• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.9. Karakteristik Responden dengan Kinerja Karyawan

4.10.4. Analisis Karakteristik Karyawan Berdasarkan Stres Kerja

Setelah mengetahui kondisi stres kerja dan kinerja karyawan secara keseluruhan dari nilai rata-rata tertimbang, selanjutnya akan dilihat tingkat stres kerja serta kinerja berdasarkan karakteristik karyawan yaitu bagian, jenis kelamin, umur, pendidikan, lama kerja dan gaji berdasarkan nilai rata-rata dari total skor karyawan menggunakan uji ANOVA terhadap jawaban pertanyaan stres kerja dan kinerja karyawan (Tabel 11).

Gambar 7. Hubungan U-Terbalik antara Stres dan Kinerja Berdasarkan Hasil Penelitian

Tabel 11. Tingkat stres dan Kinerja Karyawan Berdasarkan Karakteristik Karyawan

Bagian Stres Kerja Kinerja Karyawan

Delivery Centre (DC) Kantor Pos (KP) 2.07 2.20 3.80 3.67

Jenis Kelamin Stres Kerja Kinerja Karyawan

Laki-laki Perempuan 2.12 2.12 3.78 3.58

Umur Stres Kerja Kinerja Karyawan

20-29 30-39 40-49 >50 2.06 2.29 2.06 1.60 3.76 3.85 3.70 3.75

Pendidikan Stres Kerja Kinerja Karyawan

SMP SMA D3 S1 1.82 2.21 2.26 2.17 3.82 3.75 3.75 3.81

Lama Kerja Stres Kerja Kinerja Karyawan

1-10 11-20 > 21 2.05 2.18 2.07 3.94 3.74 3.70

Gaji Stres Kerja Kinerja Karyawan

500rb-1jt 1jt-1.5jt >1.5jt 2.11 2.02 2.15 3.80 3.58 3.90

Berdasarkan hasil analisis dari karakteristik karyawan terhadap stres kerja dan kinerja karyawan (Tabel 11), diperoleh hasil bahwa stres kerja tertinggi cenderung didominasi oleh karyawan pada bagian KP (kantor Pos). Namun stres kerja tidak mempunyai perbedaan yang signifikan jika dilihat dari karakteristik karyawan berdasarkan bagian. Hal ini terlihat dari

nilai signifikansi bagian sebesar 0.282 yang lebih besar dari nilaiα sebesar 0.05 (terima H0). Jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kecenderungan nilai stres kerja yang sama. Nilai signifikansi jenis kelamin sebesar 0.983 yang lebih besar dari nilaiα sebesar 0.05 (terima H0), juga memperkuat tidak adanya perbedaan yang signifikan antara kedua jenis kelamin tersebut. Kecenderungan stres kerja lebih dominan dialami karyawan dengan umur 30-39 tahun, yaitu pada masa produktifitas karyawan sedang tinggi. Stres kerja mempunyai perbedaan yang signifikan jika dilihat dari karakteristik karyawan berdasarkan umur. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi umur sebesar 0.046 yang lebih kecil dari nilaiα sebesar 0.05 (tolak H0). Pada tingkat Pendidikan D3 dan SMA stres kerja yang dialami cenderung lebih besar. Stres kerja mempunyai perbedaan yang signifikan jika dilihat dari karakteristik karyawan berdasarkan pendidikan. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi pendidikan sebesar 0.047 yang lebih kecil dari nilaiα sebesar 0.05 (tolak H0). Lama kerja yang dominan menimbulkan stres kerja yaitu berada pada masa kerja 11-20 tahun. Hal ini dikarenakan pada masa kerja dengan rentang tersebut karyawan berada pada titik jenuh dalam aktifitasnya bekerja. Namun stres kerja tidak mempunyai perbedaan yang signifikan jika dilihat dari karakteristik karyawan berdasarkan lama kerja. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi berdasarkan lama kerja sebesar 0.620 yang lebih besar dari nilaiα sebesar 0.05 (terima H0). Besar kisaran gaji lebih dari Rp. 1.500.000 dan antara Rp. 500.000-Rp. 1.000.000 memiliki kecenderungan mengalami stres kerja yang tinggi. Namun stres kerja tidak mempunyai perbedaan yang signifikan jika dilihat dari karakteristik karyawan berdasarkan gaji yang diterima. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi gaji karyawan sebesar 0.724 yang lebih besar dari nilaiα sebesar 0.05 (terima H0). Tingkat kinerja karyawan tertinggi cenderung didominasi oleh karyawan pada bagian DC (Delivery Centre). Namun kinerja

