• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. METODE PENELITIAN

3.4.6 Analisis kadar protein enzim (Lowry et al. 1951)

Pembuatan kurva standar dilakukan dengan memasukkan larutan BSA kedalam tabung reaksi dengan volume masing-masing 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,5; 0,6; 0,7; 0,8; 0,9 dan 1,0 mL. Blanko dipersiapkan dengan membuat larutan tanpa protein standar.

Pada setiap tabung reaksi ditambahkan air hingga volume total 4 mL dan 5,5 mL pereaksi C, dicampur secara merata dan dibiarkan selama 10-15 menit pada

suhu kamar. Pada masing-masing tabung reaksi ditambahkan 0,5 pereaksi folin ciocalteu, larutan dikocok merata dengan cepat sesudah penambahan. Larutan dibiarkan selama lebih kurang 30 menit sampai warna biru terbentuk dan diukur absorbansinya pada 750 nm, kemudian dibuat kurva standar.

3.4.7 Analisis total fenol dengan metoda folin-ciocalteu (Orak 2006)

Sampel sebanyak 0,3 g dilarutkan sampai 10 mL dengan metanol:air (1:1) Larutan sampel dipipet 0,2 mL, ditambahkan 15,8 mL akuabidest, dan 1 mL reagen Folin–Ciocalteu kemudian dikocok. Larutan didiamkan selama 8 menit dan ditambahkan 3 mL Na2CO3 20% kemudian didiamkan selama 2 jam pada suhu kamar. Sampel dianalisis menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang serapan maksimum 765 nm yang akan memberikan komplek biru. Larutan induk asam galat dibuat dengan menimbang 0,25 g asam galat, ditambahkan 5 mL etanol 96 %, dan ditambahkan akuabidest sampai 50 mL, sehingga diperoleh konsentrasi 5 mg/mL. Larutan induk diencerkan dengan akuabidest sampai

28

konsentrasi 50, 100, 150, 200, 250, dan 300 mg/L asam galat. Larutan asam galat ditambahkan 1 mL reagen Folin Ciocalteu lalu dikocok. Larutan didiamkan selama 8 menit tambah 3 mL larutan Na2CO3 dikocok sampai homogen kemudian didiamkan selama 2 jam pada suhu kamar. Larutan diukur absorbansinya pada panjang gelombang serapan maksimum 765 nm, lalu dibuat kurva kalibrasinya hubungan antara konsentrasi asam galat (mg/L) dengan absorban.

3.4.8 Penentuan komposisi beta karoten (Zhao et al. 2004)

Kadar beta karoten ditentukan dengan metode HPLC. Sampel dielusi dengan HPLC Shimadzu Liquid Chromatograph, kolom C18 15 cm x 4 mm, detector UV-VIS Photodiode Array, dengan fasa gerak metanol : asetonitril : tetrahidrofuran (75:20:5) pada kecepatan alir 1,2 mL/menit. Eluen dimonitor menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 400 nm.

3.4.9 Penentuan komposisi astaxanthin (Lee et al. 1999)

Kadar astaxanthin ditentukan dengan menggunakan metode HPLC. Sampel sebanyak 0,3 mL direaksikan dalam 5 mL aseton kemudian diinjeksikan dalam HPLC melalui kolom ODS (25 cm X 4,6 mm dengan ukuran partikel 5µm). Sampel dielusi menggunakan campuran metanol : diklorometan : asetonitril : air (67,5:22,5:9,5:0,5) dengan daya alir 1 mL/mnt. Eluen dimonitor menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 450 nm.

3.4.10 Uji aktivitas antioksidan metode 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH) (Okawa 2001)

Ekstrak ditimbang sebanyak 10 mg, kemudian dilarutkan dengan 10 mL metanol dalam labu ukur 10 mL, maka didapatkan konsentrasi 1 mg/mL. Pengenceran dilakukan dengan menambahkan metanol sehingga diperoleh sampel dengan konsentrasi (10, 30, 50, 70, 90 g/mL). Penentuan aktivitas antioksidan masing-masing konsentrasi dipipet sebanyak 0,2 mL larutan sampel dengan pipet mikro dan dimasukan ke dalam vial, kemudian tambahkan 3,8 mL larutan DPPH

