EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI KELEMBAGAAN
SERTIFIKASI SUMBER BENIH TANAMAN HUTAN :
STUDI KASUS DI KALIMANTAN TIMUR DAN
KALIMANTAN SELATAN
Oleh :
FAIQOTUL FALAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
i
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Efektivitas dan Efisiensi Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih Tanaman Hutan : Studi Kasus di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan ini adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2010
ii
ABSTRACT
FAIQOTUL FALAH. Effectiveness and efficiency of the institution on the forest seed source certification: Case study in East Kalimantan and South Kalimantan. Under direction of BRAMASTO NUGROHO AND ISKANDAR Z. SIREGAR
The forest and land rehabilitation activities need abundant seed supplies from high quality seed sources. The forest seed sources are classified into 7 level/class according to the source of the genetic material and the quality of the management system. To guarantee the validity of forest seed source class and the products’ quality, Ministry of Forestry issued the seed source certification policy. This paper presents the effectiveness and efficiency of the institution on the forest seed source certification in South and East Kalimantan. This study was conducted by: 1) reviewing the related regulation and implementation; 2) comparative study on the seed source quality by reviewing related research reports; 3) identifying and analyzing stakeholders’ roles; 4) identifying the financial components and analyzing financial feasibility of seed source company, and 5) identifying and analyzing the benefit and information distribution among stakeholders. This study concluded that there are some weaknesses on the policy and its implementation in forest seed source certification before the issuing of Permenhut P.1/2009. Therefore it can not guarantee the validity of the high class seeds sources (ineffective) but effective enough for the certification of low class seed sources. After the issueing of Permenhut No P.1/2009, the seed sources certification would be more effective if only some conditions are fulfilled. The financial analysis showed that seed sources business are feasible and the transaction cost of certification is not significant, indicating that the institution of the forest seed sources certification is efficient. But it could be more efficient if the benefit distribution among the seed traders could be shared in balance, by shortening the traders’ path and empowering the bargaining position of the seed producers. This research also concluded that there is assymetric information among the stakeholders, including the information on the policy, seed technology, and market. The information distribution could be made in a balance by establishing a communication forum among the traders, and optimalyzing the performance of Forest Seeds Institution (BPTH) of Banjarbaru on seed information management.
iii
RINGKASAN
FAIQOTUL FALAH. Efektivitas dan Efisiensi Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih Tanaman Hutan : Studi Kasus di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Dibimbing oleh BRAMASTO NUGROHO dan ISKANDAR Z. SIREGAR.
Upaya merehabilitasi kawasan hutan dan lahan memerlukan pasokan benih berkualitas dalam jumlah yang memadai, sehingga diperlukan pembangunan sumber benih. Untuk memberikan jaminan mutu sumber benih maka perlu adanya sertifikasi sumber benih tanaman hutan. Klasifikasi sumber benih dibagi menjadi 7 kelas, yaitu 1) Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT), 2) Tegakan Benih Terseleksi (TBS), 3) Areal Produksi Benih (APB), 4) Tegakan Benih Provenans (TBP), 5) Kebun Benih Semai (KBS), 6) Kebun Benih Klon (KBK), dan 7) Kebun Pangkas (KP).
Dalam kegiatan sertifikasi sumber benih terdapat aturan main dalam relasi antar beberapa pemangku kepentingan, atau disebut kelembagaan. Suatu kelembagaan dianggap efektif apabila tujuan terbentuknya kelembagaan tersebut tercapai. Secara ekologi, tujuan sertifikasi sumber benih adalah terjaminnya kebenaran klasifikasi sumber benih, sehingga dapat menjamin mutu produk yang dihasilkan dari sumber benih tersebut. Sedangkan secara ekonomi dari sudut pandang pengelola sumber benih, sertifikasi sumber benih diharapkan dapat menghasilkan keuntungan finansial yang seimbang dengan pengorbanan sumberdaya yang telah dikeluarkan (efisien).
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas dan efisiensi kelembagaan sertifikasi sumber benih tanaman hutan di propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah memperoleh informasi mengenai : 1) peraturan yang berlaku dalam sertifikasi sumber benih dan implementasinya; 2) realisasi peran para pemangku kepentingan; 3) distribusi informasi dalam kegiatan sertifikasi sumber benih tanaman hutan; 4) kelayakan finansial pengusahaan sumber benih bersertifikat; 5) besarnya biaya sertifikasi sumber benih tanaman hutan; dan 6) distribusi manfaat dalam kegiatan sertifikasi sumber benih tanaman hutan. Penelitian ini dapat membawa manfaat sebagai penyedia informasi dan referensi penelitian yang terkait, bahan penyempurnaan kebijakan sertifikasi sumber benih tanaman hutan, dan bahan penyempurnaan kebijakan sertifikasi sumber benih tanaman hutan.
iv
lapangan. Analisis kebijakan yang meliputi analisis isi kebijakan dan implementasinya dilakukan secara kualitatif. Analisis finansial pengusahaan sumber benih bersertifikat dilakukan melalui analisis kelayakan finansial pengusahaan sumber benih, analisis Farmer’s Share (FS), serta analisis distribusi manfaat. Dilakukan pula analisis distribusi informasi secara kualitatif.
Hasil penilaian efektivitas sertifikasi sumber benih sebelum penerbitan Permenhut No P.1/2009 adalah sebagai berikut : 1) Untuk sumber benih kelas TBP, KBS, KBK, dan KP sertifikasi belum efektif karena kelemahan pedoman pelaksanaan sertifikasi yang berlaku, serta kualitas staf dan sarana BPTH yang belum kompeten dalam melakukan uji genetis. Hasil penilaian sertifikasi baru efektif apabila melibatkan pakar dalam tim penilai karena memerlukan uji genetis; 2) Untuk TBT, TBS, dan APB penilaian dari BPTH efektif, namun masih mengalami kesulitan dalam pengenalan jenis; 3) Apabila sertifikasi akan dilakukan oleh Dinas sesuai Permenhut P.1/2009, akan lebih efisien dari segi waktu dan tenaga, namun agar dapat diimplementasikan secara efektif ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu : a) Ditjen RLPS sudah mengeluarkan pedoman pelaksanaan sertifikasi dan menyelenggarakan diklat sertifikasi; b) manfaat melakukan sertifikasi harus benar-benar dirasakan oleh Dinas; c) ada persetujuan dari Kepala Daerah Kabupaten/Kota dan DPR setempat untuk mengalokasikan anggaran bagi sertifikasi perbenihan; d) ada lembaga yang bertugas melakukan akreditasi kepada Dinas; e) tim penilai sertifikasi harus benar-benar melibatkan BPTH dan pakar.
Hasil penilaian efisiensi kelembagaan sertifikasi sumber benih tanaman hutan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan adalah sebagai berikut : 1) Kelembagaan sudah efisien dari sudut pandang pengelola sumber benih bersertifikat. Pengusahaan sumber benih bersertifikat ternyata layak dari segi finansial, dan biaya transaksi sertifikasi yang dikeluarkan tidak signifikan dibanding dengan keuntungan yang diperoleh. Meski demikian pengusahaan sumber benih bersertifikat apabila terjadi penurunan volume penjualan sebesar 20%, atau terjadi kenaikan biaya produksi sebesar 10%, atau kombinasi keduanya; 2) Distribusi manfaat antar pelaku tataniaga ternyata belum seimbang. Farmer’s Share (FS) terbesar dan distribusi marjin keuntungan paling seimbang diperoleh pada saluran langsung dan saluran tingkat satu, dengan syarat harga bibit mempertimbangkan adanya sertifikasi sumber benih. Harga bibit yang tidak mempertimbangkan adanya sertifikat membuat nilai FS dan distribusi manfaat yang diperoleh pengusaha sumber benih paling kecil dibanding pelaku tataniaga lain; 3) Distribusi informasi antar pemangku kepentingan ternyata belum merata, meliputi infomasi kebijakan, teknologi perbenihan, dan infomasi pasar. BPTH belum optimal dalan mengelola informasi perbenihan dan mendistribusikannya kepada pelaksana kebijakan di daerah serta pengusaha perbenihan.
v
benar-benar dapat melindungi konsumen, sehingga posisi tawar pengelola sumber benih dalam menentukan harga produk menjadi lemah. Apabila hal itu terjadi, maka secara ekologis maupun secara finansial, sertifikasi sumber benih tidak dapat membawa manfaat bagi produsen maupun konsumen.
Penelitian ini menghasilkan beberapa butir rekomendasi bagi Ditjen RLPS untuk menyempurnakan sistem sertifikasi sumber benih tanaman hutan, yaitu : 1) Ditjen RLPS segera mengeluarkan pedoman teknis sertifikasi sumber benih, mutu benih, maupun mutu bibit sebagai penjabaran Permenhut P.1/2009, termasuk mengenai distribusi biaya antara Dinas dan pengusaha benih/bibit, besaran pungutan jasa yang diperkenankan, serta akreditasi Dinas yang berhak menerbitkan sertifikat; serta 2) Ditjen RLPS segera menyelenggarakan pelatihan dan pendidikan untuk tenaga pengawas perbenihan dan penilai sertifikasi untuk staf Dinas.
