SKRIPSI
KAJIAN SUSUT PASCA PANEN DAN PENGARUH KADAR AIR GABAH TERHADAP MUTU BERAS GILING VARIETAS CIHERANG
(Studi Kasus di Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang).
Oleh LISTYAWATI
F24103050
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KAJIAN SUSUT PASCA PANEN DAN PENGARUH KADAR AIR GABAH TERHADAP MUTU BERAS GILING VARIETAS CIHERANG
(Studi Kasus di Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang).
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : LISTYAWATI
F24103050
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
KAJIAN SUSUT PASCA PANEN DAN PENGARUH KADAR AIR GABAH TERHADAP MUTU GILING BERAS VARIETAS CIHERANG
(Studi Kasus di Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang).
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : LISTYAWATI
F24103050
Dilahirkan pada tanggal 22 November 1984 Di Bekasi, Jawa Barat
Tanggal lulus : 21 Juni 2007 Menyetujui:
Bogor, Juli 2007
Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
Listyawati. F24103050. Kajian Susut Pasca Panen dan Pengaruh Kadar Air Gabah Terhadap Mutu Beras Giling Varietas Ciherang (Studi Kasus di Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang). Di bawah bimbingan : Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS dan Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA. (2007)
RINGKASAN
Beras varietas Ciherang merupakan salah satu beras varietas unggul, namun dalam pemasarannya beras ini belum banyak dikenal oleh masyarakat banyak. Hal ini disebabkan karena beras Ciherang biasa dipasarkan tanpa merek. Beras varietas Ciherang ini banyak ditanam di daerah Karawang, Jawa Barat dikarenakan iklim dan keadaan tanah yang cocok untuk pertumbuhan beras varietas Ciherang ini. Salah satu daerah yang menanam beras varietas Ciherang ini adalah Kecamatan Telagasari, yang terletak di Kabupaten Karawang.
Keberhasilan dari upaya peningkatan produksi beras selain dengan upaya pembudidayaan dan perluasan lahan, juga sangat dipengaruhi oleh jumlah loss atau susut yang terjadi mulai dari pemanenan padi hingga penggilingan gabah menjadi beras. Salah satu kendala besar yang dihadapi oleh petani adalah masih tingginya loss pasca panen. Apabila kita dapat menekan jumlah loss yang terjadi selama pasca pemanenan, maka produktivitas beras secara nasional juga akan meningkat dan hal ini dapat memberikan keuntungan bagi berbagai pihak, mulai dari petani, masyarakat, juga pemerintah. Oleh sebab itu peneliti mencoba untuk menganalisis susut pasca panen yang terjadi di Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang. Berdasarkan hasil pengamatan, susut pasca panen yang terjadi di Kecamatan Telagasari adalah sebesar 8%, yang meliputi susut pemanenan sebesar 0.3%, susut perontokan sebesar 4.6%, susut pengeringan sebesar 1.3%, dan susut penggilingan sebesar 1.8%
RIWAYAT PENULIS
Penulis dilahirkan di Bekasi, 22 November 1984 dan merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis memulai pendidikannya di TK Mardi Yuana, dan selanjutnya penulis meneruskan pendidikannya di SD Mardi Yuana, SLTP Mardi Yuana, dan SMUN 3 Bogor. Pendidikan terakhirnya dia tempuh di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyelesaikan tugas akhirnya dengan melakukan penelitian yang berjudul ” Kajian Susut Pasca Panen dan Pengaruh Kadar Air Gabah terhadap Mutu Beras Giling Varietas Ciherang ( Studi Kasus di Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang)”. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Desember 2006 sampai dengan bulan April 2007. Penelitian ini bertempat di Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang, dan juga laboratorium ITP.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat-Nya lah skripsi ini
dapat saya selesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS. selaku Dosen Pembimbing Akademik
sekaligus dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas bimbingan,
masukan, dorongan, dan saran Bapak selama ini.
2. Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA selaku Dosen Pembimbing II. Terima
kasih atas masukan, dorongan dan saran Bapak selama saya
menyelesaikan tugas akhir saya.
3. Dr.Ir. Yadi Haryadi, Msc selaku dosen penguji. Terima kasih atas
kesediaan bapak sebagai penguji.
4. Keluargaku : Papa, Mama, Novi. Terima kasih telah memberikan
semangat, keceriaan, penghiburan, dan dukungannya. I love u all
5. Bapak Ujang, selaku pengurus KUD yang telah membantu saya selama di
Karawang
6. Bapak Hasanuddin dan Ibu Kurnia yang telah bersedia rumahnya
ditumpangi oleh saya selama berada di Karawang
7. Para petani di Kecamatan Telagasari, karawang yang telah membantu saya
memperoleh data untuk penelitian saya
8. Petugas Dinas Pertanian Karawang, terimakasih atas bantuan dan
dukungannya selama saya menjalankan penelitian di Karawang
9. Kak Pahrudin, terima kasih karena sudah mau bersusah-susah menemani
saya dan menjadi guide selama saya di Karawang.
10.Bapak Sulyaden yang telah membantu saya di Laboratorium Metatron
11.Sahabat-sahabatku : Rika, Aji, Agnes, Anas, Fena, Titin, Thia, Dina.
Thanks for all. Thanks for our beautiful friendships, thanks for your
supports, thanks for everything.
12.Teman-teman satu bimbinganku, Beti dan Natalia. Tetap semangat yah
dalam menjalankan penelitian dan tugas akhir. Perjuangan kita selama 4
tahun akan ditentukan disini. Terima kasih atas dukungan dan
13.Teman-teman TPG 40 : Andreas, Agus, Eko, Bebe, Lasty, Dion, Andal,
Wayan, Ari, Angel, Gilang, dan semua teman-teman sekalian yang tidak
dapat disebutkan satu persatu. Terimakasih untuk semua dukungannya.
14.Teman-teman SMPku : Ribkah, Heny, Kurniawan, Ito makasih yah buat
dukungannya selama penelitian dan pembuatan skripsi ini.
15.Para teknisi di Laboratorium ITP : Ibu Rubiyah, Teh Ida, Pak Gatot, Pak
Koko, Pak Rojak, Ibu Sri, dan teknisi lainnya yang telah membantu saya
dalam menyelesaikan penelitian saya
16.Program B dan Teh Dewi, terima kasih atas bantuannya dan dukungannya.
17.Semua pihak yang telah membantu, dan tidak dapat disebutkan
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ...v
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
I. PENDAHULUAN ...1
A. LATAR BELAKANG ...1
B. TUJUAN ...2
C. MANFAAT ...2
II. TINJAUAN PUSTAKA ...3
A. BERAS ...3
B. TANAMAN PADI ...7
C. BERAS CIHERANG ...8
D. PASCA PANEN ...8
E. KADAR AIR GABAH ...14
III. METODOLOGI PENELITIAN ...16
A. BAHAN ...16
B. ALAT ...16
C. METODE PENELITIAN ...16
1. Analisis Karakteristik Fisik ...16
2. Analisis Susut Pasca Panen ...19
3. Analisis Pengaruh Kadar Air terhadap Beras Giling ...22
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ...23
A. ANALISIS KARAKTERISTIK FISIK ...23
B. ANALISIS SUSUT PASCA PANEN ...30
1. Susut Pemanenan ...31
2. Susut Perontokan ...34
3. Susut Pengeringan ...37
C. ANALISIS PENGARUH KADAR AIR GABAH TERHADAP BERAS
GILING ...40
V. KESIMPULAN DAN SARAN ...47
A. KESIMPULAN ...47
B. SARAN ...47
DAFTAR PUSTAKA ...49
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Standardisasi tipe beras berdasarkan
ukuran dan bentuk biji ... 4
Tabel 2. Klasifikasi dan jumlah rekomendasi parameter kualitas beras ... 5
Tabel 3. Spesifikasi persyaratan mutu beras giling(SNI 01-6128-1999) ... 6
Tabel 4.Mutu beras : RSNI 01-6128-200x ... 6
Tabel 5. Mutu gabah menurut SNI 0224-1987-0 ... 7
Tabel 6. Beras varietas Ciherang ... 9
Tabel 7. Persentase susut pasca panen menurut BPS 1996... 12
Tabel 8. Ukuran dan Nisbah Gabah dan Beras Ciherang ... 23
Tabel 9. Kualitas Gabah Varietas Ciherang ... 23
Tabel 10. Karakteristik Fisik Beras Varietas Ciherang ... 25
Tabel 11. Pemisahan Beras Pecah Kulit ... 28
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Hama lembing yang menyerang
padi di Kecamatan Telagasari ... 24
Gambar 2. Skema pengaruh perlakuan
prapanen terhadap mutu beras. ... 30
Gambar 3. Grafik perhitungan susut
pasca panen di Kecamatan Telagasari ... 31
Gambar 4. Proses perhitungan susut pemanenan untuk perhitungan gabah yang
hilang (a), dan perhitungan gabah total hasil panen (b) ... 32
Gambar 5. Sabit biasa (kiri) dan sabit bergerigi (kanan) ... 33
Gambar 6 (a) Proses perhitungan susut perontokan
dengan menggunakan alas kontrol dan alas petani
dan (b). Penggebotan dengan menggunakan alas kontrol.. ... 35
Gambar 7. Grafik hubungan antara kadar air
DAFTAR LAMPIRAN
A. LATAR BELAKANG
Nasi merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat
Indonesia. Selain rasanya yang enak, nasi juga memiliki kecocokan untuk
dipadukan dengan berbagai lauk. Oleh sebab itu sebagian besar
masyarakat Indonesia menyukai nasi sebagai makanan pokok. Nasi yang
rasanya enak akan dihasilkan dari beras yang berasal dari beras yang
berkualitas bagus, yang salah satunya ditentukan oleh varietasnya.
