ANALISIS HUBUNGAN MANUSIA DALAM CERPEN “IMOGAYU” KARYA AKUTAGAWA RYUNOSUKE
AKUTAGAWA RYUNOSUKE NO SAKUHIN NO “IMOGAYU” NO TANPEN NI OKERU DE NINGEN KANKEI NO BUNSEKI
SKRIPSI
Skripsi ini Diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana
dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh:
SISKA MARGARET PURBA 060708030
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG MEDAN
ANALISIS HUBUNGAN MANUSIA DALAM CERPEN “IMOGAYU” KARYA AKUTAGAWA RYUNOSUKE
AKUTAGAWA RYUNOSUKE NO SAKUHIN NO “IMOGAYU” NO TANPEN NI OKERU DE NINGEN KANKEI NO BUNSEKI
SKRIPSI
Skripsi ini Diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana
dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Nandi S.
NIP. 19600822 1988 03 1 002 NIP. 19580704 1984 12 1 001
Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M. S., Ph.D.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat, rahmat,
anugerah, dan perlindungan-Nya skripsi ini dapat terselesaikan.
Skripsi yang berjudul “Analisis Hubungan Manusia dalam Cerpen
Imogayu Karya Akutagawa Ryunosuke” ini diajukan untuk memenuhi
persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan pada Fakultas Sastra Departemen
Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan
bimbingan moril dan materiil dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini,
penulis ingin menyampaikan terima kasih, penghargaan, serta penghormatan yang
sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis
menyelesaikan studi dan skripsi ini, terutama kepada:
1. Bapak Prof. Drs. Syaifuddin, M. A., Ph. D. selaku Dekan Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M. S., Ph. D. selaku Ketua
Program Studi Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara
sekaligus dosen pembimbing II yang telah menyediakan waktu di sela-sela
kesibukannya dan jadwalnya yang padat untuk membimbing dan memberi
nasehat dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Drs. Nandi S. selaku dosen pembimbing I yang dalam kesibukannya
sebagai pengajar telah menyediakan banyak waktu, pikiran, dan tenaga
4. Dosen penguji skripsi yang telah menyediakan waktu untuk membaca dan
menguji skripsi ini. Terima kasih juga kepada semua dosen pengajar
Program Studi Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara
yang telah memberikan banyak ilmu sehingga penulis dapat
menyelesaikan perkuliahan dengan baik.
5. Keluargaku terkasih, Bapak dan Mama ( S. E. Purba dan H. br. Sinaga),
abang dan adik-adikku (Bona, Darwin, dan Wilson) atas segala cinta kasih,
doa, dan semangat yang diberikan tiada henti.
6. Sahabat-sahabatku tersayang (Frida, Cici, dan Jessi) dan teman-teman ’06
yang lain, yang memberi semangat dan saling menguatkan satu sama lain
dalam menyelesaikan studi serta telah berbagi begitu banyak hal selama
menjalani proses belajar di Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.
7. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini, yang tidak
dapat disebutkan satu per satu.
Tidak ada yang sempurna dalam hidup ini, termasuk juga dalam penulisan
skripsi ini. Namun penulis tetap mencari kesempurnaan tersebut dalam suatu nilai
pekerjaan yang dilakukan secara maksimal. Maka dengan berangkat dari prinsip
itu jugalah, penulis berusaha merampungkan skripsi ini.
Medan, Mei 2010
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……….i
DAFTAR ISI………iii
BAB I PENDAHULUAN………1
1.1Latar Belakang Masalah………..1
1.2Perumusan Masalah……….5
1.3Ruang Lingkup Pembahasan………6
1.4Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori……….7
1.5Tujuan dan Metode Penelitian………10
1.6Metode Penelitian………...11
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP CERPEN, HUBUNGAN MANUSIA, DAN DASAR-DASAR ETIKA DIJEPANG…………..12
2.1. Defenisi Cerpen……….12
2.1.1. Unsur Intrinsik………13
2.1.2. Unsur Ekstrinsik………..21
2.2. Defenisi Sosiologi Sastra………...27
2.3. Dasar-dasar Etika di Jepang………...30
BAB III ANALISIS HUBUNGAN MANUSIA DALAM CERPEN IMOGAYU………34
3.1. Sinopsis Cerita………34
3.2. Analisis Hubungan Manusia dalam Cerpen Imogayu………37
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN………50
4.1. Kesimpulan ………50
ABSTRAK
Cerpen Imogayu merupakan salah satu karya Akutagawa Ryunosuke.
Akutagawa Ryunosuke adalah seorang sastrawan besar yang karya-karyanya
banyak dipuji oleh berbagai kalangan, baik oleh sesama sastrawan maupun
kritikus sastra. Hampir semua karya sastranya merupakan karya besar. Banyak
karya sastranya yang mengandung kondisi sosial masyarakat seperti hubungan
antar sesama manusia, salah satunya adalah cerpen “Imogayu”. Imogayu berasal
dari dua kata, imo dan gayu. Imo yang berarti ubi dan gayu (dari kayu) yang
berarti bubur. Jadi imogayu berarti bubur ubi.
Dalam cerpen Imogayu ini, terdapat tokoh-tokoh yang mendukung cerita
yaitu Goi, seorang samurai kelas rendahan yang menjadi tokoh utama dalam
cerpen ini, tetapi mempunyai kondisi fisik yang tidak normal. Ada juga Fujiwara
Toshihito, anak dari Menteri Keuangan dalam pemerintahan Fujiwara Mototsune
yang akhirnya membantu Goi memperoleh kepuasan batinnya. Ada juga Arihito
(mertua Toshihito), para samurai dari berbagai kelas, para pembantu dan pelayan,
juga anak-anak. Para tokoh tersebut berhubungan satu sama lain.
Cerpen ini menceritakan tentang tokoh Goi yang selalu diolok-olok baik
itu atasannya maupun bawahannya. Tetapi yang paling sering mengolok-oloknya
adalah para samurai yang merupakan teman sederajatnya. Ia juga diolok-olok oleh
para pembantu yang merupakan bawahannya. Para pembantu sering tidak
mengindahkan segala yang diperintahkannya. Orang-orang pun kerap kali ikut
Terdapat berbagai hubungan manusia yang terjalin dalam cerpen Imogayu
ini. Hubungan atasan (tuan) dan bawahan (pengikut), hubungan suami dan istri,
hubungan dengan anak-anak, juga hubungan antar orang sederajat. Hubungan
manusia yang terjadi terjalin dengan baik dan sebaliknya.
Hubungan-hubungan yang terjalin tersebut ada yang sesuai dan tidak
sesuai dengan etika dasar Jepang (go rin) dan wu lun dalam ajaran Konfusius yang
isinya sama, yaitu pengabdian pengikut terhadap tuannya, pengabdian anak
terhadap ayah, pengabdian adik laki-laki terhadap kakak laki-laki, pengabdian istri
terhadap suami, dan hubungan antar orang yang sederajat.
Dalam cerpen ini juga terdapat budaya malu dalam masyarakat Jepang.
Dalam kehidupan masyarakat Jepang, rasa malu yang paling tinggi adalah
ketidakmampuan membalaskan budi baik orang lain atau prinsip keterutangan
terutama pada utang budi. Oleh karena itu seluruh aktifitas didasarkan pada
penghindaran rasa malu.
Dalam berinteraksi dengan orang lain, jika seseorang mendapat kritik dari
orang lain maka akan timbul rasa malu dari dalam dirinya sendiri. Reaksi ini
bukan merupakan reaksi fisik tapi lebih kepada reaksi psikologi seseorang yang
mendapat kritik tersebut. Nilai yang paling tinggi dalam masyarakat adalah rasa
malu akan penilaian masyarakat umum.
Hal inilah yang terjadi dalam hubungan antara tokoh Goi dan para tokoh
lainnya. Ia tidak bisa melakukan apa-apa setiap kali diolok-olok. Ia hanya bisa
diam dan meringis. Ia tidak bisa berhubungan baik dengan orang-orang di
sekitarnya. Tetapi walaupun begitu, ia begitu mengabdi pada tuannya sehingga
Toshihito. Dan hubungan baik inilah yang kemudian bisa mewujudkan impian
tokoh Goi untuk makan bubur ubi sepuasnya.
Secara umum, hubungan manusia dalam cerpen Imogayu cenderung tidak
sesuai dengan dasar-dasar etika (go rin) dan wu lun dalam ajaran Konfusius.
Tetapi ada juga yang sesuai, seperti pengabdian pengikut pada tuan, dalam hal ini
pengabdian Goi terhadap Toshihito.