Untuk menyempurnakan sistem pengawasan terhadap peredaran benih atau bibit, disarankan agar Dinas menerapkan sanksi (punishment) tegas yaitu pencabutan izin bagi pengada benih/bibit yang tidak melaporkan produksi dan distribusi benih/bibitnya sehingga peredaran benih/bibit dapat terpantau. Pengelolaan sumber benih bersertifikat ternyata layak dan menguntungkan secara finansial, sehingga disarankan Dinas Kehutanan dapat lebih aktif melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap sumber benih, sebab berprospek sebagai sumber pendapatan daerah (PAD). PAD bisa didapat dari pungutan jasa penerbitan sertifikat maupun retribusi, asalkan besarnya proporsional dan tidak memberatkan pengusaha benih.
Bagi pelaku tataniaga perbenihan, disarankan agar menbentuk forum komunikasi perbenihan di tingkat propinsi sebagai wahana tukar menukar informasi teknologi, ketersediaan benih dan atau bibit, serta informasi pasar. Sedangkan bagi para peneliti, disarankan agar melakukan penelitian permodelan untuk mengetahui besarnya pungutan jasa penerbitan sertifikasi yang layak bagi pengusahaan sumber benih, serta penelitian yang membandingkan secara teknis kualitas benih dari sumber benih bersertifikat dan non sertifikat.
EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI KELEMBAGAAN
SERTIFIKASI SUMBER BENIH TANAMAN HUTAN
STUDI KASUS DI KALIMANTAN TIMUR DAN
KALIMANTAN SELATAN
Oleh :
FAIQOTUL FALAH
( E 151070274 )
Tesis
sebagai salah satu syarat
untuk mendapatkan gelar Magister Sains
pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Efektifitas dan Efisiensi Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih Tanaman Hutan di Wilayah Kalimantan
Nama : Faiqotul Falah
NRP : E151070274
Disetujui : Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Bramasto Nugroho, M.Si. Ketua
Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS.
A.n. Dekan Sekolah Pascasarjana Sekretaris Program Pascasarjana
PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas selesainya proposal penelitian ini dengan baik dan lancar. Proposal penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk melaksanakan penelitian dalam rangka penulisan tesis untuk mendapatkan gelar Magister Sain pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan.
Proposal penelitian ini ditujukan untuk menilai efektifitas kelembagaan sertifikasi sumber benih tanaman hutan di Kalimantan dalam menjamin mutu benih tanaman hutan, serta menilai efisiensi distribusi manfaat dan informasi antar pemangku kepentingan yang terkait di dalamnya. Hasil penelitian diharapkan akan menjadi bahan penyempurnaan kebijakan sertifikasi sumber benih tanaman hutan di Kalimantan.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.Si., dan Bapak Dr. Ir. Iskandar Zulkarnain Siregar, M.For.Sc atas kesediaan memberi bimbingan selama penulisan proposal. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan khususnya kepada rekan-rekan mahasiswa IPH angkatan 2007, serta kepada rekan-rekan mahasiswa pascasarjana di lingkup Fakultas Kehutanan IPB atas dukungan dan bantuan secara langsung maupun tidak terhadap penyempurnaan rencana penelitian ini.
Pada akhirnya penulis berharap penelitian ini dapat berjalan lancar dan bermanfaat sesuai dengan tujuan. Kepada siapapun yang peduli terhadap perbaikan dan peningkatan kualitas penelitian ini diharapkan dapat menyampaikan kritik dan saran kepada penulis.
vi
©
Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugkan kepentingan yang wajar IPB
vii
EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI KELEMBAGAAN
SERTIFIKASI SUMBER BENIH TANAMAN HUTAN :
STUDI KASUS DI KALIMANTAN TIMUR
DAN KALIMANTAN SELATAN
FAIQOTUL FALAH
E 151070274
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
viii
ix
Judul Tesis : Efektivitas dan Efisiensi Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih Tanaman Hutan : Studi Kasus di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan
Nama : Faiqotul Falah
NRP : E 151 070 274
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS. Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc.
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, MS
x
PRAKATA
Alhamdulillah, penulisan tesis ini akhirnya dapat diselesaikan. Selain sebagai syarat dalam memperoleh gelar Magister Sains, kegiatan penelitian dalam penyusunan tesis ini menjadi bagian dalam kegiatan penelitian di instansi dimana penulis bekerja, yaitu di Balai Penelitian Teknologi Perbenihan (BPTP) Samboja. Identifikasi masalah dalam kelembagaan sertifikasi perbenihan telah dilakukan sejak tahun 2007 dan 2008 di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah oleh tim peneliti BPTP Samboja. Hasil temuan mengenai situasi masalah tersebut mendasari dilakukannya penelitian mengenai Efektivitas dan Efisiensi Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih Tanaman Hutan, dengan mengambil studi kasus di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pemangku kepentingan yang terkait dalam bidang perbenihan tanaman hutan khususnya para penentu kebijakan perbenihan, serta para akademisi/peneliti pada umumnya.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, meski demikian penulis berharap bahwa tesis ini dapat bermanfaat sesuai harapan.
Akhir kata, selamat membaca.
Bogor, Februari 2010
xi
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian dan penulisan tesis ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS., dan Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc
atas perannya sebagai komisi pembimbing yang telah banyak mengarahkan dan memberi saran perbaikan.
2. Prof.Dr.Ir. Dudung Darusman, MA selaku penguji dalam sidang tesis. 3. Segenap staf dan penunjang Departemen Manajemen Hutan serta Program
Studi Ilmu Pengelolaan Hutan IPB atas dukungan dan bantuannya selama penulis menempuh studi dan menyelesaikan penulisan tesis.
4. Badan Litbang Kehutanan yang telah memfasilitasi terselenggaranya Program Research School bersama dengan Sekolah Pascasarjana IPB.
5. Ir. Tjuk Sasmito Hadi, M.Sc. selaku Kepala BPTP Samboja beserta seluruh staf atas segala dukungan dan bantuan bagi penulis selama menempuh studi maupun dalam persiapan dan pelaksanaan penelitian tesis.
6. Tim peneliti Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih BPTP Samboja : Amir Maruf, Tri Atmoko, Suhardi, dan Mira Kumala Ningsih untuk segala bantuan dan kerjasamanya dalam pengambilan data penelitian.
7. Dra.Dida Syamsuwida, M.Sc., Ir. Nurhasybi, Dr. Budi Leksono, dan Dr.Arif Nirsatmanto dari Balitbang Dephut untuk apreasiasi, saran, dan informasi yang sangat berguna untuk pelaksanaan penelitian ini.
xii
9. Teman-teman seperjuangan peserta program S2 Research School angkatan 2007 untuk persahabatan, dukungan, dan kerja sama selama penulis menempuh studi S2 di IPB.
10. Rekan-rekan mahasiswa S2 IPH angkatan 2007 untuk pertemanan dan bantuannya selama penulis menyelesaikan penulisan tesis ini.
xiii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Semarang, 25 Juni 1977 sebagai anak keempat dari pasangan Yusuf Ruh Hayat dan Fathimatuzzahra. Penulis menyelesaikan pendidikan SD hingga SMA di Semarang. Pendidikan Strata 1 ditempuh di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (lulus tahun 2001).
Penulis pernah bergiat sebagai fasilitator pemberdayaan masyarakat dan pendidikan lingkungan bersama Yayasan Relung, Yogyakarta, antara tahun 1999 hingga 2002. Sejak tahun 2003, penulis bekerja sebagai peneliti pada Loka Litbang Satwa Primata Samboja (Kalimantan Timur), sebuah instansi di bawah Badan Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan Pada tahun 2007, Loka Litbang Satwa Primata berubah menjadi Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Samboja.
Penulis berkesempatan mendapatkan Diploma dalam Environmental Management dari Maastricht School of Management, The Netherlands, pada tahun 2006 dengan beasiswa dari Tropenbos-Huygens. Tahun 2007, penulis berkesempatan menempuh pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Institut Pertanian Bogor, atas beasiswa dari Program Research School Badan Litbang Kehutanan.