Beras varietas Ciherang tergolong ke dalam beras unggulan. Hanya
saja masyarakat belum banyak mengetahui jenis beras ini. Hal ini
disebabkan karena jenis beras ini banyak dijual tanpa merek di pasaran.
Padahal luas produksi beras Ciherang ini menempati urutan nomor satu di
Jawa Barat pada musim tanam 2004 (Hermanto, 2006).
Beras yang akan diteliti oleh penulis adalah beras varietas
Ciherang yang berasal dari Karawang. Varietas Ciherang ini sekarang
mulai meluas penyebarannya. Uji yang dilakukan terhadap beras varietas
Ciherang ini diantaranya meliputi uji fisik untuk mengetahui karakteristik
fisik dari beras ini.
Mutu gabah dan kadar air gabah sebelum digiling dapat
mempengaruhi rendemen dan mutu beras giling yang dihasilkan. Bila
gabah yang akan digiling mencapai kadar air yang optimum maka akan
diperoleh rendemen dan mutu beras giling yang baik pula. Oleh sebab itu
perlu adanya pengeringan gabah yang tepat hingga mencapai kadar air
optimum tersebut.
Masalah utama dalam penanganan pasca panen padi yang sering
dialami oleh petani adalah tingginya kehilangan hasil selama pasca panen.
Kegiatan pasca panen meliputi proses pemanenan padi, penyimpanan
padi, perontokan padi, pengeringan gabah, dan penggilingan gabah hingga
menjadi beras. Masing-masing tahapan pasca panen tersebut
gabah dalam jumlah yang lebih besar. Oleh sebab itu diperlukan suatu
perhitungan besarnya penyusutan yang terjadi selama pemanenan, mulai
dari pemanenan padi, hingga pengeringan dan penggilingan, yang akan
berguna untuk menentukan tindakan dan upaya berlanjut yang berguna
untuk meningkatkan produksi beras ke depannya dengan mengurangi
penyusutan yang terjadi.
Berdasarkan hal tersebut penulis melakukan studi lapang langsung
ke Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang, untuk menghitung
penyusutan yang terjadi selama pemanenan. Selain itu penulis juga
mempelajari pengaruh kadar air gabah terhadap rendemen dan mutu beras
giling varietas Ciherang yang dihasilkan.
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mempelajari karakteristik fisik beras varietas Ciherang
2. Menghitung susut pasca panen beras varietas Ciherang di
Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang
3. Mempelajari pengaruh kadar air gabah terhadap rendemen dan
mutu beras giling yang dihasilkan
C. MANFAAT
Manfaat yang bisa diperoleh melalui penelitian ini yaitu :
1. Mengetahui mutu fisik beras varietas Ciherang yang dapat
dijadikan acuan untuk produksi beras berlabel
2. Mengetahui penyebab terjadinya kehilangan saat pemanenan dan
mendapatkan solusi untuk mengurangi kehilangan hasil panen
tersebut
3. Mengetahui kadar air gabah yang optimum untuk mendapatkan
A. BERAS
Beras merupakan tanaman Graminae yang termasuk ke dalam
genus Oryza Linn. Ada dua macam spesies yang biasa ditanam, yaitu spesies Oryza sativa Linn dan Oryza glaberrina. Spesies Oryza sativa Linn merupakan jenis spesies yang banyak ditanam di berbagai belahan
dunia, sedangkan spesies Oryza glaberrina merupakan beras spesifik yang biasa ditanam di daerah kecil di Afrika Barat (Grist, 1959).
Beras merupakan sumber utama kalori bagi sebagian besar rakyat
Indonesia. Pangsa beras pada konsumsi kalori total adalah 54,3%, atau
dengan kata lain setengah dari intake kalori masyarakat Indonesia bersumber dari beras (Harianto, 2001).
Berdasarkan ukuran dan bentuk beras, dalam standardisasi mutu
beras di pasaran internasional terdapat empat tipe ukuran panjang beras,
yaitu biji sangat panjang (extra long), biji panjang (long grain), biji sedang (medium grain), dan biji pendek (short grain). Berdasarkan nisbah panjang/ lebar, beras juga dibagi atas empat tipe, yaitu lonjong (slender), sedang (medium), agak bulat (bold), dan bulat (round) (Damardjati dan Purwani, 1991).
Secara umum, mutu beras dapat dikategorikan ke dalam 4
kelompok, yaitu (i) mutu giling, (ii) mutu rasa dan mutu tanak, (iii) mutu
gizi, dan (iv) standar spesifik untuk penampakan dan kemurnian biji
(misalnya besar dan bentuk beras, kebeningan (transluency), dan beras chalky). Sedangkan dalam program pemuliaan padi, komponen mutu beras dapat dikelompokkan atas (i) rendemen giling, (ii) penampakan, bentuk,
dan ukuran biji, dan (iii) sifat-sifat tanak dan rasa nasi (Damardjati dan
Purwani, 1991).
Mutu beras giling dikatakan baik apabila hasil dari proses
penggilingan diperoleh beras kepala yang banyak dengan beras patah
minimal. Mutu giling ini juga ditentukan dengan banyaknya beras putih
dengan nilai ekonomis dari beras. Salah satu kendala utama bagi produksi
beras adalah banyaknya beras yang pecah sewaktu digiling. Hal ini dapat
menyebabkan menurunnya mutu beras (Allidawati dan Kustianto, 1989)
Penggolongan beras berdasarkan ukuran dan bentuk biji telah
ditentukan oleh USDA seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Standardisasi tipe beras berdasarkan ukuran dan bentuk biji
Ukuran Skala USDA
Beras pecah kulit Beras giling
Panjang (mm)
Sangat panjang (extra long) 7.5 7.0
Panjang (long grain) 6.61-7.5 6.0-6.99
Sedang (medium grain) 5.51-6.6 5.5-5.99
Pendek (short grain) 5.51 5.0
Bentuk (rasio : panjang/lebar)
Lonjong (slender) 3.0 3.0
Sedang (medium) 2.1-3.0 -
Agak bulat (bold) 2.1 2.0-3.0
Bulat (round) - 2.0
Selain skala USDA, penggolongan tipe beras juga dilakukan oleh
Tabel 2. Klasifikasi dan jumlah rekomendasi parameter kualitas beras (Ayap et al., 2001).
Parameter Klasifikasi Jumlah
Rekomendasi Beras pecah kulit
(Brown rice)
Good (G) ≥ 80,0% ≥75.0 % (F hingga G) Fair (F) 75,0-79,0%
Poor (P) ≤75,0% Beras giling (Milled
rice)
Premium (Pr) ≥70,1% ≥ 65.1 % (G1 hingga Pr) Tingkat 1 (G1) 65,1-70,0%
Tingkat 2 (G2) 60,1-65,0% Tingkat 3 (G3) 55,1-60,0% Beras kepala (Head
rice)
Premium (Pr) ≥57,0% ≥48.0 % (G1 hingga Pr) Tingkat 1 (G1) 48,0-56,9%
Tingkat 2 (G2) 39,0-47,9% Tingkat 3 (G3) 30,0-38,9% Panjang beras (Grain
length)
Extra Long (EL)
≥7,5 mm ≥6.5 mm (L hingga EL) Long (L) 6,6-7,4 mm
Medium (M) 5.5-6.5 mm Short (S) ≤5.4 mm Bentuk beras (Grain
shape)
Slender (S) ≥3.0 ≥3.0 (Slender) Intermediate
(I)
2.0-3.0
Bold (B) ≤2.0 Pengapuran (Chalky
grains)
Premium (Pr) ≤ 2.0 % ≤5.0 % (G hingga Pr) Tingkat 1 (G1) 2.0-5.0 %
Tingkat 2 (G2) 5.1-10.0 % Tingkat 3 (G3) 10.1-15.0 % Kadar amilosa
(Amylose content)
Ketan (W) 0.0-2.0 % 20.1-25.0 % (Sedang) Sangat rendah
(VL)
2.1-10 %
Rendah (L) 10,1-15,0% Sedang (I) 20,1-25,0% Tinggi (H) >25% Suhu Gelatinisasi
(Gelatinization temperature)
Tinggi (H) 1-2 Tinggi-sedang (HI)
3
Sedang (I) 4-5 Rendah (L) 6-7
Spesifikasi persyaratan mutu beras giling telah diatur dalam SNI
01-6128-1999. Mutu beras giling menurut SNI ini dibedakan menjadi
beras mutu I, mutu II, mutu III, mutu IV, dan mutu V. Persyaratan mutu
Tabel 3. Spesifikasi persyaratan mutu beras giling(SNI 01-6128-1999)
No .
