KEMATIAN PADA ANAK
C. Analisis Kasus
Dalam pasal 193 ayat (1) KUHAP disebutkan jika Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka Pengadilan menjatuhkan pidana. Oleh sebab itu, harus dibuktikan bahwa semua unsur tindak pidana yang didakwakan terbukti.
Dalam hal tindak pidana dilakukan dengan sengaja, maka pada dasarnya pembuat menghendaki dan mengetahui tentang tindak pidana yang dilakukannya. Kesengajaan adalah pertanda kesalahan yang utama, sehingga memaksakannya melakukan tindak pidana tersebut.
Dalam kasus ini, Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan tunggal berdasarkan Pasal 80 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002, sedangkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun tidak menjatuhkan pidana kepada terdakwa berdaksarkan dakwaan Jaksa Penuntut umum tersebut. Majelis Hakim menimbang bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan, yaitu :
Ad.1 Unsur Barang Siapa:
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan barang siapa adalah setiap orang sebagai subjek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan atas semua perbuatannya,
Menimbang, bahwa dalam hal ini terdakwa BUDI, identitas lengkapnya telah ditanyakan dipersidangan, dan telah sesuai dengan surat dakwaan dan sura-surat dalam berkas perkara, dan terdakwa setelah ditanyakan identitas lengkapnya dapat menjawab dengan baik dan sempurna semua pertanyaan yang diajukan kepadanya, mka dengan demikian terdakwa BUDI adalah orang yang sehat dan sempurna akalnya sehingga kepadanya dapat dipertanggungjawabkan atas semua perbuatannya;
Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka unsur pertama “barang siapa” dalam hal ni telah terpenuhi;
Ad.2 Unsur Dengan Sengaja
Menimbang, bahwa tentang apakah arti kesengajaan itu tidak ada keterangan sama sekali dalam KUHP kita, lain halnya dengan KUHP Swiss dimana dalam pasal 18 dengan tegas ditentukan: Barangsiapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja.
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan sengaja dalam dunia praktek peradilan Indonesia disebutkan dalam hal ini adanya niat dan maksud dan akibat dari perbuatan itu dikehendaki oleh si pelaku.
Dalam teori hukum pidana kesengajaan (opzet/dolus) itu sendiri dibagi tida bentuk, yaitu:
a. Sengaja sebgai maksud atau tujuan; b. Sengaja berinsaf kepastian;
c. Sengaja berinsaf kemungkinan (dous eventualis);
Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, karena semua unsur-unsur pokok dalam Pasal 338 KUHP telah terpenuhi, maka dengan demikian kalaupun Pasal 338 KUHP tidak didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum, maka karena dari fakta persidangan unsur-unsur pasal 338 terpenuhi, maka majelis hakin berkesimpulan bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan;
Menimbang, bahwa dari fakta hukum tersebut atas keteran para saksi dan juga keterangan terdakwa, bahwa terdakwa menyadari akan perbuatannya dan juga menyadari akibat dari perbuatannya, dimana biarpun sempat korban minta
ampun namun karena terdakwa sudah kalap dan emosi terdakwa tidak menghiraukannya dan terus menumbuk dan menendang korban sampai lemas dan membabi buta, sehingga korban terjatuh dan terlentang, sampai akhirnya datang saksi SUPRI, RANI dan SURIANI yang menolong korban dan membawa ke Bidan terdekat, namun tidak sempat ditolong ternyata korban sudah meninggal dunia;
Menimbang, bahwa dari keadaan di lapangan, korban masih anak-anak dan sudah minta maaf dan mohon ampun, namun terdakwa secara emosional terus menghajar korban dengan tamparan dan tendangan, bahkan dipijak sesuai dengan keterangan saksi-saksi, maka korban terjatuh dan lemas, maka terdakwa dapat menyadari akibat dari perbuatannya akan mengakibatkan korban bahaya atau meninggal dunia (sengaja berinsaf kepastian ataupun sengaja berinsaf kemungkinan);
Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka kesengajaan dalam hal ini telah terpenuhi yaitu kalaupun bukan termasuk pengertian sengaja sebagai maksud ataupun tujuan, maka dapat dikategorikan sengaja berinsaf kepastian ataupun sengaja berinsaf kemunnkinan;
