• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENOLAKAN TERGUGAT MELAKSANAKAN REHABILITASI JABATAN PENGGUGAT SESUAI PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA (Studi Kasus Putusan No. 37/G/2015/PTUN.Mks)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "ANALISIS PENOLAKAN TERGUGAT MELAKSANAKAN REHABILITASI JABATAN PENGGUGAT SESUAI PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA (Studi Kasus Putusan No. 37/G/2015/PTUN.Mks)"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENOLAKAN TERGUGAT MELAKSANAKAN REHABILITASI JABATAN PENGGUGAT SESUAI PUTUSAN

PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

(Studi Kasus Putusan No. 37/G/2015/PTUN.Mks)

Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

MUH. SYAHRUL AGO 45 14 060 002

SKRIPSI

FAKULTAS HUKUM/JURUSAN ILMU-ILMU HUKUM UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR

2018

(2)

Motto Hidup:

KebahagiaanTerbesar Dalam Hidup Adalah Ketika Kita Mampu Melakukan Sesuatu Yang Menurut

Orang Lain Tidak Bisa Kita Lakukan

(

Muh. Syahrul Ago, 2011

)

Skripsi ini Kupersembahkan

Untuk Ayahandaku dan Ibundaku Tercinta

Sarifuddin Dg Nyonri dan Almarhumah Halima Dg Memang

(3)

P E R S E T U J U A N P E M B I M B I N G Usulan Penelitian dan Penulisan Hukum Mahasiswa:

Nama : Muh. Syahrul Ago

NIM : 4514060002

Program Studi : Ilmu Hukum

Minat : Hukum Acara

No. Pendaftaran Judul : 05/Acara/FH/Unibos/X/2017 Tgl. Pendaftaran Judul : 26 Oktober 2017

Judul Skripsi : Analisis Penolakan Tergugat Melaksanakan Rehabilitasi Jabatan Penggugat Sesuai Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

(Studi Kasus Putusan No.

37/G/2015/PTUN.Mks)

Telah diperiksa dan diperbaiki untuk dimajukan dalam ujian skripsi mahasiswa program Strata Satu (S1)

Makassar, Maret 2018

Disetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Muhammad Rusli, S.H., M.H. Mustawa Nur, S.H.,M.H.

Mengetahui:

Dekan Fakultas Hukum

Dr. Ruslan Renggong, S.H.,M.H.

(4)

P E R S E T U J U A N U J I A N S K R I P S I

Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar Menerangkan Bahwa:

Nama : Muh. Syahrul Ago

NIM. : 4514060002

Program Studi : Ilmu Hukum

Minat : Hukum Acara

No. Pendaftaran Ujian : Tgl. Persetujian Ujian :

Judul Skripsi : Analisis Penolakan Tergugat Melaksanakan Rehabilitasi Jabatan Sesuai Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (Studi Kasus Putusan No. 37/G/2015/PTUN.Mks)

Telah disetujui skripsinya untuk dimajukan dalam ujian skripsi mahasiswa program strata satu (S1)

Makassar, Maret 2018

Dekan Fakultas Hukum

Dr. Ruslan Renggong, S.H.,MH.

(5)
(6)

K A T A P E N G A N T A R

Assalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatu

Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segala Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan Judul “Analisis Penolakan Tergugat Melaksanakan Rehabilitasi Jabatan Penggugat Sesuai Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (Studi Kasus Putusan No.

37/G/2015/PTUN.Mks)” sebagai salahsatu syarat dalam menyelesaikan pendidikan program studi ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Bosowa.

Karya Ilmiah ini merupakan usaha keras penulis yang diolah dari data hasil penelitian kemudian dikaji berdasarkan teori dan peraturan perundang-undangan yang dituangkan dalam bentuk skripsi. Skripsi ini berusaha menjawab persoalan pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara terkhusus mengenai rehabilitasi jabatan dalam lingkup Pegawai Negeri Sipil (PNS) oleh Tergugat (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) sebagai pihak yang diwajibkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara.

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, tidak sedikit hambatan yang dialami oleh penulis, baik pada saat mengumpulkan data maupun pada saat penyusunannya. Akan tetapi, berkat do`a, dorongan, dan

(7)

bantuan dari berbagai pihak, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terimakasih terutama kepada Ayahandaku Sarifuddin, ayah yang selalu memberikan yang terbaik kepada penulis, memberikan biaya serta doanya, mendidik penulis dengan penuh kesabaran dan kasih sayang dari kecil hingga saat ini.

Kepada keluargaku yang selalu memberikan bantuan baik moril maupun materil.

Penulis juga ingin mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar- besarnya kepada Bapak Muhammad Rusli, S.H., M.M. Sebagai Pembimbing I dan Bapak Mustawa Nur, S.H., M.H. Sebagai Pembimbing II yang senantiasa meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis hingga terselesainya skripsi ini.

1. Kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Muhammad Saleh Pallu, M.Eng. Sebagai Rektor Universitas Bosowa Makassar beserta seluruh jajarannya.

2. Kepada Bapak Dr. Ruslan Renggong, S.H., M.H. Sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar beserta jajarannya.

3. Kepada Bapak Dr. Abd. Haris Hamid, S.H., M.H. dan Bapak Almusawir, S.H., M.H. Sebagai penguji dalam ujian skripsi ini.

4. Kepada Bapak Prof. Dr. Marwan Mas, S.H., M.H. yang telah menginspirasi penulis sejak awal untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kekuatan eksekutorial suatu Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.

(8)

5. Kepada Bapak Ray Pratama Siadari, S.H., M.H. yang telah membatu penulis merumuskan judul skripsi ini, senantiasa meluangkan waktunya untuk berdiskusi, dan banyak memberikan pemahaman kepada penulis.

6. Kepada semua dosen-dosen Fakultas Hukum Universitas Bosowa yang telah memberikan ilmunya yang begitu berharga kepada penulis.

7. Kepada Bapak Drs. Iriansjah R. Pawelleri, M.AP. Sebagai Kepala Bidang Hubungan Antar Lembaga pada Badan Kesatuan bangsa dan Politik Kota Makassar beserta jajarannya.

8. Kepada Bapak Zulkiflie M. S.H. Sebagai Kasubag Bantuan Hukum pada Bagian Hukum dan HAM Sekretariat Daerah Kota Makassar beserta jajarannya yang telah membatu penulis dalam mengumpulkan data penelitian.

9. Kepada Bapak Munandar, SH. M.Si. Sebagai Kepala Bidang Kinerja dan Penghargaan Aparatur Sipil Negara pada Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Daerah (BKPSDMD) Kota Makassar beserta jajarannya yang telah membatu penulis dalam mengumpulkan data penelitian.

10. Kepada Bapak Drs. H. Andi M. Hatta, MM. Sebagai Penggugat yang telah meluangkan waktunya untuk penulis dalam melakukan wawancara.

11. Kepada Bapak Andi Hasanuddin, SH.,MH. Sebagai Panitera Muda Hukum Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar.

(9)

12. Kepada Bapak Abd. Razak, SH. MH. Sebagai Pegawai pada Panitera Muda Hukum Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar yang telah mendampingi penulis selama melakukan penelitian di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar.

13. Kepada Bapak Muh. Ikbal, SH.,MH. Sebagai Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar yang telah menyempatkan waktunya untuk memberikan data penelitian kepada penulis.

14. Kepada Bapak Patta Hajji, S.H., Ibu Pia dan Pak Marlin, S.H.yang selama ini banyak membantu dan memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

15. Kepada Bidikmisi di bawah naungan Kementrian Riset dan Teknologi Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (KEMENRISTEK DIKTI) yang telah memberikan bantuan beasiswa kepada penulis hingga akhir masa studinya.

