• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis isi terhadap kebijakan sertifikasi sumber benih

DAFTAR LAMPIRAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN A Hasil Observasi Kondisi Terkin

B. Efektivitas Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih

1. Analisis isi terhadap kebijakan sertifikasi sumber benih

Analisis isi kebijakan dalam penelitian ini dilakukan berdasar aspek-aspek standar dan kriteria penilaian sumber benih, mekanisme sertifikasi, serta pemantauan dan evaluasi dalam kegiatan pengadaan serta pengedaran benih dan/atau bibit. Masing-masing aspek di atas saling terkait, sehingga apabila terdapat kelemahan pada salah satu aspek akan mempengaruhi efektivitas sertifikasi sumber benih, seperti ditunjukkan oleh Gambar 7.

Gambar 7. Hubungan antar aspek kebijakan dalam sertifikasi sumber benih Ada tiga peraturan perundangan utama yang berlaku dalam sejarah dinamika perbenihan tanaman hutan Indonesia pada masa reformasi, yaitu SK Menhut No 085/Kpts-II/2001, Permenhut P.10/2007, dan Permenhut No 1/2009. a. Standar khusus sumber benih

Sumber benih diklasifikasikan menjadi 7 (tujuh) kelas dengan standar umum yang telah diuraikan pada Bab II. Masing-masing kelas memiliki kriteria yang berbeda. Untuk kelas sumber benih TBT dan TBS, tidak ada perbedaan standar khusus dalam SK Menhut No 085/Kpts-II/2001, Permenhut P.10/2007 (dijabarkan dalam Peraturan Dirjen RLPS No P.03/V-PTH/2007), dan Permenhut

Standar dan kriteria penilaian SB

Mekanisme sertifikasi SB

Pengawasan pengadaan dan peredaran benih

Tata usaha pengadaan benih Pemantauan, evaluasi, dan

pengendalian

Pembinaan Hasil :

No P.1/2009. Perbedaan standar khusus sumber benih terdapat pada kelas sumber benih TBP, KBS, KBK, dan KP.

Peraturan yang berlaku akan lebih efektif apabila memuat ketentuan- ketentuan yang dapat menjamin kebenaran kelas sumber benih, seperti jumlah pohon induk, prosedur uji keturunan, dan sebagainya. Ada tidaknya ketentuan yang menjamin kebenaran kelas sumber benih dianalisis dengan metode analisis biner, di mana apabila peraturan tersebut memuat satu pokok ketentuan maka mendapat nilai (skor) 1 (satu), dan apabila tidak memuat ketentuan tersebut maka mendapat skor 0 (nol). Tujuan dilakukannya analisis biner ini adalah menilai efektivitas kebijakan sertifikasi sumber benih berdasarkan kesesuaian isinya dengan tujuan sertifikasi, yaitu menjamin kebenaran kelas sumber benih. Hasil analisis biner tersebut disajikan pada Tabel 3.

Hasil analisis biner tersebut secara kuantitatif menunjukkan bahwa Permenhut No P.1/2009 memperoleh nilai tertinggi untuk kelengkapan ketentuan yang bertujuan menjamin kebenaran kelas sumber benih. Sedangkan secara kualitatif, Permenhut No P.1/2009 juga lebih ketat dalam menetapkan standar sumber benih, yaitu pada ketentuan-ketentuan berikut :

1. Jumlah minimal pohon induk setelah penjarangan pada kelas TBS, APB, TBP, KBS, dan KBK, di mana Permenhut P.1/2009 menetapkan minimal 25 pohon, sedang kebijakan-kebijakan sebelumnya menetapkan 20 pohon.

2. Ada rincian prosedur uji provenan, evaluasi fenotip, dan evaluasi genotip pada sumber benih TBP, KBS, dan KBK.

3. Untuk KBK harus dilakukan uji genotip. Ini berbeda dengan ketentuan SK Dirjen RLPS No 101/2002 yang memperbolehkan uji fenotip apabila uji genotip tidak bisa dilakukan.

Peraturan Dirjen RLPS No P.3/2007 mendapat nilai terendah dalam analisis biner, sebab sebagai penjabaran Permenhut No P.10/2007, Peraturan Dirjen RLPS No P.3/2007 hanya menjabarkan ketentuan sertifikasi sumber benih TBT, TBS, dan APB. Menurut Permenhut No P.10/2007, yang berwenang menerbitkan pedoman sertifikasi sumber benih untuk TBP, KBS, KBK, dan KP adalah Balitbanghut. Namun hingga terbit Permenhut No P.1/2009, pedoman dari Balitbanghut belum terbit.

