• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hubungan Manusia dalam Cerpen Imogayu

BAB III ANALISIS HUBUNGAN MANUSIA DALAM CERPEN

3.2. Analisis Hubungan Manusia dalam Cerpen Imogayu

Barangkali dengan mudah dapat dibayangkan perlakuan yang diterimanya; ia bertampang aneh bila dibandingkan orang-orang di sekitarnya. Para samurai sekelasnya tidak mengacuhkan dan menganggapnya cuma bagaikan seekor lalat.

Bahkan para pembantu yang masuk dalam kelas tertentu pun, atau yang sama sekali tidak, yang berjumlah sekitar 20 orang, juga bersikap tidak acuh kepadanya. Jika ia memerintahkan sesuatu kepada mereka, mereka tidak peduli dan tetap saja ngobrol. (Imogayu, halaman 103)

Analisis

Pada cuplikan cerita di atas disebutkan bahwa tokoh Goi yang seorang samurai mendapat perlakuan yang tidak sepantasnya hanya karena bentuk tubuhnya yang tidak normal. Para samurai bahkan menganggapnya bagaikan seekor lalat. Dapat dilihat terjalin hubungan yang tidak baik. Seharusnya menurut

go rin dan wu lun orang yang sederajat harus saling menghormati, tidak mencela

satu sama lain.

Pada cuplikan cerita di atas juga disebutkan bahwa para pembantu yang tidak sederajat dengannya juga tidak menghormatinya, bahkan tidak mengindahkan segala sesuatu yang diperintahkannya. Terjalin hubungan yang tidak baik antara atasan dan bawahan. Sementara dalam go rin dan wu lun, bawahan harus mengabdi kepada atasan ataupun bawahan harus menghormati pimpinan.

Disebutkan juga dalam ajaran agama Budha untuk saling menghormati sesama manusia, tidak membeda-bedakan.

Cuplikan 2

Sedangkan para samurai yang setingkat dengannya senang mempermainkan dirinya. Samurai yang berusia lebih lebih tua menjadikan

penampilannya sebagai bahan olokan, dan yang lebih muda menjadikannya sebagai sumber latihan membuat cerita lucu. (Imogayu, halaman 104)

Analisis

Pada cuplikan cerita di atas disebutkan bahwa para samurai setingkatnya mempermainkannya. Bahkan samurai yang lebih tua pun ikut mengolok-oloknya. Seharusnya para samurai yang lebih tua lebih peka terhadap samurai yang lebih muda seperti yang tertulis dalam wu lun dalam ajaran Konfusius sehingga para samurai muda menghormati para samurai yang lebih tua walaupun mereka berada dalam kelas yang sama. Jadi, hubungan antarmanusia tidak terjalin dengan baik.

Cuplikan 3

Tidak hanya itu, mereka pun acapkali membicarakan istrinya yang berbibir sumbing dan telah berpisah dengannya lima-enam tahun lalu. Hubungan istrinya dengan seorang pendeta Buddha pemabuk pun tidak luput dari pembicaraan mereka. (Imogayu, halaman 104)

Analisis

Pada cuplikan di atas disebutkan bahwa tokoh Goi mempunyai seorang istri yang ternyata berselingkuh dengan seorang pendeta Buddha yang pemabuk. Seharusnya seorang istri harus mengabdi kepada suami seperti yang terdapat dalam etika kesadaran (go rin) dan wu lun dalam ajaran Konfusius. Terdapat juga pepatah yang mengatakan “Kalau ingin bahagia, menikahlah dengan perempuan Jepang”. Dikatakan demikian karena sesungguhnya wanita Jepang begitu mengabdi kepada suami, sehingga bisa membuat suami bahagia. Hal-hal kecil

seperti membukakan sepatu pun dilakukan oleh istri sebagai bentuk pengabdian terhadap suami. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan istri Goi. Ia bahkan meninggalkan Goi dan berselingkuh dengan pendeta Buddha. Pendeta Buddha tersebut juga seharusnya tidak boleh bersikap demikian. Sebagai seorang pendeta, seharusnya menjadi contoh yang baik bagi masyarakat, tidak mabuk-mabukan bahkan mengambil istri orang lain. Hal ini membuat para samurai semakin mengolok-olok tokoh Goi, teman mereka. Seharusnya juga para samurai tidak boleh bersikap demikian karena dalam go rin, orang yang sederajat harus saling menghormati.