29

50 M. Campuran dihomogenkan dan dibiarkan selama 30 menit ditempat gelap, serapan diukur dengan spektrofotometer UV - Vis pada panjang gelombang 515 nm, sebagai pembanding digunakan asam askorbat (konsentrasi 2,3,4,5,6 g/mL) dengan perlakuan yang sama dengan sampel uji. Aktivitas antioksidan sampel ditentukan oleh besarnya hambatan serapan radikal DPPH melalui perhitungan persentase inhibisi serapan DPPH dengan menggunakan rumus :

Inhibisi (%) = 100% kontrol A sampel A -kontrol A Keterangan :

A kontrol = Serapan radikal DPPH 50 M pada panjang gelombang 515 nm.

A Sampel = Serapan sampel radikal DPPH 50 M pada panjang gelombang 515 nm.

Aktivitas antioksidan juga dapat diekspresikan dalam ascorbic acid equivalent antioxidant capacity (AEAC) (Leong dan Shui 2002) menggunakan persamaan sebagai berikut :

AEAC = -AA)) x [ ] AA(mg/mL mL

Keterangan :

A0 = Absorbansi kontrol A1 = Absorbansi sampel AA = Asam Askorbat

Perhitungan IC50 atau inhibiton concentration berdasarkan pada persamaan berikut : IC50 = IC50 askorbat / AEAC (mgAA /100 g)

100.000

3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Pada penelitian ini variabel proses yang diduga berpengaruh terhadap kualitas astaxanthin yang dihasilkan adalah konsentrasi HCl dan konsentrasi enzim. Pada proses demineralisasi dicobakan HCl pada empat konsentrasi yaitu 0; 0,75; 1,00; dan 1,25 dengan tiga kali ulangan. Pada proses ekstraksi astaxanthin dicobakan dua jenis enzim yaitu pepsin dengan tiga taraf konsentrasi yaitu 2, 3, dan 4% dan papain dengan tiga taraf konsentrasi yaitu 4, 6, dan 8%. Ulangan dilakukan sebanyak tiga kali. Rancangan percobaan yang digunakan untuk melihat pengaruh HCl dan

30

pengaruh konsentrasi enzim adalah rancangan acak lengkap faktor tunggal dengan model linier (Torrie & Steel 1995). Persamaan yang digunakan adalah:

Yij = µ + Ai + εij

Keterangan:

Yij = Respon percobaan karena pengaruh faktor A taraf ke-i, ulangan ke-j = Nilai tengah umum atau rataan

Ai = Pengaruh taraf ke-i (i = 0; 0,75; 1,00; dan 1,25 M) atau (i = , 2, 3, dan 4%) atau (i = 4, 6, dan 8%) dimana faktor A (A = Konsentrasi HCl atau enzim pepsin atau papain)

εij = Kesalahan percobaan karena pengaruh faktor ke-A taraf ke-i pada ulangan ke-j (j= 1, 2, 3)

Jika hasil analisis berbeda nyata, dilanjutkan uji lanjut Tukey (w). Rumus yang digunakan:

w = qα (p,fe)SY

Keterangan:

qα = (Ymaks– Ymin) / SY ; fe = derajat bebas galat

p = t adalah banyaknya perlakuan; SY = s/ (n)1/2

31

4. HASIL PEMBAHASAN

4.1 Penelitian Pendahuluan

Pada tahap ini dilakukan demineralisasi untuk menghilangkan atau melarutkan mineral didalam kepala udang yang dilakukan menggunakan larutan kimia yang bersifat asam. Komponen mineral tersebut dapat dilarutkan dengan penambahan asam encer seperti asam klorida, asam sulfat atau asam laktat (Bastaman 1989). Analisis kimia yang diuji adalah kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein.

4.1.1 Karakteristik bahan baku kepala udang vanname

Komposisi kimia kepala udang dipengaruhi oleh faktor endogenus dan faktor

eksogenus. Faktor endogenus yang mempengaruhi komposisi kimia udang antara lain faktor genetik, jenis kelamin, ukuran, tingkat, dan kematangan gonad, sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi adalah suhu, salinitas, habitat, musim jenis komposisi, dan ketersediaan makanan (Gocke et al. 2004).