TERJEMAHAN
要旨
アクタガワリュノスケの作品(イモガユ)の短編におけル人間関係分析
イモガユの短編はアクタガワリュノスケの作品の一つであった。ア
クタガアワリュノスケは偉大な文学者であり、その作品も諸文学者でも、
文芸批評家でもよく評価されていた。ほとんどそのすべての文学作品は傑
作となった。内容は人間関係のような社会的な状態をのせていた。その一
つの中ではイモガユの題のある短編であった。イモガユは二つの単語から
なっていた。それは(イモ)と(カユ)であった。(イモ)は里いもで、
(カユ)は(カユ)という意味であった。だからインドネシア語でイモガ
ユはbubur ubiであった。
このイモガユの短編では幾人の主人公がいた。その一人の中ではゴ
イであった。またフジワラトシヒトというフジワラモトツネの行政の財務
ヒト、様々な階級からの侍、手伝いさん,子供たちであった。それぞれの
主人公の中では互いに関係があった。
この短編はつねに上司も部下もからかわれたゴイの主人公について
描写した。でも、よく彼をからかったのは彼の同級の友達の侍たちであっ
た。彼もよく彼の部下であり、手伝いさんたちにからかわれた。手伝いさ
んたちはよく彼が命令したことを気にしなかった。人々もよく彼をからか
っていた。しかも子供たちも彼に尊敬をしなかった。
このイモガユの短編ではいろいろなつながっていた人間関係があっ
た。目上と目下の関係、夫婦の関係、子供たちとの関係、同級の人間同士
の関係もあった。できた人間関係はよくあるいは悪くつながっていること
もあった。
そのつながっていた関係はゴリンに合うか合わないのかもあった、
同じ内容のKonfusius 教の中のwu lunは上司に対する部下奉仕、父に対す
る子供の奉仕、兄対する弟の奉仕、夫に対する妻野奉仕、同級の人間関係
であった。
この短編では日本社会の中の恥の文化もあった。日本社会の生活で
は、一番上の恥ずかしいことは他の人に恩返しをすることができないこと
あるいは恩返し原則のことであった。だから、全ての活動は恥を避けるこ
とと基礎された。
他の人とコミュニケーションをするとき,だれかが他の人から批判
反動ではないが、その批判を受けただれかの心理的な反動の傾向があった。
社会で野一番上の価値は公共社会の評価に対する恥であった。
これはゴイの主人公と他の主人子たちができた関係であった。彼は
からかわれるたびに何もできなかった。ただ、だまったり鈍い顔をしたり
しただけであった。彼は周りの人々とよくつながることができなかった。
それでも、彼は上司に対して心から奉仕をしていたので、上司もよく彼の
ためにしてやった。彼は彼の上司にいい関係をつながり、トシヒトであっ
た。このいい関係がつながっていたおかげで、満足するほどイモガユを食
べることのゴイの主人公の夢が叶えるようになった。
一般的に、イモガユの短編での人間関係はKonfusius教の中のwu
lunとゴリンに合わない傾向があった。でも、合っていることも合った。
例えば、上司に対する部下の奉仕、すなわちトシヒトに対するゴイの 奉
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Suatu karya sastra tercipta tidak dalam kekosongan sosial budaya. Artinya,
pengarang tidak dengan tiba-tiba mendapat berkah misterius yang kemudian
dengan elegannya menciptakan suatu karya sastra. Suatu karya sastra tercipta
lebih merupakan hasil pengalaman, pemikiran, refleksi, dan rekaman budaya
pengarang terhadap sesuatu hal yang terjadi dalam dirinya sendiri dan masyarakat.
Karya sastra juga merupakan suatu kerucutisasi subjektif pengarang dalam
memberikan suatu ide, pemikiran, pesan, dan gagasan terhadap suatu hal.
Menurut Zainuddin (1992:99), sastra adalah karya seni yang dikarang
menurut standar bahasa kesusastraan. Standar kesusastraan yang dimaksud adalah
penggunaan kata-kata yang indah, gaya bahasa serta gaya cerita yang menarik.
Sedangkan menurut Walek dan Warren (1995:109), sastra adalah lembaga sosial
yang memakai medium bahasa dalam menampilkan gambaran kehidupan dan
kehidupan itu sendiri adalah kehidupan sosial.
Salah satu negara di Asia yang banyak melahirkan sastrawan-sastrawan
yang karya sastranya telah banyak dibaca dan diterjemahkan ke dalam banyak
bahasa adalah Jepang. Jepang mengenal kesusastraan lisan dan kesusastraan
tulisan.
Pada umumnya, karya sastra berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua
bagian yaitu, karya sastra yang bersifat fiksi dan nonfiksi. Karya sastra yang
yang bersifat nonfiksi berupa puisi, drama dan lagu
(articlesarchive.desihanara.com).
Menurut Aminuddin (2000:66), fiksi adalah kisah cerita yang diemban
oleh pelaku-pelaku yang tertentu yang bertolak dari imajinasi pengarang sehingga
menjalin suatu cerita. Dengan demikian karya sastra fiksi merupakan suatu karya
sastra naratif yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi
bukan karena keadaan yang nyata sehingga tidak perlu dicari kebenarannnya,
karena tokoh, peristiwa, tempat yang mendukung cerita itu seluruhnya bersifat
imajiner.
Salah satu karya sastra fiksi adalah cerpen. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, cerpen adalah kisahan pendek yang memberikan kesan tunggal yang
dominant dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi.
Ajip Rosidi dalam Zen (2006:2) mengatakan bahwa cerita pendek
merupakan cerita yang pendek dan merupakan suatu kebulatan ide. Berdasarkan
pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa di dalam sebuah cerita pendek terdapat
suatu kesatuan yang utuh yang mampu menampilkan cerita yang baik dan menarik
dengan isi cerita yang pendek.
Ada dua unsur yang membangun dan sangat berpengaruh dalam suatu
karya sastra, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah
unsur yang membangun karya sastra itu sendiri atau dengan kata lain
unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Unsur-unsur-unsur yang
dimaksud misalnya, tema, plot, latar, penokohan, sudut pandang penceritaan,
bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah
mempengaruhi karya sastra tersebut atau dengan kata lain dapat dikatakan sebagai
unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun tidak
ikut menjadi bagian di dalamnya. Unsur-unsur ekstrinsik tersebut adalah
kebudayaan, sosial, psikologis, ekonomi, politik, agama, dan lain-lain yang dapat
mempengaruhi pengarang dalam karya yang ditulisnya.
Cerpen mempunyai kedua unsur tersebut. Unsur intrinsik yang akan
ditelaah dalam cerpen adalah tokoh. Dalam Aminuddin (2000:79), tokoh
merupakan pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga
peristiwa itu mampu menjalin sebuah cerita. Walaupun tokoh yang terdapat dalam
sebuah karya sastra merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia tetap seorang tokoh
yang hidup secara wajar sebagaimana kehidupan manusia yang terdiri dari darah
dan daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan. Tokoh yang ditampilkan
pengarang dalam karyanya merupakan kebebasan kreativitas seorang pengarang.
Pengarang bebas menciptakan dunia dalam fiksi, ia mempunyai kebebasan penuh
untuk menampilkan tokoh-tokoh cerita sesuai dengan keinginannya,
bagaimanapun perwatakan, permasalahan yang dihadapi, kondisi sosial
masyarakat, dan lain-lain merupakan kebebasan dari pengarang.
Berbicara tentang hubungan manusia dalam masyarakat dalam suatu karya
sastra berarti kita berbicara tentang unsur ekstrinsik dari karya sastra tersebut.
Hubungan manusia dalam masyarakat pada karya sastra merupakan suatu unsur
yang tidak berada di dalam karya sastra tersebut tetapi mempengaruhi bangun
cerita dari karya sastra tersebut.
Hubungan manusia yang terdapat dalam karya sastra fiksi merupakan hak
sehingga terdapat keserasian dan kesesuaian antara tokoh dan jalan cerita yang
dibuat oleh pengarang tersebut. Kondisi sosiologis dapat kita lihat dari hubungan
timbal balik dan hubungan yang tak terpisahkan antara tokoh dan masyarakat di
dalam cerita fiksi tersebut.
Salah satu sastrawan Jepang yang terkenal adalah Akutagawa Ryunosuke
yang telah memberikan banyak sumbangan dalam dunia sastra yang berupa karya
sastra fiksi. Karya sastra fiksi Ryunosuke banyak dikagumi oleh pembaca karya
sastra di seluruh dunia. Salah satu hasil karya sastra fiksi Ryunosuke adalah cerita
pendek (cerpen). Banyak cerpen yang telah dihasilkan Ryunosuke, salah satunya
adalah cerpen yang berjudul “Imogayu”.
Cerpen “Imogayu” yang ditulis Akutagawa Ryunosuke merupakan cerpen
yang berlatar pada zaman Heian (794-1192). Tokoh utamanya adalah seorang goi
(samurai pada zaman Heian yang menduduki kelas paling rendah) yang tidak
diketahui namanya dengan jelas. Goi itu adalah seorang lelaki yang
penampilannya sangat tidak menarik. Pertama, tubuhnya pendek, hidungnya
merah, ekor matanya turun, dan berkumis tipis. Pipinya yang cekung
menyebabkan dagunya tampak panjang, tidak seperti orang kebanyakan.
