• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III ANALISIS HUBUNGAN MANUSIA DALAM CERPEN

3.1. Sinopsis Cerita

Cerita ini terjadi sekitar akhir tahun Genkei atau awal tahun Ninna. Penyebutan tahun yang tepat bukan sesuatu yang penting di sini, sebab yang perlu diketahui pembaca adalah bahwa cerita ini terjadi pada zaman Heian yang berselang sangat lama. Pada masa itu, di antara samurai yang bekerja kepada Fujiwara Mototsune, terdapat seorang goi (samurai yang menduduki kelas paling rendah) yang tidak diketahui namanya.

Nama goi tersebut tidak tercatat dalam catatan-catatan kuno. Mungkin ia orang biasa, sampai-sampai namanya tidak layak dicatat dalam sejarah. Para penulis catatan kuno, agaknya, tidak begitu tertarik pada kisah orang-orang biasa. Dalam hal ini mereka sangat berbeda dengan para sastrawan naturalis Jepang dewasa ini. Agak mengherankan, ternyata para penulis novel zaman Heian tidak punya banyak waktu luang. Pendek kata, salah seorang samurai yang mengabdi kepada Fujiwara Mototsune adalah goi yang tidak diketahui namanya. Dialah tokoh utama cerita ini.

Goi itu adalah seorang lelaki yang penampilannya sangat tidak menarik. Pertama, tubuhnya pendek. Lantas hidungnya merah, ekor matanya turun, dan tentu saja berkumis tipis. Pipinya yang cekung menyebabkan dagunya tampak panjang, tidak seperti orang kebanyakan. Mudahnya saja, ia bertampang sangat aneh dan tidak menarik.

Tidak ada yang tahu sejak kapan dan mengapa ia mengabdi kepada Fujiwara Mototsune. Walaupun begitu, yang pasti ia selalu mengenakan suikan yang sudah pudar warnanya dan eboshi yang itu-itu juga. Dari hari ke hari yang dilakukan hanya mengulangi pekerjaan yang sama. Mungkin juga karena itu, siapapun yang melihatnya tidak akan pernah berpikir bahwa ia pernah muda. (Ia berusia 40 tahun lebih). Sepertinya, sejak lahir ia telah memiliki hidung merah seperti orang kedinginan dan kumis tipis yang diembus angina sekitar Jalan Shujaku. Semua orang, mulai dari Tuan Mototsune hingga anak gembala, tanpa sadar percaya akan hal itu.

Barangkali dengan mudah dapat dibayangkan perlakuan yang diterimanya, ia bertampang aneh bila dibandingkan orang-orang di sekitarnya. Para samurai sekelasnya tidak mengacuhkan dan menganggapnya cuma bagaikan seekor lalat. Bahkan para pembantu yang masuk dalam kelas tertentu pun, atau yang sama sekali tidak, yang berjumlah sekitar 20 orang, juga bersikap tidak acuh kepadanya. Jika ia memerintahkan sesuatu kepada mereka, mereka tidak dan tetap saja ngobrol. Bagi mereka, keberadaannya tampak seperti udara belaka, seolah tidak kasat mata. Kalau para pembantu saja bersikap itu, tentu saja para samurai kelas atas jelas lebih tidak menghargainya lagi.

Keberadaannya diabaikan oleh mereka hamper-hampir layaknya anak kecil yang tidak punya arti apa-apa. Para samurai kelas atas ini cenderung bersikap dingin dan terkadang memberikan perintah hanya menggunakan gerak isyarat. Bukanlah suatu kebetulan bahwa manusia diberi kemampuan bicara sehingga ada kalanya hal itu menyebabkan dia tidak paham maksud mereka. Tapi, sepertinya, mereka menganggap bahwa ketidakpahaman yang terjadi itu

sepenuhnya adalah kesalahannya. Jika ia tidak dapat memahami perintah mereka, ia dipelototi dari ujung topi lusuhnya sampai ujung sandalnya yang sudah butut, lantas sambil mendengus sinis berbalik memunggunginya. Menghadapi hal semacam ini ia tidak pernah marah. Ia bagaikan pengecut yang tidak berdaya menghadapi semua ketidakadilan itu.

Sedangkan para samurai yang setingkat dengannya senang mempermainkan dirinya. Samurai yang berusia lebih tua menjadikan penampilannya sebagai bahan olokan, dan yang lebih muda menjadikannya sebagai sumber latihan membuat cerita lucu. Mereka tidak pernah bosan memberi komentar mengenai hidung, kumis, topi, dan pakainnya.

Anehnya, ia benar-benar buta perasaan terhadap olok-olok ini. Setidaknya, bagi orang lain yang melihatnya, ia seperti orang yang buta perasaan. Apapun yang dikatakan orang tentangnya, tidak pernah mengubah raut mukanya. Sambil diam dan mengelus kumis tipisnya, ia mengerjakan tugas sehari-harinya. Tidak ada seorangpun yang menghormatinya, bahkan anak-anak sekalipun.

Goi sangat menyukai imogayu (bubur ubi). Karena itu, berkesempatan makan bubur ubi sepuasnya merupakan satu-satunya impian Goi sejak dulu. Hingga dalam suatu tahun, para tamu istimewa diundang dalam jamuan makan di kediaman Fujuwara Mototsune. Ia dan para samurai lainnya bergabung dalam jamuan ini. Dalam jamuan itu dihidangkan berbagai macam makanan lezat dalam jumlah yang sangat banyak, dan salah satu di antaranya adalah bubur ubi. Ia hanya bisa menikmati bubur ubi sedikit saja karena jumlah undangan yang sangat banyak. Dari wajahnya terlihat bahwa ia belum puas makan bubur ubi dan hal ini terlihat oleh samurai yang lain sehingga mereka mengolok-oloknya.

Tetapi kemudian Fujiwara Toshihito, putra Tokinaga, Menteri Keuangan dalam pemerintahan Mototsune menawarkannya bubur ubi tetapi dengan nada mengolok-olok. Wajah Goi pun memerah.

Hingga pada suatu pagi, Toshihito mengajak Goi ke rumah mertuanya yang jaraknya sangat jauh sekali dan Goi tidak menyangka akan melakukan perjalanan sejauh itu. Dan akhirnya mereka sampai di Tsuruga di Echizen. Ia telah kehilangan setengah seleranya untuk makan bubur ubi. Satu jam kemudian, ia tampak menghadapi makan paginya bersama Toshihito dan bapak mertuanya, Arihito. Di hadapan mereka tersaji kendi-kendi perak besar berisi bubur ubi dalam jumlah yang menakjubkan banyaknya. Goi telah merasa kenyang sebelum menyantap hidangan itu. Dengan susah payah akhirnya ia berhasil menghabiskan setengah kendi bubur ubi. Ia merasa bahagia karena dapat mewujudkan keinginannya untuk makan bubur ubi sepuasnya. Bersamaan dengan perasaan lega karena mengingat tidak perlu makan bubur ubi itu lagi, dirasakannya keringat di sekujur wajahnya mengering sedikit demi sedikit, mulai dari ujung hidungnya. Meskipun cuaca cerah, pagi hari di Tsuruga terasa dingin. Angina berembus menggigit tubuh. Ia cepat-cepat memegang hidungnya. Berbarengan dengan itu, ia bersin dengan kerasnya ke arah kendi perak itu.

3. 2. Analisis Hubungan Manusia dalam Cerpen Imogayu

Dokumen terkait