xiv
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI xiv
DAFTAR TABEL xvii
DAFTAR GAMBAR xviii
DAFTAR LAMPIRAN xix
DAFTAR SINGKATAN . xx
I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Situasi Masalah 2
C. Rumusan Masalah 6
D. Tujuan Penelitian 8
1. Tujuan Umum 8
2. Tujuan Khusus 8
E. Hipotesis 9
F. Ruang Lingkup 9
G. Manfaat Penelitian 9
II. TINJAUAN PUSTAKA 11
A. Kelembagaan 11
B. Batasan Operasional Beberapa Istilah dalam Bidang
Perbenihan 12
C. Kebijakan Pemerintah terkait Perbenihan Tanaman Hutan 14
D. Sertifikasi Sumber Benih Tanaman Hutan 17
E. Para Pemangku Kepentingan 21
F. Konsep Tataniaga 23
G. Biaya Transaksi 25
III METODOLOGI PENELITIAN 26
A. Waktu dan Lokasi Penelitian 26
B. Alur Penelitian 27
C. Analisis Data 29
1. Analisis isi kebijakan 30
2. Analisis implementasi kebijakan sertifikasi sumber benih 30 a. Analisis terhadap hasil penilaian sertifikasi sumber benih 30 b. Analisis terhadap implementasi mekanisme sertifikasi 30
c. Analisis peran para pemangku kepentingan 31
3. Analisis kesenjangan 31
xv
Halaman
5. Analisis rantai informasi 31
6. Analisis finansial tataniaga benih 32
a. Analisis kelayakan pengusahaan sumber benih
bersertifikat 32
b. Analisis Farmer’s Share 32
c. Analisis penyebaran marjin tataniaga 33
d. Analisis biaya transaksi 34
7. Penilaian efisiensi kelembagaan sertifikasi sumber benih 34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 35
A. Hasil Observasi Kondisi Terkini 35
B. Efektivitas Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih 35
1. Analisis isi terhadap kebijakan sertifikasi sumber benih 36
a. Standar khusus sumber benih 36
b. Mekanisme penerbitan sertifikasi sumber benih 42 2. Analisis implementasi kebijakan setifikasi sumber benih 49 a. Analisis terhadap hasil penilaian sertifikasi 49 b. Analisis terhadap implementasi mekanisme sertifikasi
sumber benih 51
c. Analisis peran 54
d. Prospek implementasi Permenhut No P.1/2009 56
3. Analisis kesenjangan 58
4. Penilaian efektivitas kelembagaan sertifikasi sumber benih 60
C. Efisiensi Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih 61
1. Analisis kelayakan finansial dan biaya transaksi sertifikasi
sumber benih 61
2. Analisis sensitivitas 67
3. Jalur tataniaga benih dan distribusi manfaat 69
4. Analisis distribusi informasi 76
5. Penilaian efisiensi kelembagaan sertifikasi sumber benih 79 D. Sintesis Penilaian Efektivitas dan Efisiensi Sertifikasi Sumber
Benih 80
E. Pembelajaran dari Sistem Sertifikasi Sumber Benih Departemen Pertanian
82
F. Prospek Pengusahaan Sumber Benih Bersertifikat di Masa Mendatang
83
G. Permenhut No P.72/2009 sebagai Revisi Permenhut No
P.1/2009 86
H. Permasalahan dan Alternatif Solusi dalam Sertifikasi Sumber
Benih 87
xvi
Halaman V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 91
B. Saran 92
DAFTAR PUSTAKA . 94
xvii
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Peraturan perundangan yang terkait dengan perbenihan tanaman hutan 15
2. Tahapan, sumber data, dan metode penelitian 27
3. Hasil analisis biner mengenai ada tidaknya ketentuan yang menjamin kebenaran kelas sumber benih dalam kebijakan yang berlaku
38
4. Perbandingan mekanisme sertifikasi berdasar Keputusan Ditjen RLPS No 101/Kpts/V/2002, Peraturan Ditjen RLPS No 3/PTH-V/2007, dan Permenhut No 01/2009
48
5. Rata-rata pertumbuhan dan bentuk batang, serta tingkat perolehan perbaikan genetik berdasarkan kelompok sumber benih pada uji genetik A.mangium umur 2 tahun di tiga lokasi
50
6. Hasil telaah database penilaian sertifikasi SB kelas TBP, KB, dan KP yang dilakukan oleh BPTH Banjarbaru
52
7. Matrik analisis peran parapihak dalam kegiatan sertifikasi sumber benih tanaman hutan di Kalimantan
54
8. Kesenjangan antara aturan yang berlaku dengan realisasi kegiatan sertifikasi sumber benih
59
9. Hasil penilaian efektivitas sertifikasi sumber benih 60
10. Karakteristik pengelola sumber benih yang menjadi informan penelitian
62
11. Hasil analisis kelayakan finansial pengusahaan sumber benih bersertifikat
64
12. Hasil analisis sensitivitas kelayakan finansial pengusahaan sumber benih bersertifikat
67
13. Distibusi manfaat dalam tipe saluran satu tingkat 70
14. Distribusi manfaat dalam tipe saluran dua tingkat 72
15. Distribusi manfaat dalam tipe saluran tiga tingkat 73
16. 17.
Distribusi informasi dalam kegiatan sertifikasi sumber benih
Problema dan rekomendasi solusi dalam kegiatan sertifikasi sumber benih tanaman hutan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan
xviii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Skema masalah dalam sertifikasi sumber benih tanaman hutan 5 2. Pohon masalah dalam penelitian Kelembagaan Sertifikasi Sumber
Benih Tanaman Hutan
8
3. Skema fungsi peran para pemangku kepentingan dalam perbenihan tanaman hutan
22
4. Jalur peredaran benih di Kalimantan untuk keperluan proyek pemerintah dalam rehabilitasi lahan
22
5. Jalur peredaran benih di Kalimantan untuk keperluan non proyek pemerintah dalam rehabilitasi lahan
23
6. Alur penelitian 29
7. Hubungan antara berbagai aspek kebijakan dalam sertifikasi sumber benih
36
8. Skema prosedur sertifikasi sumber benih tahun 2002 – 2007 43 9. Prosedur sertifikasi sumber benih kelas TBP, KBS, KBK, dan KP
menurut Peraturan Ditjen RLPS No P.3/ 2007
45
10. Prosedur sertifikasi sumber benih menurut Permenhut No P.1/ 2009 47 11. Hubungan antar aktor dalam kegiatan sertifikasi sumber benih 55
12. Jalur tataniaga tipe saluran langsung 69
13. Jalur tataniaga tipe saluran satu tingkat 69
14. Jalur tataniaga saluran dua tingkat 72
15. Jalur tataniaga saluran tiga tingkat 73
16. Pertukaran informasi antar pelaku perbenihan 79
17. Sintesis penilaian efektivitas dan efisiensi sertifikasi sumber benih tanaman hutan
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Data Sumber Benih di wilayah Kalimantan hingga tahun 2008 97 2. Data Sumber Benih di wilayah Kalimantan hingga tahun 2009 100
3. Hasil wawancara dengan BPTH Banjarbaru 104
4. Rekapitulasi hasil wawancara dengan Dinas-dinas Kehutanan 106 5. Hasil wawancara dengan pengelola sumber benih yang belum
mengajukan sertifikasi
111
6. Standar lembaga dan sarana penilaian sertifikasi menurut Permenhut P.1/2009
112
7. Kesenjangan antara standar khusus sumber benih dalam Permenhut No P.1/2009 dengan kondisi ideal
114
8. Rekapitulasi hasil wawancara dengan pengelola sumber benih mengenai persepsi tentang Permenhut P.1/2009
116
9. Analisis finansial pengusaha sumber benih bersertifikat 118 10. Rekapitulasi hasil wawancara dengan pengelola sumber benih
mengenai aspek informasi perbenihan
130
xx
DAFTAR SINGKATAN
APB : Areal Produksi Benih
Balitbanghut : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
BCR : Benefit and Cost Ratio
BPDAS : Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
BPTH : Balai Perbenihan Tanaman Hutan
BPTH : Balai Penelitian Teknologi Perbenihan
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
BUMD : Badan Usaha Milik Daerah
BUMS : Badan Usaha Milik Swasta
DAS : Daerah Aliran Sungai
Dephut : Departemen Kehutanan
Deptan : Departemen Pertanian
Dit.PTH : Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan
Dirjen RLPS : Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial
Ditjen RLPS : Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial
FS : Farmer’s Share
GKS : Graha Kaltim Sentosa
GL : Girilusindo Landscape
GNRHL : Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan
HA : Hutan alam
HD : Hutan Desa
HKm Hutan Kemasyarakatan
HT : Hutan tanaman
HTI : Hutan Tanaman Industri
HTR : Hutan Tanaman Rakyat
INH III : Inhutani III
IRR : Interest Rate of Return
ITCIKU : ITCI Kartika Utama
xxi
KBK : Kebun Benih Klon
KBP : Kebun Benih Pangkas
KBS : Kebun Benih Semai
KP : Kebun Pangkas
KT MS : Kelompok Tani Meratus Sejahtera
LSM GP : Lembaga Swadaya Masyarakat Gaharu Persada
MARR : Minimum Attractive Rate of Return
Menhut : Menteri Kehutanan
NPV : Net Present Value
Pemda : Pemerintah Daerah
Permenhut : Peraturan Menteri Kehutanan
Permentan : Peraturan Menteri Pertanian
PP : Peraturan Pemerintah
SB : Sumber Benih
SK : Surat Keputusan
TBS : Tegakan Benih Terseleksi
TBT : Tegakan Benih Teridentifikasi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Saat ini hutan Indonesia mengalami proses deforestasi dan degradasi yang memprihatinkan, yang terutama diakibatkan oleh kegiatan penebangan, pembukaan lahan dan kebakaran hutan. Oleh karena itu kegiatan rehabilitasi lahan hutan menjadi salah satu prioritas pembangunan kehutanan Indonesia. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) telah dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia sejak tahun 2003. Upaya merehabilitasi kawasan hutan dan lahan memerlukan pasokan benih tanaman hutan dalam jumlah yang banyak. Benih yang diperlukan adalah benih yang memiliki kualitas fisik, fisiologis, dan genetis yang baik agar dapat diperoleh produktivitas dan kualitas tanaman hutan yang tinggi, mempunyai daya adaptasi yang baik, dan ketahanan terhadap hama dan penyakit.
Salah satu upaya untuk menyediakan benih berkualitas adalah melalui pembangunan sumber benih. Sumber benih yang berkualitas baik diharapkan dapat menghasilkan benih berkualitas baik pula. Untuk memberikan jaminan kebenaran kelas sumber benih maka dipandang perlu adanya sertifikasi sumber benih tanaman hutan (Permenhut No P.1/2009). Hal ini dimaksudkan sebagai upaya perlindungan kepada konsumen agar mutu produk dari sumber benih dapat terjamin.