Tampangnya sangat aneh dan tidak menarik. Pakaian yang dikenakannya
membuatnya semakin tidak menarik. Dari hari ke hari yang dilakukan hanya
melakukan pekerjaan yang sama. Siapapun yang melihatnya tidak akan pernah
berpikir bahwa ia pernah muda. Sepertinya, sejak lahir ia telah memiliki hidung
merah seperti orang kedinginan dan kumis tipis yang diembus angin sekitar jalan
Barangkali dengan mudah dapat dibayangkan perlakuan yang diterimanya,
ia bertampang aneh bila dibandingkan orang-orang di sekitarnya. Para samurai
sekelasnya tidak mengacuhkan dan menganggapnya cuma bagaikan seekor lalat.
Bahkan para pembantu yang masuk dalam kelas tertentu pun, atau yang sama
sekali tidak, yang berjumlah sekitar 20 orang, juga bersikap tidak acuh kepadanya.
Jika ia memerintahkan sesuatu kepada mereka, mereka tidak peduli dan tetap saja
mengobrol. Bagi mereka keberadaannya tampak seperti udara belaka, seolah tidak
kasat mata. Kalau para pembantu saja bersikap seperti itu, tentu saja para samurai
kelas atas jauh lebih tidak menghargainya lagi. Keberadaannya diabaikan oleh
hampir-hampir layaknya anak kecil yang tidak punya arti apa-apa. Mereka tidak
memikirkan Goi sama sekali. Padahal tidak sepenuhnya Goi bersalah karena
terlahir dengan fisik seperti itu. Tidak ada rasa sosial sama sekali. Berdasarkan
itulah penulis tertarik dalam skripsi yang berjudu l “Analisis Hubungan Manusia
dalam Cerpen ‘Imogayu’ Karya Akutagawa Ryunosuke” dengan harapan dapat
memberikan pandangan dan informasi kepada pembaca tentang kondisi sosial
tokoh Goi yang digambarkan Akutagawa Ryunosuke dalam karya sastra yang
telah melejitkan kepopulerannya itu.
1.2Perumusan Masalah
Sesuai dengan judul proposal, yaitu “Analisis Hubungan Manusia dalam
Cerpen ‘Imogayu’ Karya Akutagawa Ryunosuke”, maka proposal ini akan
membahas mengenai hubungan antar tokoh dalam masyarakat sehari-hari.
Salah satu tokoh dalam cerpen “Imogayu” adalah Goi yang selalu
kadang-kadang memberikan perintah hanya menggunakan gerak isyarat. Tak
jarang pula ia dipermainkan oleh sesamanya samurai, dijadikan bahan olokan, dan
yang lebih muda menjadikannya sebagai sumber latihan membuat cerita lucu.
Mereka tidak pernah bosan memberi komentar mengenai hidung, kumis, topi, dan
pakaiannya. Anehnya, ia benar-benar buta terhadap setiap olok-olok yang
diperuntukkan padanya. Setidaknya, bagi orang lain yang melihatnya, ia seperti
orang yang buta perasaan. Apapun yang dikatakan orang tentangnya, tidak pernah
mengubah raut mukanya. Sambil diam dan mengelus kumis tipisnya, ia
mengerjakan tugas sehari-harinya.
Untuk memudahkan arah sasaran yang ingin dikaji, maka masalah
penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut ini:
1. Bagaimana hubungan manusia berdasarkan etika moral Jepang?
2. Bagaimana hubungan manusia yang dijadikan setting dalam cerpen
‘Imogayu”?
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan
Dari permasalahan-permasalahan yang ada maka penulis menganggap
perlu adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan. Hal ini dimaksudkan
agar masalah penelitian tidak terlalu luas.
Dalam analisis ini, penulis hanya membatasi ruang lingkup pembahasan
yang difokuskan pada masalah hubungan manusia dalam cerpen Imogayu.
Bagaimana tokoh Goi bertahan dalam lingkungan sosial yang menganggap tokoh
akan dipaparkan bagaimana hubungan manusia yang terjalin dalam cerpen
Imogayu.
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka
Swingewood dalam Faruk (1994:1) menyatakan bahwa sosiologi
merupakan studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dan masyarakat,
studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Selanjutnya
mengatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan bagaimana cara
kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup.
Menurut Wolff dalam Endraswara (2008:77), sosiologi sastra merupakan
disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefenisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah
studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general,
yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya
berurusan dengan hubungan sastra dan masyarakat.
Sedangkan menurut Ratna (2002:2), sosiologi sastra merupakan
pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek
kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya. Sosiologi sastra mewakili
keseimbangan antara kedua komponen, yaitu sastra dan masyarakat. Oleh karena
itu, analisis sosiologis memberikan perhatian yang besar terhadap fungsi-fungsi
sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu.
Menurut Swingewood dalam Tarihoran (2009:8), sosiologi sastra dapat
- Perspektif Teks Sastra
Artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan
masyarakat dan sebaliknya. Teks biasanya dipotong-potong,
diklasifikasikan, dan dijelaskan makna sosiologisnya.
- Perspektif Biografis
Yaitu peneliti menganalisis pengarang. Perspektif ini akan
berhubungan dengan life story seorang pengarang dan latar
belakang sosialnya. Memang analisis ini akan terbentur pada
kendala jika pengarang telah meninggal dunia, sehingga tidak bisa
ditanyai. Karena itu, sebagai sebuah perspektif tentu diperuntukkan
bagi pengarang yang masih hidup dan mudah terjangkau.
- Perspektif Reseptif
Yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks
sastra. Unsur-unsur penunjang terciptanya sebuah karya sastra,
khususnya prosa antara lain tema, penokohan, alur, plot, setting,
dan sebagainya. Tokoh dan penokohan merupakan unsure yang
penting dalam karya naratif. Tokoh dalam sebuah karya sastra fiksi
merupakan pelaku yang mengemban peristiwa yang memiliki
posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat,
moral atau yang ingin sengaja disampaikan pada pembaca.
Di dalam cerpen “Imogayu” karya Akutagawa Ryunosuke dapat dilihat
bahwa tokoh menampilkan masalah sosial, bagaimana seorang Goi menjalani
hidupnya sehari-hari yang penuh dengan hinaan. Tetapi akhirnya ia menemukan
membawa pesan moral atau amanat yang kiranya dapat bermanfaat bagi
masyarakat.
1.4.2 Kerangka Teori
Dalam menganalisis suatu karya sastra diperlukan suatu pendekatan yang
berfungsi sebagai acuan penulis dalam menganalisis karya sastra tersebut. Dalam
menganalisis cerpen ini, penulis menggunakan pendekatan sosiologis.
Penulis menggunakan pendekatan semiotik dalam menganalisis karena
mengetahui adanya masalah-masalah yang dialami tokoh Goi dalam menjalani
kehidupan dan berbaur dengan masyarakat sosial yang tidak mudah menerima
kekurangan tokoh Goi yang hingga pada akhirnya tokoh Goi mampu mencapai
tujuannya.
Untuk melihat gambaran kehidupan sosial suatu individu secara khusus
dan masyarakat pada umumnya dalam sebuah karya sastra adalah dengan
menggunakan pendekatan ilmu yaitu sosiologi sastra.
Sosiologi adalah konsepsi mengenai hubungan timbal balik dan hubungan
yang tak terpisahkan antara manusia dan masyarakat. Dimulai dari perkembangan
manusia sejak lahir, pada waktu manusia berada dalam dominan kelompok utama
(prime group) yang ditandai dengan saling kenal antara warga serta kerja sama
yang erat yaitu peleburan individu dengan kelompok (Horton dalam Soerjono,
2007:352).
Dengan menggunakan teori sosiologis tersebut, penulis dapat menganalisis
masalah sosial. Contohnya adalah Goi yang kehidupannya tidak terlepas dari
kehidupan sosial masyarakat di sekitarnya.
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan sebagaimana telah dikemukakan di
atas maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan hubungan manusia berdasarkan etika moral Jepang
dalam cerpen Imogayu.
2. Untuk mendeskripsikan hubungan manusia yang dijadikan setting dalam
cerpen Imogayu.
1.5.2 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Bagi peneliti dan masyarakat umum diharapkan dapat menambah
informasi dan pengetahuan mengenai sosiologis sastra dalam karya
fiksi khususnya dalam cerpen “Imogayu”.
2. Bagi peneliti dan masyarakat umum diharapkan menambah informasi
tentang bagaimana hubungan manusia yang sesuai dengan dasar-dasar
etika (go rin) di Jepang.
3. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa Departemen
1.6 Metode Penelitian
Sebuah penelitian pasti menggunakan metode sebagai penunjang dalam
mencapai tujuan. Dalam Siswantoro (2005:55) dikatkan bahwa metode dapat
diartikan sebagai prosedur atau tata cara yang sistematis yang dilakukan seorang
peneliti dalam upaya mencapai tujuan seperti memecahkan masalah atau menguak
kebenaran atas fenomena tertentu.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
Koentjaraningrat (1976:30) mengatakan bahwa penelitian yang bersifat deskriptif
yaitu memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu,
keadaan, atau kelompok tertentu.
