• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis karakteristik fisik merupakan upaya pendahuluan untuk mengetahui mutu dan sifat fisik dari beras varietas Ciherang ini. Analisa ini dapat digunakan untuk standardisasi mutu beras yang merupakan bagian dari penanganan pasca panen primer. Karakteristik fisik dari beras Ciherang ini juga dapat berguna untuk identifikasi lainnya. Hasil analisis ukuran dan lebar gabah dan beras Ciherang dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Ukuran dan nisbah gabah dan beras Ciherang

Produk Panjang (mm) Lebar (mm) Panjang/lebar

(p/l)

Gabah 9.79 ± 0.01 2.49 ± 0.09 4.0 ± 0.16

Beras 6.81 ± 0.03 2.07 ± 0.04 3.3 ± 0.07

Berdasarkan perhitungan nisbah panjang/ lebar beras varietas Ciherang dapat disimpulkan bahwa beras varietas Ciherang ini merupakan beras berukuran panjang (Long (6.6- 7.4 mm)), dan berbentuk lonjong (Slender, ≥ 3.0) (Ayap et al., 2001). Menurut Allidawati dan Kustianto (1989), konsumen beras di Indonesia biasanya menyukai beras dengan ukuran panjang medium (M) sampai panjang (L), dan pasaran internasional lebih menyukai beras berukuran panjang (L). Hal ini menunjukkan bahwa beras Ciherang ini dapat menjadi beras yang dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Tabel 9. Kualitas gabah varietas Ciherang

Komponen Mutu Besaran

Bobot seribu butir gabah 25.61 g/ 1000 butir Butiran hampa dan kotoran 4,3%

Angle of repose 29.31 ± 2.24o

Berdasarkan data pada Tabel 9. bobot seribu butir gabah Ciherang yaitu sebesar 25.61 g/1000 butir gabah. Nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan bobot seribu butir gabah yang dikeluarkan oleh Litbang Deptan

(2002), yaitu sebesar 27-28 g/1000 butir gabah. Bobot gabah yang berkurang atau tidak sesuai dengan bobot yang diharapkan dapat disebabkan karena kondisi setelah pembungaan yang tidak menguntungkan, misalnya karena kurangnya unsur-unsur hara yang tersedia (Taslim, H et al.,1989).

Butir hampa dan kotoran yang terdapat pada gabah varietas Ciherang ini adalah sebesar 4.3%. Jumlah ini tergolong besar, dan bahkan tidak memenuhi mutu gabah III menurut SNI 0224-1987-0 mengenai mutu gabah. Kemungkinan hal ini disebabkan adanya gabah selain butir hampa yang ikut terbuat sewaktu diayak. Selain itu menurut Damardjati (1979), pemanenan yang dilakukan pada kematangan yang tidak tepat akan menghasilkan penurunan mutu giling dan rendemen beras. Beras yang dipanen sebelum masak akan banyak mengandung gabah hampa, butir kapur, dan beras pecah yang tinggi.

Berdasarkan pengamatan peneliti, sebagian besar sawah di Kecamatan Telagasari telah dipanen sebelum waktunya karena pengaruh cuaca yang buruk dan adanya hama lembing/ kepinding tanah (Scotinophara coarctata). Hama lembing ini juga diperkirakan menjadi penyebab meningkatnya jumlah gabah hampa karena hama lembing ini menyerang butiran-butiran gabah, sehingga gabah menjadi kopong.

Gambar 1. Hama lembing yang menyerang padi di Kecamatan Telagasari.

Sudut curah suatu bahan dapat dijadikan suatu indikator kasar untuk menentukan kemudahan suatu bahan tersebut mengalir dalam sistem pengepakan dan penyimpanan. Carr dalam Peleg (1983)

menyatakan bahwa sudut curah sebesar ≤ 35o menandakan bahwa bahan tersebut mudah mengalir, sudut curah 35-45o menandakan bahwa bahan tersebut sedikit bersifat kohesif, sudut curah sebesar 45-55o menandakan bahwa bahan bersifat kohesif (kehilangan sifat mudah mengalir), dan sudut curah ≥ 55o menandakan bahan bersifat sangat kohesif dan sulit mengalir. Gabah Ciherang ini memiliki sudut curah sebesar 29.31o. Nilai ini menunjukkan bahwa gabah Ciherang ini termasuk ke dalam bahan yang mudah mengalir, sehingga ini termasuk bahan yang mudah dikemas dan disimpan.

Tabel 10. Karakteristik fisik beras varietas Ciherang

Komponen mutu Besaran

Densitas 819.4 g/ liter

Derajat sosoh 100 %

Derajat putih 42.3 %

Chalkiness 0

Bobot seribu butir beras 19.2 g/ 1000 butir Sudut curah (angle of repose) 23.8 ± 1.61o

Berdasarkan data pada Tabel 10, densitas beras merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menentukan karakteristik fisik dari beras Ciherang sekaligus untuk membedakan beras Ciherang dengan beras varietas lainnya. Berdasarkan pengukuran, diperoleh densitas beras Ciherang sebesar 819.4 g/ liter.