Sertifikasi sumber benih adalah proses pemberian sertifikat kepada sumber benih yang menginformasikan keadaan sumber benih yang bermutu. Untuk memperoleh standar pengujian yang tepat, maka bentuk, tugas, dan fungsi institusi perbenihan sangat menentukan keberhasilan sertifikasi perbenihan. Proses sertifikasi dilakukan melalui pemeriksaan fisik di lapangan dan pemeriksaan dokumen sumber benih.
2
melakukan sertifikasi sumber benih dengan syarat sudah terakreditasi oleh BPTH. Namun pada saat ini menurut Permenhut No P.01/2009, yang berhak menerbitkan sertifikasi sumber benih adalah Dinas Kabupaten/Kota, Dinas Propinsi, atau BPTH. Hal tersebut sesuai dengan semangat desentralisasi dalam PP No 38/2007 yang menyatakan bahwa urusan perbenihan tanaman hutan merupakan salah satu dari urusan pilihan yang diserahkan kewenangannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Secara kualitatif, dari sudut pandang konsumen benih, tujuan dilakukannya sertifikasi sumber benih tanaman hutan adalah untuk memberikan jaminan mutu sumber benih. Namun dari sudut pandang pengelola sumber benih serta pengada dan pengedar benih dan/atau bibit, ada pula tujuan ekonomis yaitu memperoleh keuntungan finansial. Terpenuhinya motif ekonomi akan memotivasi pengelola sumber benih untuk meningkatkan kualitas produksi benih. Merupakan tugas pemerintah untuk menetapkan kebijakan serta memfasilitasi berbagai kepentingan tersebut.
Dalam kegiatan sertifikasi sumber benih terdapat aturan main yang melibatkan beberapa pemangku kepentingan. Aturan main yang berlaku dalam relasi antar pemangku kepentingan tersebut disebut kelembagaan. Suatu kelembagaan dianggap efektif apabila tujuan terbentuknya kelembagaan tersebut tercapai, dan efisien apabila manfaat yang diperoleh para pihak seimbang dengan pengorbanan sumberdaya yang dikeluarkan. Untuk mengetahui apakah kelembagaan sertifikasi sumber benih di Kalimantan telah berjalan secara efektif dan efisien, perlu dilakukan penelitian mengenai efektifitas dan efisiensi sertifikasi sumber benih tanaman hutan di Kalimantan, sehingga dapat menghasilkan rekomendasi bagi penyempurnaan kebijakan yang terkait.
B. Situasi Masalah
3
sungkai, kuku, tengkawang, keruing, kapur, sagu, rengas, dan ramin. Sedangkan tanaman bukan asli Kalimantan berupa mahoni, waru, akasia karpa, akasia mangium, ekaliptus pelita, ampupu, sengon, dan jati.
Menurut hasil penelitian Falah et al (2008), dalam kegiatan sertifikasi perbenihan tanaman hutan di Kalimantan terdapat beberapa permasalahan yang saling terkait, meliputi :
1. Aspek informasi, yaitu kurangnya motivasi pengelola sumber benih untuk mengajukan permintaan sertifikasi. Hal ini antara lain disebabkan oleh :
a. Kurangnya informasi dan pembinaan dari BPTH pada pelaku perbenihan di daerah mengenai manfaat dan prosedur sertifikasi.
b. Adanya ketidakseimbangan distribusi informasi mengenai pasar (harga, besarnya permintaan dan penawaran, dan lain-lain) antara pihak pengelola sumber benih sebagai produsen dengan konsumen.
2. Aspek finansial dan pemasaran hasil, sebagai berikut :
a. Belum ada tarif resmi sertifikasi sumber benih bersertifikat. Tarif sertifikasi akan mempengaruhi besarnya biaya produksi benih sehingga menentukan pula besarnya marjin keuntungan bagi pengelola sumber benih bersertifikat. Pemenhut No P.01/Menhut-II 2009 menyatakan bahwa setiap pemanfaatan jasa atau sarana Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penerbitan sertifikasi sumber benih akan dikenakan pungutan jasa. Semua penerimaan dari pungutan tersebut merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang harus disetor ke Kas Negara. Sedangkan biaya sertifikasi di lapangan ditanggung oleh pemohon sertifikasi (pasal 46).
b. Beberapa pengelola sumber benih menganggap sertifikasi sumber benih belum dapat memberi keuntungan finansial yang signifikan .
c. Pengelola sumber benih masih mengalami kesulitan dalam hal pemasaran benih. Permintaan tidak setinggi penawaran, karena :
4
ii. Rendahnya permintaan bibit/benih bersertifikat untuk GN RHL. Masyarakat sebagai pelaksana penanaman tidak spesifik meminta bibit dari benih berserftifikat. Padahal penentuan jenis dan spesifikasi pengadaan bibit untuk keperluan rehabilitasi lahan di daerah dilakukan oleh Pemerintah Daerah berdasar permintaan masyarakat.
3. Aspek teknis, yaitu proses sertifikasi dianggap belum dapat menjamin mutu benih. Saat sertifikasi masih dilakukan BPTH, untuk proses dan hasil penilaian tidak ada keluhan dari pengusaha sumber benih, kecuali adanya kritik mengenai tanda bukti lulus sertifikasi. Pengusaha sumber benih hanya mendapatkan selembar sertifikat untuk seluruh produksi benihnya, sehingga beresiko untuk dipalsukan oleh oknum-oknum pengedar benih.
Namun dengan diberlakukannya Permenhut P.01/2009 dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru. Penyerahan kewenangan penerbitan sertifikasi sumber benih kepada Dinas Provinsi dan Kabupaten/Kota dikhawatirkan akan menghadapi kendala kesiapan sumberdaya manusia (SDM) dan sarana yang dimiliki oleh Dinas. Selain itu, dalam Permenhut tersebut tidak ada ketentuan mengenai pemberian akreditasi kelayakan kepada Dinas dalam menerbitkan sertifikasi sumber benih.
4. Aspek implementasi kebijakan, yaitu mengenai realisasi peran Pemerintah Daerah sesuai kebijakan yang berlaku. Hingga awal 2009, peran Pemerintah Daerah (Pemda) sebagai fasilitator, pembina, dan pemantau kegiatan pengelolaan sumber benih belum optimal. Hal ini disebabkan Pemerintah Daerah belum yakin akan keuntungan melakukan pembinaan dan fasilitasi kegiatan perbenihan tanaman hutan. Apabila jasa sertifikasi dapat memberikan kontribusi pendapatan kepada daerah, hal tersebut akan memotivasi Pemda. Namun sebelumnya perlu ditetapkan besaran pungutan jasa penerbitan setifikasi agar tidak merugikan pengada benih.
Gambar 1. Skema masalah dalam sertifikasi sumber benih tanaman hutan PENGELOLA
SUMBER BENIH
KONSUMEN BENIH
Keuntungan finansial sertifikasi tidak signifikan ? Biaya sertifikasi belum jelas
Kurang permintaan benih/bibit dari SB bersertifikat
Pengelolaan infomasi perbenihan belum efektif Kurang informasi mengenai
keberadaan, kuantitas, kualitas, harga dan keungggulan benih/bibit bersertifikat Harga benih bersertifikat =
non sertifikat ?
Sertifikat sumber benih dianggap belum menjamin
mutu benih DINAS Kurang informasi mengenai keuntungan memfasilitasi dan membina perbenihan
Kualitas SDM dan sarana penilai diragukan
Tanda bukti sertifikasi gampang dipalsukan
Kelembagaan Sertifikasi SB belum efektif? Kelembagaan sertifikasi SB belum efisien?
BPTH
BANJARBARU
Distribusi informasi belum merata
Distribusi manfaat belum merata ? Belum mendapat
6
C. Rumusan Masalah
Dari uraian dan peta permasalahan di atas, nampak bahwa kegiatan sertifikasi sumber benih tanaman hutan di wilayah Kalimantan dianggap belum dapat menjamin mutu produk sumber benih dan belum memberi keuntungan finansial bagi pengelola sumber benih. Di samping itu juga terdapat permasalahan dalam hal distribusi informasi dan distribusi manfaat antar pihak yang berkepentingan. Hal-hal tersebut mengindikasikan adanya permasalahan dalam kelembagaan sertifikasi sumber benih.
Mengacu pada pendapat para ahli seperti Schmid (1987) dan North (1991) kelembagaan (institution) memiliki dua pengertian. Pengertian pertama adalah kelembagaan sebagai aturan main (rules of the game), yaitu sekumpulan aturan baik formal maupun infomal, tertulis maupun tidak tertulis, serta tata perilaku hubungan manusia dengan lingkungannya yang menyangkut hak-hak serta tanggung jawabnya. Sedangkan dalam pengertian kedua, kelembagaan merupakan suatu organisasi, yang dalam pengertian ekonomi menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh harga-harga, tetapi oleh mekanisme administratif atau kewenangan. Schmid (1987) menyatakan bahwa kelembagaan dicirikan oleh tiga komponen utama, yaitu batas yurisdiksi (pelaku dan perannya), hak kepemilikan (dalam penelitian ini diterjemahkan sebagai siapa yang memiliki wewenang), dan aturan representasi (siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan).