Dalam mengumpulkan data-data penelitian, teknik yang digunakan adalah
studi kepustakaan (Library Research) yaitu dengan membaca buku-buku yang
berhubungan dengan karya sastra, kritik sastra, dan buku-buku panduan analisis
sosiologis dalam karya sastra serta tambahan literature lainnya.
Selain memanfaatkan literature yang berupa buku, juga memanfaatkan
teknologi internet, mengumpulkan data dari berbagai website yang berhubungan
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP CERPEN, SOSIOLOGI SASTRA, DAN DASAR-DASAR ETIKA DI JEPANG
2.1. Definisi Cerpen
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cerpen adalah kisahan pendek
yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu
tokoh dalam satu situasi. Ajip Rosidi dalam Zen (2006:2) mengatakan bahwa
cerita pendek merupakan cerita yang pendek dan merupakan suatu kebulatan ide
berdasarkan pendapat tersebut dikatakan bahwa di dalam sebuah cerita pendek
terdapat suatu kesatuan yang utuh yang mampu menampilkan cerita yang baik dan
menarik dengan isi cerita pendek.
Setiap karya sastra fiksi mempunyai unsur-unsur yang mendukung karya
sastra fiksi tersebut, baik unsur dari dalam sastra itu sendiri (unsur intrinsik)
ataupun unsur dari luar (unsur ekstrinsik) karya sastra itu yang secara tidak
langsung mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra.
Akutagawa Ryunosuke merupakan salah satu sastrawan yang sangat
terkenal yang telah banyak memberikan sumbangan dalam dunia sastra berupa
karya sastra fiksi. Salah satu dari hasil karya Ryunosuke adalah cerpen yang
berjudul Imogayu.
Cerpen Imogayu dipublikasikan pada tahun 1916 dalam sebuah majalah di
Jepang. Cerpen Imogayu mengandung unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik yang
dbicarakan adalah tema, plot/ alur cerita, tokoh, dan setting. Sedangkan unsur
ekstrinsiknya adalah biografi pengarang.
2.1.1. Unsur Intrinsik a. Tema
Setiap karya fiksi haruslah mempunyai dasar atau tema yang merupakan
sasaran tujuan. Penulis melukiskan watak tokoh dalam karyanya dengan latar
tersebut. Dengan demikian tidaklah berlebihan kalau dikatakan tema itu
merupakan hal penting dalam seluruh cerita (Tarigan, 1986:125).
Menurut Scharbach dalam Aminuddin (2000:91) istilah tema berasal dari
bahasa Latin yang berarti ’tempat meletakkan suatu perangkat’. Disebut demikian
karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga
sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang
diciptakannya. Sebab itulah penyikapan terhadap tema yang diberikan
pengarangnya dengan pembaca umumnya terbalik. Seorang pengarang harus
memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses
kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka
telah selesai memahami unsur-unsur signifikan yang menjadi media pemapar tema
tersebut.
Lebih lanjut Brooks dalam Aminuddin (2000:92) mengungkapkan bahwa
dalam mengapresiasi tema suatu cerita, apresiator harus memahami ilmu-ilmu
humanitas karena tema sebenarnya merupakan pendalaman dan hasil kontemplasi
pengarang yang berkaitan dengan masalah kemanusiaan serta masalah lain yang
di dalamnya. Akan tetapi, keberadaan tema meskipun inklusif di dalam cerita
tidaklah terumus dalam satu dua kalimat secara tersurat, tetapi tersebar di balik
keseluruhan unsur-unsur signifikan atau media pemapar prosa fiksi. Dalam upaya
pemahaman tema, pembaca perlu memperhatikan beberapa langkah berikut secara
cermat.
1) Memahami setting dalam prosa fiksi yang dibaca.
2) Memahami penokohan dan perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi
yang dibaca.
3) Memahami suatu peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa
dalam prosa fiksi yang dibaca.
4) Memahami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca.
5) Menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan lainnya yang
disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu
cerita.
6) Menentukan sikap penyair terhadap poko-pokok pikiran yang
ditampilkannya.
7) Mengidentifikasi tujuan pengarang dalam memaparkan ceritanya
dengan bertolak dari satuan pokok pikiran yang ditampilkannya.
8) Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya
dalam satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita
yang dipaparkan pengarangnya.
Sesuai dengan judul “Imogayu” yang dalam bahasa Indonesia mempunyai
arti Bubur Ubi, maka tema dari cerpen ini menceritakan tentang bubur ubi.
keinginan yang sangat besar untuk makan bubur ubi. Kondisi fisik tokoh Goi
membuatnya susah berhubungan dengan orang lain karena ia tidak sama dengan
manusia normal lainnya. Kondisi sosial tentang hubungan manusia inilah yang
menjadi fokus utama cerita dalam cerpen “Imogayu” karya Akutagawa
Ryunosuke ini.
b. Plot/ Alur Cerita
Pengertian alur dalam cerpen atau pada karya sastra pada umumnya adalah
rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin
suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Istilah alur
dalam hal ini sama dengan istilah plot maupun struktur cerita. Tahapan peristiwa
yang menjalin suatu cerita bisa berbentuk dalam rangkaian peristiwa yang
berbagai macam (Aminuddin, 2000:83).
Dalam cerita fiksi atau cerpen urutan peristiwa dapat beraneka ragam.
Montage dan Henshaw dalam Aminuddin (2000:84) menjelaskan bahwa tahapan
peristiwa dalam plot suatu cerita dapat tersusun dalam tahapan-tahapan sebagai
berikut:
- Exposition : Yakni tahap awal yang berisi penjelasan tentang tempat
terjadinya peristiwa serta perkenalan dari setiap pelaku yang
mendukung cerita.
- Inciting Force : Yakni tahap ketika timbul kekuatan, kehendak maupun
perilaku yang bertentangan dari pelaku.
- Rising Action : Yakni situasi panas karena pelaku-pelaku dalam cerita
- Crisis : Yaitu situasi semakin panas dan para pelaku sudah diberi
gambaran nasib oleh para pengarangnya.
- Climax : Yakni situasi puncak ketika konflik berada dalam kadar yang
paling tinggi hingga para pelaku itu mendapatkan kadar nasibnya
sendiri.
- Falling Action : Yakni kadar konflik sudah menurun sehingga
ketegangan dalam cerita sudah mulai mereda sampai menuju
conclusion atau penyelesaian cerita.
Dalam cerpen “Imogayu” tahapan peristiwa dalam plot suatu cerita juga
tersususun dalam tahapan yang dinyatakan oleh Montage dan Henshaw, yaitu
dalam tahapan :
- Exposition : Di dalam cerpen Imogayu, pada awal cerita dijelaskan
bahwa cerita ini berlangsung di Jalan Shujaku, Kyoto dan Echizen
di Tsuruga. Dilanjutkan dengan penjelasan tentang seorang
samurai kelas rendahan, seorang goi yang tidak diketahui namanya
yang bekerja pada Fujiwara Mototsune. Kemudian menjelaskan
pelaku lain yang mendukung cerita seperti Fujiwara Toshihito,
putra Tokinaga (Menteri Keuangan dalam pemerintahan
Mototsune), ayah mertua Toshihito yang bernama Arihito, dan
rubah dari Sakamoto yang mewujudkan keinginan tokoh Goi untuk
makan bubur ubi. Terdapat juga para samurai mulai dari kelas atas
sampai rendahan, para pembantu yang masuk dalam kelas maupun
orang biasa serta anak-anak yang selalu mengejek tokoh Goi tanpa
disebutkan namanya satu per satu.
- Inciting Force : Dalam tahapan ini di dalam cerpen Imogayu
digambarkan keadaan/ kondisi dimana tokoh Goi selalu mendapat
olok-olok. Tetapi setiap kali diolok-olok, ia seperti tidak merasa
apa-apa, ia benar-benar buta perasaan. Sampai pada suatu hari
seorang rekannya bertindak kelewatan, ia yang buta perasaan pun
tiba-tiba berkata, “Jangan begitu dong, … kalian.”
- Rising Action : Dalam tahapan ini di dalam cerpen Imogayu
digambarkan bahwa tokoh-tokoh pendukung cerita dalam hal ini
para samurai serta para tamu yang diundang dalam jamuan besar
yang diselenggarakan di kediaman Fujiwara Mototsune
mengolok-olok tokoh Goi yang belum puas makan bubur ubi.
- Crisis : Dalam tahapan ini di dalam cerpen Imogayu digambarkan
dimana tokoh Goi selalu menjadi bahan ejekan. Ia harus menerima
olok-olok. Bahkan ketika Toshihito menawarkan bubur ubi lagi, ia
menjadi bimbang untuk menjawab apa. Karena apapun
jawabannya, ia akan selalu menjadi bahan ejekan orang-orang.