16. Kepada saudariku Asriani dan sepupuku Hijra, Riska, dan Nurhidaya yang selalu memberi support bagi penulis.

17. Kepada yang so specially of my life Narsi yang telah menemani penulis dengan penuh kesabaran selama kuliah di Universitas Bosowa, banyak membantu penulis baik moril maupun materil.

18. Kepada sahabat-sahabat seperjuangan penulis, Rizal, Mulki, Azlan, Fitriani Ihsan, Ira Ananda, Wayan Jordi, dan Adi Kusuma Wardana yang selama ini banyak membantu penulis.

(10)

19. Kepada teman-teman Angkatan Grasi 2014 yang telah menjadi teman-teman terbaik penulis selama kuliah di Universitas Bosowa yang tidak sempat penulis sebutkan namanya satu persatu.

20. Kepada teman-teman penerima Beasiswa Bidikmisi angkatan 2014.

21. Kepada Bang Suherman angkatan 2015 yang selama ini menjadi teman diskusi penulis dalam berbagai hal.

22. Kepada yang terbanggakan Universitas Bosowa Makassar yang telah memberi penulis ruang untuk menimba ilmu.

Ahirnya dengan rendah hati, penulis mengetahui akan masih banyaknya kekurangan dari skripsi ini, olehnya itu skripsi ini bukanlah akhir dari perjalanan penulis dalam mengarungi lautan ilmu hukum yang begitu luas. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk kita semua dan Allah senantiasa memberikan limpahan keberkahan ilmunya kepada kita semua, Amin.Insya Allah.

Billahitaufiqi Wal Hidayah

Wassalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatu.

Makassar, 07 Maret 2018 Penulis

(Muh. Syahrul Ago)

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI ... iv

HALAMAN PENERIMAAN DAN PENGESAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1.4 Metode Penelitian ... 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian-Pengertian Pokok ... 13

2.1.1 Pengertian Rehabilitasi ... 13

2.1.2 Pengertian Jabatan ... 14

2.1.3 Pengertian Putusan ... 18

2.1.4 Pengertian Pengadilan Tata Usaha Negara ... 20

2.1.5 Pengertian Eksekusi ... 23

2.2 Mekanisme Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara ... 24

2.2.1 Putusan yang Dapat Dieksekusi ... 24

2.2.2 Cara Eksekusi Putusan ... 25

2.2.3 Ganti Rugi ... 30

2.2.4 Rehabilitasi ... 32

2.2.5 Pengawasan Eksekusi Putusan ... 35

(12)

2.3 Akibat Hukum ... 35

2.3.1 Akibat Hukum dan Jenis-Jenis Akibat Hukum ... 35

2.3.2 Akibat Hukum Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara ... 37

2.3.3 Akibat Hukum Pembatalan Surat Keputusan oleh Pengadilan Terhadap Jabatan yang Menjadi Objek Gugatan ... 39

2.4 Pelanggaran Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara ... 41

2.4.1 Sanksi Administratif ... 41

2.4.2 Uang Paksa ... 45

2.4.3 Publikasi ... 48

BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Amar Putusan Hakim ... 49

3.2 Pelaksanaan Putusan No. 37/G/2015/PTUN.Mks ... 54

3.3 Penolakan Rehabilitasi Jabatan oleh Tergugat Sesuai Putusan No. 37/G/2015/PTUN.Mks ... 63

3.4 Akibat Penolakan Tergugat Melaksanakan Rehabilitasi JabatanTerhadap Putusan No. 37/G/2015/PTUN.Mks ... 73

3.5 Tindakan Hukum Terhadap Penolakan Tergugat Melaksanakan Rehabilitasi Jabatan Sesuai Putusan No. 37/G/2015/PTUN.Mks ... 75

3.6 Upaya Penguatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Melalui Uang Paksa ... 78

3.7 Analisis Hukum ... 82

BAB 4 KESIMPULAN 4.1 Kesimpulan ... 89

4.2 Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 91 LAMPIRAN-LAMPIRAN

(13)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Setelah empat kali amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Inonesia Tahun 1945 makin memperjelas eksistensi Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) bukan negara kekuasaan belaka (machtstaat). Ketentuan yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Ketentuan ini mengisyaratkan setiap tindakan yang dilakukan pemerintah dalam urusan pemerintahan haruslah senantiasa berlandaskan hukum.

Menurut Achmad Ruslan (2011: 19) bahwa; “penggunaan istilah negara hukum ini dikenal dengan konsep Rechtsstaat di negara- negaraEropa Kontinental atau The Rule Of Law di negara-negara Anglo Saxon, dan di negara-negara sosialis disebut sebagai Socialist Legality”.

Sejalan dengan itu, Stahl(Ridwan HR, 2014: 3) mengklarifikasikan; “unsur- unsur negara hukum (rechtsstaat) meliputi adanya perlindungan hak asasi manusia, adanya pemisahan kekuasaan, pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan adanya peradilan administrasi”.

Untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, maka seluruh tindakan pemerintah beserta aparaturnya harus bertindak berdasarkan atas hukum sehingga tidak terjadi tindakan sewenang-wenang oleh pemerintah terhadap rakyatnya, menjamin adanya perlindungan hak-hak

(14)

asasi warga negaranya serta adanya kedudukan yang sama di depan hukum. Pemerintahan yang berdasarkan atas hukum akan melahirkan adanya suatu jaminan perlindungan hak-hak dasar warga negara sehingga kepentingan antara pemerintah dengan warga negara dapat berjalan dengan selaras.

Manifestasi pemerintah (eksekutif) dalam bidang administrasi sebagai perwujudan negara hukum diartikan sebagai badan atau pejabat tata usaha negara yang berwenang melakukan tindakan administratif dan diarahkan kepada perlindungan hukum bagi setiap warga negara Indonesia. Tindakan administratif oleh badan atau pejabat tata usaha negara dapat berupa penerbitan surat keputusan yang berisi tindakan hukum yang ditujukan kepada seseorang atau badan hukum perdata.

Sementara itu, dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menentukan bahwa;

“Setiap keputusan dan/atau tindakan wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)”. Sebab surat keputusan tersebut akan berimplikasi hukum kepada seseorang atau badan hukum perdata yang menerimanya.

Apabila surat keputusan tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan/atau asas-asas umum pemerintahan yang baik, maka surat keputusan tersebutakan menjadi objek sengketa dalam bidang tata usaha negara. Sengketa dalam bidang tata usaha negara timbul sebagai akibat terjadinya benturan kepentingan antara badan atau pejabat

(15)

tata usaha negara dengan seseorang atau badan hukum perdata yang termuat dalam suatu surat keputusan.

Dalam lingkup Kepegawaian, Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut PNS) digolongkan sebagai seseorang yang bekerja di suatu instansi pemerintahan untuk membantu pemerintah dalam merumuskan dan menjalankan setiap kebijakan pemerintah. PNS sebagai alat pemerintah atau aparatur pemerintah memiliki peranan yang sangat strategis dalam melaksanakan setiap kebijakan pemerintah. Namun dalam sistem pengelolaannya, PNS seringkali bersengketa dengan badan atau pejabat tata usaha negara ketika badan atau pejabat tata usaha negara mengeluarkan surat keputusan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik serta dirasa merugikan kepentingan seorang PNS.

Hal demikian pernah terjadi dalam sistem pengelolaan kepegawaian dalam lingkungan pemerintah kota Makassar. Sebagaimana telah dikutip dari Muh Hasim Arfah (Tribun-Timur.com, 6 juli 2015); “Walikota Makassar menerbitkan surat keputusanpemberhentian PNS yang ditujukan kepada beberapa pejabat eselon II dan eselon III menjadi Anggota Komisi Pengendalian dan Percepatan Program Strategis (KP3S)”.