Dalam suatu kegiatan yang menyangkut ekonomi seperti sertifikasi sumber benih, aturan main (kelembagaan) akan menentukan seberapa efisien distribusi manfaat yang diperoleh masing-masing pemegang peran. Suatu kelembagaan dianggap efektif apabila tujuan terbentuknya kelembagaan tersebut tercapai. Efektivitas kelembagaan dipengaruhi oleh peraturan yang berlaku dan implementasi peraturan tersebut dalam rangka mencapai tujuan.
7
dalam rangka pencarian informasi, negosiasi, pertukaran, dan pemantauan kegiatan.
Berdasar uraian permasalahan di atas, dapat dirumuskan pertanyaan umum penelitian (general research question) sebagai berikut : “Apakah kelembagaan sertifikasi sumber benih tanaman hutan di Kalimantan sudah berjalan secara efektif dan efisien ?”
Untuk menjawab pertanyaan umum tersebut dirumuskan beberapa pertanyaan khusus (spesific research questions) sebagai berikut :
1. Mengenai efektivitas sertifikasi sumber benih yang dilihat dari aspek kebijakan yang berlaku dan implementasinya :
a. Apakah kebijakan mekanisme sertifikasi sumber benih sudah menjamin kebenaran kelas sumber benih mutu benih?
b. Bagaimana implementasi kebijakan yang berlaku dalam sertifikasi sumber benih? Apakah terdapat kesenjangan antara peraturan dan implementasinya?
c. Apakah para pemangku kepentingan sudah menjalankan kewajibannya secara optimal sehingga mutu benih dapat terjamin?
2. Mengenai efisiensi sertifikasi sumber benih :
a. Apakah pengusahaan sumber benih bersertifikat layak secara finansial? Berapa besar biaya transaksi sertifikasi sumber benih?
b. Bagaimana distribusi manfaat antar pelaku dalam tataniaga benih dari sumber benih bersertifikat?
c. Bagaimana distribusi informasi dalam tataniaga perbenihan? Dengan cara bagaimana konsumen memperoleh informasi dari produsen benih?
8
Gambar 2. Pohon masalah dalam penelitian kelembagaan sertifikasi sumber benih
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas dan efisiensi sertifikasi sumber benih tanaman hutan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
2. Tujuan Khusus
a. Dalam menilai efektivitas sertifikasi sumber benih tanaman hutan :
i. Mengkaji aturan main yang berlaku dalam sertifikasi sumber benih tanaman hutan dan implementasinya.
ii. Mengkaji realisasi peran para pemangku kepentingan berdasar peraturan yang berlaku dalam kegiatan sertifikasi sumber benih.
b. Dalam menilai efisiensi sertifikasi sumber benih tanaman hutan :
i. Memperoleh informasi mengenai kelayakan finansial pengusahaan sumber benih bersertifikat.
ii. Memperoleh informasi mengenai besarnya biaya sertifikasi sumber benih tanaman hutan.
iii. Memperoleh infomasi mengenai distribusi manfaat dalam kegiatan sertifikasi sumber benih tanaman hutan.
Efisiensi kelembagaan sertifikasi SB ?
Kebijakan yang berlaku?
Implementasi kebijakan?
Realisasi peran pemangku kepentingan?
Distribusi manfaat? Distribusi informasi ? Efektivitas kelembagaan sertifikasi SB ?
Mutu sumber benih ?
Kelayakan pengusahaan SB bersertifikat?
Biaya transaksi?
9
iv. Mengidentifikasi distribusi informasi dalam kegiatan sertifikasi sumber benih tanaman hutan wilayah Kalimantan.
E. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Kegiatan sertifikasi sumber benih di Kalimantan belum efektif apabila dinilai berdasarkan kebijakan yang berlaku dan implementasinya.
2. Kegiatan sertifikasi sumber benih di Kalimantan belum efisien apabila dinilai berdasarkan kelayakan finansial, besarnya biaya transaksi, serta keseimbangan distribusi informasi, distribusi manfaat antar pelaku pemasaran dalam pengusahaan sumber benih bersertifikat.
F. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini meliputi pengumpulan informasi, analisis, dan pengkajian terhadap :
1. Hasil perbandingan mutu benih dari sumber benih tanaman hutan yang bersertifikat dengan yang tidak bersertifikat;
2. Kebijakan yang berlaku dan implementasinya, termasuk realisasi peran para pemangku kepentingan;
3. Distribusi informasi dalam kegiatan sertifikasi sumber benih;
4. Kelayakan finansial dan biaya transaksi dalam kegiatan sumber benih bersertifikat.
5. Distribusi manfaat dalam kegiatan tataniaga benih atau bibit bersertifikat.
G. Manfaat Penelitian
Selama ini penelitian-penelitian yang ada terfokus pada deskripsi kebijakan yang berlaku dalam kegiatan perbenihan hingga tahun 2008, kelayakan finansial usaha pengadaan bibit, dan jalur perdagangan benih di Jawa. Belum ditemukan informasi mengenai penelitian efektivitas dan efisiensi kelembagaan sertifikasi sumber benih di Indonesia. Dengan demikian diharapkan penelitian ini dapat membawa manfaat sebagai berikut :
10
kelembagaan sertifikasi sumber benih pada khususnya, dan kelembagaan serta analisis finansial dan pemasaran kegiatan perbenihan pada umumnya.
2. Untuk para penentu kebijakan perbenihan tanaman hutan, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan penyempurnaan kebijakan sertifikasi sumber benih tanaman hutan.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kelembagaan
Konsepsi mengenai kelembagaan telah dikemukakan oleh banyak ahli. Mengacu pada pendapat Schmid (1987) dan North (1991), secara umum kelembagaan (institution) memiliki dua pengertian. Pengertian pertama adalah kelembagaan sebagai aturan main (rules of the game) dalam interaksi interpersonal, yaitu sekumpulan aturan baik formal maupun infomal, tertulis maupun tidak tertulis, serta tata perilaku hubungan manusia dengan lingkungannya yang menyangkut hak-hak serta tanggung jawabnya. Sedangkan dalam pengertian kedua, kelembagaan merupakan suatu organisasi, yang dalam pengertian ekonomi menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh harga-harga, tetapi oleh mekanisme administratif atau kewenangan. Menurut Kasper dan Streit (1998), aturan buatan manusia dalam kelembagaan selalu ditegakkan melalui berbagai jenis sanksi. Ini didasari persepsi bahwa interaksi antar manusia selalu didasari oleh perilaku oportunistik, sehingga kelembagaan tanpa sanksi akan sia-sia.
12
Aturan representasi menentukan jenis keputusan yang dibuat, oleh karena itu aturan representasi menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya.
Yustika (2006) menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi, pendefinisian kelembagaan dapat dipilah dalam dua klasifikasi. Pertama, bila berkaitan dengan proses, maka kelembagaan merujuk pada upaya untuk mendesain pola interaksi antar pelaku ekonomi sehingga mereka dapat melakukan kegiatan transaksi. Kedua, jika berhubungan dengan tujuan, maka kelembagan berkonsentrasi untuk menciptakan efisiensi ekonomi berdasar struktur kekuasaan ekonomi, politik, dan sosial antar pelakunya. Secara praktis, kelembagaan yang tersedia dalam kegiatan ekonomi akan menentukan seberapa efisien hasil ekonomi yang didapatkan, sekaligus akan menentukan seberapa besar distribusi ekonomi yang diperoleh oleh masing-masing partisipan. Bila pelaku ekonomi menganggap bahwa kelembagaan tidak efisien, misalnya gagal mencapai pertumbuhan ekonomi atau tidak merata dalam membagi kesejahteraan antar pelakunya, maka hasrat untuk mengubah kelembagaan (institutional change) dipastikan akan terjadi.
Tujuan perubahan kelembagaan adalah untuk mendapatkan kinerja yang lebih baik dari yang diharapkan. Perubahan institusi secara internal disebut institusionalisasi atau pelembagaan. Huttington dalam Kartodihardjo (2008) menetapkan empat kriteria terjadinya proses institusionalisasi, yaitu :
1) Otonomi, yaitu kemampuan institusi untuk membuat dan menjalankan keputusan-keputusan yang dibuatnya.
2) Adaptabilitas, yaitu sanggup beradaptasi dalam lingkungannya.
3) Kompleksitas, yaitu mampu membentuk struktur di dalam dirinya sehingga dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
4) Koheren, yaitu kemampuan institusi untuk mengelola aktivitas dan mengembangkan prosedur sehingga tugas-tugasnya selesai tepat pada waktunya.
B. Batasan Operasional Beberapa Istilah dalam Bidang Perbenihan
13
(Permenhut) No 01/Menhut-II/2009 dan Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Dirjen RLPS) No P.03/2007 sebagai berikut : 1). Perbenihan Tanaman Hutan yang selanjutnya dalam penelitian ini disebut
perbenihan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan sumberdaya genetik, pemuliaan tanaman hutan, pengadaan dan pengedaran benih dan bibit dan sertifikasi.
2) Benih tanaman hutan yang selanjutnya di dalam penelitian ini disebut benih adalah bahan tanaman yang berupa bahan generatif (biji) atau bahan vegetatif tanaman yang digunakan untuk mengembangbiakan tanaman hutan.