- Climax : Dalam tahapan ini di dalam cerpen Imogayu digambarkan
dimana seseorang mengolok-olok tokoh Goi dalam jamuan
tersebut tetapi semua tamu tertawa terbahak-bahak bahkan
bermacam-macam topi para tamu terayun-ayun seperti ombak
- Falling Action : Dalam tahapan ini di dalam cerpen Imogayu
digambarkan dimana tokoh Goi merasa bahagia karena dapat
mewujudkan keinginannya untuk makan bubur ubi sepuasnya. Ia
juga tidak mendapat olok-olok lagi dari para samurai bahkan caci
maki oleh anak-anak Kyoto.
c. Tokoh
Boulton dalam Aminuddin (2000:79) mengungkapkan bahwa cara
pengarang menggambarkan atau memunculkan tokoh sebagai peleku yang hidup
di alam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam
mempertahankan hidupnya. Pelaku yang memiliki cara sesuai dengan kehidupan
manusia yang sebenarnya maupun pelaku egois, kacau, dan mementingkan diri
sendiri. Dalam cerita fiksi pelaku itu dapat berupa manusia atau tokoh makhluk
lain yang diberi sifat seperti manusia.
Dalam menentukan siapa tokoh utama dan tokoh pembantu dalam suatu
cerpen, pembaca dapat menentukannya dengan jalan melihat keseringan
pemunculannya, dalam menentukan tokoh dalam suatu cerita. Selain lewat
memahami dari peranan dan keseringan pemunculannya, dalam menentukan
tokoh utama serta tokoh tambahan dapat juga ditentukan lewat petunjuk yang
diberikan oleh pengarangnya, sedang tokoh tambahan hanya dibicarakan ala
kadarnya (Aminuddin, 2000:80).
Tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerpen Imogayu terbagi dalam tokoh
utama dan tokoh tambahan/ tokoh pembantu. Akutagawa menggambarkan tokoh
rendahan yang kondisi fisik tubuhnya tidak seperti manusia normal lainnya.
Sedangkan tokoh-tokoh tambahan digambarkan sebagai samurai, pembantu, dan
anak-anak yang tidak diberi identitas berupa nama yang selalu mengolok-oloknya.
Hanya Fujiwara Toshito, putra Tokinaga (Menteri Keuangan dalam pemerintahan
Mototsune), ayah mertua Toshihito yang bernama Arihito, dan rubah dari
Sakamoto yang diberi nama yang membantu mewujudkan impiannya.
d. Setting
Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:216) mengatakan bahwa latar atau
setting yang disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Latar memberi pijakan secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk
memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang
seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca dengan demikian merasa
dipermudah untuk menggunakan daya imajinasinya, di samping dimungkinkan
untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang
latar.
Nurgiyantoro (1995:227) mengungkapkan bahwa unsur latar dapat
dibedakan ke dalam tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga
unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan
dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling
a. Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa
tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu
tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah
mencerminkan, atau tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat
yang bersangkutan. Deskripsi tempat secara teliti dan realistis ini penting untuk
mengesani pembaca seolah-olah hal yang diceritakan itu sungguh-sungguh ada
dan terjadi yaitu di tempat dan waktu seperti yang diceritakan itu.
b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut
biasanya dihubungkan dengan waktu faktual. Latar waktu juga harus dikaitkan
dengan latar tempat dan latar sosial sebab pada kenyataannya memang saling
berkaitan.
c. Latar Sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup
yang cukup kompleks, dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi,
keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap dan lain-lain. Di samping
itu, latar sosial jjuga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan,
Dalam cerpen Imogayu, Akutagawa menggambarkan latar tempat dari
cerita di Jalan Shujaku Kyoto dan Echizen di Tsuruga. Latar waktu dari cerita
digambarkan pada sekitar akhir tahun Genkei atau awal tahun Ninna dan terjadi
pada zaman heian yang sudah berselang cukup lama. Dan jika dilihat dari latar
sosialnya, cerpen Imogayu menggambarkan kehidupan masyarakat yang
menganggap rendah seseorang yang dianggap tidak normal sehingga pantas untuk
diolok-olok.
2.1.2. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik yang akan dilihat dari cerpen Imogayu ini adalah biografi
dari pengarangnya yaitu Akutagawa Ryunosuke. Pengarang merupakan unsure
ekstrinsik yang paling berpengaruh akan bangun cerita dari sebuah karya fiksi.
Walaupn unsur ekstrinsik bukan merupakan unsur yang membangun cerita dari
dalam karya sastra itu sendiri tetapi keberadaan unsur ekstrinsik dalam hal ini
pengarang secara tidak langsung sangat mempengaruhi hasil dari karya sastra fiksi
tersebut.
Akutagawa Ryunosuke adalah seorang penulis Jepang era Taisho
(1912-1926) yang sangat banyak meraih pembaca di luar Jepang. Karya-karyanya
sebagaimana karya Natsume Soseki dan Mori Ogai banyak mengilhami para
sastrawan jepang modern. Hingga akhir hayatnya ia menulis lebih dari seratus
cerita pendek.
Akutagawa lahir dengan nama Ryunosuke di Irifunecho, Tokyo pada 1
Maret 1892 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Irifunecho merupakan
di sana termasuk keluarga Ryunosuke. Kakak perempuan sulungnya, Hatsuko
meninggal setahun sebelum Ryunosuke lahir pada usia tujuh tahun karena radang
selaput otak, karena itu ketika Ryunosuke lahir ia hanya memiliki satu saudara
perempuan, Hisako.
Karena lahir pada tahun Naga, ia diberi nama Ryunosuke. Ryu dalam
bahasa Jepang berarti Naga. Ibunya bernama Fuku dan ayahnya bernama Niihara
Toshizo yang bekerja sebagai pengusaha peternakan sapi perah di Irifunecho dan
daerah Shinjuku. Sekitar sembilan bulan setelah Akutagawa lahir ibunya menjadi
gila hingga kematiannya pada tahun 1902. ketika Ryunosuke lahir ayahnya
berusia 42 tahun dan ibunya 33 tahun, usia-usia sial menurut kepercayaan Jepang.
Untuk menghindari kemalangan yang akan menimpa, seharusnya Ryunosuke
dibuang. Karena itulah kemudian diputuskan Ryunosuke seolah-olah dibuang
dengan dipelihara oleh teman lama ayahnya, Matsumura Senjiro. Ibunya yang
menjadi sakit jiwa juga dianggap sebagai bagian dari kesialan tersebut.
Ryunosuke kemudian diadopsi oleh kakak ibunya, Akutagawa Michiaki. Bibinya
ini merawatnya dengan penuh kasih sayang dan menganggapnya seperti anak
sendiri. Kakak perempuan ibunya yang tidak menikah, Fuki, yang tinggal bersama
mereka juga sangat menyayanginya. Secara resmi Ryunosuke menggunakan nama
Akutagawa dua tahun setelah ibunya meninggal, yakni ketika berusia dua belas
tahun.
Sejak kecil Akutagawa Ryunosuke banyak membaca karya-karya klasik
Jepang dan Cina. Minatnya terhadap kesusasteraan memang sudah tampak sejak
ia duduk di sekolah dasar. Ia juga menyukai para penulis pertengahan zaman
sastrawan besar seperti Natsume Soseki dan Mori Ogai. Ia mengenal pula
karya-karya para penulis Eropa seperti Maupassant, Balzac, Tolstoy, Anatole France dan
Dostoyevski sejak duduk di bangku sekolah menengah umum. Di bangku sekolah
menengah umum ini pula ia sudah membaca buku-buku Euken dan Spinoza.
Kebiasaannya yang lain adalah melihat pameran dan menghadiri diskusi sastra
serta membaca buku di perpustakaan umum atau perpustakaan keliling.
Pada tahun 1913 ia masuk Jurusan Sastra Inggris Universitas Tokyo.
Bersama Kume Masao dan Kikuchi Kan ia menghidupkan kembali majalah sastra
Universitas Shinsicho (aliran Pemikiran Baru), yang sudah mati dan mulai
menerbitkan karyanya di majalah tersebut. Ia memulai debutnya dengan
menerjemahkan karya France, “Balthasar”. Karya aslinya yang pertama yang
muncul di Shinshicho berjudul “Ronen” (1914). Setahun kemudian, 1915, ia
meluncurkan “Rashomon”, salah satu cerpennya yang terbaik dan menjadi judul
kumpulan cerpennya yang pertama. Tahun 1916 tercatat sebagai tahun
kesuksesannya yakni ketika cerpennya yang berjudul “Hana” (Hidung) dipuji oleh
Natsume Soseki, empu sastra waktu itu dan majalah sastra mulai melirik penulis
muda ini.