Komponen Mutu Satuan Mutu I Mutu II Mutu III Mutu IV Mutu V 1 Derajat sosoh
(min)
(%) 100 100 100 95 85
2 Kadar air (max) (%) 14 14 14 14 15
3 Beras kepala (min)
Butir utuh (min)
(%) 100 60 95 50 84 40 73 35 60 5
4 Butir patah (max) (%) 0 5 1 2.5 3.5
5 Butir menir (max) (%) 0 0 1 2 5
6 Butir merah (max) (%) 0 0 1 3 3
7 Butir kuning/ rusak (max)
(%) 0 0 1 3 5
8 Butir mengapur (max)
(%) 0 0 1 3 5
9 Benda asing (max) (%) 0 0 0.02 0.05 0.2
10 Butir gabah (max) (%) 0 0 1 2 3
11 Campuran varietas lain (max)
(%) 5 5 5 10 10
Saat ini telah dibuat RSNI mengenai mutu beras giling untuk
menggantikan SNI tahun 1999 tersebut. Beberapa perubahan yang terjadi
misalnya derajat sosoh untuk beras mutu III, pada SNI tahun 1999 yaitu
sebesar 100%, sedangkan berdasarkan RSNI, derajat sosoh untuk beras
giling mutu III yaitu sebesar 95%. Selain itu pada RSNI juga perubahan
terhadap komponen mutu beras lainnya seperti yang terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4.Mutu beras : RSNI 01-6128-200x
No Komponen mutu Satuan Mutu
I II III IV V
1 Derajat sosoh (min) (%) 100 100 95 95 95
2 Kadar air (max) (%) 14 14 14 14 14
3 Butir kepala (min) (%) 95 89 78 73 60
4 Butir patah total (max) (%) 5 10 20 25 35
5 Butir menir (max) (%) 0 1 2 2 5
6 Butir merah (max) (%) 0 1 2 3 3
7 Butir kuning/rusak (max)
(%) 0 1 2 3 5
8 Butir mengapur (max) (%) 0 1 2 3 5
9 Benda asing (max) (%) 0 0.02 0.0
2 0.0 5
0.2 0 10 Butir gabah (max) Butir/
100gr
Berbeda dengan beras, persyaratan mutu gabah tidak mengalami
perubahan hingga saat ini. Persyaratan mutu gabah ini diatur dalam SNI
0224-1987-0, yang dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Mutu gabah menurut SNI 0224-1987-0
No. Parameter Mutu Mutu
I II III
1 Kadar air (% maksimum) 14,0 14,0 14,0
2 Gabah hampa (% maksimum) 1,0 2,0 3,0
3 Butir rusak +butir kuning (% maksimum) 2,0 5,0 7,0 4 Butir mengapur +gabah muda
(% maksimum)
1,0 5,0 10,0
5 Butir merah (% maksimum) 1,0 2,0 4,0
6 Benda asing (% maksimum) - 0,5 0,1
7 Gabah varietas lain (% maksimum) 2,0 5,0 10,0
B. TANAMAN PADI
Tanaman padi dapat tumbuh pada daerah bersuhu tinggi dan
mendapat sinar matahari yang lama. Temperatur rata-rata yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan tanaman padi ini berkisar antara 20-37.8oC (Grist,
1959). Pertumbuhan tanaman padi ini dipengaruhi oleh suhu daerah
penanaman, lamanya daerah tersebut terkena sinar matahari, keadaan
tanah, pH tanah, kandungan sulfit pada tanah, dan salinitas tanah (Grist,
1959). Padi baru dapat dipanen setelah mencapai kematangan, yaitu
berkisar antara 90-260 hari, tergantung kepada lingkungan dan kondisi
iklim (Grist, 1959).
Varietas padi sawah yang berpotensi menghasilkan gabah dalam
jumlah yang tinggi dapat ditentukan dari tipe tanaman padinya. Tipe
tanaman padi yang dapat menghasilkan gabah dalam jumlah yang banyak
yaitu padi yang tanamannya pendek, tidak rebah, penyebaran cahayanya
baik, daunnya tegak, daun benderanya lebih tinggi daripada malai,
daunnya pendek dan tegak, pembentukan anakannya baik, dan anakan
Tanaman padi juga dapat mengalami rebah dalam kondisi tertentu.
Tentu saja tanaman padi yang rebah ini akan merugikan petani karena
dapat padi akan menjadi lebih rentan dari kerusakan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kerebahan tanaman padi yaitu tinggi tanaman, dimana
semakin tinggi tanaman maka semakin tinggi pula kecenderungan untuk
rebah; cara bertanam, dimana cara bertanam pindah lebih tahan terhadap
rebah karena dasar tanamannya lebih terbenam; tipe pelepah daun;
ketebalan batang, dimana semakin tebal batang semakin tahan terhadap
rebah; hujan dan angin; intensitas cahaya; jarak tanam; dan jumlah pupuk
(Anonim, 1980).
C. BERAS CIHERANG
Beras Ciherang merupakan salah satu beras varietas unggul.
Berdasarkan data survei MT 2005, beras Ciherang menempati urutan
pertama berdasarkan luas tanam, mengalahkan beras varietas IR 64,
terutama di daerah Jawa Barat. Beras Ciherang unggul dengan luas tanam
0.73 juta ha, atau 33% lebih luas dari areal tanam IR 64 (Hermanto, 2006).
Ciherang ini merupakan beras hasil persilangan beras IR 64 dengan beras
varietas lain, oleh sebab itu beras varietas Ciherang ini memiliki sifat
unggul yang mirip dengan IR 64, yaitu memiliki hasil dan mutu beras
yang tinggi. Ciri-ciri umum dan morfologi beras varietas Ciherang
ditampilkan pada Tabel 6.
D. PASCA PANEN
Secara umum mutu beras dipengaruhi oleh empat faktor utama,
yaitu sifat genetik, lingkungan dan kegiatan prapanen, perlakuan
pemanenan, dan perlakuan pasca panen (Damardjati, 1988). Rangkaian
kegiatan pasca panen di tingkat petani sangat mempengaruhi terjadinya
butir patah pada beras. Rangkaian kegiatan pasca panen ini meliputi
kegiatan pemanenan, perontokan, pembersihan, pengeringan, pengemasan,
penyimpanan, dan penggilingan.
Allidawati dan Kustianto (1989) menyatakan bahwa
stress. Ketahanan ini dikenal sebagai crack resistance. Secara umum, varietas atau galur yang berukuran beras panjang (6.61 mm) dan yang
mempunyai pengapuran dalam endospermanya akan menghasilkan beras
kepala lebih sedikit bila dibandingkan dengan yang berukuran medium
(5.50-6.60 mm). Sifat ini dapat diturunkan secara genetik. Jumlah beras
kepala ini akan sangat menentukan mutu dan harga beras di pasaran.
Tabel 6. Beras varietas Ciherang *)
Komoditas: Padi sawah
Tahun: 2002
Anakan produktif: 14-17 batang
Anjuran: Cocok ditanam pada musim hujan
dan kemarau dengan ketinggian di bawah 500 m dpl
Asal persilangan: IR 18349-53-1-3-1-3/IR 19661-131-3-1//IR 19661-131-3-1-///IR 64////IR 64
Bentuk Gabah : Panjang ramping Bobot Gabah : 1000 butir – 27-28 gr Dilepas Tahun : 2000
Golongan : Cere
Hasil: 5-8,5 t/ha
Nomor Pedigri : S3383-id-Pn-41-3-1
Tahan hama : Wereng coklat biotipe 2 dan 3
Tahan penyakit : Bakteri Tawar Daun (HDB) strain III dan IV
Tekstur nasi : Pulen
Kadar amilosa : 23%
Bentuk tanaman : Tegak Tinggi tanaman : 107-115 cm Umur tanaman : 116-125 hari Warna Gabah : Kuning bersih
Kerontokan : Sedang
Kerebahan : Sedang
Pemulia : Tarjat T, Z. A. Simanullang,., E. Sumadi dan Aan A. Daradjat.
Status : Non komersial
Kontak: Balai Penelitian Tanaman Padi *) Litbang Deptan, 2002
Umur panen padi dapat ditentukan berdasarkan beberapa hal, yaitu
umur tanaman menurut deskripsi varietas, kadar air gabah, metode
dan Hasanuddin, 1997). Waktu (umur) panen berdasarkan umur tanaman
sesuai dengan deskripsi varietas dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya varietas, iklim, dan tinggi tempat, sehingga umur panennya
berbeda berkisar antara 5-10 hari. Berdasarkan kadar air, padi yang
dipanen pada kadar air 21-26% memberikan hasil produksi optimum dan
menghasilkan beras bermutu baik (Damardjati,1979; Damardjati et al.,1981).
Cara lain dalam penentuan umur panen yang cukup mudah
dilaksanakan adalah metode optimalisasi.Dengan metode optimalisasi,
padi dipanen pada saat malai berumur 30 – 35 hari setelah berbunga rata
(HSB) sehingga dihasilkan gabah dan beras bermutu tinggi (Rumiati dan
Soemadi,1982). Penentuan saat panen yang umum dilaksanakan petani
adalah didasarkan kenampakan malai, yaitu 90 – 95 % gabah dari malai
tampak kuning (Rumiati, 1982). Berdasarkan pengamatan secara visual,
pemanenan sudah dapat dilakukan apabila bagian ujung malai sudah
berwarna jernih dan keras serta sebagian besar biji pada pangkal malai
sudah dalam keadaan keras (Damardjati, 1979).