3) Bibit tanaman hutan yang selanjutnya di dalam peraturan ini disebut bibit adalah tumbuhan muda hasil pengembangbiakan secara generatif atau secara vegetatif.
4) Sumber Benih adalah suatu tegakan hutan di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan yang dikelola guna memproduksi benih berkualitas.
5). Kriteria sumber benih adalah ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sumber benih tanaman hutan.
6). Standar sumber benih adalah spesifikasi teknis sumber benih tanaman hutan yang dibakukan sebagai patokan dalam menentukan mutu sumber benih. 7). Prosedur sertifikasi sumber benih adalah tahapan dan mekanisme dalam
pelaksanaan sertifikasi sumber benih tanaman hutan.
8). Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT), yaitu sumber benih dengan kualitas tegakan rata-rata, yang ditunjuk dari hutan alam atau hutan tanaman dan lokasinya teridentifikasi dengan tepat.
9). Tegakan Benih Terseleksi (TBS) adalah sumber benih yang berasal dari TBT dengan kualitas tegakan di atas rata-rata.
10). Areal Produksi Benih adalah sumber benih yang dibangun khusus atau berasal dari TBT atau TBS yang ditingkatkan kualitasnya melalui penebangan pohon-pohon yang fenotipanya tidak bagus.
14
12). Kebun Benih Semai adalah (KBS), yaitu sumber benih yang dibangun dari bahan generatif yang berasal dari pohon plus pada tegakan yang diberi perlakukan penjarangan berdasarkan hasil uji keturunan.
13) Kebun Benih Klon adalah Kebun Benih Klon (KBK), yaitu sumber benih yang dibangun dari bahan vegetatif yang berasal dari pohon plus pada tegakan yang diberi perlakukan penjarangan berdasarkan hasil uji keturunan.
14). Kebun Benih Pangkas adalah sumber benih yang dibangun dari bahan generatif atau vegetatif dari pohon induk yang berasal dari KBK atau KBS. 15).Pengadaan benih adalah kegiatan yang meliputi kegiatan pengunduhan,
penanganan, pengujian, pengepakan dan penyimpanan.
16).Pengadaan bibit adalah kegiatan yang meliputi penyiapan benih, pembuatan bibit, seleksi, dan pemeliharaan sampai bibit siap digunakan dan/atau diedarkan.
17). Pengedaran benih adalah kegiatan yang meliputi pengemasan, pengangkutan, penyimpanan, dan distribusi benih.
18). Pengedaran bibit adalah kegiatan yang meliputi pengemasan, pengangkutan, dan distribusi bibit
19).Pengada benih adalah BUMN/BUMD/BUMS, koperasi atau perorangan yang mempunyai kegiatan pengadaan benih.
20).Pengedar benih dan bibit adalah BUMN/BUMD/BUMS, koperasi atau perorangan yang mempunyai kegiatan peredaran benih dan/atau bibit.
21). Label benih adalah keterangan tertulis yang diberikan pada benih yang sudah dikemas dan akan diedarkan yang memuat antara lain jenis benih, asal benih, mutu benih, tanggal unduh benih, data hasil uji laboratorium serta akhir masa edar benih.
C. Kebijakan Pemerintah yang Terkait dengan Perbenihan Tanaman Hutan
15
keseluruhan. Hasil identifikasi peraturan perundangan yang terkait dengan perbenihan tanaman hutan disajikan dalam Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Peraturan perundangan yang terkait dengan perbenihan tanaman hutan
No Peraturan Perundangan Perihal
1 UU No 12/1992 Sistem Budidaya Tanaman
2 UU No 41/1999 Kehutanan
2 PP No 44 Tahun 1995 Perbenihan Tanaman
3 PP No 38/2007 Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota 4 SK Menhut No 663/
Kpts-II/2002
Organisasi dan Tata Kerja BPTH
5 Permenhut No P.01/Menhut-II/2009
Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan
Permenhut No P.01/Menhut-II/2009 diundangkan tanggal 12 Januari 2009 menggantikan Permenhut No P.10/Menhut-II/2007. Permenhut No P.01/2009 ini memuat berbagai lampiran teknis yang mementahkan berbagai Peraturan Dirjen RLPS yang diterbitkan tahun 2007 (sebagai penjabaran teknis Permenhut P.10/2007) dan membuatnya tidak efektif lagi. Reduksi tugas pokok dan fungsi BPTH dalam Permenhut P.01/Menhut-II/2009 (meski tidak dinyatakan secara eksplisit) juga mementahkan SK Menhut No 663/Kpts-II/2002 mengenai Organisasi dan Tata Kerja BPTH.
Dalam Permenhut No P.01/Menhut-II/2009 disebutkan bahwa pengaturan perbenihan tanaman hutan bertujuan untuk : 1) menjamin kelestarian sumberdaya genetik tanaman hutan dan pemanfaatannya; 2) menjamin tersedianya benih dan/atau bibit tanaman hutan dengan mutu yang baik. Pengaturan perbenihan tanaman hutan meliputi pembangunan sumberdaya genetik, pemuliaan tanaman hutan, pengadaan benih, pengedaran benih dan bibit, sertifikasi, dan pembinaan.
16
Dalam Permenhut P.01/2009 yang diberi wewenang melakukan sertifikasi perbenihan adalah Dinas Propinsi, Dinas Kabupaten/Kota, dan BPTH.
Ada 4 (empat) macam sertifikasi dalam bidang perbenihan, yaitu :
a. Sertifikasi sumber benih : untuk menjamin kebenaran klasifikasi sumber benih berdasarkan kualitas genetik.
b. Sertifikasi mutu benih : untuk menjamin kebenaran mutu genetik berdasarkan kelas sumber benih dan mutu fisik-fisiologis benih.
c. Sertifikasi mutu bibit : untuk menjamin kebenaran mutu genetik berdasarkan kelas sumber benih dan mutu fisik-fisiologis bibit.
d. Sertifikasi asal usul benih dan/atau bibit.
Sertifikasi mutu benih diikuti dengan pemberian label benih apabila akan diedarkan. Sertifikat mutu benih/bibit diterbitkan apabila asal-usul benih diketahui, sedangkan apabila asal-usul benih tidak diketahui, maka diterbitkan surat keterangan pengujian benih/bibit.
Pembinaan, pengawasan dan pengendalian dilakukan untuk menjamin tertibnya dan meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia dalam penyelenggaraan perbenihan tanaman hutan. Kegiatan pembinaan berupa bimbingan teknis dan administrasi, pelatihan, arahan dan/atau supervisi, dilakukan oleh pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota kepada penyelenggara perbenihan tanaman hutan.
Kegiatan pengawasan dalam perbenihan adalah sebagai berikut :
a. Menteri Kehutanan dapat melarang pengadaan, peredaran dan penanaman benih dari jenis yang ternyata merugikan masyarakat, budidaya tanaman, sumberdaya alam lain atau lingkungan hidup.
b. Direktur Jenderal RLPS bersama dengan dinas provinsi/kabupaten/kota melakukan pengawasan atas pengadaan, peredaran, sertifikasi dan tata usaha benih dan/atau bibit.
c. Kepala Badan Litbang Kehutanan melakukan pengawasan atas penelitian konservasi sumber daya genetik dan pemuliaan tanaman hutan.
17
a. Pengawasan : untuk memperoleh data dan informasi penyelenggaraan perbenihan tanaman hutan.
b. Evaluasi : untuk menilai keberhasilan penyelenggaraan perbenihan tanaman hutan.
c. Tindak lanjut : kegiatan tindak lanjut dari hasil monitoring dan evaluasi guna penyempurnaan kebijakan penyelenggaraan perbenihan tanaman hutan.
D. Sertifikasi Sumber Benih
Sertifikasi sumber benih adalah proses pemberian sertifikat kepada sumber benih yang menginformasikan keadaan sumber benih yang bermutu, sedangkan sertifikat sumber benih adalah dokumen yang menyatakan kebenaran mutu sumber benih tanaman hutan. Sertifikasi sumber benih dilakukan untuk menjamin kebenaran klasifikasi sumber benih berdasarkan kualitas genetik.
Berdasarkan kualitas genetiknya, sumber benih diklasifikasikan menjadi 7 kelas, berturut-turut adalah :
1. Tegakan Benih Teridentifikasi (TB Teridentifikasi); 2. Tegakan Benih Terseleksi (TB Terseleksi);
3. Areal Produksi Benih (APB);
4. Tegakan Benih Provenan (TB Provenans); 5. Kebun Benih Semai (KBS);
6. Kebun Benih Klon (KBK); 7. Kebun Benih Pangkas (KBP).
18
Berikut adalah pemegang kewenangan melakukan sertifikasi sumber benih berdasar Permenhut No P.01/2009 pasal 45 dan 51 :
1. Dinas Kabupaten/Kota melakukan sertifikasi terhadap sumber benih yang berada di wilayahnya:
2. Dinas Propinsi melakukan sertifikasi di wilayah Kabupaten/Kota terhadap Kabupaten/Kota yang belum memiliki Dinas Kehutanan atau tidak memilih urusan perbenihan tanaman hutan.
3. BPTH melakukan sertifikasi di wilayah Propinsi terhadap Propinsi dan Kabupaten/Kota yang belum memiliki Dinas atau Kabupaten/Kota tidak memilih urusan perbenihan tanaman hutan.