karyawan tidak mempunyai perbedaan yang signifikan jika dilihat dari karakteristik karyawan berdasarkan bagian. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi bagian sebesar 0.303 yang lebih besar dari nilaiα sebesar 0.05 (terima H0). Tingkat kinerja karyawan tertinggi cenderung didominasi oleh karyawan laki-laki. Namun kinerja karyawan tidak mempunyai perbedaan yang signifikan jika dilihat dari karakteristik karyawan berdasarkan jenis kelamin. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi jenis kelamin sebesar 0.366 yang lebih besar dari nilaiα sebesar 0.05 (terima H0). Kecenderungan kinerja karyawan tinggi lebih dominan dialami karyawan dengan umur 30-39 tahun, karena pada masa itu produktifitas karyawan sedang tinggi. Kinerja karyawan tidak mempunyai perbedaan yang signifikan jika dilihat dari karakteristik karyawan berdasarkan umur. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi umur sebesar 0.742 yang lebih kecil dari nilai α sebesar 0.05 (tolak H0). Pada tingkat Pendidikan SMP dan S1 kinerja karyawannya cenderung lebih tinggi. Namun kinerja karyawan tidak mempunyai perbedaan yang signifikan jika dilihat dari karakteristik karyawan berdasarkan pendidikan. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi pendidikan sebesar 0.949 yang lebih besar dari nilai α sebesar 0.05 (terima H0). Lama kerja dengan tingkat kinerja karyawan paling tinggi cenderung berada pada masa kerja kurang dari lima tahun. Hal ini dikarenakan pada masa kerja dengan rentang tersebut karyawan baru mulai meniti kariernya di perusahaan, sehingga karyawan bekerja dengan giat. Namun tingkat kinerja karyawan tidak mempunyai perbedaan yang signifikan jika dilihat dari karakteristik kayawan berdasarkan lama kerja. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi bagian sebesar 0.450 yang lebih besar dari nilaiα sebesar 0.05 (terima H0). Besar kisaran gaji lebih dari Rp. 1.500.000 memiliki kecenderungan tingkat kinerja yang lebih tinggi. Namun kinerja karyawan tidak mempunyai perbedaan yang signifikan jika dilihat dari karakteristik karyawan berdasarkan gaji.

Hal ini terlihat dari nilai signifikansi gaji karyawan sebesar 0.431 yang lebih besar dari nilaiα sebesar 0.05 (terima H0).

Kesimpulan dari penjelasan diatas, tingkat stres kerja tertinggi yang mempunyai perbedaan antara karakteristik karyawan secara signifikan adalah karakteristik berdasarkan usia (dengan kecenderungan stres kerja tertinggi dialami oleh karyawan pada usia 30-39 tahun), dan karakteristik berdasarkan pendidikan (dengan kecenderungan stres kerja tertinggi dialami oleh karyawan dengan pendidikan D3 dan SMA). Sedangkan karaktetistik karyawan lainnya tidak mempunyai perbedaan secara signifikan jika dikaitkan dengan stres kerja, yaitu karakteristik berdasarkan bagian (dengan kecenderungan stres kerja tertinggi dialami oleh bagian KP), karakteristik berdasarkan jenis kelamin (besarnya nilai rata-rata sama baik laki-laki maupun perempuan), karakteristik berdasarkan lama kerja (dengan kecenderungan stres kerja tertinggi dialami oleh masa kerja 11-20 tahun) dan karakteristik berdasarkan gaji (dengan kecenderungan stres kerja tertinggi dialami oleh besarnta gaji antara Rp. 500.000- Rp. 1.000.000 dan lebih dari Rp. 1.500.000). Dari segi kinerja karyawan, seluruh karaktristik karyawan tidak ada perbedaan secara signifikan. Kecenderungan kinerja tertinggi yaitu pada bagian DC (delivery Centre), jenis kelamin laki-laki, usia antara 30-39 tahun, Pendidikan SMP dan S1, dan besar gaji lebih dari Rp. 1.500.000.