Bahan baku yang digunakan adalah limbah kepala udang mentah yang diperoleh dari limbah hasil pengolahan perusahaan di daerah Muara Baru, Jakarta. Data analisis bahan baku kepala udang vanname dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi proksimat bahan baku kepala udang vanname mentah Parameter Persen (%) Kadar air 75,13 + 0,13 Kadar abu 7,05 + 0,07 Kadar lemak 1,98 + 0,32 Kadar protein 15,31 + 0,25

Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar air kepala udang vanname memiliki kandungan air yang tinggi yaitu 75,13% (bb) sedangkan kadar abu sebesar 7,05% (bb); kadar lemak 1,98% (bb); dan kadar protein sebesar 15,31% (bb). Nilai proksimat kepala udang vanname ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian

32

Babu et al. (2008) yang menyatakan kadar air Panaeus monodon yang hidup di alam memiliki kadar air 67,4%; kadar abu 9,1%; kadar lemak 1,2%; dan kadar protein 11,3% sedangkan Panaeus monodon yang dibudidayakan memiliki kadar air 77,00%; kadar abu 6,0%; kadar lemak 1,7%; dan kadar protein 13,7%.

Perbedaan nilai kadar air lebih dipengaruhi oleh tingkat kekeringan sampel saat dipreparasi. Perbedaan kadar lemak dipengaruhi oleh jenis udang dan fase hidup udang saat dipanen. Udang pada fase molting memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi (Cuzon & Guillaume 2001). Abu pada kepala udang merupakan makro dan mikro mineral yang diserap oleh udang melalui insang, kulit dan mulut untuk pembentukan jaringan kulit udang, seperti kalsium, magnesium, kalium dan fosfor (Kaushik 2001).

4.1.2 Pengaruh demineralisasi terhadap kadar air kulit kepala udang vanname

(Litopenaeus vannamei)

Semua bahan mengandung kadar air yang berbeda-beda, baik hewani maupun nabati. Kadar air merupakan karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut. Kadar air yang tinggi akan mengakibatkan bakteri, kapang dan khamir mudah berkembang biak sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan yang mempercepat proses pembusukan. Pada analisis kadar air, pemanasan menggunakan oven akan menguapkan air bebas dan air terikat secara fisik, banyaknya jumlah air yang menguap dihitung sebagai kadar air bahan (Winarno 2008). Menurut Sudarmadji et al. (1989) air dalam bentuk hidrat memiliki kemampuan terikat kuat sehingga sulit untuk dihilangkan atau diuapkan. Kadar air kepala udang yang mengalami proses demineralisasi berkisar antara 72,78-76,24%, hasil analisis kadar air kepala udang dapat dilihat pada Gambar 8.

33

Gambar 8 Nilai rata-rata kadar air kepala udang hasil demineralisasi. Notasi huruf yang sama pada histogram rata rata (a) menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (p < 0,05).

Hasil analisis ragam untuk pengaruh demineralisasi pada kadar air kepala udang (Lampiran 1) menunjukkan bahwa perlakuan demineralisasi tidak memberikan pengaruh yang nyata (p < 0,05) terhadap kadar air. Penggunaan konsentrasi larutan HCl yang masih rendah dan waktu perendaman yang singkat selama proses demineralisasi, belum dapat memutuskan semua ikatan hidrogen molekul air dalam membran atau jaringan matriks kepala udang sehingga belum dapat menghilangkan semua kandungan air terikat dalam kepala udang.

Molekul air yang terikat pada molekul lain seperti atom O dan N memerlukan energi yang besar untuk menghilangkannya. Energi yang diperlukan ini dapat berasal dari proses pemanasan biasa. Pemanasan akan memutus ikatan van der walls dan kovalen atom hidrogen sehingga mengurangi kemampuan air terikat dalam kepala udang untuk berikatan dengan senyawa lain (Winarno 2008).

4.1.3 Pengaruh demineralisasi terhadap kadar abu kulit kepala udang vanname

(Litopenaeus vannamei)

Kadar abu dapat menunjukkan kandungan mineral yang terdapat dalam bahan baku. Kadar abu kepala udang yang mengalami proses demineralisasi berkisar

34

antara 4,09-8,01%, hasil analisis kadar abu kepala udang dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Nilai rata-rata kadar abu kepala udang hasil demineralisasi. Notasi huruf yang berbeda pada histogram rata rata (a,b) menunjukkan berbeda nyata antar perlakuan (p < 0,05).