Cuplikan 4

Ketika seorang rekannya bertindak kelewatan, seperti menempelkan potongan kertas pada jambul atau mengikatkan sandal pada sarung pedangnya, dengan raut entah tertawa atau menangis ia berkata, “Jangan begitu dong, … kalian.” Siapapun yang melihat ekspresi wajah dan mendengar suara itu, sejenak pasti akan jatuh kasihan. Hanya saja, sangat sedikit orang yang memiliki perasaan seperti itu. (Imogayu, halaman 105)

Analisis

Dari cuplikan cerita di atas dapat dilihat bahwa orang-orang yang mengolok-olok Goi tidak menaruh belas kasihan sedikit pun padanya, hal ini dikarenakan kondisi fisiknya yang tidak normal. Padahal dalam ajaran agama Budha, cinta kasih terhadap sesama manusia adalah hal yang paling utama untuk dilaksanakan. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan yang dilakukan oleh orang-orang terhadap Goi.

Berkaitan juga dengan budaya malu yang dianut oleh masyarakat Jepang, jika seseorang mendapat kritik dari orang lain maka akan timbul reaksi malu dari dalam dirinya. Reaksi ini bukan merupakan reaksi fisik tapi lebih kepada reaksi psikologi seseorang yang mendapat kritik tersebut. Berdasarkan hal tersebut, olok- olok dari orang-orang sangat mempengaruhi kondisi psikologi Goi sehingga ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Pada cuplikan cerita di atas terjalin hubungan yang tidak baik antar sesama samurai.

Cuplikan 5

Di antara yang sedikit itu ada seorang samurai yang tidak termasuk dalam kelas manapun. Ia adalah seorang pemuda dari daerah Tamba, yang kumisnya pun baru tumbuh dan tipis membayang di bawah hidungnya. Tentu saja, seperti halnya dengan para samurai lain, pada mulanya ia mencemooh Si Hidung Merah ini tanpa alasan. Namun ketika suatu hari ia mendengar ucapan Goi, “Jangan begitu dong, … kalian”, entah mengapa kata-kata itu terus melekat di benaknya. Sejak saat itu Goi seperti orang yang benar-benar berbeda dalam pandangannya. Tapi sayang sekali, hanya dia seorang yang merasa demikian. (Imogayu, halaman 105)

Analisis

Dalam cuplikan cerita di atas, terdapat seorang samurai yang menaruh belas kasihan pada Goi. Ia menghormati Goi dan tidak ikut mengolok-oloknya. Hal ini sesuai dengan go rin dan wu lun, bahwa orang sederajat harus saling menghormati. Tetapi walaupun begitu ia tidak dapat berbuat apa-apa pada Goi, padahal dalam ajaran Konfusius tindakan seseorang sangat berpengaruh pada

orang lain. Kalau saja ia memberanikan diri membela tokoh Goi dan menyadarkan orang-orang seperti yang terdapat dalam ajaran agama Buddha untuk mencintai sesama manusia, mungkin saja orang-orang bisa berpandangan sepertinya, menaruh belas kasihan pada Goi, menghormatinya, dan berhenti mengolok- oloknya.

Pada cuplikan cerita di atas terdapat dua hubungan, baik dan tidak baik. Baik karena samurai tersebut menaruh belas kasihan kepada Goi, menghormatinya, dan tidak ikut mengolok-oloknya. Tidak baik karena samurai tersebut tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa menaruh pembelaan terhadap Goi.

