• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.7 Analisis Hukum

Pada Putusan No. 37/G/2015/PTUN.Mks. Hakim tidak mencamtumkan uang paksa meskipun Para Penggugat telah meminta dalam petitum surat gugatannya untuk mewajibkan Tergugat membayar uang paksa sebesar Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) setiap satu hari keterlambatan Tergugat melaksanakan putusan pengadilan apabila gugatan Para Penggugat dikabulkan. Hakim juga tidak mengemukakan pertimbangan hukumnya mengenai tidak dicantumkannya uang paksa yang telah dimohonkan Para Penggugat.

Sebagaimana yang telah dibahas pada bab tinjauan pustaka sebelumnya, yang pada intinya bahwa suatu putusan PTUN dapat dieksekusi dengan uang paksa apabila pembayaran uang paksa dicamtumkan dalam amar putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan. Akan tetapi, jika pengadilan tidak sampai mencamtumkan uang paksa sementara Tergugat tidak bersedia melaksanakannya, maka Penggugat dapat mengajukan hal tersebut kepada pengadilan negeri dengan alasan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata).

pemberhentian Para Penggugat sebagai pejabat eselon II dan dikeluarkan pula Surat Keputusan No. 821.22.33-2015 tentang pengangkatan pejabat pengganti yaitu Evi Aprialty dan Tenri Ampa telah diputus oleh PTUN Makassar.

Pada Putusan No. 37/G/2017/PTUN.Mks, surat keputusan yang telah diterbitkan Tergugat telah dinyatakan batal dan Tergugat diwajibkan untuk mencabut kedua surat keputusan tersebut. Selain itu, untuk menciptakan suatu kepastian hukum, Pengadilan juga memerintahkan kepada Tergugat untuk merehabilitasi jabatan Para Penggugat kepada jabatan semula. Namun hingga saat ini perintah putusan tersebut belum dilaksanakan oleh Tergugat sebagaimana mestinya.

Perintah Putusan No. 37/G/2017/PTUN.Mks yang memerintah-kan Tergugat untuk mencabut surat keputusan yang telah dibatalmemerintah-kan sebenarnya tidak menjadi masalah meskipun Tergugat tidak mencabutnya karena surat keputusan tersebut dengan sendirinya akan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Justru seharusnya Tergugat menerbitkan surat keputusan baru untuk menciptakan suatu kepastian hukum terhadap jabatan Para Penggugat dan status hukum para pejabat penggangti yang menjabat jabatan lama Para Penggugat. Apalagi surat keputusan pengangkatan pejabat pengganti Para Penggugat telah dinyatakan tidak sah oleh putusan pengadilan. Sebenarnya yang menjadi persoalan adalah

perintah putusan tentang rehabilitasi jabatan Para Penggugat ke jabatan awalnya.

Persoalan rehabilitasi jabatan memang tidak semudah pengeksekusiannya dibandingkan dengan perintah putusan yang lain.

Hal itu disebabkan karena percepatan perubahan dalam jabatan yang mengakibatkan munculnya suatu keadaan baru sehingga sulit bagi Tergugat untuk memulihkan keadaan tersebut. Olehnya itu, dalam keadaan demikian, telah ada ruang yang diberikan oleh UUPTUN sendiri. Dalam ketentuan Pasal 117 UUPTUN Pertama pada intinya menentukan bahwa apabila Tergugat tidak mampu atau tidak dengan sempurnah melaksanakan rehabilitasi jabatan Penggugat disebabkan karena suatu keadaan baru, maka Tergugat dapat melakukan suatu kesepakatan kepada Penggugat di pengadilan untuk menyepakati uang konvensasi atau konvensasi lain yang diinginkan.

Altenatif dengan menggunakan uang konvensasi dapat dilakukan oleh Tergugat kepada Para Penggugat karena adanya suatu keadaan baru sebelum Putusan No. 37/G/2017/PTUN.Mks berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi Tergugat jguga sama sekali tidak melakukan alternatif tersebut bahkan kedua surat keputusan yang telah dinyatakan batal dan tidak sah pun tidak ditindaklanjuti dengan berbagai alasan.

Penolakan Tergugat melaksanakan rehabilitasi jabatan akan berakibat pada tidak adanya kepastian hukum terhadap jabatan lama

Para Penggugat yang sedang dijabat oleh pejabat pengganti tersebut.

