• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN A Hasil Observasi Kondisi Terkin

C. Efisiensi Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih

3 Pengumpul 2 Biaya-biaya 1.00 1

• Biaya transportasi 30.00 1.67 • Biaya transaksi 1.00 0.06 Harga jual 1200.00 66.67 Marjin pemasaran 300.00 16.67 Marjin keuntungan (π) 269.00 14.94

Rasio keuntungan dan biaya 8.68

4 Pemborong Biaya-biaya 260.00 14.44 • Biaya transportasi 50.00 2.78 • Biaya transaksi 210.00 11.67 Harga jual 1800 100.00 Marjin pemasaran 600.00 33.33 Marjin keuntungan (π) 340.00 18.89

Rasio keuntungan dan biaya 1.31

5 Konsumen akhir

75

Saluran tiga tingkat ini terjadi karena adanya grup dalam tataniaga bibit tanaman hutan di Kaltim. Grup tersebut terdiri dari beberapa perusahaan yang berstatus PT dan CV. Semua perusahaan anak grup tersebut dapat mengikuti tender pengadaan bibit. Anak grup pemenang tender bertindak sebagai pemborong, sementara anak grup lain menjadi pengumpul ke-2, sehingga stok bibit disubsidi silang antar perusahaan dalam grup. Pada saluran tiga tingkat, yang mendapat rasio keuntungan dan biaya terbesar adalah pengumpul 2, yaitu anak grup yang bertindak sebagai pengumpul. Sementara marjin keuntungan terbesar diperoleh oleh pemborong. Pemborong mendapatkan marjin keuntungan terbesar karena tingginya harga jual bibit, namun rasio keuntungan dan biaya pemborong lebih kecil dari pengumpul 2 karena selain biaya transportasi, pemborong juga mengeluarkan biaya transaksi untuk memenangkan tender pengadaan bibit. Saluran tiga tingkat ini juga memungkinkan terjadinya pencampuran antara bibit dari sumber benih bersertifikat dengan non sertifikat, karena adanya pengumpul dan pemborong yang mengumpulkan bibit dari berbagai penangkar, sehingga mutu bibit tidak terjamin.

Dari hasil analisis distribusi manfaat diketahui bahwa makin panjang saluran, makin kecil Farmer’s Share (FS) yang diperoleh pengelola sumber benih. FS tersebut diperoleh dari rasio harga jual pengelola sumber benih dengan harga beli konsumen akhir. Demikian pula dengan persentase marjin keuntungan, makin panjang saluran, makin kecil marjin keuntungan yang diperoleh pengelola sumber benih. Mubyarto (1982) menyatakan bahwa efisiensi saluran pemasaran atau tataiaga terfokus pada efisiensi kerja suatu sistem pemasaran yang digunakan petani, yang menentukan bagian harga yang diterima petani (Farmer’s Share) dalam menerima bagian harga dari pembayaran harga terakhir. Apabila petani salah dalam memilih rantai tataniaga dalam memasarkan produknya, maka petani akan mengalami kerugian karena bagian yang diterima petani lebih rendah dari yang diharapkan. Menurut Soekartawi (1989), dalam hal ini konsumen juga akan dirugikan karena saluran pemasaran yang tidak efisien.

Pada saluran satu tingkat untuk jenis meranti, marjin keuntungan pengelola sumber benih lebih besar atau seimbang dengan pemborong. Ini disebabkan pengelola sumber benih mempunyai posisi tawar dan informasi pasar yang lebih baik daripada pengelola sumber benih di saluran dua dan tiga tingkat,

76

sehingga tidak terjadi buyer driven (harga ditentukan pembeli). Berbeda dengan distribusi manfaat saluran satu tingkat untuk bibit mahoni, serta saluran dua dan tiga tingkat, di mana pengelola sumber benih menyesuaikan dengan harga pasar yang menyamakan antara bibit dari SB bersertiifikat dengan non sertifikat. Ini terjadi karena ketidakseimbangan informasi (assymetric information) yang dimiliki pengelola sumber benih dengan pengumpul atau pemborong. Ketidakseimbangan informasi ini meliputi jenis, harga, kuantitas, dan kualitas bibit yang dikehendaki pasar, serta waktu tender pengadaan bibit. Faktor waktu memegang peranan penting karena bibit memiliki masa kadaluarsa. Bibit yang terlalu tua biasanya tidak laku terjual sehingga penangkar bibit merugi. Aspek infomasi pasar sangat penting agar dapat mendekati kondisi pasar sempurna (Kotler, 2002), yang dapat menghasilkan kepuasan bagi semua pelaku tataniaga, baik pengelola sumber benih, penangkar, pedagang pengumpul, dan pemborong.