Ad.3 Unsur Menghilangkan Jiwa Orang Lain:
Menimbang, bahwa tentang hal ini oleh semua saksi-saksi yang didengar dipersidangan dibawah sumpah dan juga dibenarkan oleh terdakwa menerangkan bahwa korban RIFKY AZUARDI BATU BARA telah meninggal dunia, dan meninggalnya korban tersebut adalah akibat perbuatan yang dilakukan terdakwa BUDI tersebut;
Menimbang, bahwa selanjutnya akibat perbuatan terdakwa tersebut korban RIFKY AZUARDI BATU BARA mati lemas akibat perbuatan yang sangat sadi dengan pukulan, tendangan, tamparan yang berkali-kali yang mengenai bagian kepala dan leher dan bagian dada korban tersebut disebabkan trauma (ruda paksa) yang cenderung pada leher korban dan akibatnya korban lemas dan tidak berdaya sewaktu dibawa ke bidan terdekat sudah tidak tertolong lagi, sehingga untuk memeriksa selanjutnya dibawa ke Rumah Sakit Umum Dr. Djasamen Saragih;
Menimbang, bahwa tentang keadaan korban Alm RIFKY AZUARDI BATU BARA telah dilakukan pemeriksaan mayat yaitu sesuai dengan kesimpulan Visum et Repertum dari Rumah Sakit Pemerintah Kota Pematang Siantar Rumah Sakit Umum Dr. Djasamen Saragih Nomor: 3687/IV/UPM/VIII/2011 tanggal 26 Agustus 2011 terhadap korban RIFKY AZUARDI BATU BARA, berdasarkan hasil pemeriksaan luar dan dalam diambil kesimpulan bahwa korban mengalami luka lecet di dagu, leher dan dada serta memar dan bengkak di daerah leher uang disebabkan ruda paksa (trauma) tumpul. Penyebab kematian korban kemungkinan disebabkan oleh karena mati lemas yang diakibatkan kemungkinan akibat patahnya tilang leher yang disebabkan oleh ruda paksa (trauma) tumpul pada daerah leher kiri;
Menimbang, bahwa dari uraian dan pertimabngan tersebut di atas maka unsur ketiga “Menghilangkan Jiwa Orang Lain” dalam hal ini telah terpenuhi;
Dan berdasarkan Pertimbangan hakim di atas maka terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Pembunuhan” dan hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa BUDI tersebut dengan ppidana penjara selama 15 (lima belas) tahun, sesuai dengan pasal 338 KUHP.
Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan putusan terhadap diri terdakwa perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Hal-Hal yang Memberatkan :
- Perbuatan terdakwa membuat trauma dan penderitaan bagi keluarga korban;
- Perbuatan terdakwa termasuk perbuatan sangat sadid dengan melihat kondisi si korban;
- Perbuatan terdakwa sangat tidak berkeprimanusiaan; Hal-Hal yang Meringankan
- Tidak ditemukan selam pemeriksaan dipersidangan;
Memperhatikan segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan perkara ini khususnya Pasal 338 KUHP dan pasal-pasal lain yang bersangkutan.
Setelah dilakukan study lapangan yang bersifat empiris dengan metode wawancara terhadap Hakim PN Simalungun pada tanggal 18 Maret 2014 melalui telepon, dikarenakan beliau telah berpindah tugas ke Banjarmasin, Ketua Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Simalungun yang memutus dalam perkara No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM, atas pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh penulis terkait dengan kasus pada perkara ini menerangkan sebagai berikut:
Ketua Majelis Hakim dalam perkara kasus Penganiayaan terhadap Anak yang Mengakibatkan Anak Meninggal Dunia dengan No. Reg.791/Pid.B/2011/PN.SIM., dengan terdakwa BUDI yang adalah seorang sarjana hukum lulusan S-2 bernama Abdul Siboro, SH, MH. Beliau bertindak sebagai Hakim Ketua Majelis dalam kasus ini, yang mana beliau merupakan kelahiran Simallosung Sumatera Utara. Beliau mengambil S-1 yang bergelar SH di Universitas Sumatera Utara dan S-2 yang bergelar MH di Universitas Padjajaran. Pada karirnya sebagai Hakim, Beliau Sudah pernah bertugas di Binjai, Gunung Sitoli, NTT, Bali, Jakarta, Abepura, Tembilahan, Simalungun, dan sekarang di Banjarmasin. Beliau dalam memutuskan perkara didampingi oleh Silvianingsih, SH dan Irwansyah P. Sitorus, SH, MH sebagai Hakim Anggota dan Sarudin Purba sebagai Panitera Pengganti.