4.11. Estimasi Awal Pengaruh Stres Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Model persamaan struktural (SEM) digunakan untuk mengetahui bentuk dan besar pengaruh antara variabel laten bebas, yaitu sumber stres kerja (stresor) (ξ1) dengan variabel laten tak bebas (terikat), yaitu stres kerja (η1) dan kinerja karyawan (η2). Setiap nomor pernyataan diambil nilai mediannya yang kemudian diolah dengan menggunakan LISREL 8.72. Pengambilan nilai median tersebut bertujuan untuk mencari satu angka yang dapat mewakili setiap variabel indikator yang ada. Hasil estimasi awal

pengaruh stres kerja terhadap kinerja karyawan dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 8. Estimasi Awal Pengaruh stres kerja terhadap kinerja karyawan

Gambar 8 menunjukkan model estimasi awal pengaruh stres kerja terhadap kinerja karyawan. Dalam SEM untuk menyatakan sebuah model layak dalam merepresentasikan data tidak hanya berdasarkan satu ukuran kebaikan model berupa nilai estimasi awal chi-square sebesar 61.24, df (degrees of freedom) sebesar 24, p-value sebesar 0.00004, dan RMSEA sebesar 0.107. Selain nilai-nilai tersebut, hasil estimasi dapat dilihat dari nilai GFI = 0.91 dan AGFI = 0.83. Nilai GFI = 0.91 tersebut sudah lebih besar dari 0.90 yang artinya model tersebut telah mampu menerangkan keragaman data dengan baik. Nilai AGFI = 0.83 juga telah memenuhi batas minimum yaitu diatas 0.80. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ho : ∑ = ∑(θ) diterima, yaitu model telah baik dalam merepresentasikan data dan layak untuk digunakan.

Selain itu, dari hasil estimasi juga diperoleh loading factor (λ). λ merupakan koefisien yang menunjukkan seberapa besar pengaruh variabel indikator dalam membentuk variabel laten. Nilai λ yang paling besar berarti menunjukkan bahwa variabel indikator tersebut merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam membentuk variabel laten. Dengan kata lain, semakin

besar nilai λ, maka semakin besar kontribusi (pengaruh) suatu variabel indikator dalam membentuk variabel laten.

Berdasarkan nilai yang dimiliki setiap variabel indikator, dapat dinyatakan bahwa tuntutan hubungan antar pribadi (X3) merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap sumber stres kerja (stresor) dengan nilai λ yaitu sebesar 0.78. Selain itu, gejala psikologis (Y1.1) merupakan variabel indikator yang memiliki pengaruh terbesar dengan λ = 0.87 terhadap stres kerja. Sedangkan untuk kinerja karyawan, variabel indikator yang memiliki pengaruh terbesar yaitu kualitas pekerjaan (Y2.2) dengan nilai λ = 0.76.