Dinas Propinsi dan Kabupaten/Kota yang akan melaksanakan sertifikasi harus memenuhi standar kriteria sumberdaya manusia dan sarana tertentu sesuai yang ditetapkan dalam Permenhut P.01/2009 (namun tidak disebutkan siapa yang berhak melakukan akreditasi terhadap kelayakan Dinas tersebut). Selanjutnya dalam pasal 52 dinyatakan bahwa setiap pemanfaatan jasa atau sarana Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan perbenihan tanaman hutan dikenakan pungutan jasa perbenihan tanaman hutan, termasuk dalam penerbitan sertifikasi sumber benih. Semua penerimaan dari pungutan tersebut merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang harus disetor ke Kas Negara. Besaran pungutan akan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan biaya sertifikasi di lapangan ditanggung oleh pemohon sertifikasi (pasal 46).
Satu nomor sertifikat sumber benih hanya berlaku untuk satu lokasi sumber benih dan untuk satu jenis tanaman (spesies). Sertifikat sumber benih tidak berlaku apabila terjadi kerusakan pada sumber benih, perubahan fungsi/status sumber benih, dan tidak produktif lagi. Masa berlaku sertifikat sumber benih 5 (lima) tahun, setelah itu dapat dievaluasi kembali dengan prosedur yang sama.
Berikut adalah standar sumber benih dari kriteria yang bersifat umum (berlaku untuk semua kelas sumber benih ), menurut Permenhut P.01/2009 :
19
mempercepat waktu pengangkutan. Lokasi sumber benih yang memiliki aksesibilitas yang baik juga akan lebih menjamin mutu fisik-fisiologis benih. 2. Pembungaan/pembuahan : Tegakan harus pernah berbunga dan berbuah,
kecuali untuk kebun benih pangkas.
3. Keamanan : Tegakan harus aman dari ancaman kebakaran, penebangan liar, perladangan berpindah, penggembalaan dan penjarahan kawasan.
4. Kesehatan tegakan : Tegakan harus tidak terserang hama dan penyakit.
5. Batas areal : Batas areal harus jelas, sehingga pengumpul benih mengetahui tegakan yang termasuk sebagai sumber benih.
6. Terkelola dengan baik. Sumber benih jelas status kepemilikannya serta memiliki indikator manajemen yang baik, seperti pemeliharaan, pengorganisasian, pemanfaatan benih dan lain-lain.
Kriteria khusus sumber benih berbeda-beda menurut kelas sumber benihnya. Sebelum penerbitan Pemenhut No 01/2009, untuk kelas sumber benih TB Teridentifikasi, TB Terseleksi, dan APB (selanjutnya ketiganya disebut sumber benih kelas rendah), kriteria tersebut ditetapkan oleh Dirjen RLPS. Sedang Kepala Badan Litbang Kehutanan bertugas menetapkan kriteria khusus untuk sumber benih kelas tinggi, yaitu TB Provenans, KBS, KBK, dan KBP. Badan Litbang Kehutanan belum menerbitkan pedoman kriteria khusus tersebut hingga diterbitkannya Permenhut No P.01/2009 yang menetapkan kriteria khusus untuk masing-masing kelas sumber benih.
Berikut adalah prosedur sertifikasi sumber benih menurut Permenhut P.01/Menhut-II/2009 :
1). Pemilik sumber benih mengajukan permohonan sertifikasi sumber benih kepada Dinas Kabupaten/Kota di wilayahnya dengan dilampiri dokumen pendukung.
20
3). Atas dasar permohonan tersebut, Kepala Dinas Kabupaten/Kota atau Dinas Propinsi atau BPTH membentuk Tim Penilai dengan melibatkan unsur terkait dalam kegiatan sertifikasi sumber benih, antara lain Balai PTH, UPT Badan Litbang Departemen Kehutanan dan/atau tenaga pakar di bidangnya.
4). Tim Penilai melakukan pengumpulan informasi dengan orientasi lapangan (quick tour) untuk menentukan kelayakan sebagai sumber benih. Informasi yang dikumpulkan untuk menentukan kelayakan sumber benih digunakan sebagai bahan untuk memenuhi kriteria umum sumber benih.
5). Hasil identifikasi yang memenuhi kriteria umum sumber benih dapat diterima sebagai calon sumber benih, kemudian dilanjutkan dengan deskripsi keadaan tegakan sedangkan untuk sumber benih yang ditolak, Tim tidak melakukan deskripsi.
6). Tim memberikan laporan hasil pemeriksaan kepada Kepala Dinas kehutanan Kabupaten/Kota.
7). Kepala Dinas Kabupaten/Kota atau Dinas Propinsi atau Balai menerbitkan sertifikat sumber benih atas dasar laporan Tim dan disampaikan kepada pemilik sumber benih dengan tembusan kepada Balai.
Menurut hasil penelitian Falah et al. (2008), berdasarkan status pengelola, pengusahaan sumber benih bersertifikat di Kalimantan bisa diklasifikasikan menjadi kelompok-kelompok berikut :
1). Pemegang sertifikasi adalah Dinas Kehutanan Kabupaten atau Propinsi, LSM, atau koperasi, sedang pengelola di lapangan adalah kelompok tani. Berupa tegakan benih teridentifikasi berasal dari hutan alam, luas bervariasi antara 10,0 hingga 200 ha. Pengelolaan tidak intensif, pemungutan benih masih tradisional, umumnya benih/bibit dikonsumsi oleh penangkar/pengedar benih untuk keperluan proyek rehabilitasi lahan oleh pemerintah. (Catatan : karena berdasarkan Permenhut P.01/2009 hanya BUMD, BUMS, BUMN, koperasi atau perorangan yang berhak mengelola sumber benih, masih menjadi pertanyaan akan diserahkan kepada siapa hak pengelolaan sumber benih yang sebelumnya dikelola Dinas Kehutanan Kabupaten atau Propinsi).
21
bervariasi antara 1 ha hingga 53,86 ha. Pengelolaan kurang intensif, umumnya benih/bibit dikonsumsi oleh penangkar/pengedar benih untuk keperluan proyek rehabilitasi lahan oleh pemerintah.
3). Pengelola adalah pemegang IUPHHK-HT ( Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman) seperti PT ITCI Kartika Utama, PT Suka Jaya Makmur, PT Inhutani III Sebuhur dan Riam Kiwa, PT Dwimajaya Utama, dan lain-lain. Kelas sumber benih bervariasi dari tegakan benih teridentifikasi, tegakan benih terseleksi, Areal Produksi Benih, TB Provenans, hingga Kebun Benih dan Kebun Pangkas. Untuk tegakan benih teridentifikasi dan terseleksi umumnya berupa jenis tanaman hutan lokal, sedang APB hingga Kebun Benih adalah jenis tanaman non lokal. Benih/bibit sebagian besar dikonsumsi sendiri untuk keperluan HTI, sebagian kecil dipasarkan untuk keperluan reklamasi perusahaan tambang (seperti di PT ITCIKU), atau dipasarkan hingga ke Jawa (seperti di PT Inhutani III).
E. Para pemangku kepentingan dalam Bidang Perbenihan Tanaman Hutan di Kalimantan
Terdapat tiga kelompok pemangku kepentingan dalam bidang sertifikasi sumber benih di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, sebagai berikut : a. Pihak penentu kebijakan, yaitu Ditjen RLPS c.q. Direktorat Perbenihan
Tanaman Hutan (Dit.PTH). c.q. BPTH Banjarbaru.
b. Pengelola sumber benih yang telah disertifikasi di wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan
c. Konsumen benih :
- Konsumen benih tingkat pertama, yang mengambil benih dari sumber benih untuk disemaikan/dibibitkan sendiri dan diedarkan, yaitu pemegang hak pengusahaan Hutan Tanamam Industri (HTI), petani penangkar bibit, atau badan-badan hukum pengada/pengedar benih dan atau atau bibit.
22
Peran para pemangku kepentingan menurut kewajiban yurisdiksinya berdasar Permenhut P.01/2009 disajikan dalam Gambar 3.
Gambar 3. Skema fungsi peran para pemangku kepentingan dalam perbenihan tanaman hutan
[image:47.612.99.486.102.309.2]Jalur peredaran benih di Kalimantan untuk keperluan proyek pemerintah dalam rehabilitasi lahan disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Jalur peredaran benih di Kalimantan untuk keperluan proyek rehabilitasi lahan (sumber : Falah et al., 2007)
Dalam skema di atas, konsumen bibit adalah instansi pemerintah pelaksana proyek rehabilitasi lahan. Skema tersebut berlaku jika pengelola sumber benih hanya berperan sebagai pengada benih saja. Terdapat beberapa variasi dalam skema tersebut yang mempersingkat jalur peredaran benih, yaitu :
1. Pengelola sumber benih (pengada benih) juga berperan sebagai penangkar bibit, sehingga kegiatan produksi benihnya juga meliputi pengolahan benih menjadi bibit.