Hasil analisis ragam untuk pengaruh demineralisasi pada kadar abu kepala udang (Lampiran 2) menunjukkan bahwa perlakuan demineralisasi memberikan pengaruh yang nyata (p < 0,05) terhadap kadar abu. Uji lanjut Tukey (Lampiran 2) menunjukkan bahwa kadar abu kepala udang perendaman dalam HCl 0M berbeda nyata dengan kadar abu kepala udang yang telah direndam dalam HCl 0,75N; 1,00N dan 1,25N. Kadar abu kepala udang yang direndam dalam HCl cenderung mengalami penurunan sebesar 38,11-41,89% dari kadar abu kepala udang mentah sebesar 7,05%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi HCl 1,25N adalah konsentrasi terbaik untuk demineralisasi mineral dalam kepala udang, karena dapat menurunkan kadar abu kepala udang hingga 41,89%, hal ini dimungkinkan HCl merupakan asam kuat yang dapat mengurangi mineral. Menurut Bastaman (1989) mineral yang terdapat pada limbah udang sebagian besar berupa CaCO3 dan sebagian kecil berupa Ca3(PO4)2. Proses demineralisasi kepala udang akan mengubah CaCO3

35

CaCO3 + HCl CaCl2 + H2CO3

H2CO3 H2O + CO2

Ca3(PO4)2 + HCl CaCl2 + H3PO4

Konsentrasi HCl yang semakin tinggi akan mengakibatkan mineral yang terlepas dari ikatan khitin lebih banyak. Kulit kepala udang yang mengalami proses demineralisasi lebih lunak dibandingkan dengan yang direbus atau yang dikukus. Semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan akan semakin memperlunak tekstur kepala udang. Hal ini dimungkinkan mineral yang terdapat pada kepala udang mulai berkurang. Suharto (1984) dan Winarti (1992), menyatakan bahwa demineralisasi akan memperbesar volume partikel bahan (substrat), sehingga ikatan antar komponen menjadi renggang, dan mampu menghidrolisis gugus asetil pada khitin.

Komponen mineral tersebut dapat larut dalam asam encer seperti asam klorida, asam sulfat atau asam laktat (Bastaman 1989). Mineral yang terlarut dalam proses demineralisasi adalah Ca, P, Al, Mg, Fe, Na, dan K (Winarti 1992).

4.1.4 Pengaruh demineralisasi terhadap kadar lemak kulit kepala udang vanname

(Litopenaeus vannamei)

Lemak adalah senyawa yang memiliki ikatan organik yang terdiri dari C, H dan O yang memiliki sifat dapat larut dalam zat-zat pelarut tertentu (zat pelarut lemak). Lemak yang memegang peranan penting adalah lemak netral (Sediaoetama 2006). Menurut Poedjiadi (1994) lemak hewan pada umumnya berupa padatan pada suhu ruang, sedangkan lemak tumbuhan berupa zat cair. Kadar lemak kepala udang setelah mengalami proses demineralisasi berkisar antara hingga 0,50-0,92%, hal ini disajikan pada Gambar 10.

36

Gambar 10 Nilai rata-rata kadar lemak kepala udang hasil demineralisasi. Notasi huruf yang sama pada histogram rata rata (a) menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (p < 0,05).

Hasil analisis ragam untuk pengaruh demineralisasi pada kepala udang (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan demineralisasi tidak memberikan pengaruh yang nyata (p < 0,05) terhadap kadar lemak kepala udang. Kepala udang memiliki kandungan lemak sekitar 1%, proses demineralisasi dalam HCl dengan perlakuan konsentrasi tidak dapat menurunkan kadar lemak kepala udang. Kemungkinan hal ini disebabkan HCl merupakan pelarut yang bersifat polar, memiliki nilai kepolaran tinggi sehingga tidak dapat melarutkan lemak yang terdapat dalam kepala udang.