Tabel 3. Hasil analisis biner mengenai ada tidaknya ketentuan yang menjamin kebenaran kelas sumber benih dalam kebijakan yang berlaku

No Kelas Sumber

Benih

Ketentuan Ada tidaknya ketentuan dalam kebijakan SK Dirjen RLPS No 101/2002 Peraturan Dirjen RLPS No P.3/2007 Permenhut No P.1/2009 Ada/ tidak

Skor Keterangan Ada/ tidak

Skor Keterangan Ada/ tidak

Skor Keterangan 1 TBT a. Asal-usul tegakan ada 1 HA atau HT ada 1 HA atau HT ada 1 HA atau HT

b. Asal usul benih ada 1 tidak diketahui ada 1 tidak diketahui ada 1 tidak diketahui

c. Jumlah minimal pohon induk ada 1 25 ada 1 25 ada 1 25

d. Kualitas tegakan ada 1 sedang ada 1 rata-rata ada 1 Rata-rata

2 TBS a. Asal-usul tegakan ada 1 HA atau HT ada 1 HA atau HT ada 1 HA atau HT b. Asal usul benih ada 1 tidak diketahui ada 1 tidak diketahui ada 1 tidak

diketahui c. Jumlah minimal pohon induk ada 1 25 ada 1 25 ada 1 25 d. Kualitas tegakan ada 1 di atas rata-rata ada 1 di atas rata-rata ada 1 di atas rata-

rata e. Penjarangan terbatas ada 1 Pada pohon jelek ada 1 pada pohon jelek ada 1 pada pohon

jelek 3 APB a. Asal-usul tegakan ada 1 HA atau HT ada 1 HA atau HT ada 1 HA atau HT

b. Asal usul benih ada 1 sebaiknya diketahui

ada 1 sebaiknya

diketahui

ada 1 sebaiknya diketahui c. Jumlah minimal pohon induk ada 1 25 ada 1 25 ada 1 25 d. Jumlah minimal pohon setelah

penjarangan

ada 1 20 ada 1 20 ada 1 25

d. Kualitas tegakan ada 1 Di atas TBS ada 1 di atas TBS ada 1 di atas TBS

e. Jalur isolasi ada 1 perlu ada 1 perlu ada 1 perlu

f. Penjarangan untuk mempertahankan pohon- pohon terbaik

No Kelas Sumber

Benih

Ketentuan Ada tidaknya ketentuan dalam kebijakan SK Dirjen RLPS No 101/2002 Peraturan Dirjen RLPS No P.3/2007 Permenhut No P.1/2009 Ada/ tidak Sk or

Keterangan Ada/ tidak ada

Skor Keterangan Ada/ Tidak ada

Sko r

Keterangan

4 TBP a. Asal-usul tegakan ada 1 HT Tidak ada 0 ada 1 HT

b. Asal usul benih dari satu provenan terbaik hasil uji provenan

ada 1 Tidak ada 0 ada 1

c. Prosedur uji provenan dalam pembangunan sumber benih

(Pembangunan uji provenan, penilaian dan analisis provenan, seleksi dan pengumpulan benih hasil uji provenan)

Tidak ada

0 Tidak ada 0 ada 1 Tercantum

dalam ilustrasi Gambar 4 Lampiran 1 d. Jumlah minimal pohon induk ada 1 25 Tidak ada 0 ada 1 25 e.Jumlah minimal pohon setelah penjarangan ada 1 20 Tidak ada 0 ada 1 25 f. Kualitas tegakan ada 1 di atas APB Tidak ada 0 ada 1 di atas

APB

g. Jalur isolasi ada 1 perlu Tidak ada 0 ada 1 perlu

h. Sistem penjarangan Tidak ada

0 Tidak ada 0 ada 1 Seleksi

massa

5 KBS a. Asal-usul tegakan ada 1 HT Tidak ada 0 ada 1 HA atau

HT b. Asal-usul materi genetik ada 1 Asal usul

benih dari pohon plus

Tidak ada 0 ada 1 Asal usul famili dari pohon plus c. Penggolongan KBS berdasar sistem

evaluasi pohon induk

Tidak ada

0 Tidak ada 0 ada 1 KBS

Seleksi Massa, KBS Uji Keturunan

No Kelas Sumber

Benih

Ketentuan Ada tidaknya ketentuan dalam kebijakan SK Dirjen RLPS No 101/2002 Peraturan Dirjen RLPS No P.3/2007 Permenhut No P.1/2009 Ada/ tidak ada