Beliau menerangkan bahwa semakin hari kasus penganiayaan terhadap anak ini semakin banyak baik oleh keluarga sendiri ataupun dari lingkungan luar, bahkan sekolah juga tidak menjamin sebagai tempat yang aman bagi anak dari tindakan kekerasan. Menurut pendapat beliau, anak merupakan pihak yang seharusnya diberikan perhatian dan perlindungan khusus dari lingkungan sekitarnya termasuk orang dewasa dan terutama orang tuanya. Kasus penganiayaan terhadap anak ini menurut beliau tidak hanya terjadi di desa-desa, tetapi semakin ke kota juga belakangan ini semakin banyak terjadi. Hal tersebut dikatakan beliau terjadi karena banyak faktor, yaitu diantaranya karena faktor sosial, pergaulan, emosi yang labil dan terutama karena perkembangan tekhnologi yang tidak terkontrol, dimana tayangan kekerasan bisa dengan
mudah diakses di televisi, internet dan sebagainya.Hal tersebut menyebabkan perkara kekerasan atau penganiayaan terhadap anak meningkat jumlahnya. Di Pengadilan Negeri Simalungun saja menurut beliau, perkara penganiayaan yang masuk ke Pengadilan meningkat tajam sekitar 15-20% kasus yang masuk ke persidangan merupakan kasus kekerasan terhadap anak. Namun, untuk kasus dengan No. Reg. No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM. ini menurut beliau adalah yang luar biasa, karna menyebabkan korban meninggal.
Dalam Perkara No. Reg. No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM , beliau mengatakan bahwa Jaksa Penuntut umum hanya mengajukan dakwaan tunggal yaitu berdasarkan Pasal 80 ayat 3 UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak dan tidak ada mendakwakan Pasal 338 KUHP. Hakim merasa perlu untuk membuat terobosan hukum karena hakim melihat dari segi asas keadilan dari pihak korban. Dimana perbuatan terdawa itu tergolong sangat sadis dilakukan terhadap anak bahkan menyebabkan anak tersebut mati lemas dan berujung dengan kematian dari korban.
Beliau menambahkan, bahwa dari Yurisprudensi dimungkinkan untuk dilakukannya terobosan hukum apabila perbuatan tersebut nyata ada dan memenuhi unsur-unsur hukum. Disamping itu, melihat perbuatan sadis terdakwa terhadap anak yang menjadi korban tersebut, Majelis Hakim dengan cara musyawarah bersama sepakat untuk menjatuhkan putusan berdasarkan Pasal 338 KUHP dengan menyatakan bhawa terdakwa Budi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pembunuhan dengan pidana penjara 15 (lima belas) tahun.
Beliau menambahkan bahwa Majelis Hakim sepakat bahwa hukuman 10 (sepuluh) tahun penjara sesuai dengan pasal 80 ayat (3) UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut kurang memenuhi unsur keadilan. Beliau mengatakan khusus Pasal 80 ayat (3) dalam UU RI No. 23 tahun 2002 tersebut seharusnya diperbaiki karena UU RI No. 23 tahun 2002 tersebut merupakan peraturan yang Lex Specialis dimana seharusnya peraturan tersebut mengatur lebih berat ancaman hukuman terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan kematian tersebut. Menurut beliau, peraturan lain yang mengatur tentang Tindak Pidana Khusus sudah mengatur ancaman hukuman yang lebih adil terhadap terdakwanya dibandingkan dengan hukuman yang terdapat di dalam KUHP. Namun, khusus untuk Pasal 80 ayat (3) UU RI NO. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ini, belum memberikan ancaman hukuman yang maksimal terhadap terdakwa. Beliau juga membandingkan dengan Pasal 82 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut, yaitu tentang perbuatan seseorang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun, padahal Pasal 80 ayat (3) yang lebih sadis dimana mengakibatkan anak tersebut mati hanya diancam dengan pidana penjara maksimal 10 (sepuluh) tahun. Inilah yang menurut anggapan beliau kurang memberatkan pelaku.