Secara praktis, maka cara penetapan panen dengan melihat warna
bulir banyak dilakukan oleh petani Indonesia. Penetapan warna bulir ini
berkaitan erat dengan fase pematangan bulir secara fisiologis. Menurut
Tjiptadi dan Nasution (1976), berdasarkan hal ini maka dikenal beberapa
stadia matang bulir padi sebagai berikut :
a. Stadia matang susu
Stadia matang susu terjadi pada saat malai padi mulai
terlihat terkulai. Apabila butir gabah dipijit akan terdapat cairan
berwarna putih susu. Pengangkutan zat-zat hara dari daun ke
bulir terjadi pada stadia ini. Sekalipun gabahnya sudah memiliki
daya untuk berkecambah, namun demikian panen pada stadia ini
akan sangat merugikan hasilnya, karena walaupun gabah ini
memiliki volume maksimum namun pada waktu dikeringkan,
b. Stadia matang kuning
Seluruh pertanaman tampak menguning, dan bagian yang
masih hijau adalah bagian buku-buku daun sebelah atas. Isi
gabah sudah mengeras, tetapi dengan pijitan tangan isi gabah
masih patah. Pengangkutan zat-zat hara dari daun ke malai
sudah berakhir.
c. Stadia matang penuh
Buku-buku daun sebelah atas telah menjadi berwarna
kuning tua, sedangkan batang-batang mulai kering. Isi gabah
tidak dapat dipecahkan dengan pijitan tangan. Isi gabah (tepung)
menjadi putih / bening tergantung dari varietas. Bagi varietas
padi yang mudah rontok, pada stadia ini gabah masih belum
rontok dari malainya.
d. Stadia matang mati (mutlak)
Seluruh pertanaman sudah terlihat mati, dan isi gabah
mudah mengeras dan kering. Pada varietas yang mudah rontok,
dengan menggoyangkan tanaman sedikit saja maka gabah dapat
jatuh.
Menurut Tjiptadi dan Nasution (1976), pemanenan sebaiknya
dilakukan pada stadia matang kuning agar menghindari pencurian dan
cuaca buruk seperti angin kencang yang dapat merontokkan gabah,
menghindari gabah rontok karena apabila dipanen terlambat berakibat
kehilangan butir gabah yang lemas, rontok terlebih dahulu. Pemanenan
dilakukan pada stadia matang kuning ini juga untuk mendapatkan
rendemen yang maksimum.
Menurut Setyono et al.(2001), titik kritis kehilangan hasil pada pemanenan padi terutama terjadi pada tahap : 1) pemotongan padi, 2)
pengumpulan potongan padi, dan 3) pada proses perontokan. Kehilangan
tersebut umumnya disebabkan oleh perilaku para pemanen, baik disengaja
maupun tidak disengaja.
Alat panen yang sering digunakan dalam pemanenan padi, adalah
diintroduksikannya varietas –varietas unggul baru padi yang memiliki
potensi hasil tinggi dan berpostur pendek, maka terjadi perubahan
penggunaan alat panen dari ani-ani ke penggunaan sabit biasa/sabit
bergerigi. Dalam pemanenan padi tersebut menyebabkan kehilangan hasil
rendah (Damardjati et al.,1988, Nugraha et al., 1990).
Data kehilangan hasil nasional menurut BPS tahun 1996
ditampilkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Persentase susut pasca panen menurut BPS 1996
No. Tahap Kegiatan Susut (%)
1 Pemanenan 9.52
2 Perontokan 4.78
3 Pengangkutan 0.19
4 Pengeringan 2.13
5 Penggilingan 2.19
6 Penyimpanan 1.61
Total 20.51 (BPS, 1996).
Cara panen dengan mesin perontok akan menimbulkan kerusakan
mekanis pada gabah yang berupa keretakan biji akibat pukulan oleh alat
perontok yang berbentuk jeruji-jeruji. Keretakan tersebut mempunyai
hubungan erat dengan kepatahan beras setelah digiling (Damardjati dan
Purwani, 1991). Persentase beras kepala yang tinggi akan mempengaruhi
mutu pasar, dimana semakin tinggi persen beras kepala maka harganya
akan semakin tinggi pula.
Penggilingan beras berfungsi untuk menghilangkan sekam dari
bijinya dan lapisan aleuron, sebagian maupun seluruhnya agar
menghasilkan beras yang putih serta beras pecah sekecil mungkin. Setelah
gabah dikupas kulitnya dengan menggunakan alat pecah kulit, kemudian
gabah tersebut dimasukkan ke dalam alat penyosoh untuk membuang
lapisan aleuron yang menempel pada beras. Selama penyosohan terjadi
penekanan terhadap butir beras sehingga terjadi butir patah. Menir
merupakan kelanjutan dari butir patah menjadi bentuk yang lebih kecil
daripada butir patah (Damardjati, 1988).
Nilai rendemen beras giling dipengaruhi oleh banyak faktor yang
adalah faktor yang mempengaruhi rendemen melalui pengaruhnya
terhadap mutu gabah sebagai bahan baku dalam proses penggilingan, yang
meliputi varietas, teknik budidaya, cekaman lingkungan, agroekosistem,
dan iklim. Kelompok kedua merupakan faktor penentu rendemen yang
terlibat dalam proses konversi gabah menjadi beras, yaitu: teknik
penggilingan dan alat penggilingan. Kelompok ketiga menunjukkan
kualitas beras, terutama derajat sosoh yang diinginkan, karena semakin
tinggi derajat sosoh, maka rendemen akan semakin rendah.
Susut mutu dari suatu hasil giling dapat diidentifikasikan dalam
nilai derajat sosoh serta ukuran dan sifat butir padi yang dihasilkan.
Umumnya semakin tinggi derajat sosoh , persentase beras patah menjadi
semakin meningkat pula. Ukuran butir beras hasil giling dibedakan atas
beras kepala, beras patah, dan menir (Anonim, 1983).
Susut giling juga dipengaruhi oleh mutu gabah pra penggilingan.
Faktor mutu gabah yang paling berpengaruh adalah kadar air dan
persentase gabah hampa serta kotoran atau benda asing. Selain itu susut
giling dipengaruhi oleh perlakuan pra penggilingan seperti pengeringan,
pembersihan, maupun teknologi penggilingan yang digunakan (Anonim,
1983).
Damardjati (1988), telah mengamati perubahan struktur biji beras
selama proses pematangan biji hingga lewat matang yang diamati
menggunakan mikroskop elektron scanning. Apabila umur gabah yang dipanen masih muda, maka umumnya terbentuk biji mengapur yang
berwarna putih kelam karena ikatan antar granula pati masih longgar dan
belum kompak. Ikatan antar granula pada biji yang telah matang menjadi
padat dan kompak, dengan butiran-butiran protein yang terdapat di
sela-sela granula pati yang berfungsi sebagai pengepak. Sebaliknya pada biji
lewat matang, akan tampak struktur retakan-retakan dalam biji dan terjadi
pengkerutan granula-granula pati sehingga mengurangi kekompakan
ikatan antar granula.
Biji yang dipanen muda , karena ikatan antar granula pati masih
penggilingan, dan lebih mudah rusak dalam penyimpanan oleh infestasi
serangga dan penyakit. Sebaliknya, biji yang dipanen lewat matang
banyak mengalami keretakan sejak dari lapang yang menyebabkan mudah
pecah sewaktu penggilingan (Damardjati, 1988).
E. KADAR AIR GABAH
Gabah dan serealia lainnya dipandang merupakan bahan pangan
yang penting karena sifatnya yang mampu mempertahankan mutu selama
penyimpanan dengan baik. Kadar air merupakan faktor utama yang
menentukan daya simpan gabah yang dipengaruhi oleh suhu, oksigen,
kondisi biji, lama penyimpanan, dan faktor biologik (cendawan dan
serangga) (Damardjati, 1988).
Dalam kondisi normal, sekam memiliki peranan besar dalam
melindungi beras terhadap kerusakan yang disebabkan oleh cendawan,
walaupun secara tidak langsung. Biji padi yang disimpan dalam
kelembaban nisbi 80% dan suhu 22-25oC, memiliki kadar air
kesetimbangan 13.9% untuk gabah dan 14,9% untuk beras pecah kulit dan
beras giling. Selain sebagai barrier terhadap penetrasi cendawan, sekam juga dapat mencegah timbulnya ketengikan dengan melindungi lapisan
dedak yang kaya akan minyak dari kerusakan mekanis selama pemanenan,
penggilingan, dan penanganan selanjutnya (Damardjati, 1988).
Beras dan gabah sama seperti organisme hidup lainnya,
mengalami respirasi. Pada proses respirasi ini akan dihasilkan CO2, air
dan energi. Bersama dengan gabah maupun itu sendiri, organisme yang
berasosiasi dengannya akan bernapas dan berkontribusi terhadap
keseluruhan aktivitas pernapasan , terutama di dalam kondisi dimana
kadar air gabah, kelembaban relatif (RH), dan suhu mendukung
pertumbuhan mikrobial (Siebenmorgen dan Meullenet, 2004).
Laju respirasi yang tinggi, terutama respirasi yang terjadi dalam
waktu yang lama akan menyebabkan kerusakan pada beras maupun gabah.
Kerusakan ini diantaranya perubahan warna dari biji menjadi berwarna
disimpan dalam keadaan kadar air yang tinggi. Laju respirasi ini dihitung
berdasarkan laju terbentuknya CO2. Laju respirasi ini juga akan
meningkatkan suhu dan menyebabkan timbulnya hot spot (titik panas) pada gabah (Siebenmorgen dan Meullenet, 2004).
Menurut Webb dan Calderwood (1977) diacu dalam Wadsworth
(1994), kadar air gabah berkaitan erat dengan rendemen beras kepala dan
derajat gilingnya. Dalam percobaannya, Webb dan Calderwood ini
melakukan penggilingan pada berbagai varietas beras dengan berbagai
range kadar air (6-18%). Gabah dengan kadar air yang berbeda ini
kemudian digiling dengan menggunakan alat penggiling yang telah diatur
pada tekanan yang berbeda-beda, untuk mendapatkan empat derajat giling
yang berbeda (well milled, reasonably well milled, lightly milled, dan undermilled). Gabah dengan kadar air rendah (6-10%) lebih tahan terhadap penggilingan pada setiap setting penggilingan dibandingkan dengan gabah dengan kadar air tinggi (14-16%). Selain itu gabah dengan
kadar air rendah membutuhkan tekanan yang lebih tinggi daripada gabah
dengan kadar air tinggi agar didapatkan beras dengan derajat giling/
derajat sosoh yang tinggi pula. Pada derajat sosoh yang sama, gabah
dengan kadar air yang tinggi menghasilkan rendemen beras kepala yang
lebih tinggi 1-3% dibandingkan dengan rendemen beras kepala yang
A. BAHAN
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabah,
beras pecah kulit, dan beras varietas Ciherang.