Setelah diperoleh hasil estimasi awal pengaruh stres kerja terhadap kinerja karyawan, maka dilakukan penentuan variabel indikator pembanding. Penentuan indikator dapat dilakukan pada salah satu dari setiap variabel indikator dikarenakan hasilnya akan selalu memiliki proporsi nilai yang sama. Dalam proses analisa, terdapat variabel yang dijadikan sebagaiλ-nya, yaitu tuntutan tugas (X1), gejala psikologis (Y1.1), dan kuantitas pekerjaan (Y2.1). Penggunaan indikator pertama sebagai pembanding dari setiap variabel laten dimaksudkan untuk memudahkan pembandingan dan kajian hasil. Indikator pembanding bertujuan untuk mengantisipasi kontribusi atau pengaruh variabel yang tidak terdeteksi dalam model penelitian ini. Nilai λ variabel lainnya selanjutnya dibandingkan dengan nilai λ dari variabel pembanding untuk melihat nilai kontribusi variabel tersebut dalam membentuk variabel laten. Hasil analisa estimasi dengan menggunakan indikator pembanding dapat dilihat pada Gambar 9, dan informasi nilai-nilai kebaikan model lainnya dapat dilihat pada Lampiran 6.

Hasil estimasi t-value (Gambar 10) memperlihatkan bahwa semua variabel indikator telah memiliki t-value lebih besar dari 1.96 (tingkat signifikansi 5 %), yang berarti bahwa semua variabel indikator tersebut valid. Hasil analisa t-value dapat dilihat pada Gambar 10 berikut.

Gambar 10. Hasil Estimasi t-value

Hasil analisa estimasi dengan menggunakan indikator pembanding ini selanjutnya akan digunakan sebagai model analisis penelitian. Analisis penelitian akan diuraikan berdasarkan hubungan antar variabel laten (model struktural) dan antara variabel laten dengan variabel indikatornya (model pengukuran).

4.11.1. Pengaruh Sumber Stres Kerja (Stresor) dengan Stres Kerja

Model tersebut menunjukkan bahwa stres kerja dipengaruhi oleh sumber stres kerja (γ = 1,58). Hasil analisa t-value juga memperlihatkan besarnya koefisien konstruk (γ atau gamma) yang menunjukkan nyata atau tidaknya pengaruh variabel laten bebas terhadap variabel laten terikat. Semakin besar t-value, maka variabel laten bebas tersebut semakin nyata berpengaruh terhadap variabel laten terikat. Sumber stres kerja (stresor) mempunyai nilai t-value

diatas1.96 (tingkat sinifikansi 5%) yaitu sebesar 4.50. Sumber stres kerja dengan nilai koefisien konstruk (γ ) sebesar 1.58 dan t-value

4.50, berarti bahwa sumber stres kerja secara signifikan nyata dan bersifat positif berpengaruh terhadap stres kerja. Sumber stres kerja (stresor) akan mempengaruhi stres kerja, dimana semakin tinggi sumber stres kerja yang diperoleh maka akan semakin tinggi pula stres kerja yang dirasakan.

Dalam sumber stres kerja (stresor) (ξ1), variabel yang memiliki loading faktor tertinggi dengan nilai λ = 1.76 yaitu tuntutan hubungan antar pribadi (X3), kepemimpinan organisasi (X4) dengan nilai λ = 1.53, tuntutan peran (X2) dengan nilai λ = 1.50, dan tuntutan tugas (X1) dengan nilai λ =1.00. Keempat variabel indikator tersebut berpengaruh nyata terhadap stres kerja karena mempunyai nilai t-value diatas 1.96 (tingkat signifikansi 5%).

Berdasarkan analisa data, variabel tuntutan hubungan antar pribadi (X3) mempunyai nilai λ yang paling tinggi yaitu 1.76. Artinya tuntutan hubungan antar pribadi mempunyai pengaruh yang tinggi terhadap stres kerja. Hal ini dikarenakan karyawan di perusahaan cenderung merasa kesulitan untuk bergaul dengan atasannya, serta kurangnya dukungan kerjasama dari rekan-rekan sekerja untuk saling membantu dalam hal pekerjaan. Oleh karena itu, perusahan seharusnya lebih memperhatikan hubungan antar pribadi karyawannya agar dapat mengurangi atau mencegah timbulnya stres kerja.