Pengelola sumber benih
(pengada benih) Penangkar bibit Pengada /pengedar bibit (badan hukum) Konsumen bibit tingkat I (BPDAS atau Pemkab/ Pemkot) Konsumen bibit tingkat II (Pemkab/Pemkot) Kelompok tani pelaksana lapangan Penanaman bibit Pembuat kebijakan (decision maker) tingkat nasional :
Menhut, Dirjen RLPS
Perijinan : Ditjen RLPS, Dinas Operasional/ pelaksanaan (Pembangunan & pengelolaan sumber benih, pengadaan dan peredaran benih/bibit ) : Pengada dan pengedar benih dan bibit
Sertifikasi : BPTH, Dinas Propinsi dan Kabupaten /Kota Bimbingan, supervisi, konsultasi : Ditjen RLPS, Dinas Propinsi dan Kabupaten/Kota Pengawasan : Dinas Propinsi, Kabupaten/ Kota Pemantauan, evaluasi : Ditjen RLPS Pengelolaan sistem informasi: BPTH Kegiatan Litbang & Diseminasi Hasil Litbang :
Balitbang, Perguruan Tinggi
23
2. Penangkar bibit sekaligus berperan sebagai pengedar bibit.
Sedangkan benih untuk keperluan non proyek pemerintah rehabilitasi lahan, biasanya digunakan untuk keperluan pengusahaan HTI, Hutan Tanaman Rakyat (HTR), atau reklamasi lahan tambang. Jalur peredaran benih untuk keperluan non proyek pemerintah disajikan dalam Gambar 5.
Gambar 5. Jalur peredaran benih di Kalimantan untuk keperluan selain proyek pemerintah (sumber : Falah et al., 2007)
Keterangan gambar :
a. Produsen bibit untuk keperluan pengusahaan HTI atau reklamasi lahan tambang adalah pengelola sumber benih serta penangkar bibit.
b. Konsumen bibit adalah pemegang hak pengusahaan HTI, pengelola tambang, atau pengelola HTR.
c. Pengelola HTR dapat berperan sekaligus sebagai penangkar dan konsumen bibit (tanpa pengedar), bisa juga membeli bibit dari pengedar.
F. Konsep Tataniaga
Menurut Kohl dan Uhl (2002), tataniaga merupakan suatu peragaan dari aktivitas bisnis dan aliran barang dan jasa mulai dari titik produksi sampai ke konsumen akhir. Ada dua kelompok yang berbeda kepentingan dalam memandang tataniaga. Konsumen ingin mendapatkan harga yang rendah dan produsen ingin memperoleh penerimaan yang besar atas penjualan produk.
Dalam kegiatan tataniaga terdapat saluran pemasaran. Menurut Limbong dan Sitorus (1987)), saluran tataniaga atau saluran pemasaran merupakan rangkaian lembaga-lembaga niaga yang dilalui barang dalam penyalurannya dari produsen dan konsumen. Dalam pelaksanaan aktivitas distribusi dari produsen kepada konsumen, produsen kerapkali harus bekerjasama dengan berbagai perantara, lembaga pemasaran sebagai perantara. Perantara atau lembaga pemasaran adalah orang atau badan yang menyelenggarakan kegiatan pemasaran, menyalurkan barang dan jasa dari produsen ke konsumen serta mempunyai
Pengelola sumber benih (pengada benih)
Penangkar bibit
Pengedar bibit
Konsumen bibit Penanaman
24
hubungan organisasi satu dengan lainnya (Stanton, 2003). Terlibatnya lembaga pemasaran dalam pergerakan produk dari produsen kepada konsumen menghasilkan marjin tataniaga. Marjin terjadi karena adanya biaya-biaya pemasaran (pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, dan lain-lain) dan keuntungan lembaga pemasaran yang akhirnya menjadi faktor yang mempengaruhi pembentukan harga (Tomek dan Robinson, 1987 dalam Nurasa, 2003).
Berdasarkan Gambar 3, dapat disimpulkan bahwa dalam tataniaga benih di Kalimantan terdapat dua macam saluran :
1. Saluran satu tingkat, yaitu apabila benih di sumber benih berupa bahan vegetatif (bibit) sehingga pengada benih kemudian juga berperan sebagai penangkar dan pengedar bibit.
2. Saluran dua tingkat (two level channel) yang mencakup dua perantara antara produsen (pengada benih) hingga konsumen. Kedua perantara tersebut adalah pengada bibit serta pengedar bibit. Pengada bibit biasanya melakukan kegiatan pengolahan benih menjadi bibit (penangkaran bibit), sedang pengedar bibit melakukan kegiatan pengumpulan dan distribusi bibit kepada konsumen.
Kotler (2002) dalam Rachma (2008) menyatakan bahwa berdasarkan strukturnya, pasar dapat digolongkan menjadi dua, yaitu pasar bersaing sempurna dan pasar tidak bersaing sempurna. Pasar yang tidak sempurna berarti mengalami kegagalan pasar (market failure). Ciri-ciri pasar bersaing sempurna antara lain sebagai berikut :
1. terdapat banyak penjual dan pembeli.
2. Harga mencerminkan biaya produksi dan konsumsi. 3. Pertukaran informasi sempurna (symetric information). 4. Penjual dan pembeli bebas keluar masuk pasar.
25
operasional dapat dilakukan melalui marjin tataniaga, farmer’s share, dan biaya tataniaga (Kohl dan Uhl, 2002). Marjin tataniaga adalah perbedaan harga yang diterima produsen dibanding harga yang dibayar konsumen. Efisiensi sistem tataniaga dapat dilihat dari distribusi marjin tataniaga yang merata antar tiap-tiap pelaku.
G. Biaya Transaksi
Kegagalan pasar akibat informasi, kompetisi, sistem kontrak, dan jual beli yang asimetris menimbulkan biaya transaksi (transaction cost). Menurut North (1991), biaya transaksi adalah biaya untuk mengukur nilai atribut barang dan jasa yang akan dipertukarkan (information cost), biaya untuk melindungi hak atas barang (exclusion cost), biaya untuk menetapkan kontrak (contractual cost), dan biaya untuk menjalankan kontrak (policing cost).. Adanya biaya transaksi akan memperkecil keuntungan dari perdagangan. Suatu kelembagaan ekonomi dianggap efisien apabila biaya transaksinya dapat diminimumkan.
Hobbs (1997) dan Yustika (2006) membagi biaya transaksi menjadi tiga kelompok berikut :
a. Biaya untuk menyiapkan kontrak (dapat diartikan sebagai biaya untuk pencarian dan informasi), termasuk di dalamnya adalah biaya untuk menentukan mitra dalam pertukaran, serta biaya mengumpulkan informasi mengenai harga, kualitas, dan jumlah suatu produk.
b. Biaya untuk mengeksekusi kontrak, termasuk di dalamnya biaya komisi, biaya negosiasi syarat-syarat pertukaran dalam kontrak, dan biaya membuat kontrak formal.
c. Biaya pengawasan (monitoring) dan pemaksaan kewajiban yang tertuang dalam kontrak (enforcing the contractual obligations), meliputi biaya pemantauan pelaksanaan syarat-syarat kontrak (dalam hal ini kualitas dan kuantitas produksi benih, pengedaran benih) akibat adanya persoalan bencana moral (moral hazard).
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Mei dan Juni 2009. Pengambilan sampel sumber benih yang mennjadi lokasi penelitian dilakukan secara purposive, yaitu sumber-sumber benih yang mewakili masing-masing kategori sumber benih bersertifikat seperti yang disebutkan dalam Falah (2008) pada Bab II, yaitu : 1) sumber benih skala kecil yang diusahakan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau kelompok tani (KT); 2) skala menengah, yang diusahakan oleh perusahaan bukan HTI; dan 3) skala besar, yang diusahakan oleh pemegang ijin usaha Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI).
. Penelitian dilaksanakan di dua propinsi di Kalimantan, yaitu Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, dengan pertimbangan di kedua propinsi tersebut cukup mewakili kondisi yang diuraikan dalam situasi masalah sertifikasi sumber benih di Kalimantan, dan terdapat keterwakilan berbagai kategori pengusahaan sumber benih bersertifikat.
Pengambilan data juga dilakukan pada instansi-instansi terkait di wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, yaitu :
1). Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) Banjarbaru dan Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten/Kota sebagai pemegang kewenangan sertifikasi. 2). Pengelola sumber benih yang telah disertifikasi di wilayah Kalimantan Timur
dan Kalimantan Selatan. Dalam penelitian ini, pengambilan sampel data sumber benih dilakukan secara purposive berdasar kategori pengusahaan sumber benih yang telah disebutkan. Untuk masing-masing kategori diambil dua sampel sumber benih, yaitu :
a. Pemegang sertifikasi sumber benih adalah instansi pemerintah (sebelum Permenhut P.01/2009), LSM atau badan hukum koperasi. Pengambilan data akan dilakukan di sumber benih Datar Alai, Kec. Batang Alai, Kab. Hulu Sungai Selatan, dan LSM Gaharu Persada, Kab. Balangan, Kalimantan Selatan.
27
Univ. Mulawarman), Kec. Samboja, Kab. Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, serta PT Girilusindo Landscape di Kota Samarinda, Kalimantan Timur.
c. Pengelola adalah pemegang HPHTI, di PT ITCI Kartika Utama, Kenangan, Kab. Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, serta PT INHUTANI III di Kalimantan Selatan.
3). Konsumen benih :
a. Konsumen benih tingkat pertama yaitu HTI-HTI, petani penangkar bibit, atau badan-badan hukum pengada bibit dan pengedar benih dan bibit. Pengambilan da