Pejabat eselon diberhentikan dari jabatan struktural dan diangkat sebagai Anggota Komisi Pengendalian dan Percepatan Program Strategis (selanjutnya disebut KP3S) kota Makassar yang kemudian pejabat tersebut mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara

(16)

Makassar (selanjutnya disebut PTUN Makassar) dengan alasan surat keputusan yang dikeluarkan oleh Walikota Makassar bertentangan dengan peraturan perundang-undangan serta KP3S tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Alasan Penggugat tersebut sesuai dengan hasil penelitian terkait dasar hukum pemberhentian dan pengangkatan pejabat eselon ke jabatan KP3S (Moch Fauzan Zarkasi, 2016:107) bahwa;

Konsep KP3S sebagai lembaga non-struktural yang menetapkan syarat anggota KP3S dalam sala satu poinnya adalah ASN yang menjabat Jabatan Struktural Eselon II B dan Eselon III A memberikan implikasi pemberhentian terhadap jabatan struktural ASN yang tidak termasuk dalam syarat pemberhentian ASN berdasarkan UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN. Sehingga perkara ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum sehingga kapasitas walikota sebagai pejabat pembina kepegawaian melakukan kesewenang-wenangan dalam dua bentuk, yakni tindakan mencampuradukkan wewenang dan tindakan melampaui kewenangan.

Meskipun walikota memiliki kapasitas sebagai pejabat pembina kepegawaian berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 selain sebagai kepala daerah dalam sistem otonomi daerah. Akan tetapi, (Moch Fauzan Zarkasi, 2016:09) bahwa;

Kepala daerah tidak begitu serta merta dapat melakukan pemutasian kepada PNS karena kewenangan dalam aspek administrasi pemerintahan senantiasa memiliki pembatasan, baik dalam lingkup materi, lokasi, maupun waktu.

Hal itu sejalan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 116 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang menentukan bahwa;

Pejabat Pembina Kepegawaian dilarang mengganti pejabat Pimpinan Tinggi selama 2 (dua) tahun terhitung sejak pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi, kecuali Pejabat Pimpinan Tinggi tersebut melanggar

(17)

ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak lagi memenuhi syarat jabatan yang telah ditentukan.

Terbitnya Surat Keputusan Walikota Makassar terkait pemberhentian dan pengankatan pejabat eselon ke jabatan KP3S berakibat pada timbulnya sengketa dalam bidang kepegawaian. Menurut Tedi Sudrajat dan Sri Hartini (2017: 196) bahwa; “Keputusan yang dirasakan merugikan PNS inilah yang menjadi pangkal sengketa yang perlu mendapat penyelesaian secara adil”.

Sengketa kepegawaian diatur dalam Pasal 129 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang menentukan bahwa sengketa pegawai Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disingkat ASN) diselesaikan melalui upaya administratif. ASN yang dimaksud dalamundang-undang ini yaitu PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (selanjutnya disebut PPPK). Akan tetapi apabila proses administrasi tersebut telah dilalui dan belum merasa puas atas hasil yang diputuskan, maka menurut Tedi Sudrajat dan Sri Hartini (2017: 196) bahwa; “sengketa kepegawaian tersebut dapat dilakukan pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara”.

Pada Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang mengabulkan gugatan Penggugat (PNS) dalam sengketa kepegawaian terkhusus dalam hal pemutasian pegawai, selain dapat mewajibkan Tergugat (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) untuk mencabut dan/atau menerbitkan keputusan baru, juga dapat mewajibkan Tergugat untuk merehabilitasi jabatan Penggugat.

(18)

Menurut Rozali Abdullah (2016: 103) bahwa;

Rehabilitasi ini diberikan dengan tujuan untuk memulihkan hak Penggugat dalam kemampuan, harkat dan martabatnya sebagai pegawai negeri seperti semula dan dalam hal ini termasuk hak yang menyangkut suatu jabatan.

Rehabilitasi jabatan dimaksudkan untuk mengembalikan jabatan Para Penggugat setelah dimutasi oleh badan atau pejabat tata usaha negara berdasarkan surat keputusannya. Hal itu sesuai pada Putusan Nomor 37/G/2015/PTUN.Mks terkait dengan kasus sengketa kepegawaian atas penerbitan surat keputusan pemutasian beberapa pejabat eselon oleh Walikota Makassar.

Dalam Putusan PTUN Makassar Nomor 37/G/2015/PTUN.Mks yang kemudian dikuatkan oleh Putusan PTTUN Makassar Nomor 10/B/2016/PTTUN.Mks dan kemudian dikuatkan lagi dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 376/K/TUN/2016, Tergugat (Walikota Makassar) diwajibkan untuk merehabilitasi jabatan Penggugat ke jabatan semula dan/atau setidak-tidaknya pada jabatan setingkat dengan jabatan semula.

Akan tetapi, sampai saat ini belum diketahui apakah alasan penolakan Tergugat tidak melaksanakan rehabilitasi jabatan tidak bertentangan dengan Putusan Nomor 37/G/2015/PTUN.Mks, serta faktor-faktor apa yang meneybabkan Tergugat tidak melaksanakan rehabilitasi jabatan sesuai Putusan Nomor 37/G/2015/PTUN Mks.

Mencermati ketentuan yang terdapat dalam Pasal 97 ayat (9) Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, tidak menjadi persoalan ketika putusan pengadilan tata usaha negara menolak

(19)

gugatan penggugat atau mengabulkan gugatan penggugat hanya sebatas pencabutan surat keputusan tata usaha negara saja, akan tetapi persoalannya muncul ketika putusan pengadilan memerintahkan tergugat untuk menerbitkan keputusan baru dan/atau disertai rehabilitasi.

Sebagaimana meurut R. Wiyono (2015: 234) bahwa;

Diktum putusan pengadilan yang perlu pelaksanaan lebih lanjut adalah diktum gugatan dikabulkan yang menetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan surat keputusan.

Hambatan pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara bukan hanya terjadi pada Putusan No. 37/G/2015/PTUN.Mks. Di Jakarta sendiri berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh tim Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung yang berkoordinasi dengan Tri Cahya Indra Permana sepanjang Oktober 2015 (HukumOnline.com, 08 Juli 2016); “sebanyak 95 persen Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta tidak dilaksanakan secara sukarela”. Hal itu menunjukkan bahwa masih adanya kendala dalam pelaksanaan eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Persoalan pelaksanaan eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara memang sangat menarik untuk dikaji terkhusus mengenai masalah rehabilitasi jabatan dalam hal untuk mengetahui eksistensi pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam konsep negara hukum sebagai wujud perlindungan warga negara dari tindakan sewenang-wenang pemerintah.

(20)

Berdasarkan hal di atas, maka menjadi penting untuk diketahui mengenai hal apa yang seharusnya menurut hukum itu ternyata tidak selalu sesuai dengan kenyataannya. Untuk itu penulis ingin mengetahui, mencari, dan menganalisis dengan suatu kajian ilmiah terkait rehabilitasi jabatan yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dengan judul “Analisis Penolakan Tergugat Melaksanakan Rehabilitasi Jabatan Penggugat Sesuai Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (Studi Kasus Putusan No. 37/G/2015/PTUN.Mks)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis dapat mengemukakan rumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Apakah penolakan Tergugat melaksanakan rehabilitasi jabatan para Penggugat tidak berakibat pada Putusan No.

37/G/2015/PTUN.Mks. ?

2. Apa tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh Pengadilan terhadap penolakan Tergugat melaksanakan rehabilitasi jabatan Penggugat sesuai Putusan No. 37/G/2015/PTUN.Mks. ?

(21)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian a) Tujuan Penelitian

Adapun tujuan pada penelitian ini tidak terlepas dari rumusan masalasah di atas, yaitu:

1. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap penolakan Tergugat melaksanakan rehabilitasi jabatan Penggugat sesuai Putusan No. 37/G/2015/PTUN.Mks.