Lulus dari universitas pada tahun 1916 Akutagawa kemudian mengajar
bahasa Inggris pada sekolah teknik kelautan di Yokosuka. Tahun 1919 ia berhenti
sebagai pengajar karena ingin mencurahkan perhatian sepenuhnya pada dunia
tulis-menulis. Setelah berhenti mengajar ia mengantongi kontrak yang aman untuk
menulis fiksi di surat kabar Osaka Mainichi. Pada Maret 1921 Akutagawa dikirim
memburuk sewaktu berada di Shanghai. Pada masa inilah ia menulis karya-karya
seperti “Jigokuhen” (Lukisan Neraka) dan “Hokyonin no Shi” (Martir).
Sejak pulang dari China kesehatannya terus merosot. Dalam surat yang
ditulis kepada salah seorang temannya pada akhir tahun 1922, ia mengeluh bahwa
dirinya sedang menderita kelelahan saraf, kejang-kejang perut, sakit kantung
kemih, dan punya masalah jantung. Surat ini juga mendaftar berbagai penyakit
ringan yang diderita oleh istrinya, kedua anaknya, dan orang tua asuhnya.
Karya-karya yang ditulis pada masa ini sangat berbeda dengan Karya-karya-Karya-karya awalnya.
“Torokko” misalnya, lebih merupakan cerita anak-anak. Banyak yang mengatakan
bahwa karya ini mirip dengan “Manazuru” (1920) karya Shigo Naoya. Akutagawa
memang mengetahui bahwa ia mengagumi sastrawan tersebut, sebagaimana
diungkapkan dalam “Bungeiteki Na” (1927). Dalam tulisan ini ia menyatakan
sangat mengagumi sentuhan realisme Shiga yang begitu indah yang begitu indah.
Bagi Akutagawa, Shiga bahkan lebih unggul dibandingkan Tolstoy karena ia
memakai realisme dengan semangat puitis yang diambil dari tradisi ketimuran.
Selanjutnya, ketika Akutagawa mencari gaya pengungkapan baru di luar
cerpen seiring kesehatan fisik dan mentalnya yang semakin memburuk,
popularitasnya menurun. Dalam masa ini ia menulis novel-novel yang didasarkan
pada pengalaman pribadinya, atau bukan berasal dari cerita klasik yang sudah ada,
seperti “Kappa” (1927), “Seiho no Hito” (Pria dari Barat, 1927), dan esai
“Bungekiteki na, amari ni Bungekiteki na” (Secara Sastra, Terlalu Sastra, 1927).
Pada Juli 1927, di usia 35 tahun, Akutagawa agaknya benar-benar sudah
tidak kuat lagi menanggung kelelahan mental dan fisik yang dipikulnya sehingga
Hidup Akutagawa memang pendek, tapi karya-karyanya dinilai sangat luar
biasa sehingga ia dinobatkan sebagai “raja” cerpen dalam lesusastraan Jepang
Modern. Teman lama Akutagawa, Kikuchi Kan, mendirikan Penghargaan
Akutagawa (Akutagawasho) pada tahun 1935 untuk mengenang Akutagawa.
Sampai sekarang Akutagawasho menjadi penghargaan kesusastraan paling
bergengsi bagi para penulis baru.
Karya-karya Akutagawa dapat digolongkan dalam beberapa kategori,
yakni Edo-mono cerita berlatar belakang masa Edo), Ocho-mono
(cerita-cerita yang berkaitan dengan Kristen di Jepang era pramodern, yang semuanya
berjumlah sekitar lima belas), dan Kaiko-mono (cerita-cerita awal periode Meiji).
Karya-karya terbaik dalam kelompok Edo-mono adalah Gesaku Zammai (1917)
dan Karena-sho (1918), Ocho-mon diwakili oleh Jigokuhen, Kirishitan-mono
diwakili oleh Hokonin no Shi (1918) dan Kaika-mono diwakili oleh Butokai
(1919).
Periode setelah Akutagawa meninggalkan kedudukannya sebagai guru
bahasa Inggris pada akademi kelautan di Yokosuka dan menjadi pegawai Koran
Osaka Mainichi dan setahun sebelumnya (1918) menikahi Tsukamoto Fumiko
merupakan periode produktifnya. Karya-karya yang turut mendongkrak
popularitasnya, seperti Mikan (Jeruk, 1919) dan Aki (Musim gugur, 1920),
mendorong ia untuk mengalihkan perhatiannya kepada bahan-bahan modern.
Karya awal Akutagawa berupa sejumlah terjemahan France dan Yeats.
Karya seperti “The Old Man” (1914) dan “Youths and Death” (1914) muncul
dalam edisi ketiga majalah Shinshicho. Ketika ia mempublikasikan “Hana”,
menulis surat ucapan selamat kepada penulis muda ini, “Saya akui karya Anda
sangat menarik. Sederhana dan serius tanpa mencoba untuk melucu”. Soseki juga
menambahkan bahwa karya tersebut mengandung citra rasa humor yang luar
biasa. Bahasanya segar dan menarik dan gaya penulisannya anggun. Soseki juga
menambahkan pesan, “Lanjutkan dan hasilkan dua puluh atau tiga puluh cerita
seperti ini. Tidak lama lagi Anda menjadi tidak tertandingi dalam dunia
kesusastraan.”
Pada masa ini Akutagawa menulis novel-novelnya berdasarkan pada
pengalaman pribadinya atau bukan berasal dari cerita klasik yang sudah ada,
seperti “Kappa” dan “Seiho no Hito” (Pria dari Barat) dan esai Bungeikiteki na,
amari ni Bungeiteki na (Secara Sastra, Terlalu Sastra).
Pada tahun itu juga, pada musim semi tahun 1927, Akutagawa juga
meninggalkan sebuah catatan untuk temannya, pelukis Oana Ryuichi, tentang
kesedihannya karena berselingkuh dengan seorang wanita menikah ketika
Akutagawa berusia 29 tahun. Surat tersebut ditutup dengan kalimat, “Tetapi saya
melihat bahwa saya pada dasarnya adalah anak orang gila, sekarang saya merasa
muak terhadap dunia terutama terhadap diri sendiri”. Setelah Akutagawa
meninggal, terbit beberapa karyanya, seperti Aru Aho no Issho (Kehidupan Si
Tolol) dan Harugama, yang dianggap sebagai karya agungnya yang terakhir.
Dalam Harugama, dia menggambarkan dirinya dengan suasana ketegangan
2.2. Defenisi Sosiologi Sastra
Sosiologi adalah ilmiah yang objektif mengenai manusia dalam
masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial.
Selanjutnya dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai
bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa
masyarakat itu bertahan hidup. Lewat penelitian yang ketat melalui
lembaga-lembaga sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga, yang secara bersama-sama
apa yang disebut sosiologi, dikatakan memperoleh gambaran cara manusia
menyesuaikan dirinya dengan dan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat
tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialisasi, proses belajar secara
kultural, individu-individu dialokasikan pada dan menerima peranan-peranan
tertentu dalam struktur sosial itu (Swingewood dalam Faruk, 1994:1).
Sorokin dalam Suekanto (1990:20) mendefinisikan bahwa sosiologi
adalah suatu ilmu yang mempelajari:
1. Hubungan dengan timbal balik antara gejala-gejala sosial (misalnya antara
gejala ekonomi dengan agama; keluarga dengan moral; hukum dengan
ekonomi; masyarakat dengan politik dan sebagainya).
2. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan
gejala-gejala non-sosial (misalnya gejala-gejala geografis biologis).
Roucek dalam Suekanto (1990:20) mengemukakan bahwa sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam
kelompok-kelompok.
Selo Sumardjan dalam Suekanto (1990:21) mengatakan bahwa sosiologi
perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur
sosial yang pokok yaitu kaedah sosial (norma-norma sosial) lembaga-lembaga
sosial, kelompok-kelompok sosial serta lapisan-lapisan sosial.
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi sastra
adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak
diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehiduppan
masyarakat. Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran
sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu
lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu
merefleksikan zamannya (Endraswara, 2008:77).
Karya sastra bukan semata-mata kualitas otonom atau dokumen sosial,
melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Kenyataan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan objektif, tetapi
kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai konstruksi sosial. Alat utama
dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa sebab bahasa merupakan milik
bersama, di dalamnya terkandung persediaan pengetahuan sosial. Lebih-lebih
dalam sastra, kenyataan bersifat interpretatif subyektif, sebagai kenyataan yang
diciptakan. Pada gilirannya kenyataan yang tercipta dalam karya menjadi model,
lewat mana masyarakat pembaca dapat membayangkan dirinya sendiri.
Karakterisasi tokoh-tokoh dalam cerpen misalnya, tidak diukur atas dasar
persamaannnya dengan tokoh masyarakat yang dilukiskan. Sebaliknya citra tokoh
masyarakatlah yang mesti meneladani tokoh cerpen, karya seni sebagai model
yang diteladani. Proses penafsirannya bersifat bolak-balik, dwiarah, yaitu antara
Secara esensial, sosiologi adalah penelitian tentang:
a. Studi ilmiah manusia dan masyarakat secara objektif.
b. Studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya.
c. Studi proses sosial, yaitu bagaimana masyarakat mungkin, dan
bagaimana mereka melangsungkan hidupnya.