Dalam perkara tersebut juga Majelis Hakim menilai beberapa hal dari sikap terdakwa yang menurut mengakibatkan hakim mengambil putusan yang paling berat, yaitu :
1) Tidak ada niat baik dari pelaku atau keluarga untuk memberikan semacam permohonan maaf ataupun kompensansi, uang duka atau santunan kepada korban;
2) Terdakwa sempat melarikan diri; dan
3) Tidak ada sikap terdakwa sikap menyesal di Persidangan.
selain itu juga didalam persidangan diketahui bahwa perangai terdakwa memang dikenal sadis, orangnya emosional dan ditakuti oleh masyarakat sekitar karena dianggap preman kampung. Keluarga terdakwa juga diketahui berpisah karena terdakwa emosinya yang tidak dapat dikontrol.
Menurut beliau, hukuman yang diberikan terhadap terdakwa sudah adil. Dilihat dari sisi keluarga korban dimana korban masih anak yang duduk dibangku Sekolah Menegah Pertama dan juga dilihat dari terdakwa ataupun penasehat hukumnya yang tidak mengajukan banding. Hukuman 15 (lima belas) tahun dirasa beliau setimpal dengan perbuatannya.
Terakhir, beliau menambahkan sarannya untuk adanya perbaikan terhadap peraturan untuk perlindungan anak, terutama UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, terkhusus Pasal 80 ayat (3) dimana korbannya meninggal dunia. Hal tersebut agar anak-anak bisa mendapatkan perlindungan yang maksimal dari sisi hukum dan pelaku penganiayaan anak juga mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya.
Melihat poin-poin yang diajukan oleh Majelis Hakim dalam putusan dan juga pandangan Majelis hakim atas perkara tersebut, penulis beranggapan poin-poin sudah memenuhi unsur untuk menjatuhkan vonis 15 (lima belas) tahun penjara atas tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh terdakwa. Dalam hal ini penulis juga setuju terhadap pandangan manjelis hakim yang keberatan terhadap dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum yang mengajukan dakwaan tunggal. Padahal, Jaksa Penuntut umum bisa saja mengajukan dakwaan lain dari KUHP untuk memberatkan hukuman bagi terdakwa.
Untuk penjatuhan hukuman, dimana dalam putusan ini terdakwa dijatuhi hukuman maksimal dari pasal 338 KUHP, yaitu 15 tahun juga cukup adil menurut penulis. Dilihat dari pertimbangan hakim dari hal-hal yang memberatkan terdakwa yaitu, dimana korban meninggal dunia, perbuatan terdakwa sangat sadis dan tidak adanya penyesalan terdakwa dilihat dari keterangan saksi yang menyatakan tidak adanya permohonan maaf terdakwa terhadap keluarga korban.
Penulis berpendapat penjatuhan hukuman 15 tahun penjara yang diberikan oleh majelis hakim dimana hukuman tersebut 5 (lima) tahun lebih tinggi dari tuntutan jaksa sudah tepat. Walaupun putusan yang dijatuhkan majelis hakim berbeda dengan tuntutan dari jaksa penuntut umum, namun dilihat dari pertimbangan hakim dimana unsur-unsur dari pasal 339 telah dipenuhi. Selanjutnya dengan adanya penjatuhan hukuman yang memberatkan terdakwa pelaku penganiayaan terhadap anak ini, diharapkan berguna untuk memberikan efek jera terhadap pelaku dan ke depannya diharapkan tidak ada lagi tindakan
penganiayan atau perlakuan sadis atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak-anak.