B. ALAT
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cera Moisture Tester, plastik, terpal 6 x 8 m, terpal 6 x 4 m, sabit, alat penggebot padi, karung, kotak pengukur densitas beras, tali rafia, tampah,
mesin penggiling padi, mesin penyosoh beras, husker skala lab merek Satake, alat penyosoh beras skala lab Satake, oven pengering, Whiteness Meter Kett, Grain Moisture Tester G-Won, timbangan, jangka sorong, Hardness Meter.
C. METODE PENELITIAN
1. Analisis Karakteristik Fisik
a. Ukuran dan Bentuk Gabah serta Beras Giling
Pengukuran panjang dan lebar gabah dan beras dilakukan
dengan menggunakan alat jangka sorong merek Carnier Valiper,
150x 0.05 mm, 6 x 1/128 in. Gabah dan diukur dengan 3 kali
ulangan dan pada masing-masing ulangan diambil 10 gabah untuk
diukur panjang, lebar, dan nisbah panjang/ lebarnya.
b. Densitas Beras
Densitas beras dihitung dengan menuangkan beras kepala
utuh pada alat pengukur densitas berbentuk kubus dengan volume 1
liter. Beras yang sudah dituang kemudian diratakan dan ditimbang
bobotnya.
c. Persentase Butir Hampa dan Kotoran
Sampel gabah sebanyak 100 gram ditempatkan pada
seluruh kotoran dan butir hampa jatuh ke tanah karena perbedaan
bobot.
d. Butir Hijau, Butir Kuning/ Rusak, dan Butir Berkapur
Sampel BPK (beras pecah kulit) diambil sebanyak 50 gram.
Kemudian dari sampel tersebut dianalisis secara manual butir
hijau, butir kuning rusak, dan butir berkapur, kemudian
masing-masing ditimbang dan dihitung presentasenya terhadap bobot awal
contoh. Beras pecah kulit ini adalah beras yang masih mempunyai
lapisan dedak, dan merupakan hasil dari gabah yang digiling
menggunakan alat Testing Husker Roll.
Perhitungan butir hijau, butir kuning/ rusak, butir mengapur
adalah sebagai berikut :
Bobot masing-masing tipe butir
B(%) = x 100%
Bobot sampel awal (50 gr)
e.Derajat Sosoh Beras
Penentuan derajat sosoh dilakukan secara visual dengan
indera mata. Derajat sosoh 100% yaitu jika dari hasil penyosohan
semua lembaga, seluruh lapisan katul bagian luar, semua kulit ari
bagian dalam, dan sedikit endosperm telah dilepaskan dari butir
beras tersebut, sedangkan derajat sosoh 95% adalah tingkat
terlepasnya sebagian besar bekatul dan lembaga dari butir beras
sehingga sisa yang terlepas sebesar 5%, demikian juga dengan
derajat sosoh 85%, lapisan bekatul dan lembaga yang melekat atau
belum terlepas pada butir beras sekitar 15%. Penentuan derajat
sosoh dengan cara ini bersifat subyektif , tapi cara penentuan ini
masih dipakai dalam analisis mutu beras karena mudah, murah,
dan cepat.
f. Derajat Putih
Pengukuran derajat putih beras dilakukan dengan
menggunakan MgO yang memiliki derajat putih 81.6 sebagai
standarnya. Pengukuran derajat putih beras dilakukan pada beras
utuh maupun beras yang sudah ditepungkan.
g. Chalkiness
Chalkiness pada beras Ciherang ini ditentukan dengan melakukan pengamatan secara visual. Beras kepala varietas
Ciherang dilihat secara visual apakah terdapat kekeruhan atau
adanya pengapuran, yang ditandai dengan adanya warna putih
keruh yang terdapat pada butiran beras. Tingkat kekeruhannya
dinilai dengan score, yaitu 0 (bening), 1 (sedikit berkapur/ kurang dari 10%), 5 (pengapuran sedang/ 10-20%), dan 9 (pengapuran
besar/ >20%).
h. Sudut Curah (Angle of Repose) (AOAC, 1984)
Pengukuran sudut curah dilakukan dengan menuangkan
secara langsung beras dan gabah varietas Ciherang,
masing-masing sebanyak 300 gram melalui suatu corong. Jarak antara
ujung corong dengan alas yaitu 15 cm. Selanjutnya beras yang
membentuk gunungan tersebut diukur diameter dan tingginya.
Pengukuran sudut curah dihitung dengan mengunakan rumus :
tinggi Sudut curah = arc tan
½ diameter
i. Bobot Seribu Butir Beras Giling dan Gabah
Beras giling dipilih beras kepalanya kemudian dihitung sampai
seribu butir. Selanjutnya beras tersebut ditimbang bobotnya.
Perhitungan bobot seribu butir ini dilakukan sebanyak 3 kali
ulangan. Perhitungan bobot seribu butir gabah juga dilakukan
dengan cara yang sama dengan perhitungan bobot seribu butir
2. Analisis Susut Pasca Panen
a. Susut Pemanenan
Susut atau losses pemanenan dilakukan dengan cara menghitung jumlah gabah yang hilang atau tercecer pada saat panen
atau pemotongan padi. Mula-mula dibuat ubinan secara acak pada
petak sawah yang berbeda, sebesar 1.5 m x 1.5 m, sebanyak 4
ulangan. Selanjutnya dilakukan pemotongan padi dengan
menggunakan sabit biasa, dan hasil pemotongan tersebut langsung
dimasukkan ke dalam karung untuk menjaga agar butiran gabah
tidak berceceran. Gabah atau padi yang tertinggal pada ubinan 1.5 m
x 1.5 m dikumpulkan dan ditimbang bobotnya (BH). Selanjutnya
padi yang sudah dikarungkan digebot/ dirontokkan dengan
menggunakan alas 6 m x 4 m, dan dihitung bobotnya (BP). Gabah
yang masih tertinggal di malai padi diasag satu per satu dan
ditimbang bobotnya (BA). Perhitungan susut dilakukan dengan
membandingkan jumlah gabah yang tercecer sewaktu panen dengan
jumlah gabah total yang dihasilkan.
Perhitungan susut panen adalah sebagai berikut :
BH
Spn = x 100%
BH+ BP+ BA
Dengan : BH: Bobot yang hilang
BP: Bobot hasil perontokan ubinan BA : Bobot asag
b. Susut Perontokan (Puspitasari, 2001)
Susut perontokan dilakukan dengan membandingkan
perontokan yang biasa dilakukan petani dengan kontrol. Kegiatan
yang dilakukan adalah, petani melakukan perontokan di atas alas/
lamporan miliknya tetapi di bawah alas tersebut dialasi oleh alas
berukuran 6 m x 8 m. Setelah berangkasan padi digebot, dilakukan
asag atau penyisiran pada malai untuk merontokan butiran gabah
yang masih tertinggal. Hasil perontokan pada alas petani dihitung
sebagai hasil produksi, sedangkan hasil dari alas kontrol dan asag
dihitung sebagai gabah yang tercecer. Kemudian hasil panen di alas
petani ditambah hasil di alas kontrol dan asag dihitung sebagai hasil
panen yang seharusnya.
Perhitungan susut perontokan adalah sebagai berikut :
Keterangan :
BP : Bobot gabah hasil perontokan petani BT : Bobot gabah yang tercecer di alas kontrol BA : Bobot gabah hasil asag
c. Susut Pengeringan (Puspitasari, 2001)
Perhitungan susut pada saat pengeringan dilakukan dengan
cara membandingkan cara penjemuran petani dengan kontrol. Untuk
cara kontrol yaitu dengan menjemur gabah di atas lamporan dan
selama penjemuran relatif diawasi. Sedangkan cara petani adalah
dengan menjemur gabah di atas lantai jemur dan tidak diawasi.
Kemudian bobot akhir masing-masing perlakuan dihitung lalu
dibandingkan dengan bobot awal sebelum dijemur. Hasil kontrol
dikurangi hasil dengan cara petani dihitung sebagai susut.
Perhitungan susut penjemuran adalah sebagai berikut :
Spj (%) = Sbk-Sbp
Sbk : Susut bobot kontrol ( %) Sbp : Susut bobot petani ( %)
BT + BA
Bm – Ba Sbk/Sbp = x 100 Bm
Bm : Bobot sampel awal
Ba : Bobot sampel akhir setelah dijemur
Bm dan Ba dihitung dalam keadaan kadar air 14%, konversi bobot
dalam keadaan kadar air 14 % adalah sebagai berikut :
100 – Ka
BK = x BB
100 – 14
BK : Bobot sampel pada kadar air 14 % BB : Bobot sampel pada kadar air sebenarnya Ka : Kadar air sampel
d. Susut Penggilingan (Puspitasari, 2001)
Susut penggilingan dihitung dengan membandingkan
rendemen beras yang digiling di Penggilingan KUD Telagasari,
Kabupaten Karawang dengan rendemen beras yang digiling di
laboratorium. Kegiatan ini dilakukan dengan 2 kali ulangan. Bobot
gabah yang digiling di laboratorium sebanyak 500 gram
masing-masing ulangan, sedangkan bobot gabah yang digiling di KUD
Telagasari jumlahnya tidak tentu, karena bergantung dari bobot
gabah per karungnya.