Studi semacam itu secara ringkas merupakan penghayatan teks sastra
terhadap struktur sosial. Aspek-aspek sosiologis yang terpantul dalam karya sastra
tersebut, selanjutnya dihubungkan dengan beberapa hal, yaknii:
a. Konsep stabilitas sosial.
b. Konsep kesinambungan dengan masyarakat yang berbeda.
c. Bagaimana seorang individu menerima individu lain dalam
kolektifnnya.
d. Bagaimana proses masyarakat lebih berubah secara bertingkat.
e. Bagaimana perubahan besar masyarakat, misalnya dari feodalisme ke
kapitalisme.
Dalam cerpen Imogayu karya Ryunosuke Akutagawa ini terdapat tokoh
utama, seorang goi, dan beberapa tokoh pendukung cerpen seperti Fujiwara
Toshihito, ayah mertua Toshihito (Arihito), para samurai, pembantu, dan
masyarakat. Setiap tokoh memiliki peranan masing-masing, berinteraksi satu
dengan yang lain dalam kondisi sosial pada zaman itu. Beberapa tokoh tidak
menerima kondisi tokoh Goi karena kondisi fisiknya yang aneh. Karena kondisi
Dasar-Dasar Etika di Jepang
Ruth Benedict dalam Situmorang (1995:64) mengatakan bahwa
masyarakat Jepang adalah masyarakat yang berkebudayaan rasa malu. Ruth
Benedict membedakan dengan masyarakat Amerika yang menurutnya adalah
berkebudayaan rasa takut. Dalam kebudayaan rasa takut, nilai yang paling tinggi
adalah rasa takut kepada Tuhan. Berbeda dengan masyarakat Jepang yang
memiliki kebudayaan rasa malu (haji). Kebudayaan yang benar-benar berdasarkan
rasa malu ini mengandalkan sanksi ekstern untuk tingkah laku yang baik dan tidak
seperti pada kebudayaan yang benar-benar berdasarkan rasa bersalah yang
mengandalkan rasa bersalah yang mengandalkan keyakinan intern tentang dosa.
Rasa malu adalah reaksi terhadap kritik yang dilancarkan orang lain.
Orang dibuat malu kalau secara terbuka diperolokkan dan ditolak, atau kalau ia
membayangkan dirinya seakan diperolokkan. Dalam kedua hal itu rasa malu
merupakan sanksi yang kuat. Tetapi hal itu memerlukan suatu hadirin, atau
setidaknya hadirin dalam khayalan orang. Rasa bersalah tidak memerlukan hal
tersebut (Benedict, 1982 : 233).
Jika seseorang mendapat kritik dari orang lain maka akan timbul reaksi
malu dari dalam dirinya. Reaksi ini bukan merupakan reaksi fisik tapi lebih
kepada reaksi psikologi seseorang yang mendapat kritik tersebut. Oleh karena itu
nilai yang paling tinggi adalah bukan rasa takut kepada dewa atau Tuhan, tetapi
rasa malu akan penilaian masyarakat luas pada umumnya.
Dalam kehidupan masyarakat Jepang rasa malu yang paling tinggi adalah
terutama pada utang budi. Oleh karena itu seluruh aktifitas mereka difokuskan
pada penghindaran rasa malu (Situmorang, 2008 : 8).
Dalam berinteraksi dengan orang lain, seseorang akan menerima dan
memberi budi baik. Bagi orang Jepang yang dibesarkan dengan ajaran-ajaran
moral seperti tahu malu dan menghargai diri sendiri akan merasakan bahwa budi
baik yang mereka terima dari orang lain merupakan beban terberat dalam
hidupnya. Oleh karena itu, masyarakat menuntut kepada setiap orang warganya
untuk membalas kembali segala kebaikan yang diterimanya.
Dalam Situmorang (1995:66) dikatakan karena adanya hutang budi maka
orang Jepang merasa berkewajiban untuk membalas budi baik dari orang tua, para
penguasa, masyarakat, dan negara. Rasa kebajikan itu disebut gimu. Gimu adalah
konsep pembalasan kebaikan setulus hati, yaitu bahwa kebaikan yang telah
diterima tersebut harus dibalas tanpa memikirkan untung rugi.
Berdasarkan hal tersebut, Watsuji dalam Situmorang (1995:44-45)
terdapat lima macam pemikiran mengenai etika kesadaran (Gorin) yang meliputi
pengabdian seseorang, yaitu:
1. Pengabdian pengikut terhadap tuannya
2. Pengabdian anak terhadap ayah
3. Pengabdian adik laki-laki terhadap kakak laki-laki
4. Pengabdian istri terhadap suami
5. Hubungan antar orang yang sederajat
Menurut Konghucu, alam semesta berjalan atas peraturan tertentu. Agar
kehidupan manusia selaras dengan alam semesta, maka memerlukan tata tertib.
punya nama. Di dalam nama terkandung fungsinya. Begitu pula di dalam
masyarakat, setiap orang punya nama. Di dalamnya terkandung tanggung jawab
dan kewajiban masing-masing. Jika setiap orang membenarkan dan tidak
memalsukan namanya, pergaulan sosial akan berjalan baik.
Berhubungan dengan hal tersebut, setiap pihak berkelakuan sesuai dengan
kedudukannya. Ayah mencintai anak, anak menghormati. Kakak berbaik hati,
adik menjunjung. Suami tulus, istri patuh. Sahabat lebih tua peka, sahabat muda
hormat. Yang berkuasa murah hati, yang dikuasai setia. Tiga dari lima pertalian
itu merupakan hubungan keluarga, memang keluarga dapat dianggap sebagai
dasar masyarakat. Dalam lembaga sosial inilah, manusia dididik, diajar kebajikan,
dan dibentuk tabiatnya. Kalau manusia dibesarkan secara tepat maka dunia akan
damai. Konghucu berkata, "Jika ada kebenaran di hati, ada keindahan di watak.
Jika ada keindahan di watak, ada harmoni di rumah. Jika ada harmoni di rumah,
ada tata tertib di negara. Jika ada tata tertib di negara, ada damai di dunia." Perlu
ditambahkan bahwa dalam keluarga kewajiban anak terhadap orang tua sangat
dititikberatkan. Anak harus taat atau berbakti kepada orang tua.
Terjalinlah Lima Hubungan Sosial yang disebut dengan Wu Lun, yaitu:
1. Hubungan antara pimpinan dan bawahan
2. Hubungan antara suami dan istri
3. Hubungan antara orang tua dan anak
4. Hubungan antara kakak dan adik
Dalam ajaran agama Budha, hal yang paling diutamakan adalah cinta kasih
terhadap manusia. Menjunjung tinggi sosok atau wajah alami manusia merupakan
representasi dari pengamatan cinta kasih (aijo). Sesuatu yang merupakan
kemurnian cinta kasih terhadap orang lain yang disebut jihi sangat diutamakan
dan karenanya ditekankan untuk dipahami secara mendalam oleh para penganut
agama Budha Jepang (Anwar, 2004:123). Sehingga setiap manusia harus saling
menghormati satu sama lain.
Hubungan-hubungan sosial ini terdapat dalam cerpen Imogayu. Berbagai
jenis hubungan terdapat dalam cerpen ini, ada yang baik dan ada pula sebaliknya.
BAB III
ANALISIS HUBUNGAN MANUSIA DALAM CERPEN IMOGAYU
3.1. Sinopsis Cerita
Cerita ini terjadi sekitar akhir tahun Genkei atau awal tahun Ninna.
Penyebutan tahun yang tepat bukan sesuatu yang penting di sini, sebab yang perlu
diketahui pembaca adalah bahwa cerita ini terjadi pada zaman Heian yang
berselang sangat lama. Pada masa itu, di antara samurai yang bekerja kepada
Fujiwara Mototsune, terdapat seorang goi (samurai yang menduduki kelas paling
rendah) yang tidak diketahui namanya.
Nama goi tersebut tidak tercatat dalam catatan-catatan kuno. Mungkin ia
orang biasa, sampai-sampai namanya tidak layak dicatat dalam sejarah. Para
penulis catatan kuno, agaknya, tidak begitu tertarik pada kisah orang-orang biasa.
Dalam hal ini mereka sangat berbeda dengan para sastrawan naturalis Jepang
dewasa ini. Agak mengherankan, ternyata para penulis novel zaman Heian tidak
punya banyak waktu luang. Pendek kata, salah seorang samurai yang mengabdi
kepada Fujiwara Mototsune adalah goi yang tidak diketahui namanya. Dialah
tokoh utama cerita ini.
Goi itu adalah seorang lelaki yang penampilannya sangat tidak menarik.