Lemak dalam bahan pangan merupakan lemak tidak murni yang bercampur dengan komponen lain yang disebut fraksi lipida. Fraksi ini dapat diekstraksi atau dilarutkan dalam pelarut yang bersifat nonpolar, seperti petroleum eter, etil eter, benzene, dan kloroform (Winarno 2008)

4.1.5 Pengaruh demineralisasi terhadap kadar protein kulit kepala udang vanname

(Litopenaeus vannamei)

Kadar protein merupakan senyawa-senyawa yang mengandung unsur nitrogen (N) seperti purin, purimidin dan senyawa lainnya. Kadar kadar protein kepala udang

37

setelah mengalami proses demineralisasi berkisar antara hingga 12,77-15,32%, grafik analisis kadar protein dalam kepala udang disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11 Nilai rata-rata kadar protein kepala udang hasil demineralisasi. Notasi huruf yang berbeda pada histogram rata rata (a,b) menunjukkan berbeda nyata antar perlakuan (p < 0,05).

Hasil analisis ragam untuk pengaruh demineralisasi pada kadar protein kepala udang (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan demineralisasi memberikan pengaruh yang nyata (p < 0,05) terhadap kadar protein kepala udang. Hasil uji lanjut Tukey (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perendaman dalam HCl 1,25M memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar protein kepala udang. Perendaman dalam HCl cenderung menurunkan kadar protein dalam kepala udang, hal ini dimungkinkan konsentrasi HCl yang semakin besar akan mengakibatkan banyak molekul protein yang terhidrolisis. Penurunan kadar protein yang berbeda nyata dengan demineralisasi menggunakan HCl 1,25 M dijadikan juga sebagai salah satu faktor penggunaan HCl pada konsentrasi 1,25 M sebagai larutan untuk proses demineralisasi kepala udang.

Proses hidrolisis protein akan menambah kepolaran protein sehingga molekul yang tidak larut dalam air akan menjadi larut selama proses perendaman. Kepolaran protein bertambah karena hidrolisis protein menyebabkan pemecahan ikatan peptida yang selanjutnya meningkatkan gugus NH2 dan COOH bersifat polar, sehingga

38

semakin berkurangnya kadar protein dalam bahan baku, karena terlarut dalam air perendaman (Harrow & Mazur 1961).

Hidrolisis protein diantaranya akan menghasilkan ammonia yang dapat terlepas selama proses dan merunkan kadar kadar protein dalam kepala udang. Perlakuan perendaman dengan bahan kimia mempunyai prinsip dapat menghancurkan atau meregangkan ikatan protein dengan khitin dan kalsium karbonat pada kulit udang, sehingga akan meningkatkan efektivitas cerna oleh enzim atau mikroorganisme dan pada gilirannya meningkatkan daya cerna limbah tersebut (West dan Todd 1964).

4.1.6 Uji aktivitas enzim pepsin dan papain

Enzim pepsin dan enzim papain merupakan enzim protease yang mengkatalisis hidrolisis molekul protein menjadi fragmen-fragmen yang lebih sederhana (Muchtadi et al. 1992). Faktor utama yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah konsentrasi enzim, substrat, produk, inhibitor, dan aktivator (Suhartono 1989). Aktivitas enzim pepsin dan papain pada variasi suhu dan pH berturut-turut dapat dilihat pada Gambar 12 dan 13.

(a) (b)

39

Enzim pepsin memiliki aktivitas spesifik pada suhu optimum 45 °C sebesar 129,12 U/mg protein sedangkan enzim papain memiliki aktivitas spesifik pada suhu optimum sebesar 50 °C sebesar 62 U/mg protein. Pada saat suhu dinaikkan terjadi kenaikan aktivitas spesifik enzim hingga mencapai maksimum, tetapi bila suhu terus dinaikkan aktivitas kedua enzim ini cenderung mengalami penurunan. Hal ini dimungkinkan terjadinya perubahan konformasi enzim pada sisi aktifnya.

Peningkatan suhu akan merusak interaksi nonkovalen, seperti ikatan hidrogen, ikatan van der walls, ikatan hidrofobik, dan interkasi elektrostatik yang menjaga struktur tiga dimensi enzim (Hames & Hoper 2000).

(a) (b)

Gambar 13 Aktivitas pada pH optimum : (a) enzim pepsin, (b) enzim papain.