2. Untuk mengetahui tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar atas penolakan Tergugat melaksanakan rehabilitasi jabatan Penggugat sesuai Putusan No. 37/G/2015/PTUN.Mks.

b) Manfaat Penelitian

Adapun manfaat pada penelitian ini yaitu:

1. Manfaat Teoritis, yaitu penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan, sebagai bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya, menjadi bahan bacaan untuk para mahasiswa atau peminat lainnya terkait persoalan pelaksanaan rehabilitasi jabatan setelah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.

2. Manfaat Praktis, yaitu informasi bagi masyarakat khususnya masyarakat yang berprofesi sebagai PNS dan pemerintah daerah mengenai pemahaman tentang konsep sengketa kepegawaian dan rehabilitasi jabatan setelah Putusan

(22)

Pengadilan Tata Usaha Negara dalam mewujudkan negara hukum pada tatanan pemerintah daerah. Menjadi suatu bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam membuat suatu produk hukum terutama upaya penguatan pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap (inckracht van gewijsde).

1.4 Metode Penelitian

a) Pendekatan Masalah

(1) Pendekatan Yuridis, yaitu pendekatan masalah dengan melakukan kajian aturan hukum atau peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan sengketa kepegawaian, sengketa tata usaha negara, administrasi negara, dan peraturan lain yang berkaitan dengan penelitian ini serta dokumen- dokumen lain seperti putusan pengadilan.

(2) Pendekatan Empiris, yaitu dengan melakukan wawancara langsung dengan Para Penggugat,Tergugat atau kuasa hukumnya dan pihak pengadilan.

b) Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian pada penelitian ini dilakukan didua tempat yaitu, Kantor Walikota Makassar dan Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar. Kantor Walikota Makassar dipilih karena para Penggugat dan Tergugat adalah masing-masing berkantor di kantor

(23)

Walikota Makassar dan Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar dipilih karena perkara para pihak diputus di pengadilan tersebut.

c) Jenis dan Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini berpatokan pada permasalahan dan tujuan penelitian, maka diperlukan dua jenis data, yaitu:

(1) Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan pihak Penggugat dan Tergugat atau Kuasa Hukumnya.

(2) Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui bahan laporan dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini.

d) Teknik Pengumpulan Data

Sebagai tindak lanjut dalam memperoleh yang data akurat sesuai yang diharapkan, maka penulis melakukan teknik pengumpulan data berupa:

(1) Penelitian Lapangan (Field Research)

Dalam melakukan penelitian lapangan, penulis menggunakan teknik wawancara, yaitu dengan mendatangi langsung para Penggugat dan Tergugat atau Kuasa Hukumnya di Kantor Walikota Makassar.

(2) Penelitian Pustaka (Library Research)

(24)

Dalam penelitian ini, selain menggunakan teknik pengumpulan data di lapangan, penulis juga menggunakan penelitian kepustakaan, di mana data diperoleh dari bahan bacaan seperti buku-buku, jurnal ilmiah, dan literatur lain yang mempunyai kaitan dengan penelitian ini.

e) Analisis Data

Analisis data dilakukan untuk mengolah data primer dan data sekunder sebagaimana yang tersebut di atas dengan menggunakan analisis yuridis deskriftif. Analisis yuridis deskriftif adalah suatu cara menyesuaikan dan menggambarkan keadaan yang nyata mengenai kasus rehabilitasi jabatan. Hasil wawancara dan studi kepustakaan diolah dan dianalisis secara kualitatif untuk menghasilkan data yang bersifat deskriftif.

(25)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian-Pengertian Pokok

2.1.1 Pengertian Rehabilitasi

Istilah rehabilitasi paling sering digunakan dalam hukum pidana.

Rehabilitasi pada tindak pidana contohnya, rehabilitasi pemakai narkotika, rehabilitasi atas pencemaran nama baik, dan masih banyak lagi penggunaan istilah rehabilitasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI); “rehabilitasi adalah pemulihan kepada kedudukan (keadaan, nama baik) yang dahulu”.

Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia memberikan defenisi secara normatif mengenai istilah rehabilitasi yaitu; “Rehabilitasi merupakan suatu pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lainnya”.

Dalam bidang tata usaha negara, juga dikenal istilah rehabilitasi sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Selanjutnya disingkat UUPTUN Pertama), akan tetapi rehabilitasi tersebut hanya sebatas pada sengketa tata usaha negara dalam lingkup kepegawaian saja. Mengenai pengertian rehabilitasi, terdapat pada penjelasan Pasal 121 ayat (2) UUPTUN Pertama yang menentukan bahwa;

(26)

Rehabilitasi ini merupakan pemulihan hak penggugat dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya sebagai pegawai negeri seperti semula, sebelum ada keputusan yang disengketakan. Dalam hal pemulihan hak tersebut juga hak- haknya yang ditimbulkan oleh kemampuan kedudukan dan harkatnya sebagai pegagai negeri.

Tidak jauh berbeda dengan pandangan Rozali Abdullah (2016:

103) bahwa; “Rehabilitasi ini diberikan dengan tujuan untuk memulihkan hak-hak penggugat dalam kemampuan, harkat, dan martabatnya sebagai hak yang menyangkut suatu jabatan”.

2.1.2 Pengertian Jabatan

Pengertian jabatan sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudrajat (2017: 235) bahwa “jabatan adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak PNS dalam suatu organisasi negara.”

Senada dengan itu, Ridwan HR (2014: 77) mengartikan; “jabatan adalah lingkungan pekerjaan tetap, sementara pejabat dapat berganti- ganti. Pergantian pejabat tidak mempengaruhi kewenagna yang melekat pada jabatan”.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, dikenal beberapa jenis atau jenjang jabatan, yaitu:

(1) Jabatan Administrasi

Ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 menentukan bahwa jabatan administrasi adalah sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan

(27)

publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan. Setiap jabatan administrasi ditetapkan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. Jabatan administrasi ini pula terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu:

a) Jabatan Administrator adalah jabatan yang bertanggung jawab memimpin pelaksanaan seluruh kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan.

b) Jabatan Pengawas adalah jabatan yang bertanggung jawab mengendalikan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pelaksana.

c) Jabatan Pelaksana adalah jabatan yang bertanggung jawab melaksanakan kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan.

(2) Jabatan Fungsional

Ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 menentukan bahwa “jabatan fungsional adalah sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas yang berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu”.

Jabatan fungsional adalah jabatan yang walaupun tidak secara tegas tercantum dalam struktur organisasi tetapi ditinjau dari sudut fungsinya jabatan itu harus ada untuk memungkinkan organisasi tersebut dapat melakukan tugas pokoknya.

(28)

Dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 (Sri Hartini dan Tedi Sudrajat, 2017: 235) terlihat bahwa jabatan fungsional ini dibagi ke dalam dua bagian, yaitu:

a) Jabatan fungsional keahlian, yaitu jabatan yang terdiri dari empat tingkatan yakni ahli utama, ahli madya, ahli muda, dan ahli pertama.

b) Jabatan fungsional keterampilan, yaitu jabatan yang terdiri dari empat tingkatan yakni penyelia, mahir, terampil, dan pemula.

(3) Jabatan Pimpinan Tinggi

Ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 menentukan bahwa jabatan pimpinan tinggi adalah sekelompok jabatan tinggi pada instansi pemerintah. Jabatan pimpinan tinggi sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 19 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 terdiri atas jabatan pimpinan tinggi utama, jabatan pimpinan tinggi madya, dan jabatan pimpinan tinggi pratama.

Penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf a menentukan bahwa;

“jabatan pimpinan tinggi utama adalah kepala lembaga pemerintahan nonkementrian”.

Penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf b menentukan bahwa;

Yang dimaksud dengan jabatan pimpinan tinggi madiya meliputi sekretaris jenderal kementrian, sekretaris kementrian, sekretaris jendral kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga nonstruktural, direktur jendral, deputi, inspektur jendral, inspektur utama, kepala badan, staff ahli mentri, kepala sekretariat presiden, kepala

(29)

sekretariat wakil presiden, sekretariat militer presiden, kepala sekretariat dewan pertimbangan presiden, sekretariat daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara.

Penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf a menentukan bahwa;

Yang dimaksud jabatan tinggi pratama meiputi direktur, kepala biro, asisten deputi, sekretaris direktorat jendral, sekretaris inspektorat jendral, sekretaris kepala badan, kepala pusat, inspektur, kepala balai besar, asisten sekretariat daerah provinsi, sekretariat daerah kabupaten/kota, kepala dinas/kepala badan provinsi, sekretaris dewan perwakilan rakyat daerah, dan jabatan lain yang setara.

Kemudian lanjut pada ketentuan peralihan pada Pasal 131 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 menentukan bahwa;

Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, terhadap jabatan PNS dilakukan penyetaraan:

a. Jabatan eselon Ia kepala lembaga pemerintahan nonkemen- trian setara jabatan pimpinan tinggi utama;

b. Jabatan eselon Ia dan Ib setara dengan jabatan pimpinan tinggi madya;

c. Jabatan eselon II setara dengan jabatan tinggi pratama;

d. Jabatan eselon III setara dengan jabatan administrator;

e. Jabatan eselon IV setara dengan jabatan pengawas;

f. Jabatan eselon V dan fungsional umum setara dengan jabatan pelaksana, sampai dengan berlakunya peraturan pelaksanaan mengenai jabatan ASN dalam undang-undang ini.

Kesemua jenis jenjang atau tingkatan jabatan eselon yang terdapat dalam ketentuan Pasal 131 Undang-Undang Nomor 5

(30)

Tahun 2014 inilah yang termasuk dalam jabatan struktural yang menurut Sri Hartini dan Tedi Sudrajat(2017: 235) adalah; “jabatan yang secara tegas ada dalam struktur organisasi”.

2.1.3 Pengertian Putusan

Pada dasarnya penggugat mengajukan suatu gugatan ke pengadilan dengan tujuan agar pengadilan melalui hakim dapat menyelesaikan perkaranya dengan mengambil suatu putusan.

Menurut A.Siti Soetami (2007: 49) bahwa; “Suatu putusan pengadilan diambil untuk memutuskan suatu perkara yang diserahkan kepadanya dalam rangka yang dinamakan jurisdiction contentiosa”.

Dalam bukum Bambang Sugeng dan Sujayadi (2011: 83) terdapat defenisi putusan, yaitu;

Putusan hakim ialah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.

Jadi, putusan adalah perbuatan hakim sebagai penguasa atau pejabat negara.

Menurut Sudikno Mertokusumo dalam buku (Zairin Harahap 2007: 142) bahwa;

Putusan adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan.

(31)

Lebih lanjut Wicipto Setiadi (1994: 139) menyatakan; “putusan adalah hasil permufakatan bulat di antara para hakim.” Putusan yang dihasilkan melalui musyawarah atau permufakatan bulat berkaitan dengan segi objektivitas putusan. W.Riawan Tjandra (2002: 117) bahwa; “Putusan hakim harus didasarkan atas pertimbangan- pertimbangan melalui penilaian objektif terhadap sengketa.”

Menurut sifatnya (A.Siti Soetami (2007: 49), amar putusan diktum dapat dibedakan atas dua macam, yaitu:

a. Putusan Condamnator, yaitu yang amarnya berbunyi sebagai berikut: Menghukum dan seterusnya...

b. Putusan Konstitutif, yaitu amar putusannya menimbulkan suatu keadaan hukum baru atau meniadakan keadaan hukum baru.

Lebih jauh dijelaskan mengenai sifat putusan dalam buku Marwan Mas (2017: 92), yaitu:

a) Putusan Declaratoir

Putusan Declaratoir adalah putusan yang hanya menegaskan atau menyatakan suatu keadaan hukum semata- mata. Misalnya, putusan tentang keabsahan anak angkat menurut hukum, putusan ahli waris yang sah, putusan pemilik atas suatu benda yang sah.

b) Putusan Constitutief

Putusan Constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang

(32)

baru. Misalnya, putusan tentang perceraian, putusan yang menyatakan seorang jatuh pailit, putusan tidak berwenangnya pengadilan menangani suatu perkara.

c) Putusan Condemnatoir

Putusan Condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan dalam persidangan untuk memenuhi prestasi. Pada umumnya putusan condemnatoir terjadi disebabkan oleh karena dalam hubungan perikatan antara penggugat dan tergugat yang bersumber pada perjanjian atau undang-undang telah terjadi wanprestasi dan perkaranya diselesaikan di pengadilan.

2.1.4 Pengertian Pengadilan Tata Usaha Negara

Menurut A. Siti Soetami (2009: 9) bahwa; “Pengadilan Tata Usaha Negara Merupakan sarana Control On The Administration.

PTUN adalah salah satu pelaksanaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara”.

Pengertian PTUN menurut H. Rozali Abdullah (2007: 1) adalah;

Pengadilan Tata Usaha Negara adalah suatu badan yang dapat digunakan oleh masyarakat dalam mempertahankan hak-hak perdatanya bila berhadapan dengan kebijakan keliru pemerintah dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan.

Titik Triwulan Tutik (2011: 291) mengemukakan lebih jauh mengenai pengertian PTUN;

PTUN merupakan sebuah lembahaga pelaksana kekuasaan kehakiman seperti yang termuat dalam Pasal 24 UUD 1945 yang

(33)

ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung, dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Peradilan Tata Usaha Negara ada untuk menyelesaiakan sengketa tata usaha negara antara badan atau pejabat tata usaha negara dengan orang atau badan hukum perdata. Menurut W.Riawan Tjandra (2002: 1) bahwa;

Peradilan Tata Usaha Negara diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warga negaranya, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat dari adanya tindakan- tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negaranya.

Lanjut W. Riawan Tjandra (2002: 1) mengutarakan tentang tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu:

a. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu.

b. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.

Berdasarkan penamaannya, Menurut T. Boestomi (1994: 36) menyebutkan;

Sebenarnya Pengadilan Administrasi Negara atau Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Tata Pemerintahan masih kita gunakan ganti berganti, mungkin sebagai akibat dari adanya perbedaan terjemahan terhadap mata kuliah

“Adminstratief Recht”.

Lanjut T. Boestami (1994: 36) menjelaskan;

(34)

Kiranya tidak dapat disangkal dua istilah terdahulu yaitu Pengadilan Administrasi Negara dan Pengadilan Tata Usaha Negara masih tetap populer, tetapi pengaamatan seksama tampaknya penyebutan Pengadilan Tata Usaha Negara lebih mendapat tempat ditaraf pengetahuan hukum masyarakat.

Adapun kekuasaan dari Peradilan Tata Usaha Negara terdapat dalam Pasal 50 dan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut UUPTUN Pertama), meliputi (R. Wiyono, 2015: 3) :

a. Pasal 50 menentukan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama.

b. Pasal 51 menentukan bahwa:

(1) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding.

(2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus ditingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya.

(3) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.

(35)

(4) Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (3) dapat diajukan permohonan kasasi.

2.1.5 Pengertian Eksekusi

Eksekusi (Ray Pratama Siadari, 2015), “dapat diartikan suatu tindakan lanjut dalam hal melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht). Eksekusi Putusan Pengadilan adalah pelaksanaan putusan pengadilan oleh atau dengan bantuan pihak luar dari para pihak”. Tidak jauh berbeda dengan pendapat Ali Abdullah M (2015: 159) yang mengartikan; “pelaksanaan sering disebut juga dengan eksekusi, yang dalam hal ini eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)”.