Pengukuran derajat sosoh meskipun dinyatakan secara kuantitatif, namun pengukurannya masih dilakukan dengan cara visual, sehingga masih bersifat subjektif. Derajat sosoh merupakan tingkat pembuangan lembaga, lapisan perikarp, dan aleuron dari butiran beras dalam proses penyosohan. Derajat sosoh dan persentase beras patah merupakan komponen utama yang menentukan mutu beras di Indonesia.

Beras Ciherang berdasarkan penelitian ini memiliki derajat sosoh 100%. Beras dengan derajat sosoh 100% menunjukkan bahwa seluruh lapisan katul bagian luar, semua kulit ari bagian dalam, dan sedikit endosperm telah dilepaskan dari butir beras tersebut. Semakin tinggi derajat sosohnya, maka beras akan semakin putih. Beras yang derajat

sosohnya rendah biasanya akan cepat mengalami ketengikan, karena beras tersebut masih memiliki lapisan dedak aleuron yang memiliki kandungan lemak yang tinggi (15-20%) (Kunze et al., 2004).

Sebagian besar konsumen menyukai beras dengan derajat sosoh yang tinggi, karena beras dengan derajat sosoh yang tinggi memiliki penampakan yang putih dan bersih. Namun sebenarnya beras dengan derajat sosoh yang tinggi justru memiliki nilai gizi yang lebih redah dibandingkan dengan beras dengan derajat sosoh rendah ataupun beras pecah kulit. Hal ini disebabkan karena pada beras dengan derajat sosoh yang tinggi, semua bagian yang mengandung nilai gizi tinggi seperti aleuron telah dihilangkan. Meskipun begitu, beras dengan derajat sosoh yang tinggi lebih tahan dalam hal penyimpanan dibandingkan dengan beras dengan derajat sosoh rendah, karena beras dengan derajat sosoh rendah mudah mengalami ketengikan.

Berbeda halnya dengan konsumen, derajat sosoh yang tinggi kadang dianggap merugikan bagi para produsen. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi derajat sosoh beras maka bobotnya akan berkurang. Selain itu semakin tinggi derajat sosoh juga kemungkinan menyebabkan butir patah semakin besar. Oleh sebab itu biasanya para produsen menggiling beras sampai derajat sosoh tertentu yang dianggap menguntungkan.

Derajat putih beras diukur dengan alat Whiteness Meter Kett, dengan menggunakan standar MgO yang memiliki derajat putih 81.6%. Beras Ciherang ini memiliki derajat putih sebesar 42.3%. Menurut Damardjati dan Purwani (1991), kadar protein beras berkorelasi negatif dengan derajat putih beras tetapi berkorelasi positif dengan rendemen beras kepala. Diduga hubungan ini terutama disebabkan oleh struktur protein beras yang sebagian besar berbentuk butiran protein (protein bodies). Butiran protein di dalam endosperm beras berperan sebagai pengepak granula pati. Makin tinggi protein maka beras akan semakin meningkat kekerasannya dan juga akan semakin tahan terhadap gesekan selama penyosohan biji, sehingga endosperm yang tersosoh semakin

rendah untuk waktu yang sama. Hal ini menyebabkan derajat putih biji semakin menurun.

Chalkiness atau pengapuran dapat disebabkan karena adanya pengepakan yang tidak rapat dalam sel- sel endosperm. Dikenal beberapa pengapuran dalam beras matang yaitu white core apabila pengapuran terletak pada bagian tengah endosperm dan tepi pada sisi ventral, white belly apabila pengapuran terjadi pada pertengahan dari sisi ventral, dan white back apabila pengapuran terdapat sepanjang sisi dorsal (Damardjati, 1988).

Chalkiness menurut Ikehashi dan Khush (1979) terbagi menjadi beberapa tipe, yaitu white center atau white core, white belly, milky white, dan opaque. Milky white merupakan beras yang memiliki pengapuran hampir di seluruh permukaan, kecuali pada bagian pinggirnya, sedangkan opaque memiliki butiran yang semua bagiannya mengalami pengapuran yang disebabkan karena pengisian yang tidak sempurna. Chalkiness ini dapat dipengaruhi oleh faktor genetik dan juga lingkungan (Brekenridge, 1979). Beras Ciherang memiliki nilai chalkiness 0 atau di dalam beras ini tidak ditemukan adanya pengapuran.

Menurut Allidawati dan Kustianto (1989), pengapuran pada beras ini akan hilang sewaktu dimasak dan tidak akan mempengaruhi rasa dan kepulenan nasi serta nilai gizinya. Namun selama ini konsumen lebih memilih beras dengan penampakan yang bening atau tingkat pengapurannya sedikit.

