi di Indonesia menunjukkan fluktusi yang bervariasi
dari waktu ke waktu. Inflasi mulai menjadi perhatian ketika adanya krisis pada
tahun 1960-an dimana Indonesia mengalami hiperinflasi sebesar 650 persen
sehingga perekonomian terguncang dengan hebat, tetapi tekanan tersebut dapat
diatasi dengan menerapkan kebijakan anti-inflasi, sehingga pada Repelita II, III,
dan IV inflasi menurun menjadi sebesar 14.77 persen, 13.6 persen dan 6.9 persen.
Kemudian krisis kembali menghantam negeri ini pada tahun 1997-1998 yang
berdampak pada semua aspek kehidupan, salah satunya adalah inflasi yang
Sumber: IFS, 2009
Gambar 4.2. Perkembangan Inflasi 1985-2008
Inflasi kembali mulai menjadi perhatian sejak dikeluarkannya kebijakan
UU No. 23/1999 yang sebenarnya dapat mengkategorikan Indonesia sebagai
"Inflation Targeting Lite Countries". Sejak awal ditetapkannya pada tahun 2005
sebesar 6 persen dengan deviasi 1 persen, inflation targeting baru dapat berjalan
secara efektif pada kuartal IV tahun 2006, yaitu sebesar 5,5 persen dengan deviasi
sebesar 1 persen.
Pemerintah berkoordinasi dengan BI telah menetapkan dan
mengumumkan sasaran inflasi IHK untuk tahun 2006, 2007, dan 2008
masing sebesar 8 persen, 6 persen, dan 5 persen dengan standar deviasi
masing-masing adalah 1 persen. Penetapan lintasan sasaran inflasi ini sejalan dengan
keinginan untuk mencapai sasaran inflasi jangka menengah panjang sebesar 3
persen agar Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara Asia lainnya.
Pemerintah dan Bank Indonesia telah sepakat menetapkan sasaran inflasi
2008-2010 sebesar 5 persen untuk 2008; 4.5 persen (2009); dan 4 persen (2010) 0,00
1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
dengan deviasi 1 persen. Target inflasi 2008 yakni 5 persen dengan deviasi 1
persen tersebut sesuai dengan target APBN 2008 yakni 6 persen. Rata-rata tingkat
inflasi Indonesia sebelum krisis dari tahun 1985 hingga tahun 1996 relatif rendah
yaitu masih berkisar satu digit sebesar 7.9 persen per tahun. Namun, ketika terjadi
krisis, tahun 1998 tingkat inflasi mencapai 58.3 persen dan setelah tahun 1998
tingkat inflasi mencapai dua digit sekitar 10 persen.
Pada tahun 2008 terdapat beberapa resiko yang dapat memberikan tekanan
pada inflasi sehingga berpotensi mengganggu pencapaian sasaran inflasi tersebut.
Risiko tersebut di antaranya adalah (i) proses konsolidasi pasar finansial global
terkait dampak krisis subprime mortgage masih belum reda, (ii) resiko terkait
kenaikan harga minyak dunia di awal tahun 2008, (iii) potensi peningkatan
permintaan konsumsi minyak domestik di atas asumsi terutama yang dipicu oleh
tingginya disparitas harga BBM bersubsidi dengan BBM nonsubsidi maupun
harga BBM di negara tetangga, (iv) kemampuan produksi minyak domestik yang
tidak sesuai target dan (v) persepsi pelaku ekonomi terhadap prospek
kesinambungan fiskal dan prospek perekonomian secara keseluruhan terkait
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Uji Ekonometrika dengan Ordinary Least Square (OLS) 5.1.1. Hasil Estimasi dan Pembahasan
Tabel 5.1. menunjukkan bahwa hasil regresi memiliki koefisien
determinasi R 2
sebesar 0.897 menunjukkan bahwa 89.7 persen variabel penjelas
dapat menjelaskan variabel dependen, sedangkan sisanya 10.3 persen dijelaskan
oleh faktor-faktor lain diluar model (Lampiran 2).
Tabel 5.1. Hasil Regresi Model
Variabel dependen: UN Sample: 1986- 2008 (N=23)
Variabel Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
INF 0.004659 0.021618 0.215503 0.8317
LNAK 7.799990 4.460189 1.748802 0.0965
UN(-1) 0.573346 0.213248 2.688629 0.0145
C -86.36316 49.66218 -1.739013 0.0982
R-squared 0.897328 Mean dependent var 5.862816
Adjusted R-squared 0.881117 S.D. dependent var 2.936190 S.E. of regression 1.012382 Akaike info criterion 3.019259 Sum squared resid 19.47341 Schwarz criterion 3.216736
Log likelihood -30.72148 F-statistic 55.35193
Durbin-Watson stat 1.736499 Prob(F-statistic) 0.000000
Uji statistik t pada tingkat signifikansi α = 0.10 menunjukkan bahwa
tingkat inflasi tidak signifikan berpengaruh terhadap tingkat pengangguran.
Hipotesis pertama yang diterapkan, yaitu tingkat inflasi berpengaruh negatif
terhadap tingkat pengangguran, ditolak. Variabel jumlah angkatan kerja dan