Lebih lanjut (Ray Pratama Siadari, 2015);

Hal yang berkaitan dengan eksekusi dalam bidang Tata Usaha Negara adalah pembatalan surat keputusan Tata Usaha Negara yang diikuti dengan rehabilitasi, sanksi administratif, dan untuk membayar sejumlah uang paksa (dwangsom).

Senada dengan itu, Pengertian eksekusi menurut R. Subekti (Mochammad Djais, 2000: 12), bahwa;

Eksekusi atau pelaksanaan putusan mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau mentaati putusan itu secara sukarela sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum.

Pendapat yang sama dikemukakan oleh Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata (1999: 130) bahwa; “eksekusi adalah

(36)

tindakan paksaan oleh pengadilan terhadap pihak yang kalah dan tidak mau melaksanakan putusan pengadilan secara sukarela”.

2.2 Mekanisme Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara 2.2.1 Putusan yang Dapat Dieksekusi atau Dilaksanakan

Tidak seperti dalam proses hukum acara perdata, (Wicipto Setiadi, 1994: 144) dalam proses hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara ini tidak dikenal pelaksanaan serta merta (exekutie bij vooraad) dari suatu putusan akhir pengadilan. Hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetaplah yang dapat dilaksanakan.

Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yaitu (Wicipto Setiadi, 1994: 144) :

a. Putusan pengadilan tingkat pertama yang sudah tidak dapat dilawan atau dimintakan pemeriksaan banding lagi. Putusan akan berkekuatan hukum tetap apabila dalam empat belas hari setelah diputus tidak dimintakan banding.

b. Putusan Pengadilan Tinggi yang tidak dimintakan pemeriksaan kasasi lagi. Putusan akan berkekuatan hukum tetap apabila dalam empat belas hari setelah diputus tidak dimintakan kasasi.

c. Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi. Putusan Mahkamah Agung tidak memiliki tenggang waktu untuk dapat dikatakan bekekuatan hukum tetap, akan tetapi setelah putusan dibacakan maka langsung berkekuatan hukum tetap.

(37)

Lebih jauh Wicipto Setiadi (1994: 144) menjelaskan;

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah putusan hukum publik. Karena itu, putusan tersebut berlaku juga bagi pihak-pihak yang berada di luar sengketa.

Dalam Pasal 115 UUPTUN Pertama, disebutkan bahwa;“hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh hukum tetap yang dapat dilaksanakan”. Putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap tidak memiliki kekuatan eksekusi atau dengan kata lain putusan pengadilan yang masih mempunyai upaya hukum tidak dapat dimintakan eksekusi.

2.2.2 Cara Eksekusi Putusan

Pelaksanaan suatu putusan pengadilan mempengaruhi kewibawaan suatu pengadilan. Pengadilan yang berwibawa (Syarif Mappiasse, 2015: 154) adalah;“pengadilan yang mandiri, netral, kompeten, dan akuntabel, mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan, yang merupakan syarat bagi suatu negara hukum”.

Pelaksanaan putusan sering disebut juga dengan eksekusi yang dalam hal ini menurut Ali Abdullah M (2015: 159) bahwa; “eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inckracht van gewijsde)”.

Menurut Bambang Sugeng dan Sujayadi (2011: 99-100) menjelaskan;

(38)

Suatu putusan pengadilan tidak ada artinya apabila tidak dapat dilaksanakan (eksekusi). Oleh karena itu, putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itusecara paksa oleh alat-alat negara. Namun, tidak semua putusan hakim dapat dilaksanakan dalam arti yang sebenarnya, hal itu secara paksa oleh pengadilan. Hanya putusan comdemnatoir sajalah yang dapat dilaksanakan, sedangkan putusan declaratoir dan constitutif tidaklah memerlukan sarana-sarana pemaksa untuk melaksanakannya.

Lebih lanjut Bambang Sugeng dan Sujayadi (2011: 99-100) menjelaskan;

Hal tersebut dikarenakan dalam putusan declaratoir dan constitutif tidak dimuat adanya hak atas suatu prestasi, maka terjadinya akibat hukumtidak tergantung pada bantuan atau kesediaan dari pihak yang dikalahkan, maka oleh karena itu tidak diperlukan sarana-sarana pemaksa untuk menjalankannya.

Diktum putusan pengadilan yang perlu pelaksanaan lembih lanjut menurut R. Wiyono (2015: 234) adalah;

Putusan pengadilan yang diktum putusannya dikabulkan, yaitu yang menyatakan batat atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara dan menetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (8), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11).

Ketentuan yang mengatur terkait cara eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara terdapat dalam Pasal 116 Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 (selanjutnya disebut UUPTUN Perubahan Kedua),menentukan bahwa:

(1) Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat

(39)

oleh panitera pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tigkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari.

(2) Dalam hal empat bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah tiga bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

(4) Jika tergugat tidak mau meaksanakannya, ketua pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan.

(5) Instansi jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu dua bulan setelah menerima pemberitahuan dari ketua pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

(40)

(6) Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka ketua pengadilan mengajukan hal ini kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan pengadilan tersebut.

Apabila menyimak dengan seksama ketentuan Pasal 116 tersebut di atas, maka menurut Paulus Effendi Lotulung (Zairin Harahap, 2010:

155) menyatakan bahwa:

Sesungguhnya ada dua jenis eksekusi yang dikenal dalam peradilan Tata Usaha Negara, yakni:

1. Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, yaitu kewajiban berupa pencabutan keputusan tata usaha negara (beschikking) yang bersangkutan;

2. Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, yaitu:

Huruf b : pencabutan keputusan tata usaha negara (beschikking) yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan tata usaha negara (beschikking) yang baru, atau

Huruf c : pencabutan keputusan tata usaha negara (beschikking) dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.

Selanjutnya Paulus Effendi Lotulung (Zairin Harahap, 2010: 156) menjelaskan:

Apabila terdapat adanya eksekusi jenis pertama, maka diterapkan ketentuan Pasal 116 ayat (2), yaitu empat bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaiamana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, maka keputusan tata usaha negara (beschikking) yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

(41)

Dengan demikian tidak perlu lagi ada tindakan-tindakan ataupun upaya-upaya lain dari pengadilan, misalnya surat peringatan dan sebagainya. Sebab keputusan tata usaha negara itu dengan sendirinya akan hilang kekuatan hukumnya. Cara eksekusi seperti ini disebut eksekusi otomatis.

Sebaliknya menurut Paulus Effendi Lotulung (Zairin Harahap, 2010: 156) menjelaskan kembali bahwa:

Apabila terdapat adanya eksekusi jenis kedua, maka diterapkanlah ketentuan Pasal 116 ayat (3) sampai dengan ayat (6), yaitu dengan cara adanya surat perintah dari ketua pengadilan yang ditujukan kepada pejabat tata usaha negara yang bersangkutan untuk melaksanakan eksekusi putusan pengadilan tersebut dan apabila tidak ditaati, maka ketua penadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasan pejabat tata usaha negara tersebut menurut jenjang jabatan, yang dapat diteruskan sampai ke presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan pejabat tata usaha negara tersebut melaksanakan eksekusi putusan pengadilan itu.

Cara eksekusi seperti ini disebut dengan eksekusi hirarkis.