Aktivitas enzim pepsin dan papain berdasarkan pH optimum menunjukkan bahwa enzim pepsin memiliki aktivitas total dua kali dibandingkan enzim papain. Enzim pepsin memiliki pH optimum 4,5 dengan aktivitas spesifik 129,12 U/mg protein sedangkan enzim papain memiliki pH optimum 6 dengan aktivitas spesifik 63,59 U/mg protein. Kondisi optimum enzim ini akan digunakan dalam proses ekstraksi karotenoid.

40

Enzim menunjukkan aktivitas yang maksimum dengan stabilitas yang tinggi pada kisaran pH optimum dengan rentang nilai pH tertentu. Protease pada umumnya memiliki kisaran pH optimum sebesar 1-2 nilai pH. Nilai pH optimum ini sangat dipengaruhi oleh kondisi saat pengukuran diantaranya jenis substrat yang digunakan. Berdasarkan nilai pH optimum tersebut protease dibagi menjadi protease alkali, netral dan asam (Aehle 2004). Enzim pepsin mempunyai daya katalitik yang lebih tinggi pada keasaman yang tinggi karena enzim pepsin diperoleh dari lambung (Mahdi dan Aulannia`am 2001).

4.2 Penelitian utama

Ekstraksi karotenoid dari kepala udang dilakukan dengan menggunakan enzim papain dan enzim pepsin, merupakan modifikasi dari metode Babu et al. (2008).

4.2.1 Karakteristik total fenol dari kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei) Senyawa fenolik merupakan senyawa kimia yang memiliki sebuah cincin aromatik yang mengandung satu atau lebih gugus hidroksi. Senyawa fenolik merupakan sumber antioksidan yang efektif, penahan radikal bebas dan pengkelat ion-ion logam (Shahidi & Wanasundara 1992). Pengukuran total fenol dilakukan dengan metode Folin-Ciocalteu yang didasarkan pada reaksi oksidasi-reduksi. Reagen folin terdiri dari asam fosfomolibdat dan asam fosfotungsat akan tereduksi oleh senyawa polifenol menjadi malibdenum-tungsen yang berwarna biru. Senyawa-senyawa fenol dapat menangkap radikal peroksida dan mengkelat logam besi yang mengkatalisa peroksida lemak (Andayani. 2008). Senyawa fenol ditemukan pada berbagai organisme baik hewan maupun tumbuhan tingkat rendah sampai tinggi (Lenny 2006).

Pada penentuan kadar senyawa fenolat total digunakan asam galat sebagai larutan standar. Standar asam galat didapat kurva kalibrasi dengan persamaan regresi Y = 0,00017x + 0,0411 dan harga koefesien korelasi (r) yaitu 0,9632. Nilai r yang mendekati 1 membuktikan bahwa persamaan regresi tersebut adalah linier dan simpangan baku yang kecil menunjukkan ketepatan yang cukup tinggi. Total fenol hasil ekstraksi menggunakan enzim pepsin berkisar antara 54,25–83,76 mgGAE/L

41

sedangkan total fenol hasil ekstraksi menggunakan enzim papain berkisar 27,00-49,35 mgGAE/L. Total kadar fenol hasil ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 14.

(a) (b)

Gambar 14 Kandungan total fenol hasil ekstraksi kepala udang menggunakan (a)enzim pepsin, (b) enzim papain. Notasi huruf yang berbeda pada histogram rata rata (a,b) menunjukkan berbeda nyata antar perlakuan (p < 0,05).

Hasil analisis ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa proses ekstraksi menggunakan enzim pepsin dan papain memberikan pengaruh yang nyata (p < 0,05) terhadap kandungan total fenol. Hasil uji lanjut Tukey (Lampiran 6) menyatakan bahwa ekstraksi menggunakan enzim pepsin 4 dan 2% memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil ekstraksi yang menggunakan enzim pepsin 3% serta ekstraksi menggunakan enzim papain 8% memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap kepala udang yang diekstraksi menggunakan enzim papain 4 dan 6%. Hasil ekstraksi yang menghasilkan total fenol terbesar dari enzim pepsin adalah 3% yang menghasilkan senyawa fenolat sebesar 83,76 mgGAE/L sedangkan konsentrasi enzim papain

terbaik adalah 8% yang dapat menghasilkan senyawa fenolik sebesar 49,35 mgGAE/L.