Rumus perhitungan susut penggilingan adalah sebagai
berikut :
Rk – Rp
Spg = x 100% Rk
Bobot beras giling (output)
Rk/Rp = x 100%
Bobot gabah ( input )
3. Analisis Pengaruh Kadar Air terhadap Beras Giling
Pengukuran pengaruh kadar air gabah terhadap mutu dan
rendemen beras dilakukan dengan memvariasikan kadar air gabah
sebelum digiling. Gabah sebanyak masing-masing 200 gram
dikeringkan dengan hingga mencapai 3 kadar air yang berbeda, yaitu
12%, 14%, dan 16%. Pengeringan gabah dilakukan pada suhu 40oC -
50oC hingga gabah memiliki kadar air sebesar 16%, 14%, dan 12%.
Pengkondisian gabah ini dilakukan masing-masing sebanyak 2
ulangan untuk kadar air yang berbeda. Gabah yang sudah mencapai
kadar air yang diinginkan ini selanjutnya digiling hingga dihasilkan
beras giling. Beras giling yang dihasilkan dihitung sebagai rendemen
hasil. Dan selanjutnya beras giling ini dipisahkan beras kepala, butir
patah, dan menir, dan dihitung persentasenya untuk dilihat mutu beras
yang dihasilkan.
Berdasarkan persyaratan yang dikeluarkan oleh Bulog, beras
kepala merupakan merupakan beras yang memiliki ukuran lebih besar
dari 6/10 bagian beras utuh. Beras patah memiliki ukuran butiran 2/10
bagian sampai 6/10 bagian beras utuh, dan menir memiliki ukuran
lebih kecil dari 2/10 bagian beras utuh atau melewati lubang ayakan
2,0 mm (Waries, 2006). Selain itu tingkat kekerasan dari
masing-masing butiran gabah juga diukur dengan menggunakan alat Hardness meter.
Perhitungan rendemen beras giling adalah sebagai berikut :
Bobot beras giling + menir
Rendemen (%) = x 100%
A. ANALISIS KARAKTERISTIK FISIK
Analisis karakteristik fisik merupakan upaya pendahuluan untuk
mengetahui mutu dan sifat fisik dari beras varietas Ciherang ini. Analisa
ini dapat digunakan untuk standardisasi mutu beras yang merupakan
bagian dari penanganan pasca panen primer. Karakteristik fisik dari beras
Ciherang ini juga dapat berguna untuk identifikasi lainnya. Hasil analisis
[image:36.612.176.500.282.338.2]ukuran dan lebar gabah dan beras Ciherang dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Ukuran dan nisbah gabah dan beras Ciherang
Produk Panjang (mm) Lebar (mm) Panjang/lebar
(p/l)
Gabah 9.79 ± 0.01 2.49 ± 0.09 4.0 ± 0.16
Beras 6.81 ± 0.03 2.07 ± 0.04 3.3 ± 0.07
Berdasarkan perhitungan nisbah panjang/ lebar beras varietas
Ciherang dapat disimpulkan bahwa beras varietas Ciherang ini merupakan
beras berukuran panjang (Long (6.6- 7.4 mm)), dan berbentuk lonjong (Slender, ≥ 3.0) (Ayap et al., 2001). Menurut Allidawati dan Kustianto (1989), konsumen beras di Indonesia biasanya menyukai beras dengan
ukuran panjang medium (M) sampai panjang (L), dan pasaran
internasional lebih menyukai beras berukuran panjang (L). Hal ini
menunjukkan bahwa beras Ciherang ini dapat menjadi beras yang dapat
diterima oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Tabel 9. Kualitas gabah varietas Ciherang
Komponen Mutu Besaran
Bobot seribu butir gabah 25.61 g/ 1000 butir
Butiran hampa dan kotoran 4,3%
Angle of repose 29.31 ± 2.24o
Berdasarkan data pada Tabel 9. bobot seribu butir gabah Ciherang yaitu sebesar 25.61 g/1000 butir gabah. Nilai ini lebih kecil dibandingkan
[image:36.612.167.497.548.630.2](2002), yaitu sebesar 27-28 g/1000 butir gabah. Bobot gabah yang
berkurang atau tidak sesuai dengan bobot yang diharapkan dapat
disebabkan karena kondisi setelah pembungaan yang tidak
menguntungkan, misalnya karena kurangnya unsur-unsur hara yang
tersedia (Taslim, H et al.,1989).
Butir hampa dan kotoran yang terdapat pada gabah varietas
Ciherang ini adalah sebesar 4.3%. Jumlah ini tergolong besar, dan bahkan
tidak memenuhi mutu gabah III menurut SNI 0224-1987-0 mengenai
mutu gabah. Kemungkinan hal ini disebabkan adanya gabah selain butir
hampa yang ikut terbuat sewaktu diayak. Selain itu menurut Damardjati
(1979), pemanenan yang dilakukan pada kematangan yang tidak tepat
akan menghasilkan penurunan mutu giling dan rendemen beras. Beras
yang dipanen sebelum masak akan banyak mengandung gabah hampa,
butir kapur, dan beras pecah yang tinggi.
Berdasarkan pengamatan peneliti, sebagian besar sawah di
Kecamatan Telagasari telah dipanen sebelum waktunya karena pengaruh
cuaca yang buruk dan adanya hama lembing/ kepinding tanah
(Scotinophara coarctata). Hama lembing ini juga diperkirakan menjadi penyebab meningkatnya jumlah gabah hampa karena hama lembing ini
[image:37.612.184.448.464.593.2]menyerang butiran-butiran gabah, sehingga gabah menjadi kopong.
Gambar 1. Hama lembing yang menyerang padi di Kecamatan Telagasari.
Sudut curah suatu bahan dapat dijadikan suatu indikator kasar
untuk menentukan kemudahan suatu bahan tersebut mengalir dalam
menyatakan bahwa sudut curah sebesar ≤ 35o menandakan bahwa bahan
tersebut mudah mengalir, sudut curah 35-45o menandakan bahwa bahan
tersebut sedikit bersifat kohesif, sudut curah sebesar 45-55o menandakan
bahwa bahan bersifat kohesif (kehilangan sifat mudah mengalir), dan
sudut curah ≥ 55o menandakan bahan bersifat sangat kohesif dan sulit
mengalir. Gabah Ciherang ini memiliki sudut curah sebesar 29.31o. Nilai
ini menunjukkan bahwa gabah Ciherang ini termasuk ke dalam bahan
yang mudah mengalir, sehingga ini termasuk bahan yang mudah dikemas
[image:38.612.176.513.278.377.2]dan disimpan.
Tabel 10. Karakteristik fisik beras varietas Ciherang
Komponen mutu Besaran
Densitas 819.4 g/ liter
Derajat sosoh 100 %
Derajat putih 42.3 %
Chalkiness 0
Bobot seribu butir beras 19.2 g/ 1000 butir Sudut curah (angle of repose) 23.8 ± 1.61o
Berdasarkan data pada Tabel 10, densitas beras merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menentukan karakteristik
fisik dari beras Ciherang sekaligus untuk membedakan beras Ciherang
dengan beras varietas lainnya. Berdasarkan pengukuran, diperoleh
densitas beras Ciherang sebesar 819.4 g/ liter.
Pengukuran derajat sosoh meskipun dinyatakan secara kuantitatif,
namun pengukurannya masih dilakukan dengan cara visual, sehingga
masih bersifat subjektif. Derajat sosoh merupakan tingkat pembuangan
lembaga, lapisan perikarp, dan aleuron dari butiran beras dalam proses
penyosohan. Derajat sosoh dan persentase beras patah merupakan
komponen utama yang menentukan mutu beras di Indonesia.
Beras Ciherang berdasarkan penelitian ini memiliki derajat sosoh
100%. Beras dengan derajat sosoh 100% menunjukkan bahwa seluruh
lapisan katul bagian luar, semua kulit ari bagian dalam, dan sedikit
endosperm telah dilepaskan dari butir beras tersebut. Semakin tinggi
sosohnya rendah biasanya akan cepat mengalami ketengikan, karena beras
tersebut masih memiliki lapisan dedak aleuron yang memiliki kandungan
lemak yang tinggi (15-20%) (Kunze et al., 2004).
Sebagian besar konsumen menyukai beras dengan derajat sosoh
yang tinggi, karena beras dengan derajat sosoh yang tinggi memiliki
penampakan yang putih dan bersih. Namun sebenarnya beras dengan
derajat sosoh yang tinggi justru memiliki nilai gizi yang lebih redah
dibandingkan dengan beras dengan derajat sosoh rendah ataupun beras
pecah kulit. Hal ini disebabkan karena pada beras dengan derajat sosoh
yang tinggi, semua bagian yang mengandung nilai gizi tinggi seperti
aleuron telah dihilangkan. Meskipun begitu, beras dengan derajat sosoh
yang tinggi lebih tahan dalam hal penyimpanan dibandingkan dengan
beras dengan derajat sosoh rendah, karena beras dengan derajat sosoh
rendah mudah mengalami ketengikan.
Berbeda halnya dengan konsumen, derajat sosoh yang tinggi
kadang dianggap merugikan bagi para produsen. Hal ini disebabkan
karena semakin tinggi derajat sosoh beras maka bobotnya akan berkurang.
Selain itu semakin tinggi derajat sosoh juga kemungkinan menyebabkan
butir patah semakin besar. Oleh sebab itu biasanya para produsen
menggiling beras sampai derajat sosoh tertentu yang dianggap
menguntungkan.