Jika berpedoman pada perintah Putusan No. 37/G/2017/PTUN.Mks, maka secara yuridis jabatan lama Para Penggugat masih tetap dijabatnya sampai batas masa jabatannya meskipun kenyataannya jabatan tersebut telah dijabat oleh pejabat lain.

Suatu jabatan yang dijabat oleh seorang pejabat tentu harus memiliki dasar hukum yang sah sebagai alasnya. Apabila pejabat menjabat pada jabatan yang surat keputusan pengangkatannya menjadi seorang pejabat tidak sah maka pejabat tersebut tidak pula sah menduduki jabatan tersebut beserta segala tindakan-tindakannya dalam jabatan tersebut menjadi tidak sah pula. Sementara para pejabat pengganti yang menduduki jabatan lama Para Penggugat telah dinyatakan tidak sah oleh pengadilan surat keputusan pengangkatannya. Dengan adanya putusan pengadilan tersebut, maka secara otomatis para pejabat pengganti tidak lagi memiliki dasar atau alas hukum untuk menduduki jabatannya. Olehnya itu, Tergugat selaku pejabat pembina kepegawaian seharusnya melakukan tindakan hukum baru untuk menciptakan suatu kepastian hukum bagi para pejabat pengganti tersebut.

Dengan tidak sah para pejabat pengganti menduduki jabatan lama Para Penggugat memberikan konsekuensi bahwa segala tindakan hukum yang diambil para pejabata pengganti dalam menjalangkan tugas dan fungsinya tentu tidak sah. Begitupula dengan

Para Penggugat, dalam waktu yang bersamaan menjabati dua jabatan sekaligus.

Keadaan demikian seharusnya PTUN Makassar mampu melakukan suatu tindakan untuk mengawasi terlaksananya putusan yang telah dikeluarkannya. Akan tetapi, PTUN Makassar juga tidak dapat melakukan tindakan apapun disebabkan karena Para Penggugat tidak pernah mengajukan permohonan pelaksanaan (eksekusi) putusan kepada Ketua PTUN Makassar. Hal demikian berarti bahwa pelaksanaan rehabilitasi jabatan tidak dapat terlaksana juga juga disebabkan karena Para Penggugat sendiri yang mengabaikan hak-haknya yang telah diberikan oleh hukum. Hail ini mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum terhadap para pejabat yang menjabat pada jabatan yang lama Para Penggugat. Selain itu, Putusan No. 37/G/2017/PTUN.Mks juga menjadi putusan pengadilan yang tidak memiliki kekuatan eksekutorial karena tidak memberikan implikasi atau konsekuensi hukum kepada para pihak yang telah mengabaikan perintah putusan tersebut.

3.7.2 Perspektif Mengenai Penerapan Uang Paksa

Peraturan yang mengatur mengenai uang paksa sebenarnya telah ada sejak UUPTUN Pertama. Namun, pengaturannya masih bersifat abstrak tidak seperti pengaturan mengenai ganti rugi dalam sengketa tata usaha negara yang telah diatur secara konkrit melalui peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksanaan dari Pasal 116

UUPTUN. Pengaturan uang paksa yang masih bersifat abstrak menyebabkan timbulnya multiargumen yang berbeda-beda tentang siapa yang harus dibebankan pembayaran, berapa jumlah yang harus dibayar dan sebagainya. Berdasarkan penelitian ini, bahkan diantara para hakim PTUN pun masih sering memperdebatkan bagaimana sebenarnya uang paksa ini ditetapkan dalam putusan.

Di tengah ketdakpastian tersebut, ada perspektif mengenai pengenaan uang paksa yang menganggap bahwa pejabat tata usaha negara adalah bertindak atas nama jabatan dalam melakukan suatu tindakan hukum, sehingga penerapan uang paksa itu tidak boleh dikenakan kepada diri pribadi pejabat tata usaha negara. Apabila tindakan yang dilakukan pejabat tersebut dikemudian hari oleh pengadilan mengenakan uang paksa maka yang dibebani pembayaran uang paksa adalah tanggung jawab jabatan tata usaha negara (negara).