42

Kepala udang yang diekstraksi menggunakan enzim pepsin memiliki total kadar fenol yang lebih tinggi dibandingkan dengan kepala udang yang diekstraksi menggunakan enzim papain, hal ini dimungkinkan enzim pepsin merupakan enzim murni dibandingkan dengan enzim papain sehingga memiliki aktivitas dan spesifitas yang lebih baik. Enzim yang belum murni dimungkinkan didalamnya masih terdapat impuritis yang dapat menghalangi substrat terikat pada sisi aktif enzim. Efek impurities ini akan menurunkan kemampuan enzim dalam mengekstrak pigmen karotenoid sehingga senyawa fenol yang terekstrak dari kepala udang belum maksimal.

4.2.2 Profil beta karoten dari kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei)

Beta karoten termasuk pigmen karotenoid yang memiliki gugus kromofor, berupa ikatan rangkap terkonjugasi. Gugus kromofor ini yang menyebabkan terbentuknya warna pada karotenoid, semakin banyak ikatan rangkap terkonjugasi semakin mengarah kewarna merah atau oranye. Analisis beta karotenoid menggunakan metode HPLC memiliki prinsip bahwa respon yang diberikan adalah berdasarkan kemampuan adsorben dalam kolom untuk memisahkan komponen dari senyawa yang dianalisis, tentunya hal ini tergantung pada pelarut yang digunakan (Delia 2004). Identifikasi beta karoten menggunakan HPLC dengan kecepatannya yang tinggi dapat langsung digunakan dalam proses pemisahan serta penentuan kosentrasi (Bushway 1986). Analisis beta karoten menggunakan HPLC menggunakan kolom C18 (15 cm x 4 mm) detektor UV-VIS Photodiode Array dengan menggunakan fasa gerak isokratik metanol:asetonitril:tertahidrofuran (75:20:5) pada kecepatan alir 1,2 mL/menit pada suhu ruang dengan panjang gelombang 400 nm (Zhao et al. 2004).

Gambar 15 Profil standar beta karoten. Beta Karoten

43

Gambar 15. menunjukkan bahwa profil beta karoten waktu retensi 8,876 menit, luas area 5905,26 dengan konsentrasi sebesar 100 ppm. Kromatogram dari standar beta karoten dijadikan acuan untuk mencari profil beta karoten dalam hasil ekstraksi. Analisis profil beta karoten dalam hasil ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 16.

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

Gambar 16 Profil beta karoten untuk hasil ekstraksi menggunakan: (a) enzim pepsin 2%, (b) enzim pepsin 3%, (c) enzim pepsin 4%, (d) enzim papain 4%, (e) enzim papain 6% dan (f) enzim papain 8%.

Beta Karoten Beta Karoten Beta Karoten Beta Karoten Beta Karoten Beta Karoten

44

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kepala udang mengandung beta karoten, hal ini ditunjukkan dalam hasil kromatogram. Kromatogram menunjukkan bahwa terdapat kemunculan puncak pada waktu retensi sekitar 8 menit yang sesuai dengan standar beta karoten. Ekstraksi menggunakan enzim pepsin 3% dan enzim papain 8% memiliki kandungan beta karoten yang sama yaitu sekitar 15,58 ppm.

Hasil analisis menunjukkan bahwa selain beta karoten dimungkinkan terdapat senyawa karotenoid lainnya. Pigmen karotenoid yang ada dalam kepala udang selain beta karoten adalah astaxanthin, alfa karoten, cantaxanthin, lutein, zeaxanthin dan crustacyanin. Pigmen-pigmen karotenoid hasil analisa HPLC muncul pada waktu retensi 1 hingga 40 menit (Babu et al. 2008).

4.2.4 Profil astaxanthin dari kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei)

Kepala udang banyak mengandung pigmen karotenoid (Holanda dan Netto 2006). Astaxanthin merupakan pigmen dominan dalam kulit udang yang merupakan golongan karotenoid (Firdaus 2001). Astaxanthin memiliki kemampuan untuk menghambat terjadinya oksidasi tujuh kali lebih baik dibandingkan dengan beta karoten (Naguib 2000). Analisis kualitatif dan kuantitatif dilakukan dengan pengukuran konsentrasi astaxanthin menggunakan HPLC. Analisis astaxanthin menggunakan HPLC menggunakan kolom ODS (25 cm x 4,6 mm) detektor UV-VIS

Dokumen terkait