Derajat putih beras diukur dengan alat Whiteness Meter Kett, dengan menggunakan standar MgO yang memiliki derajat putih 81.6%.
Beras Ciherang ini memiliki derajat putih sebesar 42.3%. Menurut
Damardjati dan Purwani (1991), kadar protein beras berkorelasi negatif
dengan derajat putih beras tetapi berkorelasi positif dengan rendemen
beras kepala. Diduga hubungan ini terutama disebabkan oleh struktur
protein beras yang sebagian besar berbentuk butiran protein (protein bodies). Butiran protein di dalam endosperm beras berperan sebagai pengepak granula pati. Makin tinggi protein maka beras akan semakin
meningkat kekerasannya dan juga akan semakin tahan terhadap gesekan
rendah untuk waktu yang sama. Hal ini menyebabkan derajat putih biji
semakin menurun.
Chalkiness atau pengapuran dapat disebabkan karena adanya pengepakan yang tidak rapat dalam sel- sel endosperm. Dikenal beberapa
pengapuran dalam beras matang yaitu white core apabila pengapuran terletak pada bagian tengah endosperm dan tepi pada sisi ventral, white belly apabila pengapuran terjadi pada pertengahan dari sisi ventral, dan white back apabila pengapuran terdapat sepanjang sisi dorsal (Damardjati, 1988).
Chalkiness menurut Ikehashi dan Khush (1979) terbagi menjadi beberapa tipe, yaitu white center atau white core, white belly, milky white, dan opaque. Milky white merupakan beras yang memiliki pengapuran hampir di seluruh permukaan, kecuali pada bagian pinggirnya, sedangkan
opaque memiliki butiran yang semua bagiannya mengalami pengapuran yang disebabkan karena pengisian yang tidak sempurna. Chalkiness ini dapat dipengaruhi oleh faktor genetik dan juga lingkungan (Brekenridge,
1979). Beras Ciherang memiliki nilai chalkiness 0 atau di dalam beras ini tidak ditemukan adanya pengapuran.
Menurut Allidawati dan Kustianto (1989), pengapuran pada beras
ini akan hilang sewaktu dimasak dan tidak akan mempengaruhi rasa dan
kepulenan nasi serta nilai gizinya. Namun selama ini konsumen lebih
memilih beras dengan penampakan yang bening atau tingkat
pengapurannya sedikit.
Pengapuran dalam endosperma ini selain diatur oleh faktor genetik
juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti infeksi oleh
penyakit blas leher dan temperatur udara pada fase pengisian butir. Suhu
udara yang tinggi juga pada fase ini akan memperbesar pengapuran , dan
sebaliknya pada daerah yang lebih rendah suhu udaranya, pengapuran ini
dapat dikurangi. Oleh karena itu galur-galur hasil seleksi dari dataran
tinggi dengan pengapuran beras kecil harus diuji kembali pada lingkungan
Beras Ciherang memiliki sudut curah sebesar 23.8o. Hal ini
menunjukkan beras Ciherang ini tergolong bahan yang mudah mengalir,
[image:41.612.167.464.161.243.2]artinya beras ini juga mudah untuk disimpan, dipindahkan, dan diangkut.
Tabel 11. Pemisahan beras pecah kulit
Tipe Butiran Persentase (%)
Butir Hijau 0.8 ± 0.01
Butir Kuning 0.8 ± 0.03
Butir Berkapur 0.4 ± 0.03
Butir kuning adalah butir utuh dan atau patah yang sebagian atau
keseluruhan bijinya berwarna kuning. Penyebab utama warna kuning dari
biji tersebut adalah adanya peragian , pembusukan, atau pertumbuhan
jamur karena kurang sempurnanya proses pengeringan gabah setelah
panen. Gabah dari hasil panen musim hujan yang tidak sempat segera
dikeringkan akan banyak menghasilkan butir kuning (Damardjati dan
Purwani, 1991). Berdasarkan data pada Tabel 11., butir kuning dari beras Ciherang ini adalah sebesar 0.8 ± 0.03%. Jumlah ini masih memenuhi
standar SNI 0224-1987-0 untuk mutu gabah kualitas I.
Butir berkapur dari beras Ciherang ini yaitu sebesar 0.4 ± 0.03 %,
sedangkan butir hijau sebesar 0.8 ± 0.01%. Jumlah butir berkapur dan
butir hijau ini masih memenuhi mutu I untuk gabah, sesuai dengan SNI
0224-1987-0 untuk gabah. Menurut Ayap et al.(2001), beras yang memiliki chalky grain ≤ 2% dapat digolongkan ke dalam beras Premium. Oleh sebab itu beras varietas Ciherang ini dapat digolongkan ke dalam
beras Premium atau memiliki tingkatan kualitas terbaik.
Butir berkapur dapat berasal dari biji yang masih muda atau
karena pertumbuhan yang kurang sempurna. Butir berkapur ini juga dapat
disebabkan karena adanya faktor genetik (Damardjati dan Purwani, 1991).
Adanya butir hijau dan butir mengapur merupakan sifat varietas di
samping pengaruh lingkungan dan pengelolaan. Jarak tanam yang kurang
rapat akan memperbanyak jumlah anakan yang akan membentuk
serempak sehingga persentase butir hijau meningkat. Begitu juga dengan
perlakuan pemupukan N yang terlalu banyak dapat menimbulkan banyak
anakan. Banyaknya anakan dapat menyebabkan terbentuknya lebih
banyak daun, sehingga luas daun pada tiap satuan luas lahan atau ILD
(Indeks Luas Daun) lebih besar. Hal ini akan menyebabkan daun saling
menutupi sehingga proses fotosintesis dan proses pemasakan biji tidak
sempurna karena sinar matahari yang dibutuhkan terhalang oleh daun
(Damardjati dan Purwani, 1991).
Butir hijau banyak terbentuk apabila tanaman padi tumbuh dengan
daun-daun yang saling menutupi (IDL=Indeks Luas Daun, lebih besar dari
7) selama fase pematangan. Sedangkan butir mengapur akan banyak
terbentuk apabila proses pematangan gabah berlangsung pada suhu tinggi,
sehingga proses ini berjalan terlalu cepat. Suhu optimum untuk pemasakan
gabah adalah 29oC di siang hari pada 15 hari setelah heading (munculnya malai), selanjutnya 15 hari berikutnya adalah 26oC (siang) dan 16oC
(malam) (Partohardjono et al., 1982).
Partohardjono et al. (1982) juga menyatakan bahwa ketidakmatangan gabah terutama disebabkan karbohidrat yang terbentuk
tidak cukup untuk mengisi sejumlah spikelet yang ada dan asimilasi
karbon setelah heading terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah gabah yang terbentuk. Di samping itu, pematangan spikelet dalam malai yang
terbentuk oleh tunas-tunas lambat akibat pemupukan berat N setelah
diferensiasi malai adalah sangat buruk.
Damardjati dan Purwani (1991) membuat skema terbentuknya
Gambar 2. Skema pengaruh perlakuan prapanen terhadap mutu beras.
B. ANALISIS SUSUT PASCA PANEN
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi kehilangan hasil pada
saat pemanenan, yaitu umur panen padi, sifat varietas, sistem panen, dan
alat panen yang digunakan. Padi yang dipanen pada saat belum mencapai
keadaan masak secara penuh, maka akan menyebabkan gabah menjadi
tidak mudah dirontokkan, dan sebaliknya apabila gabah dipanen lewat
masa masaknya maka akan sangat mudah dirontokkan. Apalagi apabila
beras yang dirontokkan berasal dari varietas yang memang mudah rontok.
Beras varietas Ciherang ini merupakan jenis beras yang gabahnya cukup
mudah dirontokkan.
1. Penggarapan tanah kurang baik 2. Pemupukan tidak merata 3. Penanaman tidak teratur 4. Benih tidak murni 5. Pengairan tidak teratur
Pertumbuhan tanaman tidak
seragam
1. Jarak tanam tidak tepat 2. Pemupukan tidak tepat * dosis pemupukan N
terlalu tinggi
* waktu pemberian pupuk N tidak tepat
Pertumbuhan tidak merata dan perbungaan terlambat
Pertumbuhan spikelet yang berlebihan
Proses pematangan biji yang buruk
Butir Hijau Butir Mengapur
Perhitungan Susut Pasca Panen 0.3 4.6 1.3 1.8 0 1 2 3 4 5 Susut Pemanenan
Susut Perontokan Susut Pengeringan
Susut Penggilingan tahapan pasca panen
% su su t p asca pa ne n
Menurut Setyono et al. (1998), faktor penyebab kehilangan hasil panen diantaranya karena banyak gabah rontok saat pemotongan padi dan
pengumpulan, banyak malai padi yang tertinggal saat pengumpulan
potongan malai padi, banyak gabah yang tercecer pada saat perontokan
dengan cara digebot, dan perontokan yang kurang bersih, sehingga masih
banyak butir gabah yang masih menempel pada malainya.