Pengapuran dalam endosperma ini selain diatur oleh faktor genetik juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti infeksi oleh penyakit blas leher dan temperatur udara pada fase pengisian butir. Suhu udara yang tinggi juga pada fase ini akan memperbesar pengapuran , dan sebaliknya pada daerah yang lebih rendah suhu udaranya, pengapuran ini dapat dikurangi. Oleh karena itu galur-galur hasil seleksi dari dataran tinggi dengan pengapuran beras kecil harus diuji kembali pada lingkungan yang lebih tinggi suhu udaranya (Allidawati dan Kustianto, 1989).

Beras Ciherang memiliki sudut curah sebesar 23.8o. Hal ini menunjukkan beras Ciherang ini tergolong bahan yang mudah mengalir, artinya beras ini juga mudah untuk disimpan, dipindahkan, dan diangkut. Tabel 11. Pemisahan beras pecah kulit

Tipe Butiran Persentase (%)

Butir Hijau 0.8 ± 0.01

Butir Kuning 0.8 ± 0.03

Butir Berkapur 0.4 ± 0.03

Butir kuning adalah butir utuh dan atau patah yang sebagian atau keseluruhan bijinya berwarna kuning. Penyebab utama warna kuning dari biji tersebut adalah adanya peragian , pembusukan, atau pertumbuhan jamur karena kurang sempurnanya proses pengeringan gabah setelah panen. Gabah dari hasil panen musim hujan yang tidak sempat segera dikeringkan akan banyak menghasilkan butir kuning (Damardjati dan Purwani, 1991). Berdasarkan data pada Tabel 11., butir kuning dari beras Ciherang ini adalah sebesar 0.8 ± 0.03%. Jumlah ini masih memenuhi standar SNI 0224-1987-0 untuk mutu gabah kualitas I.

Butir berkapur dari beras Ciherang ini yaitu sebesar 0.4 ± 0.03 %, sedangkan butir hijau sebesar 0.8 ± 0.01%. Jumlah butir berkapur dan butir hijau ini masih memenuhi mutu I untuk gabah, sesuai dengan SNI 0224-1987-0 untuk gabah. Menurut Ayap et al.(2001), beras yang memiliki chalky grain ≤ 2% dapat digolongkan ke dalam beras Premium. Oleh sebab itu beras varietas Ciherang ini dapat digolongkan ke dalam beras Premium atau memiliki tingkatan kualitas terbaik.

Butir berkapur dapat berasal dari biji yang masih muda atau karena pertumbuhan yang kurang sempurna. Butir berkapur ini juga dapat disebabkan karena adanya faktor genetik (Damardjati dan Purwani, 1991).

Adanya butir hijau dan butir mengapur merupakan sifat varietas di samping pengaruh lingkungan dan pengelolaan. Jarak tanam yang kurang rapat akan memperbanyak jumlah anakan yang akan membentuk tunas- tunas lambat dan pada akhirnya menyebabkan kematangan padi tidak

serempak sehingga persentase butir hijau meningkat. Begitu juga dengan perlakuan pemupukan N yang terlalu banyak dapat menimbulkan banyak anakan. Banyaknya anakan dapat menyebabkan terbentuknya lebih banyak daun, sehingga luas daun pada tiap satuan luas lahan atau ILD (Indeks Luas Daun) lebih besar. Hal ini akan menyebabkan daun saling menutupi sehingga proses fotosintesis dan proses pemasakan biji tidak sempurna karena sinar matahari yang dibutuhkan terhalang oleh daun (Damardjati dan Purwani, 1991).

Butir hijau banyak terbentuk apabila tanaman padi tumbuh dengan daun-daun yang saling menutupi (IDL=Indeks Luas Daun, lebih besar dari 7) selama fase pematangan. Sedangkan butir mengapur akan banyak terbentuk apabila proses pematangan gabah berlangsung pada suhu tinggi, sehingga proses ini berjalan terlalu cepat. Suhu optimum untuk pemasakan gabah adalah 29oC di siang hari pada 15 hari setelah heading (munculnya malai), selanjutnya 15 hari berikutnya adalah 26oC (siang) dan 16oC (malam) (Partohardjono et al., 1982).

Partohardjono et al. (1982) juga menyatakan bahwa ketidakmatangan gabah terutama disebabkan karbohidrat yang terbentuk tidak cukup untuk mengisi sejumlah spikelet yang ada dan asimilasi karbon setelah heading terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah gabah yang terbentuk. Di samping itu, pematangan spikelet dalam malai yang terbentuk oleh tunas-tunas lambat akibat pemupukan berat N setelah diferensiasi malai adalah sangat buruk.

Damardjati dan Purwani (1991) membuat skema terbentuknya butir mengapur dan butir hijau, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Skema pengaruh perlakuan prapanen terhadap mutu beras.

Dokumen terkait