Ketentuan lain apabila suatu putusan akan mengakibatkan kerugian bagi pihak ketiga (pihak lain), maka dalam Pasal 118 UUPTUN Pertama, mengatur bahwa:

(1) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) berisi kewajiban bagi tergugat sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9), ayat (10), dan ayat (11), pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikutsertakan selama waktu pemeriksaan sengketa yang bersangkutan menurut ketentuan Pasal 83 dan ia khawatir kepentingannya akan dirugikan dengan dilaksanakannya putusan yang telaha

(42)

memperoleh kekuatan hukum tetap itu dapat mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan tersebut kepada pengadilan yang mengadili sengketa itu pada tingkat pertama.

(2) Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya dapat diajukan pada saat sebelum putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu dilaksanakan dengan memuat alasan tentang permohonannya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, terhadap permohonan perlawanan itu berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63.

(3) Gugatan perlawanan sebagaiama dimaksud dalam ayat (1) tidak dengan sendirinya mengakibatkan ditundahnya pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

2.2.3 Ganti Rugi

Pasal 97 ayat (10) UUPTUN Pertama, menentukan bahwa

“kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan ganti rugi”. Dari ketentuan pasal tersebut, R. Wiyono (2015: 238) berpendapat bahwa;

Putusan pengadilan yang disertai dengan pembebanan ganti rugi tidak hanya terbatas pada putusan pengadilan yang menyangkut kepegawaian yang berisi kewajiban melaksanakan sehabilitasi saja, akan tetapi pembebanan ganti rugi dapat disertakan pula pada setiap putusan pengadilan, termasuk putusan pengadilan

(43)

yang tidak menyangkut kepegawaian yang berisi kewajiban untuk melaksanakan rehabilitasi.

Pasal 120 ayat (1) UUPTUN Pertama, menentukan bahwa

“salinan putusan pengadilan yang berisi membayar ganti rugi dikirim kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Jika dicermati, ketentuan Pasal 120 ayat (1) merupakan ketentuan khusus dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Perbedaannya nampak, yaitu pengiriman salinan putusan pengadilan terkait ganti rugi dikirim dalam waktu tiga hari setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap sementara untuk putusan pengadilan yang tidak dibebani ganti rugi, salinan putusannya dikirim dalam waktu empat belas hari setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara, terdapat ketentuan tentang badan Tata Usaha Negara yang bertanggung jawab atas pembayaran ganti rugi (R. Wiyono, 2015: 240) yaitu;

a. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 menentukan; “ganti rugi yang menjadi tanggung jawab Badan Tata Usaha Negara Pusat, dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

b. Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 menentukan; “ganti rugi yang menjadi tanggung jawab Badan Tata

(44)

Usaha Negara Daerah, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

c. Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 menentukan; “ganti rugi yang menjadi tanggung jawab Badan Tata Usaha di luar ketentuan ayat (1) dan ayat (2), menjadi beban keuangan yang dikelolah oleh badan itu sendiri.

Di samping itu, ganti rugi perlu juga mendapat perhatian mengenai batasan terhadap pihak yang dibebani kewajiban membayar ganti rugi. Menurut R. Wiyono (2015: 243) bahwa;

Jika pada perumusan Pasal 120 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menggunakan kalimat Badan Atau Pejabat Tata Usaha Negara, maka pada perumusan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 menggunakan kalimat Badan Tata Usaha Negara saja.

Di dalam Peraturan Pemerintah ini juga ditentukan besarnya ganti rugi yang dapat diberikan yakni paling kecil Rp. 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) dan paling besar Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah).

2.2.4 Rehabilitasi

Dalam hal Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara berkaitan dengan sengketa kepegawaian yang gugatannya dikabulkan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 97 ayat (11) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 juga dapat disertai dengan pemberian rehabilitasi.

Ketentuan Pasal 97 ayat (11) menentukan bahwa;

(45)

Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) menyangkut kepegawaian, maka di samping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi.

Akan tetapi, apabila rehabilitasi jabatan tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan secara sempurnah oleh tergugat, maka Rozali Abdullah (2016: 103) menambahkan;

Kalau jabatan semula telah diisi oleh orang lain, yang bersangkutan dapat diangkat dalam jabatan lain yang setingkat dengan jabatan semula dan kalau hal itu tidak mungkin, maka yang bersangkutan akan diberikan prioritas pertama untuk menduduki jabatan yang lowong yang setingkat dengan jabatan semula.

Selanjutnya apabila tergugat juga belum mampu melaksanakan rehabilitasi jabatan penggugat karena terjadi perubahan keadaan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka berdasarkan ketentuan Pasal 117UUPTUN Pertama, menentukan sebagai berikut :

(1) Sepanjang mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (11) apabila tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurnah melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan/atau telah memperoleh kekuatan hukum tetap, ia wajib memberitahukan hal itu kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dan penggugat.

(46)

(2) Dalam waktu 30 hari setelah menerima pemberitahuan sebagaiamana dimaksud dalam ayat (1) penggugat dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan yang telah mengirimkan putusan. Petusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut agar tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau kompensasi lain yang diinginkannya.

(3) Ketua pengadilan setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) memerintahkan memanggil kedua belah pihak untuk mengusahakan tercapainya persetujuan tentang jumlah uang atau kompensasi lain yang harus dibebankan kepada tergugat.

(4) Apabila setelah diusahakan untuk mencapai persetujuan tetapi tidak dapat memperoleh kata sepakat mengenai jumlah uang atau kompensasi lain tersebut, ketua pengadilan dengan penetapan yang disertai pertimbangan yang cukup menentukan jumlah uang atau kompensasi lain yang dimaksud.

(5) Penetapan ketua pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat diajukan oleh penggugat maupun tergugat kepada Mahkamah Agung untuk ditetapkan kemali.

(6) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) wajib ditaati kedua belah pihak.

(47)

2.2.5 Pengawasan Eksekusi Putusan

Menurut Berkhusyen dalam (Irfan Fachruddin, 2004: 187) bahwa;

Keberhasilan pelaksanaan pengawasan kepada ada atau tidaknya kekuatan yuridis. Efektifitas pengawasan digantungkan kepada sejauhmana putusan memiliki kekuatan yuridis dengan kata lain pelaksanaannya dapat dipaksakan.

Menurut Irfan Fachruddin (2004: 190) membagi tipe pengawasan yaitu: “Pertama, pengawasan dengan cara mendesak dari atas atau membuat takut dan kedua, pengawasan membujuk atau melalui perundingan”.

Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 119 UUPTUN Pertamabahwa; “ketua pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Ketentuan pasal tersebut menurut R.Wiyono (2015: 248) mengartikan bahwa;

Yang diberikan kewajiban untuk mengawasi eksekusi putusan pengadilan yang telah meperoleh kekuatan hukum tetap adalah ketua pengadilan. Ketua pengadilan yang dimaksud di sini adalah sudah pasti ketua pengadilan yang mengadili sengketa tata usaha negara pada tingkat pertama.

2.3 Akibat Hukum

2.3.1 Akibat Hukum dan Jenis-Jenis Akibat Hukum

Akibat Hukum Menurut Marwan Mas (2014: 37) adalah “akibat yang diberikan oleh hukum atas suatu peristiwa hukum atau perbuatan dari subjek hukum”. Dalam kepustakaan ilmu hukum dikenal tiga jenis akibat hukum (Marwan Mas: 2014: 37), yaitu:

(48)

a. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, atau lenyapnya suatu keadaan hukum tertentu.

b. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, atau lenyapnya suatu hubungan hukum tertentu.

c. Akibat hukum berupa sanksi yang tidak dikehendaki oleh subjek hukum (perbuatan melawan hukum). Sanksi dari suatu akibat hukum berdasarkan pada lapangan hukum dibedakan pula, yaitu:

1. Sanksi hukum di bidang hukum publik yang diatur dalam Pasal 10 KUHPidana, yaitu : Pertama, hukuman pokok berupa hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan, dan hukuman denda. Kedua, hukuman tambahan perupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang- barang tertentu, dan pengumuman keputusan hakim.