Skor Keterangan Ada/ tidak

Skor Keterangan Ada/ Tidak

Skor Keterangan 5 d.Jumlah minimal pohon

setelah penjarangan

ada 1 20 famili Tidak ada

0 ada 1 25 famili

e. Kualitas genotip ada 1 baik Tidak

ada

0 ada 1 baik

e. Jalur isolasi ada 1 perlu Tidak ada

0 ada 1 perlu

f. Dasar melakukan penjarangan /seleksi pohon induk

ada 1 Evaluasi genotip, jika tidak bisa

genotip dilakukan evaluasi fenotip

Tidak ada

0 ada 1 Evaluasi genotip, jika tidak bisa genotip

dilakukan evaluasi fenotip per famili 6 KBK a. Asal-usul tegakan ada 1 HT Tidak

ada

0 ada 1 HA atau HT

b. Asal-usul materi genetik ada 1 Asal usul benih dari pohon plus

Tidak ada

0 ada 1 Asal usul klon dari pohon plus c. Dasar melakukan

penjarangan/ seleksi pohon induk

ada 1 Evaluasi genotip, kadang fenotip

Tidak ada

0 ada 1 Evaluasi genotip

d. Prosedur seleksi pohon induk

Tidak ada 0 Tidak

ada

0 ada 1 Penanaman uji

keturunan, evaluasi genotip, analisis genotip, penebangan

N o

Kelas Sumber

Benih

Ketentuan Ada tidaknya ketentuan dalam kebijakan SK Dirjen RLPS

No 101/2002

Peraturan Dirjen RLPS No P.3/2007

Permenhut No P.1/2009 Ada/ tidak Skor Keterangan Ada/

tidak

Skor Keterangan Ada/ Tidak

Skor Keterangan 6 e.Jumlah minimal pohon

setelah penjarangan

ada 1 20 klon Tidak ada 0 ada 1 25 klon

f. Kualitas genotip ada 1 baik Tidak ada 0 ada 1 baik

g. Jalur isolasi ada 1 perlu Tidak ada 0 ada 1 perlu

7 KP a. Asal-usul bahan tanaman/pohon induk

ada 1 HT Tidak ada 0 ada 1 KBK atau KBS

b. asal-usul materi genetik ada 1 Asal usul benih dari pohon plus

Tidak ada 0 ada 1 Asal usul klon dari pohon plus c.Jumlah minimal pohon

setelah penjarangan

ada 1 20 klon Tidak ada 0 ada 1 25 klon atau famili

d. Kualitas genotip ada 1 baik Tidak ada 0 ada 1 baik

e. Jalur isolasi ada 1 Tidak perlu Tidak ada 0 ada 1 Tidak perlu f. Perlakuan (pemangkasan,

pemupukan dan perlakuan lain untuk meningkatkan produksi, penggantian stek tua)

ada 1 Tidak ada 0 ada 1

Jumlah skor 38 15 42

Meski hasil analisis membuktikan bahwa Permenhut P.1/2009 lebih tinggi nilainya daripada SK Menhut No 085/2001 dalam menjamin efektivitas sertifikasi sumber benih, menurut Balitbanghut masih terdapat kesenjangan antara kebijakan dalam Permenhut P.1/2009 dengan standar kondisi ideal sumber benih yang benar-benar mampu menjamin mutu produk agar sesuai dengan klasifikasinya. Usulan Balitbanghut selengkapnya mengenai revisi Permenhut No P.1/2009 mengenai standar khusus sumber benih dapat dilihat pada Lampiran 8. Revisi Balitbanghut ini terutama menekankan pada :

1. Keharusan menggunakan informasi hasil uji keturunan sebagai dasar dalam menentukan metode seleksi dalam penjarangan pada kelas sumber benih KBS. Sementara pada Permenhut No P.1/2009 penjarangan tidak harus didasarkan pada hasil uji keturunan, namun bisa berdasarkan hasil penampakan famili. 2. Materi vegetatif (klon) pada KBK idealnya berasal dari pohon plus hasil uji

keturunan. Sementara Permenhut No P.1/2009 hanya mensyaratkan asal-usul klon dari pohon plus di hutan alam maupun hutan tanaman.

3. KP harus dibangun dari bahan vegetatif yang berasal dari klon unggul hasil uji klon, sebab apabila KP dibangun dari materi generatif, keturunannya tidak akan menurunkan seluruh keunggulan karakter induknya karena masih merupakan hasil persilangan.