Variabel kepemimpinan organisasi (X4) mempunyai λ = 1.53. Variabel ini memberikan pengaruh terbesar kedua terhadap stres kerja. Dari hasil kuesioner responden dapat diketahui bahwa responden setuju dengan pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan kepemimpinan organisasi, yaitu kurangnya dukungan dari atasan, pengawasan yang buruk dan kurang memadai dari atasan, pekerjaan yang baik kurang mendapat dukungan, dan atasan yang terlalu banyak mengatur. Oleh karena itu, perusahaan diharapkan dapat memperbaiki gaya kepemimpinan organisasinya sehingga dapat megurangi timbulnya stres kerja yang diakibatkan oleh kepemimpinan organisasi.

Variabel tuntutan peran (X2) mempunyai nilai λ = 1.50, memberikan pengaruh terbesar ketiga terhadap stres kerja. Dari hasil kuesioner responden dapat diketahui bahwa pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan tuntutan peran, yaitu tugas yang diberikan oleh perusahaan berlebihan, melakukan pekerjaan yang dirasakan tidak dimengerti, melakukan pekerjaan diluar tugas sendiri, dan mengerjakan tugas tenggat waktu dialami oleh karyawan. Oleh karena itu, perusahaan dalam memberikan tuntutan peran kepada karyawannya sebaiknya sesuai dengan proporsi dan kemampuan dari karyawannya. Hal ini diharapkan dapat mengurangi timbulnya stres kerja yang diakibatkan oleh tuntutan peran.

Variabel tuntutan tugas (X1) mempunyai nilai λ = 1.00, merupakan variabel yang mempunyai pegaruh paling kecil diantara variabel sumber stres kerja (stresor) lainnya. Dari hasil kuesioner responden dapat diketahui bahwa pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan tuntutan tugas dialami karyawan namun tidak terlalu sering. Namun, agar dapat mencegah atau mengurangi timbulnya stres kerja, perusahaan juga harus memperhatikan tuntutan tugas, peralatan, dan faslitas kerja yang akan diberikan kepada karyawannya.

4.11.2.Pengaruh Stres Kerja terhadap Kinerja

Pengaruh stres kerja terhadap kinerja karyawan dapat dilihat pada Gambar 12 berikut ini.

Gambar 12. Estimasi Stres Kerja terhadap Kinerja Karyawan

a. Stres Kerja

Gambar 11 memperlihatkan stres kerja mempengaruhi kinerja karyawan dengan nilai β = -0.43 yang berarti stres kerja secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kinerja karyawan. Hasil analisa t-value (Gambar 10) stres kerja terhadap kinerja karyawan sebesar -3.13, menunjukkan bahwa stres kerja tidak nyata pengaruhnya terhadap kinerja karyawan.

Dalam stres kerja (η1), variabel yang memiliki loading factor tertinggi dengan nilai λ = 1.00 yaitu gejala psikologi(Y 1.1), sedangkan gejala perilaku (Y1.2) mempunyai nilai λ = 0.85. Dari kedua variabel indikator tersebut, gejala psikologis tidak nyata bepengaruh terhadap kinerja karyawan karena nilai t-valuenya = 0.85 atau di bawah 1.96. Sedangkan gejala perilaku berpengaruh nyata terhadap kinerja karyawan karena mempunyai nilai t-value sebesar 7.80.

Berdasarkan analisa data, variabel gejala psikologi (Y1.1) mempunyai nilai λ yang paling besar yaitu 1.00. Artinya gejala psikologi mempunyai pengaruh yang besar terhadap stres kerja. Hal

ini berarti karyawan lebih merasakan gejala psikologis akibat stres kerja seperti mudah merasa tersinggung, menunda-nunda mengerjakan pekerjaan, merasa bosan dengan pekerjaan, merasa gelisah dalam bekerja, serta kurang puas dengan hasil kerja dibandingkan dengan gejala perilaku. Oleh karena itu perusahaan sebaiknya memperhatikan gejala-gejala psikologis yang mulai tampak dari karyawannya agar stres kerja yang dialami karyawan dapat ditanggulangi sedini mungkin.