2. Sanksi hukuman di bidang hukum privat terdiri atas dua jenis, yaitu: Pertama, melakukan perbuatan melawan hukum (onrecht matigedaad), diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

Kedua, melakukan wanprestasi yang diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata.

Kemudian lebih lanjut Soerjono Soekanto (Marwan Mas, 2014: 39) juga membedakan tiga jenis hukuman yaitu:

1. Hukuman perdata, misalnya ganti rugi.

2. Hukuman administratif, misalnya pencabutan izin usha.

(49)

3. Hukuman pidana, misalnya siksaan materil atau riil seperti hukuman mati, penjara, kurungan dan siksaan moral seperti pengumuman putusan hakim dan pencabutan hak-hak tertentu.

2.3.2 Akibat Hukum Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

Suatu putusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap menurut Paulus Effendi Lotulung (2013:

137) telah mempunyai konsekuensi (akibat) hukumsebagai berikut:

1. Dengan adanya putusan yang bersangkutan berarti bahwa sengketa tersebut telah berakhir dan tidak ada lagi upaya-upaya hukum biasa yang lain yang dapat ditempuh oleh para pihak yang berperkara.

2. Putusan tersebut mempunyai daya mengikat bagi setiap orang (orga omnes), tidak hanya mengikat kedua belah pihak.

3. Putusan tersebut merupakan akta autentik yang mempunyai daya kekuatan pembuktian yang sempurna.

4. Putusan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang berarti bahwa isi putusan dapat dilaksanakan. Bahkan jika perlu adanya upaya paksa jika pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan dengan sukarela isi putusan yang bersangkutan.

Mengenai akibat hukum Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, dapat disimak dalam ketentuan Pasal 97 UUPTUN

(50)

Pertamayang menurut Zairin Harahap (2007: 147-148) dapat diklarifikasikan sebagai berikut:

1. Memperkuat Surat Keputusan Tata Usaha Negara jika gugatan ditolak.

2. Mengakibatkan batal atau tidak sahnya Surat Keputusan Tata Usaha Negara jika gugatan diterima.

3. Dapat mengakibatkan adanya kewajiban bagi Tergugat untuk menerbitkan surat keputusan baru dan/atau dapat disertai rehabilitasi dan/atau ganti rugi.

Hal serupa juga dikemukakan oleh Rozali Abdullah (2016: 99) bahwa akibat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersifat Comdemnatoir atau berisi penghukuman kepada Tergugat dalam hal ini adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara untuk melaksanakan suatu kewajiban berupa:

1. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan.

2. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru.

3. Menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3 UUPTUN Pertama.

4. Membayar ganti rugi.

5. Memberikan rehabilitasi.

(51)

2.3.3 Akibat Hukum Pembatalan Surat Keputusan Oleh Pengadilan Terhadap Jabatan yang Menjadi Objek Gugatan Menurut Paulus Effendi Lotulung (Zairin Harahap, 2010: 155) menjelaskan;

Keputusan yang telah dinyatakan batal oleh pengadilan, meskipun Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, maka keputusan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi dengan sendirinya.

Pandangan P.E. Lotulung di atas sejalan dengan ketentuan Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 menentukan bahwa;

(1) Keputusan berahir apabila;

a. Habis masa berlakunya;

b. Dicabut oleh Pejabat Pemerintah yanb berwenang;

c. Dibatalkan oleh Pejabat yang berwenang atau berdasarkan putusan pengadilan; atau

d. Diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berakhirnya suatu surat keputusan akibat putusan pengadilan mengakibatkan surat keputusan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum lagi. Hal mana jika suatu surat keputusan tidak memiliki kekuatan hukum, maka surat keputusan itu tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk melakukan tindakan hukum. Sebagaimana ketentuan Pasal 71 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 menentukan bahwa;

(52)

(2) Akibat hukum pembatalan keputusan dan/atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

a. Tidak mengikat sejak saat dibatalkan atau tetap sah sampai adanya pembatalan; dan

b. Berahir setelah ada pembatalan.

(3) Keputusan pembatalan dilakukan oleh pejabat pemerintah dan/atau atasan pejabat dengan menetapakan dan/atau melakukan keputusan baru dan/atau tindakan pejabat pemerintahan atau berdasarkan perintah pengadilan.

(4) Penetapan keputusan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi kewajiban pejabat pemerintahan.

Kemudian lanjut ketentuan Pasal 68 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 menentukan bahwa; “Dalam hal berakhirnya keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pejabat pemerintah harus menetapkan keputusan baru untuk menindaklanjuti keputusan pembatalan”.

Begitu pula dengan jabatan seorang pejabat yang telah dinyatakan tidak sah atau batal surat keputusan pengangkatannya baik oleh pejabat tata usaha negara sendiri ataupun perintah putusan pengadilan, maka jabatannya menjadi tidak sah atau dianggap tidak pernah ada. Menurut Tengku Mulia (2016) bahwa; “berkaitan dengan keududkan status hukum pejabat yang menduduki suatu jabatan, maka harus dikaji lebih dulu keabsahan dasar pengangkatannya”.

(53)

2.4 Pealanggaran Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

2.4.1 Sanksi Administratif

a) Pengertian Sanksi Administrasi

Sanksi administratif adalah sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran administrasi atau ketentuan undang-undang yang bersifat administrastif. Philipus M. Hadjon (2008: 247) menggambarkan mengenai sanksi administratif, yaitu:

Sanksi administratif ditujukan kepada perbuatan pelanggarannya. Sanksi administratif dimaksudkan agar perbuatan pelanggaran itu dihentikan. Sifat sanksinya adalah “reparatoir” artinya memulihkan pada keadaan semula.

Sanksi administratif (Ramadhan Syafrudin, Blogspot. Co.id, 2017) merupakan;“alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam norma hukum administrasi negara”.

Sejalan dengan itu, menurut R. Wiyono (2015: 238) mendefenisikan bahwa;

Yang dimaksud dengan sanksi administratif adalah sanksi yang dijatuhkan sendiri oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi tersebut. Sanksi administratif tidak hanya sanksi yang berupa hukuman disiplin sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 saja, tetapi dapat berupa sanksi yang lain, misalnya alih tugas jabatan yang semula jabatannya adalah pimpinan, kemudian dialihkan menjadi staff.

Referensi

Dokumen terkait

ABSTRAK Pemberdayaan masyarakat pada kelompok ternak kambing di Kecamatan Kerek dan Kecamatan Merakurak Tuban bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan teknologi

Dengan jumlah lebih dari separuh pengaduan, spam mendominasi pengaduan dan terlihat pada angka tersebut yang di atas lima kali dari kategori di bawahnya yaitu

Dari hasil uji t untuk variabel yang sama adalah memiliki nilai signifikan 0,001 dimana nilai tersebut lebih kecil dari 0,05 sehingga mempunyai pengaruh positif

Tesis S2 yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan Institut Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak cipta ada pada pengarang

Teaching Speaking at MA Terpadu Al-Anwar Durenan Trenggalek Academic Year 2013/2014. Skripsi Jurusan Tadris Bahasa Inggris, IAIN Tulungagung. Pembimbing: Nanik Sri Rahayu,

Suatu Business Case adalah alat operasional yang harus secara terus menerus diperbaharui sepanjangn perjalanan bisnis dari suatu investasi, dan digunakan untuk

Pengaturan penggunaan perbekalan farmasi keadaan darurat medis yang sesuai prosedur dapat memudahkan petugas dalam pengelolaan perbekalan farmasi pada emergency trolley.. Pada

Nilai signifikansi harus kurang dari 0,05 (sig < 0,05) maka hasil pemeriksaan jumlah trombosit terjadi perbedaan yang signifikan antara Pada pasien