Perspektif di atas menurut analisa penulis memang betul bahwa pejabat tata usaha negara dalam melakukan suatu tindakan hukum atas nama jabatan dan dikemudian hari muncul suatu kerugian maka negara yang harus membayar ganti rugi tersebut. Seperti yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1991 mengenai ganti rugi yang telah menentukan bahwa ganti rugi yang menjadi tanggung jawab tata usaha negara pusat, dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sendangkan

apabila tanggung jawab tata usaha negara daerah, dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Akan tetapi perspektif di atas perlu digaris bawahi bahwa penulis tidak sepaham apabila pengenaan uang paksa itu dibebankan kepada APBN atau APBD dengan alasan uang paksa bukan lagi suatu tindakan pejabat atas nama jabatannya atau tindakan dalam jabatannya melainkan karena hukuman yang diberikan oleh pengadilan atas ketidakpatuhannya terhadap suatu perintah putusan.

Ketidakpatuhan seorang pejabat untuk menaati perintah putusan bukan lagi termasuk tindakan dalam jabatan melainkan masuk dalam suatu perintah jabatan untuk melakukan tindakan hukum baru sesuai perintah putusan pengadilan tersebut. Sehingga apabila ada pengenaan uang paksa, maka yang harus menanggung pembebanannya adalah diri pribadi pejabat yang tidak mau menaati perintah putusan pengadilan.

Sederhananya adalah apabila ada tindakan hukum pejabat tata usaha negara yang menimbulkan kerugian terhadap orang atau badan hukum perdata dan telah diputus oleh pengadilan, maka yang dibebani tanggung jawab membayar ganti rugi adalah badan tata usaha negara (APBD atau APBN) akan tetapi apabila pelaksanaan perintah putusan pengadilan yang tidak dipatuhi oleh pejabat tata usaha negara yang dibebani uang paksa maka yang harus dibebani uang paksa tersebut adalah diri pribadi pejabat yang bersagkutan.

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan

1. Tindakan penolakan Tergugat melaksanakan rehabilitasi jabatan mengakibatkan Putusan No. 37/G/2015/PTUN.Mks menjadi tidak memiliki kekuatan eksekusi dan menjadi tidak berarti. Hal itu disebabkan karena Putusan No. 37/G/2015/PTUN.Mks sama sekali tidak memberikan konsekuensi hukum bagi Tergugat yang menolak melaksanakan rehabilitasi jabatan. Dengan demikian Putusan No.

37/G/2015/PTUN.Mks termasuk kategori putusan yang tidak ada artinya karena tidak dapat dilaksanakan.

2. Apabila Tergugat tidak melaksanakan putusan tersebut, maka PTUN dapat melakukan tindakan hukum kepada Tergugat berupa surat perintah untuk melaksanakan putusan tersebut, surat kepada presiden, dan pengumuman pada media massa. Akan tetapi, sebelum PTUN melakukan tindakan hukum, Para Penggugat harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pelaksanaan putusan kepada Ketua PTUN untuk menerbitkan suatu penetapan pelaksanaan. Sementara dalam kasus Putusan No. 37/G/2015/PTUN.Mks Para Penggugat sendiri tidak pernah mengajukan permohonan penetapan pelaksanaan putusan pengadilan kepada Ketua PTUN, jadi PTUN Makassar tidak dapat melakukan tindakan hukum apapun untuk menindaki penolakan Tergugat melaksanakan isi Putusan No.

37/G/2015/PTUN.Mks karena Para Penggugat sendiri yang tidak mau mengabaikan hak-haknya yang telah diberikan oleh hukum.

4.2 Saran

Dari hasil penelitian yang diperoleh penulis, persoalan pelaksanaan putusan PTUN masih banyak mengalami hambatan meskipun telah dilakukan amandemen UUPTUN sebanyak dua kali. Olehnya itu, perlu suatu upaya untuk memecahkan persoalan tersebut. Upaya yang dimaksud, yaitu membuat suatu produk hukum yang mengatur tentang tata cara pengenaan uang paksa secara spesifik seperti pengaturan sanksi administratif dan ganti rugi.

DAFTAR PUSTAKA Buku Bacaan

Abdullah, Rozali. 2016. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.

Penerbit Rajawali Pers. Jakarta.

. 2007. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.

Penerbit Rajawali Pers. Jakarta.