Dari hasil analisis isi dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang berlaku saat ini (Permenhut No P.1/2009) masih perlu disempurnakan agar dapat benar- benar menjamin kebenaran kelas sumber benih dan mutu produknya, namun ketentuan yang ada sudah terarah pada upaya menjamin kebenaran kelas sumber benih.

b. Mekanisme penerbitan sertifikasi sumber benih

Sejak munculnya kebijakan mengenai sertifikasi sumber benih tanaman hutan, yaitu SK Menhut No 085/KPTS-II/2001 hingga Permenhut No P.1/2009, ada 3 (tiga) macam prosedur penerbitan sertifikasi yang diberlakukan, yaitu : 1) Tahun 2002-2007

Berdasar Keputusan Dirjen RLPS No 101/Kpts/V/2002 tentang Pedoman Sertifikasi Sumber Benih, prosedur penerbitan sertifikasi sumber benih adalah sebagai berikut :

Gambar 8. Skema- prosedur sertifikasi sumber benih tahun 2002 – 2007 (sumber : Lampiran 2 SK Dirjen RLPS No 101/Kpts/V/2002)

Dalam gambar di atas, nampak bahwa ada 10 tahapan yang harus dilakukan dalam sertifikasi sumber benih, dan diperkirakan memerlukan waktu 10-11 hari. Dalam kenyataan, karena tim penilai sertifikasi merupakan staf BPTH, hanya 2 (dua) instansi yang terlibat dalam sertifikasi (selain pengelola sumber benih). Sedangkan realisasi waktu yang diperlukan sejak permohonan rekomendasi ke Dinas hingga pemberitahuan penerbitan sertifikat umumnya lebih dari satu bulan (Falah, et al., 2007). Lamanya waktu ini dipengaruhi oleh kecepatan pengelolaan administrasi di BPTH dalam perijinan dan pembiayaan perjalanan, serta jarak antara lokasi sumber benih dengan Banjarbarubirokrasi dalam pencairan anggaran BPTH untuk merealisasikan kegiatan setifikasi.

Mekanisme di atas disusun dengan asumsi pengelola sumber benih memiliki informasi mengenai manfaat dan prosedur sertifikasi, sehingga memiliki motivasi untuk mengajukan permohonan sertifikasi. Dalam

Pengelola SB

BPTH Banjarbaru sertifikasi SB Tim penilai

1) permohonan rekomendasi (1 hari) 8) Penyampaian laporan deskripsi dan rekomendasi (1 hari) 9) Penerbitan sertifikat SB (1 hari) 4) Pembentukan tim ( 1 hari) 5) identifikasi SB ( 1 hari) 7) Pengelola menyetujui hasil deskripsi (1 hari) Dinas 2) penerbitan rekomendasi (1 hari) 3) permohonan sertifikasi (1 hari) 6) deskripsi SB (1-2 hari) 10) Pemberitahuan (1 hari) ditolak Pemberitahuan penolakan diterima diterima Pemberitahuan penolakan (1 hari) ditolak

kenyataannya, sebelum tahun 2007, BPTH Banjarbaru yang berprakarsa melakukan pendekatan, memberi informasi, dan meminta pengelola sumber benih agar mengajukan permohonan sertifikasi. Sebelum menghubungi pengelola sumber benih, BPTH Banjarbaru sudah melakukan semacam survei terlebih dahulu mengenai kelayakan sumber benih tersebut, sehingga hasilnya adalah tidak ada permohonan sertifikasi SB yang ditolak (hasil wawancara dengan BPTH mengenai pelaksanaan sertifikasi dapat dilihat pada Lampiran 3).

2) Tahun 2007 -2009

Permenhut No P.10/2007 diterbitkan berdasar pertimbangan bahwa SK Menhut No 085/Kpts-II/2001 belum mampu menampung perkembangan perbenihan tanaman hutan (Permenhut No P.10/2007). Kebijakan prioritas Departemen Kehutanan sejak tahun 2003 yang meliputi revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan serta rehabilitasi sumberdaya hutan, menimbulkan peningkatan dinamika pembuatan hutan tanaman baik untuk tujuan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) maupun untuk tujuan industri (Ditjen RLPS, 2007).