Cuplikan 6

Suatu hari, dalam perjalanan dari Sanjobomon ke Shinsenen, ia melihat enam atau tujuh orang anak tengah berkumpul di tepi jalan dan tampaknya sedang melakukan sesuatu. Karena menyangka mereka sedang main gasing, ia mengintip dari arah belakang. Ternyata mereka sedang memukuli seekor anjing kurus yang lehernya terikat seutas tali. Ia yang penakut belum pernah punya keberanian mengungkapkan perasaanya, sekalipun ia merasa kasihan kepada sesuatu. Tapi karena yang dihadapinya kali ini adalah anak-anak, muncul sedikit keberanian dalam dirinya. Dengan berusaha tersenyum sebisanya, ia menepuk bahu salah seorang anak yang tampaknya paling tua.

“Tolong lepaskan anjing itu. Anjing pun kalau dipukul akan merasa sakit,” katanya. (Imogayu, halaman 107)

Analisis

Pada cuplikan cerita di atas tampak bahwa Goi sangat menyayangi makhluk hidup lain yang dalam hal ini adalah anjing. Ia berusaha untuk melepaskan anjing tersebut dari pukulan anak-anak. Goi mempunyai perasaan yang halus, tampak dari perkataannya pada anak-anak bahwa anjing pun kalau dipukul juga pasti akan merasa sakit. Orang Jepang mempunyai kepercayaan adanya reinkarnasi. Oleh karena itu harus berbuat baik kepada sesama makhluk hidup terutama anjing yang sering dijadikan sahabat manusia..

Cuplikan 7

Sambil berbalik ke arahnya, anak itu menatap sekujur tubuhnya. Cara anak itu menatap sama dengan yang dilakukan oleh para samurai jika ia tidak memahami maksud mereka.

“Bukan urusanmu!” bentak anak itu. Sambil mundur selangkah, anak itu mencibirkan bibr dan berteriak. “Mau apa kau, Hidung Merah sialan!” ia merasa kata-kata itu menampar wajahnya. Ia bukan terluka oleh kata-kata anak itu, tapi ia merasa sedih karena telah mempermalukan diri sendiri dengan teguran yang tidak perlu. Sambil menyembunyikan rasa malu dengan senyuman getirnya ia terdiam, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Shinsenen. (Imogayu, halaman 107)

Analisis

Dalam cuplikan cerita di atas dapat dilihat bahwa anak-anak sama sekali tidak menghormati Goi bahkan mereka mengolok-oloknya. Lagi-lagi Goi diolok- olok karena kondisi fisiknya yang tidak normal. Seharusnya anak-anak menghormati orang tua atau yang lebih tua sekalipun orang itu tidak dikenal,

apapun keadaan dari orang tersebut. Kelakuan anak-anak tersebut tidak sesuai dengan go rin dan wu lun yang berisikan bahwa anak-anak harus mengabdi dan menghormati orang tua. Terjalin hubungan yang tidak baik antara Goi dan anak- anak yang dinasehatinya.

Cuplikan 8

Di belakangnya, kerumunan enam atau tujuh anak itu berdiri berjajar dan menjulurkan lidah mengejeknya. Tentu saja ia tidak mengetahuinya. Seandainya ia pun tahu, hal itu mungkin tidak akan mengubah dirinya yang buta perasaan itu sedikit pun. (Imogayu, halaman 108)

Analisis

Pada cuplikan cerita di atas juga tampak bahwa Goi mempermalukan dirinya sendiri. Ia tidak menduga sebelumnya bahwa anak-anak juga tidak menaruh hormat padanya sekalipun ia sudah tua. Dalam Situmorang (2008:8) disebutkan bahwa jika seseorang mendapat kritik dari orang lain maka akan timbul reaksi malu dari dalam dirinya sendiri. Reaksi ini bukan merupakan reaksi fisik tapi lebih kepada reaksi psikologi seseorang yang mendapat kritik tersebut. Oleh karena itu, nilai yang paling tinggi adalah bukan rasa takut kepada dewa atau Tuhan, tetapi rasa malu akan penilaian masyarakat umumnya. Hal inilah yang terjadi pada Goi. Tampak bahwa tidak terjalin hubungan yang baik antara Goi dan anak-anak.