Variabel gejala perilaku (Y1.2) dengan λ = 0.85, menunjukkan bahwa gejala perilaku seperti tidak masuk kerja, cenderung membuat kekeliruan, tidak bersemangat dalam bekerja, sulit tidur akibat pekerjaan, dan menurunnya nafsu makan karena beban kerja tidak begitu tampak pada karyawan yang mengalami stres kerja.

b. Kinerja Karyawan

Gambar 12 juga memperlihatkan hubungan timbal balik antara pengaruh kinerja terhadap stres kerja. Kinerja karyawan mempunyai nilai β = 0.10, yang berarti kinerja karyawan secara signifikan berpengaruh terhadap stres kerja karyawan. Hasil analisa

t-value kinerja terhadap stres kerja karyawan sebesar 0.89, juga menunjukkan bahwa kinerja karyawan tidak nyata pengaruhnya terhadap stres kerja karyawan. Dari hasil estimasi ini dapat disimpulkan bahwa kinerja karyawan secara signifikan berpengaruh tidak nyata terhadap stres kerja karyawan, yang berarti semakin tinggi kinerja karyawan maka belum tentu menyebabkan tingkat stres semakin tinggi ataupun rendah.

Dalam kinerja (η2), variabel yang memiliki loading factor

tertinggi dengan nilai λ = 1.00 yaitu kuantitas pekerjaan(Y2.1), kualitas pekerjaan (Y2.2) dengan nilai λ = 0.81, sedangkan ketepatan waktu (Y2.3) mempunyai nilai λ = 0.30. Dari ketiga variabel indikator tersebut, kuantitas pekerjaan berpengaruh tidak nyata terhadap kinerja karyawan karena nilai t-valuenya = 1.26 atau di

bawah 1.96, kualitas pekerjaan berpengaruh nyata terhadap kinerja karyawan karena mempunyai nilai t-value sebesar 2.72, sedangkan kuantitas pekerjaan berpengaruh tidak nyata terhadap kinerja karyawan, karena nilai t-valuenya sebesar 1,07.

Berdasarkan analisa data, variabel kuantitas pekerjaan (Y2.1) mempunyai nilai λ yang paling besar yaitu 1.00. Artinya kuantitas pekerjaan mempunyai pengaruh yang cukup terhadap kinerja karyawan. Hal ini berarti kinerja karyawan dalam hal kuantitas pekerjaan dinilai baik. Pekerjaan mereka sesuai dengan beban kerja yang telah ditetapkan perusahaan saat ini, dan hasil pekerjaan sesuai dengan harapan karyawan dan standar yang ditetapkan perusahaan. Dengan hasil kinerja yang baik ini perusahaan harus meningkatkan dan mendukung karyawan agar dapat berkinerja dengan baik.

Variabel kualitas pekerjaan (Y2.2) dengan λ = 0.81, Artinya kualitas pekerjaan mempunyai pengaruh terbesar kedua terhadap kinerja karyawan. Hal ini berarti kinerja karyawan dalam hal kualitas pekerjaan dinilai cukup. Karyawan jarang membuat kekeliruan, dan pekerjaan hampir sesuai dengan kemampuan dan ketrampilan karyawan. Dengan hasil kinerja ini perusahaan harus meningkatkan dan mendukung karyawan agar dapat berkinerja lebih baik lagi.

Variabel ketepatan waktu (Y2.3) dengan λ = 0.30, Artinya ketepatan waktu mempunyai pengaruh terkecil dibandingkan dengan variabel yang lainnya terhadap kinerja karyawan. Hal ini berarti kinerja karyawan dalam hal ketepatan waktu dinilai masih rendah. Karyawan belum dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu yang ditentukan perusahaan. Dengan hasil kinerja ini perusahaan harus memperbaiki dan mendukung karyawan dengan cara menerapkan disiplin waktu agar dapat berkinerja lebih baik lagi.

Dokumen terkait