Berdasar Peraturan Dirjen RLPS No 3/PTH-V/2007 sebagai penjabaran dari Permenhut No P.10/2007 mengenai Sertifikasi Sumber Benih, ada dua macam prosedur sertifikasi, yaitu untuk sumber benih kelas rendah (TBT, TBS, dan APB), dan untuk sumber benih kelas tinggi (TBP, KBS, KBK, dan KP). Perbedaan utamanya adalah pada komposisi anggota tim penilai. Untuk sumber benih kelas rendah, tim penilai dibentuk oleh Kepala BPTH dan terdiri dari staf BPTH, UPT Balitbanghut, dan/atau tenaga pakar di bidang sertifikasi sumber benih. Sedangkan untuk SB kelas tinggi, tim penilai dibentuk oleh Kepala Puslitbang Hutan Tanaman dan melibatkan BPTH dan/atau tenaga pakar di bidangnya.

Prosedur sertifikasi SB kelas rendah berdasar Peraturan Dirjen RLPS No P.3/PTH-V/2007 sama dengan prosedur sertifikasi SB menurut SK Dirjen RLPS No 101/Kpts-V/2002. Sedangkan prosedur sertifikasi untuk SB kelas tinggi menurut Peraturan Dirjen RLPS No P.3/PTH-V/2007 adalah sebagai berikut :

Gambar 9. Prosedur sertifikasi sumber benih kelas TBP, KBS, KBK, dan KP menurut Peraturan Dirjen RLPS No P.3/ 2007

Berdasarkan Peraturan Dirjen RLPS No P.3/ 2007, standar operasional prosedur (SOP) sertifikasi untuk TBT, TBS dan APB terdiri dari 10 tahapan, memerlukan waktu 10-11 hari operasional, dan melibatkan 2 instansi (sama dengan SK Dirjen RLPS No 101/2002). Sedangkan untuk TBP, KBS, KBK, dan KP terdiri dari 11 tahapan, melibatkan 3 instansi, dan memerlukan waktu 11-12 hari operasional sejak permohonan rekomendasi ke Dinas hingga terbitnya sertifikat. Dalam kenyataan, waktunya bisa mencapai sebulan atau lebih tergantung pada kecepatan pengelolaan administrasi di BPTH dalam perijinan dan pembiayaan perjalanan, serta jarak antara lokasi sumber benih dengan Banjarbaru. Dalam kenyataannya pula, tim penilai sertifikasi dari BPTH Banjarbaru hanya terdiri dari staf BPTH dan Dinas setempat, tanpa melibatkan unsur pakar (perguruan tinggi atau litbang), sebab permohonan sertifikasi yang diterima setelah 2007 hanya untuk SB kelas rendah. Hanya PT Inhutani III yang mengajukan permohonan perpanjangan sertifikasi SB kelas

Pengelola SB BPTH Banjarbaru Balitbanghut 1) permohonan rekomendasi (1 hari) 9) Penyampaian laporan deskripsi dan rekomendasi (1 hari) 10) Penerbitan sertifikat SB (1 hari) 4) Permintaan bantuan tim penilai (1 hari) 6) identifikasi SB ( 1 hari) 8) Pengelola menyetujui hasil deskripsi (1 hari) Dinas 2) penerbitan rekomendasi (1 hari) 3) permohonan sertifikasi (1 hari) 7) deskripsi SB (1-2 hari) 11) Pemberitahuan (1 hari) 5) Pembentukan tim penilai SB (1 hari) diterima ditolak diterima ditolak Pemberitahuan penolakan

tinggi, dan sudah memiliki hasil penilaian uji keturunan yang dilakukan Balitbanghut, sehingga BPTH tidak perlu melakukan uji keturunan lagi.

3) Tahun 2009

Permenhut P.1/2009 diterbitkan sebagai penjabaran dari Peraturan Pemerintah (PP) No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota, di mana sub bidang perbenihan tanaman hutan merupakan salah satu dari urusan pilihan yang diserahkan kewenangannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Oleh karena itu dpandang perlu dilakukan pengaturan kembali Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan dengan menetapkan Permenhut P.1/2009.

Semangat desentralisasi terlihat dalam prosedur sertifikasi sumber benih yang tercantum dalam Lampiran 7 Permenhut P.1/2009 (Gambar 11), di mana instansi utama yang memiliki wewenang untuk melakukan sertifikasi adalah Dinas Kabupaten/Kota. Berikut adalah pemegang kewenangan melakukan sertifikasi sumber benih berdasar Permenhut No P.01/2009 pasal 45 dan 51 : 1. Dinas Kabupaten/Kota melakukan sertifikasi terhadap sumber benih di

wilayahnya:

2. Dinas Propinsi melakukan sertifikasi di wilayah Kabupaten/Kota terhadap Kabupaten/Kota yang belum memiliki Dinas Kehutanan atau tidak memilih urusan perbenihan tanaman hutan.