Cuplikan 9

“Kasihan ya, kamu,” lanjutnya dengan suara terharu campur menghina ketika melihat Goi mengangkat kepalanya.

“Kalau kau mau, aku akan memenuhi keinginanmu.”

Goi merasa orang-orang di ruangan itu sedang memandang ke arahnya. Dengan jawabannya ia harus menerima olok-olok dari mereka lagi. Ia berpikir bahwa apapun jawabannya ia tetap akan menjadi bahan ejekan. Ia menjadi bimbang. Kalau saja saat itu Toshihito tidak berkata dengan nada agak ogah- ogahan, “Kalau tidak mau, saya tidak akan mengulangi tawaran saya”, mungkin ia akan terus memandangi Toshihito dan mangkuknya bergantian.

Mendengar itu ia buru-buru menjawab, “Tidak usah…, saya berterima kasih sekali.” (Imogayu, halaman 110)

Analisis

Dalam cuplikan cerita di atas dapat dilihat bahwa Toshihito iku mengolok- olok Goi yang merupakan bawahannya. Tetapi ia menawarkan sesuatu yang begitu menggiurkan Goi. Seharusnya Toshihito tidak boleh bersikap demikian. Seperti dalam ajaran Konfusius, wu lun, seharusnya seorang tuan harus berbuat baik dan murah hati kepada bawahannya sehingga pengikut bisa tetap setia. Memang Toshihito bermurah hati menawarkan kepada Goi untuk makan bubur ubi, tetapi Toshihito terlihat seperti ogah-ogahan sehingga Goi takut-takut untuk menjawab. Di samping juga Goi takut karena semakin diolok-olok. Terjalinlah hubungan yang tidak baik antara atasan dan bawahan.

Jawaban Goi “Tidak usah…, saya berterima kasih sekali”, berkaitan dengan budaya malu. Seperti yang dikatakan dalam Situmorang

(2008:8) bahwa dalam berinteraksi dengan orang lain, seseorang akan menerima dan memberi budi baik. Bagi orang Jepang yang dibesarkan dengan ajaran-ajaran moral seperti tahu malu dan menghargai diri sendiri akan merasakan bahwa budi baik yang mereka terima dari orang lain merupakan beban terberat dalam hidupnya. Oleh karena itu, masyarakat menuntut kepada setiap orang warganya untuk membalas kembali segala kebaikan yang diterimanya. Masih dalam Situmorang (1995:66) juga dikatakan bahwa konsep pembalasan kebaikan setulus hati, yaitu bahwa kebaikan yang telah diterima tersebut harus dibalas tanpa memikirkan untung dan rugi. Berdasarkan hal tersebutlah Goi mencoba untuk menolak tawaran dari tuannya, Toshihito.

Cuplikan 10

“Kemanakah Anda akan membawa saya, Tuan?”, tanya Goi sambil dengan kagok menarik tali kekang.

“Sudah dekat, di situ. Tidak sejauh yang kau kira.” “Kalau begitu, sekitar Awataguchi, bukan?” “Ya, begitulah kira-kira.” (Imogayu, halaman 114)

Analisis

Pada cuplikan cerita di atas tampak Goi bertanya pada tuannya hendak ke manakah mereka akan pergi. Goi tetap mengikut tuannya walaupun ketakutan melandanya karena mereka tidak kunjung samapai di tempat tujuan. Sikap Goi ini sesuai dengan yang terdapat dalam etika dasar (go rin) dan wu lun dalam ajaran Konfusius bahwa pengikut harus mengabdi dan menghormati tuannya. Setiap

pihak berkelakuan sesuai dengan kedudukannya sehingga tuan bisa bersikap murah hati dan pengikut menjadi setia kepada tuan.

Pada cuplikan cerita di atas tampak hubungan yang terjalin dengan baik antara atasan dan bawahan. Bawahan menerima baik perintah atasan dan atasan memperlakukan bawahan dengan baik pula.