Hasil perhitungan susut pasca panen di Kecamatan Telagasari
[image:44.612.170.495.246.411.2]disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Grafik perhitungan susut pasca panen di Kecamatan Telagasari
1. Susut Pemanenan
Berdasarkan hasil perhitungan pada Gambar 3. dapat dilihat bahwa total penyusutan pasca panen di Kampung Mekar Sari, Desa
Telaga Mulya, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang adalah
sebesar 8%. Menurut Damardjati (1979), penyusutan hasil padi sejak
dipanen hingga penyimpanan adalah sekitar 10-37%. Penyusutan/
losses yang terjadi pada saat pemanenan cukup kecil, yaitu sebesar 0.3%. Susut pemanenan ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan
susut pemanenan nasional, yaitu 9.52% (BPS, 1996). Perbedaan
persentase susut pasca panen ini dapat disebabkan karena perbedaan
metode yang digunakan untuk perhitungan susut pemanenan,
perbedaan tempat, serta perbedaan tahapan pasca panen yang dihitung.
dibatasi pada saat proses pemanenan/ pemotongan padi. Perhitungan
loss selama pengangkutan dari tempat pemotongan padi ke tempat perontokan tidak dihitung, karena diasumsikan tidak ada gabah yang
hilang selama pengangkutan. Hal ini disebabkan karena padi langsung
dimasukkan ke dalam karung setelah dipotong dengan menggunakan
sabit.
Penyusutan pada saat pemanenan ini dapat disebabkan karena
para petani masih menggunakan cara-cara tradisional pada waktu
pemanenan. Alat yang digunakan oleh petani di Kecamatan Telagasari
untuk memotong batang padi adalah sabit biasa. Penggunaan sabit
biasa ini akan meningkatkan resiko tercecernya gabah yang lebih
besar, karena tenaga yang dibutuhkan cukup besar, sehingga
menimbulkan goyangan yang dapat menyebabkan butiran padi
tercecer pada saat dipotong. Setyono et al. (1998) menyatakan bahwa goyangan dan tarikan batang padi yang terlalu kuat pada saat panen
dan juga kadar air gabah yang relatif rendah (21-23%) akan
memperbesar persentase gabah yang rontok dan hilang.
[image:45.612.185.513.418.582.2]
(a) (b)
Gambar 4. Proses perhitungan susut pemanenan untuk perhitungan gabah yang hilang (a), dan perhitungan gabah total hasil panen (b)
Saat ini Departemen Pertanian sudah menyarankan penggunaan
sabit gerigi, yang ketajamannya akan meningkat seiring dengan
bergerigi diharapkan dapat membantu mengurangi kehilangan pada
saat pemanenan, tetapi tetap dapat mengefisienkan waktu pemanenan.
Menurut Soemardi dan Thahir (1991), sabit bergerigi dengan jarak 2
mm, kedalaman 2 mm, dan kemiringan gigi 45o akan mempercepat
[image:46.612.184.470.199.292.2]pemotongan dan mengurangi susut.
Gambar 5. Sabit biasa (kiri) dan sabit bergerigi (kanan)
Sistem pemanenan yang biasanya dilakukan di Kecamatan
Telagasari ini adalah sistem keroyokan. Sistem keroyokan ini artinya
pemanenan dilakukan oleh banyak orang sekaligus, dimana upah yang
diperoleh disesuaikan dengan banyaknya hasil yang didapat oleh
masing-masing orang. Sistem keroyokan ini memiliki keutungan
membuat pemanenan lebih cepat selesai. Tetapi kerugiannya yaitu
banyak pemanen yang ingin memanen dengan cepat, akibatnya
goyangan pada saat memanen lebih besar dan menyebabkan gabah
yang rontok lebih banyak. Sebaiknya dilakukan pemanenan dengan
sistem kelompok, artinya membatasi jumlah orang yang memanen
padi.
Pada sistem pemanenan berkelompok ini jumlah pemanen
dibatasi jumlahnya, dan hanya yang mendapat ijin dari penggaraplah
yang boleh ikut memanen. Upaya ini dapat menurunkan jumlah gabah
yang tercecer, tetapi kelemahan dari sistem ini yaitu waktu yang
diperlukan untuk memanen seluruh sawah menjadi lebih lama.
Pemanenan dengan sistem berkelompok dan proses perontokan
dengan menggunakan alat perontok dapat membantu mengurangi
ini meliputi kehilangan pada semua tahapan proses pemanenan dan
pasca panen.
Setelah padi selesai dipanen biasanya padi ditumpukkan begitu
saja di atas sawah. Padi ini akan ditumpuk sampai siap untuk
dirontokkan keesokan harinya setelah padi pada beberapa bagian
sawah telah selesai dipanen. Hal ini dapat menimbulkan tercecernya
atau rontoknya gabah dari malai-malai padi tersebut. Apalagi gabah
Ciherang ini sangat mudah rontok atau terlepas dari malainya. Oleh
sebab itu sebaiknya disediakan tempat untuk menampung malai-malai
padi yang baru dipanen tersebut, misalnya dengan menggunakan alas
terpal atau karung untuk mengangkut padi yang siap dirontokkan. Hal
ini bertujan agar jumlah gabah yang tercecer dapat dikurangi.
2. Susut Perontokan
Perontokan adalah proses yang dilakukan setelah pemanenan
dilakukan. Biasanya para petani melakukan perontokan padi sehari
setelah pemanenan dilakukan. Proses perontokan padi ini dilakukan
apabila seluruh proses pemanenan selesai dilakukan.
Perontokan padi di Kecamatan Telagasari Kabupaten Karawang
ini dilakukan dengan cara menggebot padi pada alat perontok atau alat
penggebot yang terbuat dari kayu atau bambu. Batang padi yang sudah
dipanen kemudian dipukul-pukulkan ke alat penggebot sebanyak 7-8
kali hingga butir-butir gabah terlepas. Para petani biasanya
menngunakan alas terpal yang berukuran sekitar 2 m x 3 m. Bahkan
karena harga terpal yang dianggap cukup mahal bagi petani, sebagian
besar petani mengggunakan alas yang terbuat dari beberapa karung
bekas yang disambungkan dan dijahit.
Peneliti mencoba untuk menghitung loss yang diperoleh dengan menggunakan bantuan alas terpal besar berukuran 6 m x 8 m. Alas
terpal besar ini diletakkan di bawah alas yang biasa digunakan oleh
dan dihitung bobotnya. Hasil inilah yang selanjutnya dikonversi ke
perhitungan berdasarkan luas lahan per Hektarnya.
(a) (b)
Gambar 6 (a) Proses perhitungan susut perontokan dengan menggunakan alas kontrol dan alas petani, dan (b). Penggebotan dengan menggunakan alas kontrol.
Susut perontokan yang terjadi adalah sebesar 4.6 ± 0.25%. Susut
perontokan ini masih lebih kecil jumlahnya dibandingkan dengan
susut nasional dalam tahapan perontokan, yaitu sebesar 4.78%. Susut
yang terjadi pada saat perontokan ini dapat terjadi karena alas yang
digunakan petani kurang besar. Ukuran alas atau biasa disebut
lamporan yang umumnya digunakan oleh petani berkisar antara 2 m x
2 m sampai 3 m x 3 m. Sebagian besar petani di Kecamatan Telagasari
ini membuat sendiri lamporannya dari karung-karung bekas yang
disambungkan dan dijahit membentuk bujur sangkar. Berdasarkan
pengamatan dapat dillihat bahwa banyak butiran-butiran gabah yang
terlempar keluar alas pada saat perontokan dilakukan, dan tercecer
begitu saja di tanah. Jumlah yang tercecer ini mencapai 0,1 kg untuk
ubinan sebesar 2,5 m x 2,5 m. Nilai ini setara dengan kehilangan
sebesar 160 kg gabah untuk 1 Ha sawah. Hal ini menunjukkan bahwa
di Desa Telaga Mulya dengan luas lahan sawah sebesar 60 Ha saja
telah terjadi kehilangan sebesar 9,6 ton gabah.
Perontokan dilakukan dengan cara menggebot atau
[image:48.612.177.504.141.288.2]bambu atau kayu. Jumlah pukulan yang disarankan oleh Departemen
Pertanian adalah sebanyak 10-12 kali. Hal ini dimaksudkan agar
butir-butir gabah dapat terlepas semua. Pada kenyataannya, para petani
biasanya hanya memukul-mukulkan batang padi tersebut sebanyak 7-8
kali. Hal ini menyebabkan masih ada gabah yang tertinggal di batang
padi.
Fenomena ini menyebabkan banyak orang yang menjadi
pengasak. Pengasak adalah orang yang di luar tenaga pemanen yang
pekerjaannya mengumpulkan gabah, malai yang tercecer, padi tidak
terpotong, atau gabah tidak terontok untuk dirinya sendiri setelah
pemanenan atau perontokan selesai (Setyono, 2006). Adanya
pengasak ini terkadang menyebabkan para pemanen sengaja tidak
merontokkan malai padi secara maksimal, sehingga hasil yang
didapatkan pengasak lebih banyak.
Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan hasil gabah yang
tertinggal di batang padi, setelah dikumpulkan (diasag) dan ditimbang,
mencapai 0,2 kg gabah untuk ubinan 2,5 m x 2,5 m. Hal ini setara
dengan kehilangan sebesar 320 kg per Ha sawah.
Dengan demikian, jumlah total kehilangan pada tahapan
perontokan ini adalah sekitar 480 kg per ha sawah, dimana 160 kg loss didapatkan dari gabah yang tercecer di sekitar lamporan dan loss sebesar 320 kg berasal dari gabah hasil asag. Jumlah ini merupakan
angka yang cukup besar, yang apabila dapat dikurangi maka dapat
membantu meningkatkan pendapatan maupun produksi beras nasional.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi susut
perontokan ini adalah dengan menggunakan alas atau lamporan yang
lebih luas. Peneliti mencoba menggunakan alas sebesar 6 m x 8 m
sebagai pembanding. Gabah yang dihasilkan dari penggunaan alas
yang lebih luas ini 4% lebih banyak dibandingkan gabah yang
dihasilkan dari penggunaan alas petani. Penggunaan alas yang