3. BPTH melakukan sertifikasi di wilayah Propinsi terhadap Propinsi dan Kabupaten/Kota yang belum memiliki Dinas atau Kabupaten/Kota tidak memilih urusan perbenihan tanaman hutan.

Gambar 10. Prosedur sertifikasi sumber benih menurut Permenhut No P.1/ 2009

Berdasar Gambar 10, nampak bahwa ada 9 tahapan yang harus dilakukan dalam sertifikasi sumber benih, melibatkan 1hingga 3 instansi, dan diperkirakan memerlukan waktu 9-10 hari. Sertifikasi sumber benih berdasar Permenhut No P.1/ 2009 hingga tahun 2010 ini belum direalisasikan di Kalimantan.

Dinamika mekanisme sertifikasi dalam kebijakan pemerintah antara tahun 2002 hingga 2009 disajikan dalam Tabel 4.

Pengelola SB

Dinas Kab./Kota, Dinas Propinsi atau

BPTH Banjarbaru Tim penilai (Dinas, BPTH, pakar) 7) Penyampaian laporan deskripsi dan rekomendasi (1 hari) 8) Penerbitan sertifikat SB (1 hari) 3) Pembentukan tim penilai SB (1 hari) 4) identifikasi SB ( 1 hari) 6) Pengelola menyetujui hasil deskripsi (1 hari) Dinas Kabupaten /Kota 2) permohonan bantuan sertifikasi (1 hari) 1) permohonan sertifikasi (1 hari) 5) deskripsi SB (1-2 hari) 9) Pemberitahuan (1 hari) diterima ditolak diterima ditolak Pemberitahuan penolakan

Tabel 4. Perbandingan mekanisme sertifikasi berdasar Keputusan Dirjen RLPS No 101/Kpts/V/2002, Peraturan Dirjen RLPS No 3/PTH- V/2007, dan Permenhut No 01/2009 Aspek Peraturan Dirjen RLPS No 101//2002 Peraturan Dirjen RLPS No 3/PTH-V/2007 Permenhut No P.01/2009 Implikasi Permenhut P.1/2009 Jumlah instansi yang terkait dalam prosedur

2 2 (TBT, TBS, APB)

3 (TBP, KBS, KBK, KP)

1 sampai 3 • Posisi Dinas yang lebih dekat dengan pengelola SB dan

rantai prosedur yang lebih pendek akan lebih hemat dari segi waktu, tenaga, dan biaya bagi pengelola sumber benih

• Keterbatasan anggaran BPTH dalam menjangkau

perjalanan sertifikasi ke seluruh wilayah Kalimantan tidak lagi menjadi hambatan dalam melakukan sertifikasi Jumlah tahapan prosedur 10 10 (TBT, TBS, APB) 11 (TBP, KBS, KBK, KP) 9 Lamanya waktu sertifikasi

10-11 hari 10 -11 hari (TBT, TBS, APB)

11-12 hari (TBP, KBS, KBK, KP)

9-10 hari

Instansi yang berhak melakukan sertifikasi

BPTH BPTH atau lembaga terakreditasi Dinas atau BPTH Agar dapat melaksanakan sertifikasi secara efektif, Dinas

harus memiliki sumber daya manusia dan sarana penilai sesuai standar khusus yang ditetapkan dalam Permenhut P.1/2009 Instansi pengakreditasi lembaga sertifikasi - BPTH Belum ada ketentuan teknis

Menurut PP 38/2007, akreditasi lembaga sertifikasi merupakan wewenang Pemerintah Pusat (Dephut), sehingga perlu ada ketentuan mengenai instansi pengakreditasi yang dapat menilai kelayakan Dinas dalam melakukan sertifikasi

Tim Penilai BPTH BPTH dan Litbang Dinas, BPTH,

dan pakar

Pelibatan Litbang atau pakar yang kompeten akan lebih menjamin efektivitas sertifikasi sumber benih

Distribusi biaya BPTH BPTH BPTH/Dinas,

pemohon

Beban biaya yang terdistribusi seimbang akan memperlancar birokrasi pengajuan anggaran sertifikasi

Sarana penilaian BPTH BPTH Dinas, pemohon Mengurangi beban instansi penerbit sertifikat sehingga

49