Pertama, tubuhnya pendek. Lantas hidungnya merah, ekor matanya turun, dan
tentu saja berkumis tipis. Pipinya yang cekung menyebabkan dagunya tampak
panjang, tidak seperti orang kebanyakan. Mudahnya saja, ia bertampang sangat
Tidak ada yang tahu sejak kapan dan mengapa ia mengabdi kepada
Fujiwara Mototsune. Walaupun begitu, yang pasti ia selalu mengenakan suikan
yang sudah pudar warnanya dan eboshi yang itu-itu juga. Dari hari ke hari yang
dilakukan hanya mengulangi pekerjaan yang sama. Mungkin juga karena itu,
siapapun yang melihatnya tidak akan pernah berpikir bahwa ia pernah muda. (Ia
berusia 40 tahun lebih). Sepertinya, sejak lahir ia telah memiliki hidung merah
seperti orang kedinginan dan kumis tipis yang diembus angina sekitar Jalan
Shujaku. Semua orang, mulai dari Tuan Mototsune hingga anak gembala, tanpa
sadar percaya akan hal itu.
Barangkali dengan mudah dapat dibayangkan perlakuan yang diterimanya,
ia bertampang aneh bila dibandingkan orang-orang di sekitarnya. Para samurai
sekelasnya tidak mengacuhkan dan menganggapnya cuma bagaikan seekor lalat.
Bahkan para pembantu yang masuk dalam kelas tertentu pun, atau yang sama
sekali tidak, yang berjumlah sekitar 20 orang, juga bersikap tidak acuh kepadanya.
Jika ia memerintahkan sesuatu kepada mereka, mereka tidak dan tetap saja
ngobrol. Bagi mereka, keberadaannya tampak seperti udara belaka, seolah tidak
kasat mata. Kalau para pembantu saja bersikap itu, tentu saja para samurai kelas
atas jelas lebih tidak menghargainya lagi.
Keberadaannya diabaikan oleh mereka hamper-hampir layaknya anak
kecil yang tidak punya arti apa-apa. Para samurai kelas atas ini cenderung
bersikap dingin dan terkadang memberikan perintah hanya menggunakan gerak
isyarat. Bukanlah suatu kebetulan bahwa manusia diberi kemampuan bicara
sehingga ada kalanya hal itu menyebabkan dia tidak paham maksud mereka. Tapi,
sepenuhnya adalah kesalahannya. Jika ia tidak dapat memahami perintah mereka,
ia dipelototi dari ujung topi lusuhnya sampai ujung sandalnya yang sudah butut,
lantas sambil mendengus sinis berbalik memunggunginya. Menghadapi hal
semacam ini ia tidak pernah marah. Ia bagaikan pengecut yang tidak berdaya
menghadapi semua ketidakadilan itu.
Sedangkan para samurai yang setingkat dengannya senang
mempermainkan dirinya. Samurai yang berusia lebih tua menjadikan
penampilannya sebagai bahan olokan, dan yang lebih muda menjadikannya
sebagai sumber latihan membuat cerita lucu. Mereka tidak pernah bosan memberi
komentar mengenai hidung, kumis, topi, dan pakainnya.
Anehnya, ia benar-benar buta perasaan terhadap olok-olok ini. Setidaknya,
bagi orang lain yang melihatnya, ia seperti orang yang buta perasaan. Apapun
yang dikatakan orang tentangnya, tidak pernah mengubah raut mukanya. Sambil
diam dan mengelus kumis tipisnya, ia mengerjakan tugas sehari-harinya. Tidak
ada seorangpun yang menghormatinya, bahkan anak-anak sekalipun.
Goi sangat menyukai imogayu (bubur ubi). Karena itu, berkesempatan
makan bubur ubi sepuasnya merupakan satu-satunya impian Goi sejak dulu.
Hingga dalam suatu tahun, para tamu istimewa diundang dalam jamuan makan di
kediaman Fujuwara Mototsune. Ia dan para samurai lainnya bergabung dalam
jamuan ini. Dalam jamuan itu dihidangkan berbagai macam makanan lezat dalam
jumlah yang sangat banyak, dan salah satu di antaranya adalah bubur ubi. Ia hanya
bisa menikmati bubur ubi sedikit saja karena jumlah undangan yang sangat
banyak. Dari wajahnya terlihat bahwa ia belum puas makan bubur ubi dan hal ini
Tetapi kemudian Fujiwara Toshihito, putra Tokinaga, Menteri Keuangan
dalam pemerintahan Mototsune menawarkannya bubur ubi tetapi dengan nada
mengolok-olok. Wajah Goi pun memerah.
Hingga pada suatu pagi, Toshihito mengajak Goi ke rumah mertuanya
yang jaraknya sangat jauh sekali dan Goi tidak menyangka akan melakukan
perjalanan sejauh itu. Dan akhirnya mereka sampai di Tsuruga di Echizen. Ia telah
kehilangan setengah seleranya untuk makan bubur ubi. Satu jam kemudian, ia
tampak menghadapi makan paginya bersama Toshihito dan bapak mertuanya,
Arihito. Di hadapan mereka tersaji kendi-kendi perak besar berisi bubur ubi dalam
jumlah yang menakjubkan banyaknya. Goi telah merasa kenyang sebelum
menyantap hidangan itu. Dengan susah payah akhirnya ia berhasil menghabiskan
setengah kendi bubur ubi. Ia merasa bahagia karena dapat mewujudkan
keinginannya untuk makan bubur ubi sepuasnya. Bersamaan dengan perasaan lega
karena mengingat tidak perlu makan bubur ubi itu lagi, dirasakannya keringat di
sekujur wajahnya mengering sedikit demi sedikit, mulai dari ujung hidungnya.
Meskipun cuaca cerah, pagi hari di Tsuruga terasa dingin. Angina berembus
menggigit tubuh. Ia cepat-cepat memegang hidungnya. Berbarengan dengan itu, ia
bersin dengan kerasnya ke arah kendi perak itu.
3. 2. Analisis Hubungan Manusia dalam Cerpen Imogayu Cuplikan 1
Barangkali dengan mudah dapat dibayangkan perlakuan yang diterimanya;
ia bertampang aneh bila dibandingkan orang-orang di sekitarnya. Para samurai
Bahkan para pembantu yang masuk dalam kelas tertentu pun, atau yang sama
sekali tidak, yang berjumlah sekitar 20 orang, juga bersikap tidak acuh kepadanya.
Jika ia memerintahkan sesuatu kepada mereka, mereka tidak peduli dan tetap saja
ngobrol. (Imogayu, halaman 103)
Analisis
Pada cuplikan cerita di atas disebutkan bahwa tokoh Goi yang seorang
samurai mendapat perlakuan yang tidak sepantasnya hanya karena bentuk
tubuhnya yang tidak normal. Para samurai bahkan menganggapnya bagaikan
seekor lalat. Dapat dilihat terjalin hubungan yang tidak baik. Seharusnya menurut
go rin dan wu lun orang yang sederajat harus saling menghormati, tidak mencela
satu sama lain.
Pada cuplikan cerita di atas juga disebutkan bahwa para pembantu yang
tidak sederajat dengannya juga tidak menghormatinya, bahkan tidak
mengindahkan segala sesuatu yang diperintahkannya. Terjalin hubungan yang
tidak baik antara atasan dan bawahan. Sementara dalam go rin dan wu lun,
bawahan harus mengabdi kepada atasan ataupun bawahan harus menghormati
pimpinan.
Disebutkan juga dalam ajaran agama Budha untuk saling menghormati
sesama manusia, tidak membeda-bedakan.
Cuplikan 2
Sedangkan para samurai yang setingkat dengannya senang
penampilannya sebagai bahan olokan, dan yang lebih muda menjadikannya
sebagai sumber latihan membuat cerita lucu. (Imogayu, halaman 104)
Analisis
Pada cuplikan cerita di atas disebutkan bahwa para samurai setingkatnya
mempermainkannya. Bahkan samurai yang lebih tua pun ikut mengolok-oloknya.
Seharusnya para samurai yang lebih tua lebih peka terhadap samurai yang lebih
muda seperti yang tertulis dalam wu lun dalam ajaran Konfusius sehingga para
samurai muda menghormati para samurai yang lebih tua walaupun mereka berada
dalam kelas yang sama. Jadi, hubungan antarmanusia tidak terjalin dengan baik.
Cuplikan 3
Tidak hanya itu, mereka pun acapkali membicarakan istrinya yang berbibir
sumbing dan telah berpisah dengannya lima-enam tahun lalu. Hubungan istrinya
dengan seorang pendeta Buddha pemabuk pun tidak luput dari pembicaraan
mereka. (Imogayu, halaman 104)
Analisis
Pada cuplikan di atas disebutkan bahwa tokoh Goi mempunyai seorang
istri yang ternyata berselingkuh dengan seorang pendeta Buddha yang pemabuk.
Seharusnya seorang istri harus mengabdi kepada suami seperti yang terdapat
dalam etika kesadaran (go rin) dan wu lun dalam ajaran Konfusius. Terdapat juga
pepatah yang mengatakan “Kalau ingin bahagia, menikahlah dengan perempuan
Jepang”. Dikatakan demikian karena sesungguhnya wanita Jepang begitu