4. Analisis distribusi informasi

Distribusi informasi memegang peranan penting dalam kegiatan sertifikasi sumber benih. Dalam penelitian ini informasi yang dikomunikasikan antar pelaku perbenihan dikategorikan menjadi tiga, yaitu : a) informasi mekanisme sertifikasi yang berlaku; b) informasi mengenai teknologi perbenihan; dan c) informasi pemasaran benih/bibit. Distribusi informasi antar pelaku perbenihan disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Distribusi informasi antar pelaku dalam sertifikasi sumber benih

No Tipe informasi Distribusi informasi Sumber informasi BPTH Banjarbaru Dinas Pengada benih/bibit 1 Mekanisme sertifikasi (Permenhut No P.1/2009)

Tahu Belum tahu Belum tahu Ditjen RLPS

2 Teknologi : a. Pengelolaan SB b. Pembibitan / persemaian Ada pengetahuan dan keterampilan Ada pengetahuan, kurang dalam praktek Ada pengetahuan dan keterampilan, merasa masih kurang BPTH, buku, pendidikan formal, pelatihan

77

Tabel 16 (lanjutan)

No Tipe informasi Distribusi informasi Sumber informasi BPTH Banjarbaru Dinas Pengada benih/bibit 3 Informasi pasar :

a. Stok dan lokasi bibit b. Waktu dan jenis bibit yang diperlukan pasar c. Harga benih/bibit Ada informasi stok meskipun tidak lengkap, kurang info waktu, jenis, dan harga bibit yang diperlukan pasar Tidak ada informasi selain tender yang diadakan oleh Dinas sendiri Ada yang punya informasi, ada yang tidak BPTH, BPDAS, sesama pengada bibit

Berdasarkan Tabel 16 dapat disimpulkan bahwa distribusi informasi antar pelaku perbenihan masih belum merata. BPTH yang bertugas medistribusikan informasi kebijakan belum menyampaikannya kepada pihak lain. Untuk informasi teknologi BPTH telah berfungsi sebagai pemberi informasi, namun Dinas belum melakukan fungsinya sebagai pembina. Sementara untuk informasi pemasaran, tidak ada pihak tertentu yang berfungsi sebagai pengumpul data/informasi pemasaran dan mendistribusikannya kepada pihak-pihak lain.

Kasim (1993) menyatakan bahwa efektivitas komunikasi (tukar menukar informasi) dipengaruhi oleh beberapa aspek, yaitu dari : 1) relevansi infomasi yang disampaikan; 2) efisiensi jaringan komunikasi yang dipakai; dan 3) tingkat kepuasan penerima informasi. Mengenai relevansi informasi yang disampaikan dalam bidang perbenihan, semua informan pengada benih/bibit yang ditemui menyatakan masih memerlukan informasi mengenai kebijakan perbenihan, teknologi perbenihan, serta informasi pasar. Informasi pasar yang dimaksudkan di sini berupa informasi mengenai waktu tender pengadaan bibit, jenis bibit, harga, kuantitas permintaan, serta keterangan mengenai jumlah dan jenis bibit yang tersedia di pasaran. Karena semua informan menyatakan masih memerlukan informasi, bisa disimpulkan bahwa informasi yang didapat selama ini masih belum cukup atau belum memuaskan.

Peran Dinas Kabupaten/Kota dalam pembinaan dan fasilitasi belum dirasakan di daerah. Dinas sendiri masih kekurangan informasi mengenai kebijakan dan teknologi perbenihan. Dalam Permenhut No P.1/2009, pengelola

78

informasi perbenihan adalah BPTH. Karena itu peran BPTH Banjarbaru sebagai pengelola informasi menjadi penting agar pihak Dinas dan swasta mengetahui mekanisme sertifikasi, peran/kewajiban masing-masing pihak, serta teknologi dan informasi pemasaran yang diperlukan untuk mengembangkan kegiatan perbenihan di daerah. Hal ini mengurangi kemungkinan terjadinya assymetric information

seperti kasus dalam distribusi manfaat tataniaga bibit saluran dua dan tiga. Karena tugas penerbitan sertifikasi, pembinaan dan pengawasan didesentralisasikan, BPTH lebih memfokuskan diri pada pengelolaan informasi perbenihan melalui penerbitan dan distribusi berbagai media, seperti liflet, buletin, petunjuk teknis teknologi perbenihan, buku statistik perbenihan (mencantumkan daftar pengada benih/bibit, kuantitas produksi, kisaran harga benih dan bibit), mengaktifkan website, melakukan pameran dan sosialisasi kebijakan (termasuk ketentuan mengenai harga benih/bibit bersertifikat yang dtetapkan pemerintah) ke daerah secara tertulis maupun dengan kunjungan, dan sebagainya.

Untuk memudahkan pengelolaan perbenihan, BPTH dapat bekerja sama dengan asosiasi atau forum komunikasi perbenihan di daerah. Mengenai jaringan komunikasi, semua informan pengusaha perbenihan yang ditemui sepakat tentang perlunya dibentuk suatu forum komunikasi perbenihan. Di Kaltim dan Kalsel sebelumnya sudah ada asosiasi pengusaha benih/bibit, namun tidak aktif karena berbagai sebab seperti ketidaksepakatan masalah harga dan akses pasar. Karena itu perlu dibentuk forum baru sebagai wahana pertukaran informasi teknologi perbenihan, informasi pasar dan ketersediaan bibit, penetapan etika/peraturan tata niaga bibit agar tidak terjadi monopoli, dan menetapkan harga kesepakatan. Agar kelembagaan forum komunikasi baru tersebut dapat efektif, maka perlu dirumuskan dan disepakati peraturan yang dapat melindungi kepentingan bersama, lengkap dengan sanksinya.

Dengan berdirinya forum komunikasi perbenihan, informasi perbenihan dapat dipertukarkan antar pihak seperti tersaji dalam Gambar 16.

79

Keterangan :

garis pelaporan produksi dan distribusi

garis pertukaran informasi kebijakan, teknologi, dan informasi pasar Pertukaran informasi penawaran dan permintaan

Gambar 16. Pertukaran informasi antar pelaku perbenihan