Abdullah M, Ali. 2015. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca Amendemen (Teori dan Praktik). Penerbit Prenada Media Group.

Jakarta.

Djais, Mochammad. 2000. Pikiran Dasar Hukum Eksekusi. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Semarang.

Fachruddin Irfan. 2004. Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah. Penerbit PT. Alumni. Bandung.

Hartini, Sri, Setiajeng Kadarsih dan Tedi Sudrajat. 2014. Hukum Kepegawaian Di Indonesia. Penerbit Sinar Grafika. Jakarta.

Harahap, Zairin. 2010. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Edisi Revisi. Penerbit Rajawali Pers. Jakarta.

. 2007. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Edisi Revisi. Penerbit Rajawali Pers. Jakarta.

HR, Ridwan. 2014. Hukum Administrasi Negara. Edisi Revisi pada Cetakan Ke-11. Penerbit Rajawali Pers. Jakarta.

Lotulung, Paulus Effendi. 2013. Hukum Tata Usaha Negara dan Kekuasaan. Penerbit Salemba Empat. Jakarta.

Mappiasse, Syarif. 2015. Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim.

Penerbit Prenadamedia Group. Jakarta.

Mas, Marwan. 2017. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Penerbit Galia Indonesia. Bogor.

. 2014. Pengantar Ilmu Hukum. Edisi Ke-3. Penerbit Galia Indonesia. Bogor.

M. Hadjon, Philipus dkk. 2015. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administration). Cetakan Ke-12.

Penerbit Gadjah Mada University Perss.

Ruslan, Achmad. 2011. Pembentukan Perturan Perundang-Undangan Di Indonesia (Teori dan Panduan Praktik). Penerbit Rangkang Education dan PuKap Indonesia.

Setiadi, Wicipto. 1994. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Suatu Perbandingan). Edisi Pertama. Penerbit PT. Raja Grafindo. Jakarta.

Sudrajat, Tedi dan Sri Hartini. 2017. Hukum Kepegawaian Di Indonesia.

Edisi Ke-2. Penerbit Sinar Grafika. Jakarta.

Sugeng, Bambang dan Sujayadi. 2011. Hukum Acara Perdata, Dokumen dan Litigasi Perkara Perdata. Penerbit Prenadamedia Group.

Jakarta.

Sutantio, Retnawulan dan Iskandar Oeriptakartawinata. 1999. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik. Penerbit Mundur Maju.

Bandung.

Soetami, Siti. 2007. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Penerbit PT. Refika Aditama. Bandung.

Thoha, Miftah. 2016. Manejemen Kepegawaian Sipil Di Indonesia. Edisi Ke-2. Penerbit Prenada Media Group. Jakarta.

Tjandra, W. Riawan. 1995. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.

Cetakan Pertama. Penerbit Universitas Atmajaya Yogyakarta.

Tutik, Titik Triwulan. 2011. Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Penerbit Kencana Prenada Media.

Jakarta.

Wiyono, R. 2015. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Cetakan Ke-3. Penerbit Sinar Grafika. Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Penerbit Sinar Grafika. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya.

Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural.

Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pejabat Pemerintahan.

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manejemen Pegawai Negeri Sipil.

Putusan Hakim Pengadilan

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar Nomor 37/G/2015/PTUN.Mks. (Putusan Tingkat Pertama).

Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar Nomor 10/B/2016/PT.TUN.Mks. (Putusan Tingkat Banding).

Putusan Mahkamah Agung Nomor 376/K/TUN/2016. (Putusan Kasasi).

Skripsi

Usman, Ahmad Alfian. 2011. Penerapan Sanksi Administratif Bagi Anggota KPU yang Melakukan Pelanggaran Kode Etik Di Kab.

Gowa. Universitas 45. Makassar.

Zarkasi, Moch Fauzan. 2016. Tinjauan Yuridis Terhadap Pembentukan Komisi Pengendalian Percepatan Program Stategis (KP3S) Kota Makassar. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Internet

Arfah, Muh Hasim. 6 Juli 2016. Anggota Komisi Pengendalian Percepatan Program Strategis (KP3S) kota Makassar Menggugat Walikota.

(Berita Online). (Tribun-Timur.com). Diakses 29 Desember 2017.

Dokumen terkait