Cuplikan 11

“Terima kasih atas kedatangan kalian,” ujar Toshihito. Para pengikutnya yang sedang berlutut bergegas berdiri lalu mengambil tali kekang kuda Toshihito dan Goi. Semuanya langsung menjadi ceria. (Imogayu, halaman 121)

Analisis

Pada cuplikan cerita di atas dapat dilihat bahwa para pengikut begitu mengabdi kepada tuan mereka, Toshihito. Para pengikut segera membereskan segala sesuatunya dengan bergegas. Hal ini seperti yang terdapat dalam go rin bahwa pengikut harus mengabdi kepada tuannya. Dalam ajaran Konfusius (wu

lun) juga dikatakan hal demikian. Begitupun Toshihito, walaupun ia seorang tuan/

atasan, ia memperlakukan para pengikutnya dengan baik. Hal ini terlihat dari sikap Toshihito yang mengucapkan terima kasih kepada para pengikut/ bawahannya. Hubungan antar atasan dan bawahan terjalin dengan baik.

Pada cuplikan cerita di atas tampak bahwa terjalinnya hubungan yang baik antara tuan dan pengikut.

Cuplikan 12

Kemudian, ia mendengar seseorang sedang berteriak denga suara nyaring di kebun di luar kamarnya. Menilik suaranya, tidak salah lagi, ia adalah pengikut Toshihito yang sudah beruban yang tadi pagi menjemput mereka. Kedengarannya ia sedang mengumumkan sesuatu. Suara kering orang itu, mungkin karena bergema di udara dingin, satu per satu kata-katanya terasa bagaikan menyusup, masuk ke tulang-tulang Goi.

“Dengarkan, hai para pelayan! Tuan besar memerintahkan agar semua orang, tua muda, membawa sepotong ubi yang tebalnya 9 cm dan panjang 1,5 meter sebelum pukul enam pagi. Ingat, sebelum pukul enam!” (Imogayu, halaman 124)

Analisis

Dalam cuplikan cerita di atas terlihat hubungan antar sesama pengikut Toshihito. Kepala pelayan yang sudah tua memerintahkan kepada para pelayan agar mengumumkan kepada masyarakat agar membawa ubi sebelum pukul enam pagi. Terlihat bahwa setiap pelayan mematuhinya walaupun mereka sederajat. Memang sudah seharusnyalah demikian, yang muda menghormati yang tua. Hal ini sesuai dengan ajaran etika dasar (go rin) tentang hubungan orang sederajat.

Masyarakat pun mematuhi untuk membawa ubi berdasarkan ukuran yang ditetapkan sebelum jam 6 pagi. Tampak pengabdian masyarakat terhadap pemimpin mereka. Begitulah seharusnya, penguasa bertindak sebagai penguasa seperti yang diajarkan Konfusius dalam hubungan sosial masyarakat.

Pada cuplikan cerita di atas tampak bahwa terjalin hubungan yang baik antara atasan yang dalam hal ini kepala pelayan dan bawahan yang dalam hal ini

pelayan biasa. Walaupun mereka merupakan pelayan yang sama-sama mengabdi kepada Toshihito. Terjalin juga hubungan yang baik antara penguasa dengan masyarakat.

Cuplikan 13

Satu jam kemudian, Goi tampak menghadapi hidangan makan paginya bersama Toshihito dan bapak mertuanya, Arihito. Di hadapan mereka tersaji kendi perak besar berisi bubur ubi dalam jumlah yang menakjubkan banyaknya. (Imogayu, halaman 126)

Analisis

Pada cuplikan cerita di atas dapat dilihat hubungan yang baik antara atasan (tuan) dan bawahan (pengikut). Toshihito dan bapak mertuanya, Arihito menjamu Goi makan dan duduk dalam satu meja. Hal ini sesuia dengan ajaran Budha yang mengajarkan bahwa setiap manusia adalah sama, harus saling menghormati satu sama lain, tidak membeda-bedakan baik itu dari segi fisik maupun kedudukan.

Dokumen terkait