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan yakni :
1) Perlindungan terhadap anak korban tindak kekerasan diatur dalam beberapa peraturan hukum pidana di Indonesia, yaitu diantaranya:
a. Perlindungan Anak Korban Tindak Kekerasan dalam KUHP
Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”. Dalam KUHP, penjatuhan hukuman bagi tersangka pelaku tindak pidana bagi anak apakah ditambah masa hukumannya atau lebih diberatkan tidak diatur secara khusus. Tidak ada lagi mengatur secara khusus terhadap anak-anak yang menjadi korban tindak pidana.Di Dalam KUHP hanya ada pengaturan hukuman ketika anak sebagai pelaku, bukan anak sebagai korban.
b. Perlindungan Anak Korban Tindak Kekerasan dalam UU No 23 Tahun 2002 (tentang Perlindungan Anak)
Dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur bagaimana pelaksanaan hukum terhadap pihak yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak Hal tersebut diatur dalam Pasal 80 dan 90 UU No. 23 Tahun 2002. Selain itu juga diatur mengenai bagaimana penyelenggaraan perlindungan
terhadap anak, pihak yang bertanggung jawab atas anak dan juga ketentuan mengenai Komisi Perlindungan Anak.
c. Perlindungan Anak Korban Tindak Kekerasan dalam UU No. 23 Tahun 2004 (tentang Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT))
Dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang “Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga” (UU KDRT), mengenai perlindungan korban KDRT, ditetapkan dalam Bab IV tentang “Hak-hak Korban”, Bab VI tentang “Perlindungan” dan Bab VII tentang “Pemulihan Korban”. Hak-hak, perlindungan maupun pemulihan korban, dalam UU KDRT, dimaksudkan untuk semua korban KDRT., tentunya termasuk perlindungan terhadap anak korban KDRT.
2) Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan kematian pada anak dalam Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 338 KUHP, dimana terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pembunuhan. Walaupun hal tersebut diluar tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut berdasarkan Pasal 80 ayat (3) UU RI No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, hal tersebut telah diputuskan oleh Majelis Hakim dengan musyawarah berdasarkan asas keadilan. Majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Budi
tersebut dengan pidana penjara 15 (lima belas) tahun, dimana 5 (lima) tahun lebih tinggi dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yang menurut penulis putusan tersebut sudah mencerminkan keadilan, karena pada kasus ini, korban adalah anak-anak yang sesuai dengan pandangan sarjana dan pandangan majelis hakim seharusnya mendapatkan perlindungan oleh orang-orang disekitarnya khususnya yang sudah dewasa, bukan untuk dianiaya sebagai pelampiasan emosi.
B. Saran
Kekerasan terhadap anak semakin lama semakin meningkat. Diperlukan adanya pengawasan terutama dari orang terdekat, yaitu keluarga dan orang tua yang merupakan suatu kewajiban. Selain itu, pemerintah diharapkan juga memberikan perhatian khusus terhadap kesejahteraan anak, terutama dalam perlindungan anak dari tindakan-tindakan kekerasan.
Sebenarnya, bentuk perlindungan itu sudah ada, terbukti dengan adanya UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tetapi pada kenyataanya belum terlaksana dengan cukup baik. Hal ini dibuktikan dengan makin maraknya kasus penganiayaan terhadap anak. Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan lebih memberikan perhatian dan perlindungan khusus yang lebih terhadap anak. Selain itu, penulis juga mengharapakan pemerintah melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap perkembangan tekhnologi, khususnya tayangan televisi dan juga akses internet yang dewasa ini semakin tidak terkontrol dan secara eksplisit
menampilkan adegan-adegan kekerasan dan adegan yang tidak patut dipertontonkan secara umum.
Penulis juga setuju dengan pandangan Majelis Hakim, dimana seharusnya ada penjatuhan hukuman yang lebih berat terhadap pelaku tindakan kekerasan yang menyebabkan matinya anak. Hal ini melihat pasal 80 ayat (3) UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dimana hukuman terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak tersebut hukumannya kurang memberatkan pelaku dibandingkan peraturan yang ada di KUHP yang tidak secara khusus mengatur tentang penjatuhan pidana terhadap anak.
Selain itu, harus ada juga partisipasi dari masyarakat untuk menghindari semakin bertambahnya tindak kekerasan terhadap anak dengan cara melakukan pengawasan. Misalnya dengan cara melaporkan ke pihak yang berwajib apabila mengetahui adanya tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap anak.